• Kolom
  • BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #16: Mengadu kepada Raja Willem I

BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #16: Mengadu kepada Raja Willem I

Sekembali ke Belanda, Andries de Wilde menemui Raja Willem I. Andries mengatasnamakan para pemilik tanah Sukabumi.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Baron van der Capellen (1778-1848), gubernur jenderal Hindia Belanda antara 1819 hingga 1826. (Sumber: upload.wikimedia.org)

12 Juli 2022


BandungBergerak.idPada 16 Januari 1819, Godert Alexander Gerard Philip, Baron van der Capellen (1778-1848) diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda hingga diberhentikan pada 1 Januari 1826. Semula ia bersama dengan Cornelis Theodorus Elout (1767-1841) dan Arnold Adriaan Buyskes (1771-1838) menjadi anggota komisaris jenderal yang dibentuk oleh Willem Frederik Prins van Oranje-Nassau (1772-1843) atau Raja Willem I pada akhir 1814, dalam kerangka peralihan kekuasaan dari Inggris ke Belanda di Hindia Belanda.

Rombongan komisaris jenderal itu berangkat dari Texel pada 29 Oktober 1815 dan tiba di Batavia pada akhir April 1816. Penyerahan Hindia Belanda sendiri berlangsung pada 18 Agustus 1816, karena sebelumnya John Fendall Jr. (1762-1825), yang menjabat sebagai gubernur Jawa atau letnan gubernur Hindia Belanda, bersikukuh tidak hendak melepaskan koloni Inggris di Asia Tenggara itu.

Menurut D.W. van Welderen Rengers (The Failure of a Liberal Colonial Policy: Netherlands East Indies, 1816-1830, 1947: 55), Raja Willem I memberi rambu-rambu bagi komisaris jenderal bertalian dengan bumiputra Hindia Belanda. Rambu-rambu tersebut adalah harus melindungi bumiputra dari kesewenang-wenangan penguasa; meningkatkan kondisi mereka; memastikan bagi mereka hasil dari pekerjaannya; dan membiarkan mereka berbagi kebahagiaan dari kekuasaan patriarkis sang raja.

Sebagai konsekuensinya, masalah-masalah yang harus dihadapi oleh komisaris jenderal berkisar di sekitar cara memuaskan hasrat bahwa Hindia memberi Belanda dukungan finansial; dan cara menciptakan stabilitas ekonomi dan akhirnya kesejahteraan di Hindia; dan pada saat yang sama mempertimbangkan prinsip-prinsip yang diterakan oleh sang raja bagi bumiputra Hindia.

Dengan demikian, komisaris jenderal diharapkan dapat melindungi bumiputra sekaligus mendorong pengusahaan oleh orang barat di Hindia. Ujungnya adalah laporan bertitimangsa 14 Juli 1817 yang lebih dekat ke Undang-undang Agraria tahun 1870. Dalam kaitannya dengan budidaya kopi, komisaris jenderal yang lebih liberal atau menganut paham liberal inginnya mempertahankan sistem kontingensi di Priangan (van Welderen Rengers, 1947: 62-63).

Namun, secara umum, menurut van Welderen Rengers (1947: 75-76), masa tugas komisaris jenderal di Hindia jauh dari berhasil. Kegagalannya bukan hanya terletak pada keterbatasan pengetahuan dan keadaan, melainkan juga masalah dihadapinya terlalu banyak, sehingga kerap kali tidak sesuai dengan konsep liberal yang mereka anut. Dengan demikian, mau tidak mau, mereka harus berkompromi dan menunda kebijakan yang hendak diterapkan karena periode jabatannya terlalu singkat. Misalnya untuk kasus kepemilikan lahan oleh orang kulit putih. Ketidakmampuan mereka kemudian dibebankan ke pundak van der Capellen yang diangkat menjadi gubernur jenderal.

Karena tidak menerima panduan mengenai masalah-masalah penting yang digariskan Raja Willem I, Van der Capellen dibebani untuk menetapkan kebijakan yang selaras dengan prinsip-prinsip yang dikedepankan oleh komisaris jenderal. Karena sepenuhnya sadar bahwa liberalisme yang riil dan budidaya barat yang tidak terbatas itu tidak cocok, maka van der Capellen menentangnya dan akhirnya menghapus sistem kontrak lahan kepada pihak swasta.

Di sisi lain, sebenarnya pemerintah kolonial melalui komisaris jenderal menerbitkan Regulasi Pemerintah pada 22 Desember 1818, yang mendorong kebijakan kolonisasi secara liberal dan menentukan bahwa penjualan atau kontrak lahan tidak termasuk desa-desa, juga bukan bakti dari penduduk bumiputra. Dengan demikian, tindakan van der Capellen tidak hanya melanggar Regulasi Pemerintah pada 22 Desember 1818, tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi dan politik pemerintah Hindia.

Dengan kata lain, menurut J.J. van Klabberen (The Dutch Colonial System in the East Indies, 1983: 99), selama masa pemerintahan van der Capellen terjadi defisit anggaran, berupa tidak baiknya aliran pendapatan umum sehingga tidak dapat menangani pengeluaran yang terlalu besar. Sistem sewa tanah tidak dapat berjalan dengan lancar sebagai sumber pendapatan. Apalagi di bawah pemerintahan van der Capellen terjadi ekspedisi militer ke luar Pulau Jawa, ditambah dengan membengkaknya pengeluaran untuk aparat pemerintah kolonial.

Raja Belanda Willem I (1772-1843), yang dijumpai oleh Andries de Wilde pada 22 Januari 1821. (Sumber: upload.wikimedia.org)
Raja Belanda Willem I (1772-1843), yang dijumpai oleh Andries de Wilde pada 22 Januari 1821. (Sumber: upload.wikimedia.org)

Kembali ke Tanah Air

Kebijakan van der Capellen yang tidak mau lagi menyewakan atau mengontrakkan lahan pemerintah kepada pihak swasta menyebabkan Andries de Wilde sangat gelisah. Saking khawatirnya, ia berencana untuk pulang ke Belanda dan mengadukan nasibnya kepada Raja Willem I.

Rencana mudik Andries disiarkan dalam beberapa pengumuman yang dipasangnya di Bataviaasch Courant sejak minggu keempat September 1819 hingga minggu pertama Januari 1820. Pengumuman pertamanya dipasang pada edisi 18 September 1819.

Di situ, Andries de Wilde dan adiknya, Christoffel Steitz de Wilde, dengan titimangsa “Landgoed Soeka-Boemie, den 25 augustus 1819”, mengumumkan bahwa mereka akan meninggalkan Pulau Jawa untuk pergi beberapa lamanya sejak akhir tahun 1819 ke Eropa (“De ondergeteekenden, voornemens zijnde tegen bet einde van dit jaar, voor eenigen tijd het eiland Java te verlaten, om eene reis naar Europa te doen”).

Mereka memohon bagi siapa yang akan berurusan dengan mereka harus menyampaikannya sebelum akhir Oktober 1819 kepada Groenwald & Co., yang beralamat di Nieuwpoort-straat, Batavia (“voor ultimo octobér aanstaande, aan de heeren Groenwald & Co., in de binnen Nieuwpoort-straat te Batavia”).

Dalam Bataviaasch Courant edisi 11 Desember 1819, Andries dan Christoffel memasang lagi pengumuman, dengan titimangsa “Soekaboemie, den 5 dec. 1819”. Di situ dituliskan bahwa yang bertanda tangan di bawah ini akan meninggalkan Pulau Jawa dan mengangkat agen mereka, Skelton & Co di Batavia dan L. Steitz di Sukabumi.

Mereka berdua yang dipercayai untuk mengurusi kepemilikan lahan mereka sementara pergi ke Belanda (“De ondergeteekenden het Eiland Java verlaten, hebben tot hunne gemagtigden aangesteld, den heer Skelton & Co te Batavia, en den heer L. Steitz, te Soekaboemie, welke heeren zich wel hebben willen belasten, met het beher hunner zaken”). Untuk L. Steitz diangkat sebagai administratur lahannya yang ada di Keresidenan Priangan (“Zijnde de laatstgenoemde heer medr door hen aangesteld, tot administrateur van hunne landen, gelegen in de Preanger-regentschappen”).

Sementara pada 20 Desember 1819, dengan alamat di Batavia, Andries de Wilde menyatakan rasa persahabatan dan kebaikan yang diterimanya selama 17 tahun tinggal di Pulau Jawa (“De vriendschap en- veelvuldige goedheden, welke de tekenaar in een zeventienjaarig verblijft op Java genoten heeft”).

Konon, masa tinggalnya selama itu merupakan masa-masa paling menyenangkan, sehingga dia merasa perlu menguncapkan terima kasih kepada sahabat-sahabatnya pada hari kepergiannya ke tanah airnya (“maakt het hém tot een der aangenaamste pligten, daar voor zijnen vrienden dank te zeggen en hun bij zijn vertrek naar het van Vaderland, van harten eene voortdurende gezondheid en voorspoed toetewenschen”) (Bataviasche Courant, 1 Januari 1820).

Baca Juga: BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #15: Ujungberung Dijual Seharga 55 Ribu Dollar Spanyol Tahun 1819
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (25): Kompleks Dangdeur dan Kompleks Cipaganti

Sejak 25 Agustus 1819, Andries de Wilde dan Christoffel mulai mengumumkan rencana kepulangannya ke Belanda, untuk mengadu kepada Raja Willem I. (Sumber: Bataviaasch Courant, 18 September 1819)
Sejak 25 Agustus 1819, Andries de Wilde dan Christoffel mulai mengumumkan rencana kepulangannya ke Belanda, untuk mengadu kepada Raja Willem I. (Sumber: Bataviaasch Courant, 18 September 1819)

Keputusan Raja dan Rekomendasi Menteri Tanah Jajahan

Sekembali ke Belanda, Andries de Wilde pada 22 Januari 1821 menemui Raja Willem I. Sebagaimana yang terbaca dari buku Adres aan Zijne Majesteit Den Koning wegens het voorgevallene ten aanzien van Soekaboemie onder het bewind van den Gouverneur-Generaal Van der Capellen: met officiële bewijsstukken (1838), maksud audiensi tersebut adalah untuk melaporkan sekaligus mengadukan ketidakadilan yang diterimanya atas kebijakan yang diterbitkan oleh Gubernur Jenderal Baron van der Capellen.

Andries sendiri tidak mewakili dirinya sendiri, melainkan mengatasnamakan para pemilik tanah Sukabumi lainnya. Masalahnya berkisar di sekitar kontrak penjualan tanah Sukabumi, yang bagaimana pun konon itu adalah milik mereka yang sah. Konon pula, dia bahkan tidak memohon kebebasan tanpa batas atas penjualan kopi di tanah mereka, meskipun kewenangan kontrak penjualannya adalah milik dia dan pemilik Sukabumi lainnya. 

Atas dasar itulah, Raja Willem I menerbitkan keputusan nomor 61 bertitimangsa 11 Juli 1821 (“besluit van den 11 Julij 1821, No 61”) sebagaimana selengkapnya dimuat sebagai lampiran (“bijlagen”) dalam Adres aan Zijne Majesteit Den Koning wegens het voorgevallene ten aanzien van Soekaboemie. Pada awal keputusannya tertulis bahwa “WIJ WILLEM, bij de gratie Gods Koning der Nederlanden, Prins van Oranje-Nassau, Groot-Hertog van Luxemburg, enz. enz. enz. Gezien de rekeste, waarbij ANDRIES DE WILDE, Landeigenaar op Eiland Java, doch zich thans in Nederland bevindende , verzoekt”. Intinya Willem sebagai raja Belanda, Pangeran Oranye-Nassau, Groot-Hertog van Luxemburg, dan lain-lain, menerima permohonan Andries de Wilde, tuan tanah di Pulau Jawa, yang sekarang berada di Belanda.

Butir pertama pertimbangan raja Belanda tersebut adalah tanah Gunung Parang (Sukabumi) milik Andries dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban kepada pemerintah untuk disamakan dengan bangsa Jawa, yang sama-sama berada di bawah sistem nasional, bahwa tanah dan perkebunan kopi itu dikontrakkan (“Om, ten aanzien van zijn landgoed Goenong Parang, in regten en verpligtingen jegens het Gouvernement te worden gelijk gesteld met den Javaan, aan welken, onder het landelijk stelsel, Landerijen en Koffijtuinen in pacht worden afgestaan”). Dalam butir keduanya dinyatakan tunduk untuk secara ekslusif menyerahkan kepada pemerintah semua kopi yang ditanam oleh Andries, yang setiap pikulnya yang diserahkan kepada gudang pemerintah, dibayar sepuluh piaster perak.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangannya, Willem I memutuskan untuk menjamin peningkatan harga kopi bagi Andries de Wilde, yang harus diserahkan kepada pemerintah. Untuk penyerahan kopi tahun 1821 hingga 1823, Andries akan mendapatkan harga kopi sepuluh piaster perak per pikul. Namun, dia juga diwajibkan untuk meningkatkan bayaran atau gaji penduduk bumiputra, yang dipekerjakan bagi budidaya tanaman, dan kesepakatan ini memerlukan persetujuan dari gubernur jenderal. Andries juga diperbolehkan untuk menerima permintaan dari luar pulau, yang untuk itu gubernur jenderal tidak diperbolehkan menggunakan kekerasan.

Dengan titimangsa ‘s Gravenhage atau Den Haag tanggal 30 September 1821, De Minister voor het publiek Onderwijs, de Nationale Nijverheid en de Koloniën (menteri pendidikan umum, kerajinan nasional dan tanah jajahan) A.R. Falck menyampaikan rekomendasi untuk Gubernur Jenderal Van der Capellen, demi memperkuat keputusan Raja Willem I. Kata Falck, setelah Andries de Wilde menemui raja Belanda pada musim semi tahun 1821, sang raja memohon pertimbangan dan nasihat darinya untuk memberi solusi bagi Andries.

Untuk pertimbangannya, Falck menyampaikan hasil bacaannnya kepada Willem I atas laporan-laporan yang secara berturut-turut dikirimkan oleh komisaris jenderal, ditambah laporan-laporan otentik lainnya. Ia juga mendapatkan informasi dari mantan mitra kerja Van der Capellen, yaitu Cornelis Theodorus Elout, yang turut juga berusaha dan memberikan saran agar ada klarifikasi lebih lanjut, yang harus dijawab dan dirundingkan oleh Andries de Wilde.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//