• Kolom
  • BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #12: Kunjungan Joseph Arnold ke Soca Boomee dan Bandong

BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #12: Kunjungan Joseph Arnold ke Soca Boomee dan Bandong

Ketika mengunjungi Andries de Wilde di Sukabumi, Joseph Arnold mendapat banyak kisah tentang orang-orang yang diterkam harimau. Ada juga kisah perburuan badak.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Dr. Joseph Arnold (1782-1818), dokter Inggris serta peminat botani sekaligus penemu bunga Rafflesia Arnoldi. (Sumber: The Java Journal of Dr Joseph Arnold, 1973)

28 Mei 2022


BandungBergerak.id“Alhasil, saya telah melakukan tur singkat di Jawa, dalam keadaan agak luar biasa. Dengan tidak bisa berbicara sepatah kata pun bahasa Jawa, saya melakukan perjalanan sekitar 250 mil menunggang kuda, di antara orang-orang yang sudah lama dianggap bangsa bengis dan curang, tetapi sebaliknya, memperlakukan saya dengan hormat dan perhatian sangat besar. Tata cara hidupnya juga jauh berbeda dari anggapan di Inggris, di mana orang Jawa dianggap hampir sebagai orang liar. Sarapan dan makan malam yang mereka sajikan di hadapan Anda pun sebaik di Inggris, bahkan lebih banyak jumlah makanannya.”

Kutipan di atas, saya terjemahkan dari renungan Dr. Joseph Arnold (1782-1818), setelah ekskursi ke Sukabumi dan Bandung antara 18-25 November 1815. Kutipan di atas berasal dari catatan harian dokter Inggris serta peminat botani sekaligus penemu bunga Rafflesia Arnoldi (1818), yang terdampar di Batavia karena kapalnya terbakar. Judul catatan hariannya The Java Journal of Dr Joseph Arnold, suntingan John Bastin, dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 46, No. 1 (1973).

Agar lebih jelas, agaknya kita dapat menyertakan sedikit riwayat hidup Joseph Arnold yang disajikan oleh John Bastin dalam pengantarnya. Ia dilahirkan di Beccles, Suffolk, 28 Desember 1782, anak lelaki keempat pasangan Edward Arnold dan Hannah. Ia menempuh pendidikan di Sir John Leman’s Free School bidang pengobatan, lalu menjadi asisten dokter bedah dan apoteker, belajar bahasa klasik, mendapatkan gelar M.D. dari Edinburgh University pada 1807, menunjukkan minat pada botani, serta bergabung dengan Angkatan Laut Kerajaan (Bastin, 1973: 5).

Dalam kapasitasnya sebagai bagian dari angkatan laut itulah, pada 3 September 1815 ia tiba di Batavia, setelah perjalanan laut yang sukar di Selat Torres dan lautan Indonesia timur. Di Batavia, semula rombongannya akan memuat lada dan kopi untuk dibawa ke London, tetapi kapalnya terbakar dan tenggelam di pelabuhan, ditambah sukarnya kapal yang membawanya kembali ke Inggris, Joseph akhirnya tinggal di Jawa lebih dari tiga bulan. Untungnya di Batavia ada teman sekolahnya, Charles Assey (1779-1821), yang saat itu menjabat sebagai sekretaris untuk pemerintah kolonial Inggris (Bastin, 1973: 7).

Melalui Charles Assey, Joseph diperkenalkan kepada T.S. Raffles, yang mengundangnya untuk tinggal di rumah dinas di Bogor dan peristirahatan di Cisarua. Di situlah Joseph dapat menyalurkan hobinya pada dunia botani, sekaligus melakukan penyelidikan sejarah alam. Ia antara lain memuat referensi nama lokal flora dan koleksi serangga (Bastin, 1973: 8).

Melalui Charles pula, Joseph diperkenalkan kepada Andries de Wilde. Latar belakangnya ada di catatan 18 November 1815, yakni karena merasa kurang nyaman tinggal di Istana Bogor, apalagi Raffles, Sir Miles, dan Lady Nightingall sedang pergi ke Batavia. Oleh karena itu, Charles menyarankan Joseph pergi beberapa hari ke Keresidenan Priangan. Demi keperluan itu, Charles membuat surat perkenalan kepada Andries de Wilde, orang Belanda, dokter dan pengusaha perkebunan jempolan di pulau ini. Andries tinggal di Sukabumi, sekitar 60 mil dari Bogor (“He lives at a place called Soca Boomee, which is about 60 miles from Buitenzorg”).

Charles menjamin perjalanan itu dengan menyatakan para bupati akan menyediakan kuda, berikut penerjemah dan kawan perjalanan. Jadinya, ia pergi Jum’at pagi dengan bantuan kuda dari bupati Bogor. Ia tiba di Cisarua dan berganti kuda. Setelah makan dia melanjutkan perjalanan ke Cipanas (Chepannos), yang berjarak 15 mil. Menurut Joseph, Cipanas adalah kebun dan rumah pemerintah, tempat asal sayuran dan buah-buahan untuk meja pemerintah di Bogor.

Konon, sayuran dan buah-buahan itu dikirim setiap hari oleh lima orang ke Bogor, dengan jarak 30 mil, dan kadang ke Batavia, dengan jarak 70 mil, hanya untuk menyuplai meja sang gubernur (“And it really appears too great a trouble to take for such a purpose, but vegetables and fruit are sent by five men every day from this place to Buitenzorg, a distance of thirty miles, and sometimes to Batavia, a distance of 70 miles, merely to supply the Governor's table!”) (Bastin, 1973: 52-53).

Baca Juga: BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #11: Pengawas Vaksinasi Cacar di Priangan
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #10: Menjadi Orang Sukabumi

Ukiran Rafflesia-Arnoldi karya H. Weddell. Ukiran ini dibuat berdasarkan permintaan Raffles, dan diterbitkan selambatnya pada 1825. (Sumber: The Java Journal of Dr Joseph Arnold, 1973)
Ukiran Rafflesia-Arnoldi karya H. Weddell. Ukiran ini dibuat berdasarkan permintaan Raffles, dan diterbitkan selambatnya pada 1825. (Sumber: The Java Journal of Dr Joseph Arnold, 1973)

Pesta Besar Andries de Wilde

Setelah bangun, Joseph Arnold melanjutkan perjalanannya ke Cianjur, yang berjarak sepuluh mil dari Cipanas. Setelah sempat sarapan dengan bupati, antara lain dengan 20 hidangan, seperti panggang unggas, bebek, kari, daging cincang, dan beberapa sup, dan minum teh, perjalanan dilanjutkan ke Sukabumi, dengan jarak 20 mil.

Joseph menyebutkan perjalanan ke Sukabumi itu melalui jalanan sangat bagus, ditanami semak bebesaran, dan kebun kopi yang merentang sejauh sepuluh mil. Di jalan dia sempat melihat burung merak besar atau kasuari, dan di tempat lainnya monyet-monyet duduk-duduk di pohon. Joseph tiba di Sukabumi pada pukul 13.00. Dilihatnya rumah milik Andries yang hanya satu-satunya rumah bagus sepanjang 40 mil dan agak baru (“I arrived at Soca Boomee about one o'clock. It is the only good house, I suppose, within 40 miles, and is now quite new”) (Bastin, 1973: 55-56).

Berbekal surat perkenalan dari Charles Assey, Joseph menilai Andries menerimanya dengan lumayan baik. Lalu dia menggambarkan kebiasaan makan Andries setiap harinya pada pukul 12.00 dan Joseph mendapatkan makan malam lagi pukul 17.00. Kata Joseph, Andries adalah tuan kebun besar, karena lahannya mencapai 40 mil, dan membutuhkan 400 kuda untuk mengelolanya (Bastin, 1973: 57).

Menurut catatan 19 November 1815, kegiatan yang dilakukan Joseph Arnold adalah berkunjung ke mata air panas yang jauhnya enam mil dari rumah Andries de Wilde. Di mata air tersebut sudah dibangun rumah yang difungsikan sebagai tempat mandi. Perjalanan tersebut nampaknya dikawani Andries, yang kemudian menyarankan Joseph untuk melanjutkan perjalanan ke sebuah gunung api terkenal di Bandung, yang berjarak 70 mil dari Sukabumi, melalui Cianjur dan Bayabang, yaitu Gunung Tangkubanparahu (“Mr De Wilde advises me to proceed to a famous volcano near Bandong, which is about 70 miles from this place, through Tjiandjoir and Biarbang. The volcano is called Tankabanpraw”). Tawaran itu memikat Joseph, hingga memutuskan untuk pergi esok harinya (Bastin, 1973: 58).

Apa ada alasan lain yang mendorong Joseph Arnold segera pergi dari rumah Andries de Wilde? Dalam catatannya 20 November 1815 hal itu terungkap. Salah satunya adalah Andries akan mengadakan pesta besar esok hari (21 November 1815). Oleh karena itu, sejak pagi, setelah minum kopi, Joseph melanjutkan perjalanan, meski tetap tak mampu berbahasa setempat, ditambah musim hujan sedang besar-besarnya.

Mengenai pesta besar itu, Joseph mengatakan pesta tersebut ditujukan bagi orang-orang Belanda terpenting dan para bupati di sekitarnya. Dengan demikian, Joseph berketetapan hati untuk mengunjungi Tangkubanparahu. Untuk keperluan itu, Andries meminjamkan kereta kuda untuk perjalanan sekitar 13 mil, dengan tiga kali ganti kuda yang banyaknya empat ekor, ditambah dua kerbau, dan hampir 12 orang warga lokal yang membantu. Setiba di Cianjur dan sempat sarapan, datanglah bupati Bandung.

Bandung digambarkan sebagai orang yang kedudukannya sangat tinggi, melebihi bupati biasa. Dia diikuti lebih dari seratus orang pasukan berkuda dan menggunakan seragam, dan beberapa anak muda seperti dirinya dan dianggap oleh Joseph sebagai anaknya. Sang bupati dan anak-anak muda itu berpakaian dengan sempurna, lengkap dengan hiasan dan sulaman, kerisnya dipasangi berlian dan sarungnya berhias emas timbul.

Di jalan, Joseph berpapasan juga dengan iring-iringan pejabat bumiputra ke tempat yang sama, yang banyak di antaranya diikuti lebih dari seratus pasukan berkuda yang berseragam oranye atau merah tua, sebagian membawa tombak. Bahkan dia menduga, sedikitnya ada seribu budak yang membawa beban, juga menuju ke tempat sama. Para perempuan dalam kereta yang ditarik empat atau enam kuda, sebagaian ditandu (Bastin, 1973: 59). Rombongan bupati Bandung, dan para pejabat lainnya yang dilihat Joseph adalah tamu-tamu yang akan menghadiri pesta besar Andries de Wilde.

Kisah Harimau dan Perburuan Badak

Dalam catatannya tanggal 20 November 1815, Joseph Arnold menceritakan kembali kisah dari Andries de Wilde tentang harimau dan perburuan badak. Mengenai harimau, Joseph memang mengakuinya sangat penasaran (“I have made some enquiries respecting the tigers on Java”). Dari kisah Andries, Joseph tahu harimau sangat banyak di sana, sehingga setiap bulan mereka menerkam seratus orang. Sementara orang Jawa dianggapnya percaya kepada nasib dan jarang berupaya untuk mencegahnya. Sehingga bila mereka yakin bila seorang manusia dilahirkan untuk dihancurkan harimau, maka demikianlah takdirnya.

Tindakan pencegahan orang Jawa hanyalah membawa obor saat malam. Kadang-kadang tidak membawanya, sehingga diserang harimau. Kata Andries, mereka tidak punya alasan untuk tidak pergi berjalan malam hari, meski takut harimau. Baru-baru ini, konon, terlihat seekor harimau di dekat rumah Andries, dan jejaknya melintasi sawah. Harimau itu telah membunuh kerbau, dicabik-cabik. Para budak memerangkap harimau itu, tetapi bisa lolos, tapi seminggu kemudian ditemukan mati akibat luka-luka terperangkap.

Joseph menceritakan seekor kerbau sangat galak di lahan milik Andries. Tadinya Andries akan menyembelihnya, tetapi penduduk menganggapnya sebagai pelindung kerbau lainnya, dan dapat menakuti harimau. Sebulan kemudian, di dekat kandang, kerbau itu dan harimau ditemukan mati, barangkali keduanya terluka setelah bertarung.

Ada beberapa kisah lain yang menggambarkan orang diterkam harimau. Pertama, Andries de Wilde menceritakan orang yang disuruhnya ke perkebunan kopi agak jauh saat malam seraya membawa obor. Esok harinya, ditemukan darah tercecer di jalan, dan jejak manusia dan harimau sepanjang dua atau tiga mil. Kedua, enam bulan lalu, anak kecil melaporkan kerbau dan harimau yang sudah mati, setelah si anak kecil menusukkan kerisnya ke si harimau. Ketiga, perkelahian seorang laki-laki yang menggunakan arit dengan harimau. Keempat, rumah seorang perempuan yang sedang menimang anaknya diserang harimau, terlepas, dan berhasil membawa ayahnya yang sudah tua. Sepanjang hidupnya si perempuan jadi cacat (Bastin, 1973: 60-62).

Selain kisah harimau, Joseph Arnold menggambarkan kebiasaan penduduk berburu badak. Konon, katanya, orang Jawa cukup tahan berburu badak sendirian, demi cula dan geliginya, yang keduanya sangat dihargai orang Jawa. Gigi-gigi badak dibuat kancing, manik-manik, pangkal golok, dan lain-lain. Sementara culanya biasanya dijadikan cangkir minum, yang dianggap orang Jawa sebagai penawar segala racun.

Kata Joseph, orang Jawa yang berani menyerang badak, dapat membunuhnya sebanyak tujuh atau delapan ekor. Biasanya orang itu akan masuk ke semak-semak, dan bila menemukan badak, dia akan berlari dan memegang telinga badak degan kuat, sementara tangan kanannya terus melukai bagian tubuh badak yang terlemah. Namun, ada pula yang kemudian pegangan pada telinga badak itu terlepas dan akibatnya pinggulnya diinjak-injak badak. Kisah ini juga diceritakan Andries kepada Joseph (“Mr De Wilde told me this story”) (Bastin, 1973: 63).

Mendaki Gunung Tangkuban Parahu

Selasa, 21 November 1815, Joseph Arnold bertolak dari Bayabang ke Bandung, dengan jarak 40 mil. Tujuannya mendaki Gunung Tangkubanparahu sebagaimana yang disarankan Andries de Wilde.

Joseph menyebutkan ketika mendekati Bandung, jalannya datar, ditumbuhi pepohonan kopi serta pisang. Sementara pintu masuknya memiliki lengkungan bambu, seperti lengkung kemenangan, yang ditempatkan pada beberapa tempat di sepanjang jalan, sehingga menimbulkan kesan indah.

Kedatangannya ke Bandung menimbulkan keanehan di kalangan pribumi. Katanya para pelayan dan orang lain mendekatinya, sehingga ia mengatakan “So great a wonder is an Englishman at Bandong” (Demikian aneh ada orang Inggris di Bandung). Saat itu, dia ditemui orang berkulit hitam yang mengaku sebagai orang Portugis dari Cochin. Ia tidak mau menemani Joseph mendaki Tangkubanparahu. Namun, muncul orang Portugis asli yang diberi surat pengantar dari Andries de Wilde (“Soon after this came a genuine Portuguese, to whom Mr De Wilde gave me a note”). Orang Portugis asli itu mahir berbahasa Inggris dan bersedia menemani naik gunung.

Rabu pagi, 22 November 1815, akhirnya Joseph pergi ke Gunong Tankabanpraw. Si orang Portugis berfungsi sebagai penerjemah, ditambah 30 orang yang menemaninya. Di kampung terakhir, rombongan Joseph sempat sarapan. Dari situ gunungnya berjarak sepuluh mil. Ketinggiannya ditaksir lebih dari 2.000 kaki di atas dataran Bandung, dan dari dasarnya lebih dari 1.500 kaki. Dari kaki hingga ke puncak gunung tertutup pepohonan. Jalan yang dilaluinya melewati lahan perkebunan luas, lalu harus melalui ngarai dalam, memasuki hutan sangat rapat, tetapi untungnya jalan rintisan telah dibikin orang yang mengawaninya.

Sebagai peminat botani, Joseph menggambarkan juga tumbuhan yang dilihatnya sepanjang mendaki gunung itu. Katanya dia melihat rotan dan pisang hutan di dalam hutan yang sangat rapat, banyak di antaranya yang dibebani tumbuhan parasit, terutama genus Fern, sementara yang lainnya tertutupi gumpalan pohon sayuran. Pepohonan yang umum dilihatnya adalah beringin. Namun, katanya, “I saw many plants quite unknown to me, and have but little doubt that there are many nonedescripts among them” (Saya melihat banyak pohon yang tidak dikenal, tetapi sedikit ragu bahwa ada banyak pohon yang belum dideskripsikan).

Setelah tiba di pinggir kawah, Joseph berjalan sekitar setengah lingkaran kawah, untuk menemukan jalan turun ke kawah bersama dua atau tiga orang yang menyertainya. Di kawah, ia mendapati kolam mendidih dikelilingi belerang, dan kebanyakannya berona kebiruan; tetapi bila lebih dekat ke kolam warnanya hijau, dan dari panasnya, pecah. Di sisi barat daya, dia lihat selokan tempat aliran air turun ke bawah kala hujan, menyebabkan mereka naik ke bagian timur kawah. Bagian utara dan timur kawah merupakan sinder yang gundul, tetapi di tepi lainnya vegetasi tumbuh subur hingga ke dasar kawah.

Karena hujan, Joseph dan rombongannya pulang dengan sangat penat. Bahkan hingga menjelang tiba ke rumah bupati Bandung dan turun dari kuda, Joseph hampir tidak bisa berjalan (Bastin, 1973: 63-66). Dengan demikian berakhirlah kisah perjalanannya di Sukabumi dan Bandung. Dan sebagaimana yang sudah saya kutip di awal tulisan, dari perjalanan ini Joseph Arnold mendapati kesan positif pada para pribumi Priangan, berbeda dari gambaran yang sebelumnya didengar di Inggris, konon orang Jawa adalah ras orang liar.

Dengan kata lain, dari perjalanannya, melalui jasa baik Charles Assey dan Andries de Wilde, Joseph bukan saja bisa menambah pengetahuannya seputar botani dan sejarah alam Priangan, tetapi mampu mengubah pandangannya yang selama ini bengkok tentang pribumi Jawa (baca: Priangan, karena Joseph tidak membedakan antara orang Sunda dan orang Jawa atau karena saat itu perbedaan antara keduanya belum terumuskan oleh orang Eropa).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//