• Kolom
  • RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (23): Pengakuan Kedaulatan dan Perubahan Nama Jalan di Bandung

RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (23): Pengakuan Kedaulatan dan Perubahan Nama Jalan di Bandung

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, nama-nama jalan di Kota Bandung banyak berubah. Jalan dengan nama dari istilah Belanda dinasionalisasi.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Jalan Nakula, Kota Bandung, Minggu (27/3/2022). Pascakemerdekaan, nama-nama jalan di Kota Bandung yang menggunakan istilah Belanda diganti menjadi lebih nasionalis. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

29 Mei 2022


BandungBergerak.idSelasa, 27 Desember 1949, Ratu Juliana di Istana Dam, Amsterdam, menyatakan kedaulatan Indonesia, setelah negara yang dijajahnya berabad-abad itu menyatakan proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.

Lalu, bagaimana tanggapan yang terjadi di Indonesia menjelang hari bersejarah itu? Saya sendiri dapat mengikutinya antara lain dari pemberitaan surat kabar Sedar edisi 15 Desember 1949. Koran tersebut antara lain memuat berita utama tentang pidato radio Sukarno, selaku presiden RIS, tanggal 14 Desember 1949, yang berisi mengenai “Bangsa Indonesia tidak membentji bangsa asing, perdjoangan Kamerdekaan bukan untuk membalas dendam”.

Di antara yang dinyatakan Sukarno adalah “tentang ketentuan bahwa RIS akan menerima dalam dinasnja semua pegawai negeri sipil jang pada saat penjerahan kedaulatan ada bekerdja pada pemerintah Indonesia, dan bahwa pemerintah menerima segala hak dan kewadjiban jang mengenai pegawai2 negeri itu, ja, bahkan mengenai bekas2 pegawai negeri serta keluarganja jang mereka tinggalkan. Tetapi RIS berhak menjusun kembali dan menjaring pegawai2 negeri jang dioper itu. Dalam pada itu selama dua tahun sesudah penjerahan, RIS mendjamin tidak akan mengadakan perobahan2 jang merugikan pegawai2 jang tetap memegang nationaliteit Belanda dalam peraturan2 rechtpositie mereka”.

Sementara Perdana Menteri Moh. Hatta dalam sidang pleno KNIP di Yogyakarta yang juga berlangsung pada 14 Desember 1949 antara lain menyatakan “Sesudah penjerahan kedaulatan Indonesia dapat segera mulai pembangunan dalam negeri dalam segala lapangan dan pembangunan luar negeri sebagai bukti perdjoangan meningkat tingkatan internasional berdasarkan nasional”.

Selain itu, ternyata untuk menyambut penyerahan kedaulatan itu di mana-mana dipersiapkan “Panitya Perajaan Hari Penjerahan Kedaulatan” yang di tingkat nasional berupa “Panitya Persiapan Nasional” (PPN). Rencananya acara itu akan disambut secara besar-besaran. Namun, banyak ditentang. Untuk di daerah, contohnya Semarang, akan dilakukan upacara, kenduri di kampung-kampung, pemindahan makam-makam pahlawan, mendirikan tugu peringatan, dan sembahyang di masjid-masjid dan gereja.

Diberitakan pula, pimpinan Gabungan Serikat Buruh Pelabuhan Semarang menyatakan majikan-majikan Belanda yang memiliki perusahaan-perusahaan dan gudang-gudang sekitar pelabuhan Semarang akan memberi uang hadiah kepada para buruhnya, dalam kerangka menyambut penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Konon, hadiahnya akan diberikan sebelum hari penyerahan kedaulatan dan buruh yang bekerja setengah hari akan dibayar penuh.

Pimpinan Umum Pusat AMI juga menyikapi kritis rencana penyambutan secara besar-besaran itu, karena konon “berarti memperketjil arti kedaulatan Bangsa Indonesia jang telah ditjapai pada Proklamasi 17 Agustus 1945, sedangkan berdirinja RIS itu hanjalah sebagai akibat kelandjutan perdjuangan Bangsa Indonesia setelah proklamasi”.

Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (20): Kompleks Gubernur Jenderal
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (21): Jalan dan Gang untuk Kaum Bumiputra
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (22): Jalan Zaman Jepang

Seiring rencana penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, sejak pertengahan Desember 1949, di Bandung mulai ada wacana perubahan nama jalan. (Sumber: Sedar, 15 Desember 1949)
Seiring rencana penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, sejak pertengahan Desember 1949, di Bandung mulai ada wacana perubahan nama jalan. (Sumber: Sedar, 15 Desember 1949)

Mengubah Nama Jalan Pengingat Zaman Penjajahan

Dalam konteks penamaan jalan di Kota Bandung, wacana penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada pihak Indonesia itu juga berpengaruh besar. Dalam koran yang sama dimuat siaran kantor berita Antara dari Bandung tanggal 15 Desember 1950 dengan tajuk “Nama2 Djalan Akan Dirobah: Disesuaikan dengan Suasana Baru”.  Agar mendapatkan gambaran yang lebih, saya akan mengutipnya secara lengkap, sebagai berikut:

“Nama2 djalan dikota Bandung jang mengingatkan kepada djaman pendjadjahan, tidak lama lagi akan diganti dengan nama2 jang sesuai dengan suasana baru jang berdjiwa nasional. Demikian keterangan jang didapat berhubung dengan diadjukannja desakan dari Panitia Peringatan Lahirnja RIS kepada Gemeente Bandung”.

“Kabarnja, untuk menjelenggarakan perobahan nama2 itu akan dibentuk panitia gabungan, antara wakil2 Gemeente Bandung dan Panitia Peringatan tsb. Kini dikota Bandung terdapat kira2 200 nama djalan jang dianggap mengingatkan kepada djaman pendjadjahan”.

Membaca berita tersebut, kita sekarang jadi mafhum bahwa di balik lahirnya nama-nama jalan di Kota Kembang ada latar belakang politiknya. Karena dengan adanya peristiwa pengakuan kedaulatan Belanda atas Indonesia atau persisnya diakuinya RIS sebagai negara yang berdaulat menyebabkan perubahan nama-nama jalan yang tadinya mengingatkan bangsa Indonesia kepada zaman penjajahan Belanda. Pasti, wacana pengubahan nama jalan yang berbau Belanda tersebut juga berlangsung di tempat-tempat yang lainnya yang ada di Indonesia.

Pelaksanaannya, di Bandung, antara lain, kita dapat menyimaknya dari buku Perubahan Nama Djalan-djalan di Bandung atau Gewijzigde straatnamen van Bandung (1950). Pada jilidnya terdapat keterangan tentang kapan pembahasan perubahan nama tersebut dilaksanakan. Di situ dinyatakan “Telah ditetapkan dalam Sidang Perwakilan Rayat Kota Bandung ttg. 3 Maret ‘50 dan 28 April 1950/Vastgesteld bjj de Gemeenteraadsvergaderingen ddo. 3 Maart ’50 en 28 April 1950”.

Keterangan tersebut tentu merupakan perwujudan dari yang disebut dalam berita Sedar di atas sebagai hasil dari pembahasan oleh panitia gabungan pemerintah gemeente atau Kota Bandung dengan panitia peringatan lahirnya RIS. Karena memang gagasan untuk mengubah nama jalan-jalan di Bandung itu juga merupakan desakan bersifat politis dari panitia peringatan RIS.

Saat Sidang Perwakilan Rakyat Kota Bandung tanggal 3 Maret 1950, dari tinjauan sejarah, kita tahu saat itu banyak negara federal yang ingin bergabung dengan RIS. Oleh karena itu, lima hari setelah sidang Dewan Perwakilan Kota Bandung itu, pada 8 Maret 1950 pemerintah RIS menerbitkan Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS.

Sementara sebelum sidang Dewan Perwakilan Kota Bandung tanggal 28 April 1950, pada 22 April 1950, negara-negara federal sudah banyak yang membubarkan diri. Saat itu RIS hanya terdiri atas Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur, dan Negara Indonesia Timur. Puncaknya tentu saja Piagam Persetujuan 19 Mei 1950 yang berisi tentang pembentukan negara kesatuan dan penyempurnaan konstitusi RIS dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950.

Perubahan nama jalan di Bandung dibahas dalam sidang Dewan Perwakilan Kota Bandung pada 3 Maret 1950 dan 28 April 1950. (Sumber: Perubahan Nama Djalan-djalan di Bandung (1950))
Perubahan nama jalan di Bandung dibahas dalam sidang Dewan Perwakilan Kota Bandung pada 3 Maret 1950 dan 28 April 1950. (Sumber: Perubahan Nama Djalan-djalan di Bandung (1950))

Jalan Bersuasana Baru jang Berdjiwa Nasional

Menariknya, buku yang memuat perubahan jalan di Kota Bandung itu diterbitkan oleh koran berbahasa Belanda yang terbit pertama kali sejak 1896, AID de Preangerbode, dan beralamat di Braga 11.

Dalam pengantarnya “Kata Pendahuluan” antara lain disebutkan “Untuk kepentingan segenap penduduk di seluruh Indonesia, terutama bagi penduduk kota Bandung sendiri, maka pada hemat kami, guna memudahkan untuk mengetahui nama-nama baru dari djalan-djalan di kota Bandung, kami keluarkan sebuah buku-petundjuk ketjil”.

Rupa-rupanya atas alasan “buku-petundjuk ketjil” inilah yang menyebabkan pada jilid belakang disertakan keterangan bahwa “Djalan2 lainnja jang tidak disebut dalam buku ini tetap seperti dahulu, hanja perkataan ‘straat’ dan ‘weg’ diganti dengan ‘djalan’, ‘plein’ dengan ‘lapang’ dan ‘park’ dengan taman”.

Namun, bila dibaca dalam kerangka “Nama2 djalan dikota Bandung jang mengingatkan kepada djaman pendjadjahan”, saya pikir penggantian kata straat, weg, plein, dan park itu juga merupakan bagian integral dari upaya untuk menghapus pengaruh Belanda, dalam hal ini bahasanya, di lingkungan Indonesia yang baru.

Pada halaman 2 buku Perubahan Nama Djalan-djalan di Bandung, saya mendapati keterangan titimangsa yang diberi tanda tanya: “1-6-1950?” Tanda tanya tersebut membangkitkan rasa penasaran saya. Apakah titimangsa tersebut berarti mulai secara resmi digunakannya nama-nama jalan baru di Bandung? Apakah 1 Juni 1950 sebagai penanda titimangsa sebelum buku tersebut diterbitkan oleh AID de Preangerbode?

Yang terang, dari buku tipis setebal 36 halaman, termasuk jilid, itu saya dapat melihat bukti atau perwujudan dari penggantian nama-nama jalan berbau Belanda di Bandung dengan “dengan nama2 jang sesuai dengan suasana baru yang berdjiwa nasional”. Betapa tidak, nama-nama tokoh Belanda yang tersemat pada nama jalan umumnya diubah dengan nama Indonesia.

Penggantian nama jalan ke suasana baru yang berjiwa nasional juga terjadi di kota-kota lainnya di Indonesia. (Sumber: Veranderde Straatnamen in Bandung, Djakarta, Surabaja, Bogor, Medan, Semarang, Makassar, Malang (1950))
Penggantian nama jalan ke suasana baru yang berjiwa nasional juga terjadi di kota-kota lainnya di Indonesia. (Sumber: Veranderde Straatnamen in Bandung, Djakarta, Surabaja, Bogor, Medan, Semarang, Makassar, Malang (1950))

Nama jalan yang diambil dari provinsi, pelukis, penyair, penulis, anggota Kerajaan Belanda, pusat militer, gubernur jenderal Hindia Belanda, umumnya diubah menjadi nama Indonesia seperti nama bunga-bungaan. Sementara yang umumnya tidak berubah adalah nama-nama jalan yang sebelumnya berkaitan dengan Indonesia, seperti kompleks yang menggunakan nama-nama jalan dari pulau, gunung, buah-buahan, kayu, sungai, burung, wayang, dan ikan laut. Seperti yang disebutkan dalam jilid belakang Perubahan Nama Djalan-djalan di Bandung, pada nama-nama jalan tidak diubah namanya, yang berubah hanyalah istilah straat, weg, plein, dan park yang mengalami pengindonesiaan.

Dengan catatan, ada sebagian nama jalan dari nama dokter Belanda menjadi dokter Indonesia. Misalnya, Tirionweg menjadi Dj. Dokter Abdul Rivai dan Vosmaerweg menjadi Dj. Dokter Gunawan. Juga mulai munculnya nama-nama tokoh perlawanan terhadap Belanda, sekaligus yang menjadi pahlawan Indonesia. Misalnya, Dj. Bagusrangin menggantikan Hobbemalaan, Dj. Bahureksa (Gelriastraat), Dj. Dipati Ukur (Beatrixboulevard., Ringboulevard), Dj. Diponegoro (Rembrandtlaan, Wilhelminaboulevard), Dj. Imam Bondjol (Peltzerlaan, Tjikinilaan), dan lain-lain.

Perubahan nama jalan di kota lainnya, termasuk di dalamnya Bandung, antara lain dimuat dalam buku Veranderde Straatnamen in Bandung, Djakarta, Surabaja, Bogor, Medan, Semarang, Makassar, Malang (1950), dengan keterangan “Bijgewerkt tot 6 December 1950” (diperbaharui hingga 6 Desember 1950). Penerbitnya adalah Afd. Voorlichting v/h Hoge Commissariaaat voor Indonesie.

Pada dasarnya, untuk Bandung, isi buku Veranderde Straatnamen sama dengan buku Perubahan Nama Djalan-djalan di Bandung. Untuk membuktikan perubahan nama jalan yang dipengaruhi oleh “suasana baru jang berdjiwa nasional” di tempat lainnya, antara lain, dapat dilihat di Jakarta. Misalnya Gang Anderson menjadi Dj. Kartini Satu, Burg. Bisschopplein (Taman Suropati), v. Breenweg (Dj. Kratau), Laan Canne (Petodjo Melintang), Citadelweg (Dj. Segara Satu), dan Laan Cornelius (Dj. Merpati). Di Surabaya, antara lain Speelmanstraat berubah menjadi Dj. Thamrin, v. Sandicksstraat (Dj. Sudirman), dan Wilhelminalaan (Dj. Widodaren). Misalnya lagi, di Medan, Aert van Neslaan berubah menjadi Dj. Bahriun, Banckertlaan (Dj. Mongonsidi), Bothstraat (Dj. Modjopahit), Coenstraat (Dj. Gadjah Mada), van Gentlaan (Dj. Chairil Anwar).

Demikianlah, perubahan nama jalan di Bandung berlangsung. Setelah Belanda menguasai Indonesia berabad-abad, setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 1945 dan diakui kedaulatannya pada 1949, nama-nama jalan di Bandung banyak berubah sejak 1950.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//