BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #15: Ujungberung Dijual Seharga 55 Ribu Dollar Spanyol Tahun 1819
Penjualan Ujungberung dilatarbekangi oleh rencana Andries de Wilde pergi ke Eropa. Ujungberung tidak hanya dibeli oleh Swalue, melainkan juga oleh Residen Karawang.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
18 Juni 2022
BandungBergerak.id - Pada 2 Mei 1934 malam, Wali Kota Bandung Ir. Von Wolzogen Kühr, yang merangkap juga sebagai ketua dewan perwakilan Kota Bandung menerangkan asal-usul Gedong Papak alias Gemeentehuis (gedung pemerintahan Kota Bandung), yang baru saja selesai direnovasi.
Menurutnya, semula gedung tersebut dipersiapkan oleh Andries de Wilde, sang perintis budidaya tanaman di Priangan, pendiri Sukabumi, di tanah miliknya di Ujungberung. Andries berusaha membangun gedung itu sebagai persiapan untuk pemindahan kedudukan residen Priangan yang semula berada di Cianjur ke Bandung. Dengan pertimbangan, Andries merasa bahwa pusat pemerintahan Priangan seyognya dipusatkan di Bandung. Namun, pada praktiknya, cita-cita Andries tersebut baru terlaksana pada tahun 1864, setelah lama Ujungberung dan Sukabumi beralih kepemilikan. Untuk membangun gedung bagi residen tersebut dibutuhkan biaya sebesar 200.000 gulden dengan waktu pembangunan selama sepuluh tahun.
Pembangunan Gedong Papak, menurut Von Wolzogen Kühr, bisa jadi dilakukan di bawah pengawasan adik tiri Andries de Wilde, Johan Jacob Steitz, yang sejak tahun 1817 hingga 1 Januari 1819 menjadi administratur Ujungberung. Namun, bangunan yang semula disangka kuat tersebut, pada 1843 mengalami kerusakan dan harus diperbaiki. Perbaikan tersebut sudah dinyatakan sebelumnya oleh J.J.L. Jacobson, salah seorang perintis teh di Priangan, yang memperoleh izin menempati gedung tersebut dan telah mengubah gedung tersebut tanpa seizin pemerintah sehingga mendapatkan denda. Karena tidak mampu membayarnya, gedung tersebut diserahkan kepada direktur budidaya kina, termasuk laboratoriumnya.
Karena budidaya kina pemerintah seluruhnya dialihkan ke Cinyiruan, Gedong Papak ditempati oleh asisten residen Bandung. Pada 1927, setelah pertukaran gedung dengan pemerintah, rumah bekas milik Andries de Wilde itu menjadi milik pemerintah Kota Bandung. Oleh pemiliknya yang baru, gedung tersebut dijadikan sebagai sekretariat Kota Bandung sekaligus kantor wali kota (De Koerier, 3 Mei 1934).
Rincian lain atas renovasi Gedong Papak saya dapatkan dari tulisan W.H. Hoogland (“Het Nieuwe Raadhuis” dalam Mooi Bandoeng No. 11, Mei 1934). Di antaranya kepindahan kantor dan residen Priangan ke Bandung didasarkan pada Besluit 7 Agustus 1864 Nomor 18 (Staatsblad No. 114). Andries de Wilde menjual Ujungberung pada Agustus 1819 kepada C. Swalue sebesar 55.000 dollar Spanyol, dan pada gilirannya oleh Swalue dijual lagi kepada pemerintah sebesar 151.000 gulden.
Kemudian J.J.L. Jacobson yang baru tiba di Batavia pada 27 September 1827, mulai menempati Gedong Papak berdasarkan keputusan tanggal 26 Juni 1833 No. 1076. Ia kemudian berinisiatif untuk merenovasi gedung tersebut tetapi ditolak oleh pemerintah melalui resolusi tanggal 16 Maret 1834 No. 2, ditambah dengan terbitnya resolusi tanggal 17 Juli 1834 No. 24 dan tanggal 13 Oktober 1834 No. 18. Saat itu dia tengah membangun perkebunan Bojanegara (kini Pasirkaliki).
Sembilan tahun berikutnya, bekas Asisten Resien Lebak G.P. Servaitus pada 1843 memperoleh izin untuk mengelola perkebunan di Priangan. Ia memilih perkebunan teh yang ada sebelumnya di Bandung, yaitu Ciumbuleuit, yang luasnya mencakup 325 bau, sekaligus mendapatkan izin menggunakan gedung milik pemerintah di Ujungberung. Karena rumahnya dinyatakan rusak, maka Servatius mendapatkan izin secara percuma untuk menggunakan gedung yang nantinya menjadi Gemeentehuis.
Selanjutnya, P. Van Leersum, direktur Cinyiruan, yang kemudian diangkat menjadi direktur budidaya kina pemerintah menempati rumah tersebut. Sementara laboratoriumnya ditempatkan di luar. Karena semua hal yang bertalian dengan perkebunan kina milik pemerintah dipindahkan ke Cinyiruan, dekat Pangalengan, rumah bekas milik Andries de Wilde itu ditempati oleh asisten residen Bandung.
Dari dua informasi di atas, saya jadi tahu bahwa sejak Agustus 1819 tanah Ujungberung yang dimiliki Andries de Wilde beralih kepemilikan kepada C. Swalue. Nah, yang menggugah rasa ingin tahu saya adalah siapakah Swalue tersebut? Apakah dia juga berlatar belakang sebagai pengusaha perkebunan atau seperti Andries de Wilde, yang merangkap sebagai pegawai pemerintah? Di bawah ini saya akan mengurai hasil penelusuran pustaka yang berkaitan dengan C. Swalue dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan keputusan Andries untuk melepas Ujungberung.
Christiaan Swalue van Leeuwarden
Dari buku Priangan, De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811, Vol IV (1912: 970-972) karya F. De Haan saya mendapatkan jejak-jejak C. Swalue. Dari jejak-jejak tersebut saya tahu nama lengkapnya adalah Christiaan Swalue yang berasal dari Leeuwarden. Ia menjadi kepala gudang di Lengkong antara tahun 1805 hingga 1806, kemudian menjadi pengawas kopi di Karawang antara 1806-1807 dan 1809. Pada tahun 1807, ia menjadi pengawas di Sumedang dan Ciasem-Pamanukan. Dari sana dia menjadi kepala gudang Cikao dari tahun 1807 hingga 1810. Jabatan selanjutnya adalah kepala gudang Karangsambung antara 1810-1811.
Dari pustaka lainnya yaitu Koninklijke almanak voor den jare 1819 (1819: 337) dan Staatsalmanak voor het Koningrijk der Nederlanden (1820: 337), saya juga jadi tahu bahwa hingga tahun 1820, C. Swalue masih menjadi kepala gudang kopi di Karangsambung, meskipun dalam teksnya ditulis secara salah, yaitu “Koffij-Pakhuismeester te Korensambang”.
Paling tidak hingga April 1822, C. Swalue menjabat sebagai pengawas budidaya kopi di Bandung. Ini saya ketahui setelah membaca pengumuman yang dimuat dalam Bataviasche Courant edisi 27 April 1822 yang mengabarkan tentang utang-piutang mendiang J. van der Meij, seorang penjaga atau pemilik penginapan di Bandung (“J. van der Meij in leven herbergier te Bandong”). Pengumuman tersebut dibuat di Bandung pada 20 April 1822.
Karena saya masih penasaran terhadap identitas Christiaan Swalue, sehingga saya melakukan penelusuran pada data-data genealogisnya. Dari situs genealogieonline.nl, saya akhirnya mendapatkan keterangan bahwa dia dibaptis pada 11 Januari 1771 di Leeuwarden, Provinsi Friesland, Belanda. Ayahnya bernama Eylardus Swalue (1724-1790) dan ibunya Catharina Wiersma (Lahir pada 1735).
Sementara kematiannya sekaligus yang menjelaskan karier terakhir C. Swalue adalah kabar dari Pastor B.J. Swalue yang dimuat dalam Opregte Haarlemsche Courant edisi 22 Maret 1832. Di situ dikatakan ia menerima kabar duka bahwa pada 8 Oktober 1831, Christiaan Swalue telah meninggal dalam usia 61 tahun di lahan miliknya di Kedunghalang, Bogor (“Heden ontvingen wij de voor ons diepbedroevende nidiug, dat den 8sten October 1831, op zijn Landgoed Kedong-Allang, nabij Buitenzorg, op het Eiland Java, den ouderdom van bijna 61 jaren”).
Dari uraian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa setelah bekerja pada pemerintah kolonial antara 1805-1822 merangkap dengan menjadi pemilik lahan Ujungberung antara 1819-1821, akhirnya Christiaan Swalue membeli lahan di Kedunghalang, Bogor, hingga ajalnya menjemput pada tahun 1831.
Baca Juga: BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #12: Kunjungan Joseph Arnold ke Soca Boomee dan Bandong
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #13: Adik-Kakak De Wilde dalam Catatan Harian Payen, 1818-1819
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #14: Dalam Surat-Menyurat Profesor Reinwardt
Terpaksa Menjual Ujungberung
Sekarang ihwal alasan di seputar penjualan Ujungberung dari Andries de Wilde kepada C. Swalue dan perkembangan selanjutnya mengenai tanah tersebut. Salah satu sumber yang dapat menerangkannya adalah F. De Haan (Priangan, Vol I, 1910: 302). Arsiparis kolonial itu menerangkan bahwa penjualan Ujungberung dilatarbekangi oleh rencana Andries de Wilde untuk pergi ke Eropa (“deden middelerwijl bij hem het plan rijpen, naar Europa te gaan. In Aug. 1819 'erkocht hij Oedjoengbroeng, dat hem zes jaar geleden 4.000 Sp. matten had gekost, voor 55.000 aan C. Swalue”).
Tambahan informasi dari De Haan adalah ternyata Ujungberung tidak hanya dibeli oleh Swalue, melainkan juga oleh Residen Priangan H. A. van den Broek. Artinya Swalue membagi tanah Ujungberung menjadi dua, Swalue setengah dan Van den Broek setengah bagian (Priangan, Vol I, 1910: 302). Pembagian tersebut terjadi pada September 1821.
Namun, dengan kebijakan Gubernur Jenderal Van der Capellen yang membenci kepemilikan lahan luas oleh perseorangan, akhirnya memaksa baik Swalue maupun Van den Broek melepaskan kepemilikan Ujungberung. Mengenai hal ini Pieter de Haan (Schetsen aangaande de landelijke administratie van Java, 1829) antara lain menyatakan bahwa pada akhir tahun 1821 pemerintah kolonial mengimplementasikan kebijakannya untuk membeli kembali lahan-lahan yang dimiliki kalangan perseorangan, di antaranya Cimahi dan Ujungberung yang dimiliki H. A. van den Broeck. Yang mendorong pemerintah berbuat demikian, konon, adalah untuk menerapkan kembali sistem tanam paksa sekaligus menolak penyerahan sukarela.
Menurut C.S.W. van Hogendorp menyatakan tidak pernah mendengar Swalue mengeluhkan bahwa dia dipaksa untuk menjual lagi Ujungberung kepada pemerintah. Namun, sikap dan pandangan Swalue yang sebenarnya tidak pernah diketahui. Namun, dalam surat bertitimangsa Sudimara, 25 Oktober 1823, Van den Broeck antara lain menyatakan bahwa pada akhir September 1821, dia menerima surat dari Swalue yang diserahkan oleh Mac Quoid. Saat itu, Swalue menyatakan tengah mencari orang yang akan mengambil setengah lahan yang dimiliknya di Ujungberung, karena tengah mendapatkan kesukaran dari Residen Priangan Jonkheer Robert Van der Capellen (P. H. Van der Kemp, Brieven van en aan Mr. H. J. Van De Graaff, 1816-1826, 1901).
Lebih jauh, pada 25 November 1821, ketika nota penjualan Ujungberung belum ditandatangani, Swalue dipanggil oleh anggota dewan Hindia Muntinghe pada 26 November 1821. Pada hari yang sama Van den Broeck juga dipanggil. Intinya gubernur jenderal menyatakan bahwa pembelian setengah lahan Ujungberung oleh Van den Broeck disebut-sebut tidak sah, karena pemerintah akan membeli lahan tersebut.
Dengan terpaksa, pada 30 November 1821, di Bidara Cina, H.A. Van den Broeck, sebagai residen Karawang, mengumumkan pelepasan semua hak dan klaim atas persetujuan dengan C. Swalue untuk membeli dan berpartisipasi dalam pengelolaan lahan Ujungberung, yang berlokasi di Kabupaten Bandung (“Ik ondergeteekende H. A. Van dan Broeck, Resident van Krawang, verklare bij dezen af te staan en te desisteren van alle regt en aanspraak, welke ik uit hoofde van eene aangegane, doch niet geheel voltrokken overeenkomst met den Heer C. Swalue tot eene verkoop en partic.patie in 't Land Oedjong-Brom, gelegen in het Regentschap Bandong, op Zijn Ed. zoude kunnen he en en sustineren”).