RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (25): Kompleks Dangdeur dan Kompleks Cipaganti
Nama-nama jalan baru di Plan Cipaganti menggambarkan sifat-sifat baik manusia, seperti sabar, tenteram, jujur, dan lain-lain.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
12 Juni 2022
BandungBergerak.id - Bila membaca berita-berita yang disiarkan tahun 1950, saya jadi tahu bahwa sebelum peristiwa pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada Desember 1949, di Bandung sudah ada rencana pembangunan perumahan untuk warga kota.
Dalam De Locomotief (19 Juni 1950), diterangkan saat itu ada pembicaraan pihak berwenang di Bandung untuk membangun 50 perumahan milik pemerintah kota selama tahun 1950. Berdasarkan anggaran belanja 1950, akan ada 75 rumah pemerintah yang akan dibangun selama tahun itu, tetapi keputusannya menunggu dari Yogyakarta. Sementara tahun sebelumnya (1949), Bandung telah mewujudkan “plan Schon-stedt”, berupa pembangunan 541 rumah.
Lebih lanjut, koran itu menyebutkan Bandung dengan luas 82 kilometer persegi mengalami kekurangan 40.000 rumah. Sekarang hanya ada lebih dari 50.000 rumah tersedia bagi 568.959 Bandung, yang berarti rata-rata satu rumah untuk lebih dari 11 orang. Pihak pemerintah kota hanya memiliki 1.400 rumah dari sebanyak itu. Sementara pihak swasta terus berusaha meningkatkan jumlah rumah di Bandung.
Itu sebabnya, barangkali, di Bandung ada kongres pembangunan perumahan (prae-fabricated huizen) yang ditutup pada 31 Agustus 1950 atau setelah dua minggu Indonesia berbentuk negara kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950. Kongres itu dihadiri perwakilan dari 85 pemerintah daerah, termasuk banyak wali kota. Pada akhir kongres ada tiga rekomendasi yang dihasilkan, antara lain meminta kepada pemerintah untuk mengambil langkah mempersiapkan rencana komprehensif untuk mendirikan projek bisnis perumahan yang sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku di banyak tempat (De Locomotief, 1 September 1950).
Dalam waktu yang hampir berdekatan, di Bandung terbentuk “Het comité Missigit Quattul Islam” atau Panitia Masjid Quattul Islam pada minggu kedua September 1950. Sebagaimana yang diberitakan dalam AID De Preangerbode (11 September 1950), panitia tersebut bermaksud untuk mendirikan masjid raya di Bandung dan sedang mengumpulkan biayanya yang membutuhkan 5,5 juta rupiah. Kepanitian yang dibentuk di Jakarta itu antara lain terdiri atas ketua Ir. H. Moch. Enoch, wakil ketua (Ardiwinangun dan R. Enoeh), sekretaris (R. Djerman Prawirawinata), termasuk melibatkan Presiden Sukarno dan Perdana Menteri M. Natsir, K. Wahid Hasjim (ketua kehormatan), dan para penasihat Sjafrudin, Djuanda, H. Wiranatakoesoema dan Gubernur Sewaka.
Panitia pembangunan mengadakan rapat di Bandung. Dari rapat tersebut diputuskan akan menerbitkan 500 ribu kartu pos, yang menggambarkan gambar masjid yang akan dibangun. Harga kartu posnya dipatok sebesar 5 rupiah per lembar. Selebihnya akan dicetak 300 ribu kartu lebih besar yang akan dijual 10 rupiah dan 200 ribu kartu besar dengan harga 25 rupiah. Panitia juga sudah melayangkan proposal bantuan keuangan kepada perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar Bandung.
Menariknya masjid dengan struktur pada 4.000 meter persegi dan dapat memuat 8.000 orang itu rancangannya dibuat oleh Ir. Sukarno, yang pernah tinggal di Bandung 25 tahun yang lalu. Dalam kartu yang menggambarkan masjid yang dibuat Sukarno pada 8 April 1950, tertera tulisan Sukarno begini: “Moga-moga Tuhan mengabulkan terjadinja masdjid! Soekarno – 8/4-‘50”.
Anggaran Pembangunan Perumahan
Kembali ke rencana pembangunan rumah di Bandung. Rupanya kongres pembangunan perumahan pada Agustus 1950 itu gayung bersambut dengan kehendak sejumlah bank yang ada di Bandung. Namun, mereka mengajukan beberapa syarat kepada pemerintah kota, antara lain, rumah-rumahnya seharusnya tidak berada di bahwa manajemen organisasi perumahan; sewa rumah tidak boleh ditentukan oleh komite penyewaan; dan dewan Kota Bandung harus mendukung sedapat mungkin (Java-bode, 5 November 1950).
Dalam pelaksanaannya, rencana pembangunan perumahan memang dibahas dalam rapat-rapat dewan Kota Bandung. Dalam salah satu rapatnya pada minggu keempat Maret 1951, agenda yang dibahas oleh dewan kota adalah proposal dari dewan eksekutif terkait pembangunan rumah di tenggara Bandung sebanyak 35 rumah. Anggaran yang dibutuhkan sebanyak 714.805 rupiah, dengan 700.000 di antaranya akan disediakan oleh Kementerian PU dan Energi (Java-bode, 24 Maret 1951).
Setahun kemudian, sebagaimana yang dikabarkan AID (28 Januari 1952), pemerintah Kota Bandung mengalokasikan 25 juta rupiah selama 1952 untuk perbaikan kampung, persiapan kompleks bangunan, pembangunan jalan baru, perbaikan jalan yang sudah ada, perbaikan selokan dan gorong-gorong, pembangunan jembatan, tempat parkir, pasar baru, dan lain-lain. Selain itu, Djawatan Gedung-gedung Bandung melaporkan kepada Kementerian PU dan Energi mengenai anggaran lebih dari 100 juta rupiah yang diperlukan untuk pembangunan perumahan, bangunan sekolah, perbaikan penjara, dan lain-lain.
Di antara anggaran sebesar itu lebih dari sepuluh juta rupiah diperlukan untuk mempersiapkan pembangunan perumahan di sekitar Jalan Cipaganti, Karees, Cisitu, Pamoyanan, Muararajeun dan lain-lain. Sementara selama tahun 1951, Djawatan Gedung-gedung telah membangun 17 rumah tinggal di Jalan Jakarta, 12 rumah di Jalan Curie, dan 15 rumah di Muararajeun. Sementara untuk tahun 1952, jawatan tersebut akan membangun 200 rumah dengan anggaran sebesar 600.000 rupiah.
Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (22): Jalan Zaman Jepang
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (23): Pengakuan Kedaulatan dan Perubahan Nama Jalan di Bandung
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (24): Setyabudhi, Lembong, Petunjuk Kota Bandung
Jalan Buahbatu dan Cipaganti
Dengan berbagai upaya itu, tidak mengherankan bila kemudian pada minggu ketiga April 1952 sudah muncul pengumuman wali kota Bandung ihwal penyelesaian pembangunan rumah di sekitar Jalan Buahbatu berikut penyewaannya. Dalam AID edisi 21 April 1952 terbaca demikian, “dengan ini mengumumkan, bahwa di Plan Dangdeur (Djalan Buahbatu) telah selesai 35 buah rumah untuk disewakan kepada penduduk, jang penundjukan penjewa2nja, sepandjang mengenai 18 buah dari rumah 1 itu akan diselenggarakan oleh Kota-Besar Bandung. Peminat2 untuk rumah2 itu, sepandjang belum mengadjukan permohonan, diberi kesempatan memasukkan surat permohonannja, jang dialamatkan kepada Wali Kota, Kepala Daerah Kota Besar Bandung. Pemasukan surat2 permohonan itu ditutup pada tanggal 30 April 1952.
Dalam pengumuman tersebut disebut-sebut mengenai Plan Dangdeur yang ada di sekitar Jalan Buahbatu. Dalam AID edisi 30 Desember 1952, nama Plan Dangdeur disandingkan dengan Plan Tjipaganti, yang sudah disebut-sebut dalam rencana pembangunan perumahan pada awal tahun 1952. Dalam berita tersebut antara lain disebutkan mengenai biaya sambungan listrik ke “complex Dangdeur en Tjipaganti” yang masing-masing sambungannya dikenakan sebesar 500 rupiah.
Bila minggu ketiga April 1952 sudah dikatakan ada 35 rumah yang selesai dibangun di sekitar Plan Dangdeur dan akan disewakan, artinya penamaan jalannya baik penamaan jalan di sekitar Plan Dangdeur maupun Plan Cipaganti dapat dikatakan seiring sejalan. Namun, bagamana realisasinya? Bila membaca AID edisi 8 April 1953, dalam konteks berita pembentukan Ikatan Istri Pegawai PTT, terbaca di Plan Cipaganti belum diberi nama-nama jalan baru, melainkan masih menggunakan blok. Di situ ada Nyonya Poendek Jahja, wakil Ikatan Istri Pegawai PTT, yang menggunakan alamat “Plan Tjipaganti Blok B 2”.
Hal tersebut dapat dimengerti karena hingga pertengahan Agustus 1953, pembangunan perumahan bagi warga Kota Bandung di sekitar Jalan Buahbatu dan Jalan Cipaganti itu masih berlangsung (AID, 15 Agustus 1953). Lalu, mulai kapan nama-nama jalan di Plan Dangdeur dan Plan Cipaganti diresmikan?
Jawabannya ada pada AID edisi 5 Oktober 1953. Di situ ada berita berjudul “Nieuwe straatnamen in complex Tjipaganti” atau nama-nama jalan baru di Kompleks Cipaganti. Meski tajuknya begitu, sebenarnya tidak hanya meliputi nama-nama jalan di sekitar Plan Cipaganti, melainkan mencakup juga Plan Dangdeur. Termasuk ada perubahan pada dua nama jalan lama.
Nama-nama jalan baru di Plan Cipaganti menggambarkan sifat-sifat baik manusia, seperti sabar, tenteram, jujur, dan lain-lain. Sementara nama-nama jalan pada Plan Dangdeur menggunakan nama-nama yang diambil dari nama binatang liar (termasuk binatang yang hidup di air), seperti macan, gajah, beruang, dan lain-lain. Dua jalan yang namanya diganti adalah Djalan Bapa Husen (Cipaganti) diubah menjadi Djalan Sempurna, dan Djalan Djurang (Cipaganti) diganti menjadi Djalan Sederhana.
Nama-nama jalan baru di Kompleks Cipaganti selengkapnya sebagai berikut: Djalan Makmur, Djalan Kesehatan, Djalan Waluja, Djalan Rahaju Selatan, Djalan Rahaju Utara, Djalan Sedjahtera, Djalan Sabar, Djalan Tawekal, Djalan Rikrik, Djalan Waspada, Dja Djalan Djudjur, Djalan Setia, Djalan Bakti, Djalan Tenteram. Djalan Sentausa, Djalan Senang, Djalan Bahagia, Djalan Mulia, Djalan Kurnia dan Djalan Gembira.
Kemudian di Kompleks Dangdeur complex ada 25 jalan baru dengan menggunakan nama, antara lain, sebagai berikut: Djalan Lodaja, Djalan Sero, Djalan Matjan, Djalan Banteng, Djalan Kantjil, Djalan Gadjah, Djalan Badak, Djalan Serigala, Djalan Tupai, Djalan Musang, Djalan Beruang, Djalan Landak , Djalan Dedes, Djalan Santjang, Djalan Kidang, Djalan Kidang Dalam, Djalan Kelentji, Djalan Pelanduk, Djalan Lembu, Djalan Untjal, Djalan Rusa, Djalan Rusa Dalam, Djalan Penju, Djalan Haremis dan Djalan Kerang.
Peresmian nama-nama jalan di dua kompleks pada awal Oktober 1953 itu juga digarisbawahi dalam kaleidoskop peristiwa yang terjadi selama tahun 1953 yang dimuat dalam AID edisi 31 Desember 1953. Meskipun yang disebut-sebut dalam kronologi peristiwanya hanya meliputi Kompleks Cipaganti. Untuk peristiwa yang terjadi sepanjang bulan Oktober 1953 antara lain disebutkan begini: “In het complex Tjipaganti krijgen een aantal straten nieuwe namen” (Di Kompleks Cipaganti sejumlah jalan diberi nama-nama baru).