RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (21): Jalan dan Gang untuk Kaum Bumiputra
Nama jalan dari nama orang bumiputra, seperti Madhapistraat atau Djaminboulevaard, tidak ada. Paling mujur hanya menjadi steeg alias Gang Becek.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
15 Mei 2022
BandungBergerak.id - Bagaimana kaum bumiputra di Bandung memandang pembangunan jalan pada masa kolonial? Saya antara lain mendapatkan jawabannya dari pemberitaan Sipatahoenan, edisi tahun 1934 hingga 1941.
Memang saya tidak mustahil mendapatkan keterangan yang sama di dalam koran-koran berbahasa Belanda, tetapi karena Sipatahoenan menggunakan bahasa Sunda, artinya mewakili kepentingan orang yang menggunakan bahasa setempat itu. Itu artinya lagi mewakili warga lokal yang hidup di lingkungannya sendiri atau menjadi daerah kantung sebagai perkampungan di lingkungan permukiman Eropa.
Dari penelusuran Sipatahoenan, dalam rentang waktu sekitar delapan tahun itu, saya antara lain mendapatkan wacana yang berisi pandangan dan sikap yang mengemuka dari kaum bumiputra Bandung atas pembangunan perumahan, gang-gang dan jalan-jalan di lingkungan bumiputra dan Eropa yang baru diresmikan dan diberi nama baik di Kabupaten Bandung maupun Kota Bandung.
Dalam pojok “Panganggoeran” bertajuk Bandoeng Vooruit (Sipatahoenan, 9 Agustus 1934) mengemuka sindiran halus mengenai keberadaan organisasi Bandoeng Vooruit berikut Bandung-nya sendiri yang mendapat nama tersebut yang berarti Bandung maju. Namun, yang maju adalah bangsa Eropa, sementara warga lokalnya terpinggirkan.
Mengenai organisasi itu disebutkan, paguyuban ini bertujuan untuk memajukan Kota Bandung agar bagus dan resik, bangunan di dalam kota menjadi modern). Dengan pelbagai usaha Bandoeng Vooruit, nama-nama jalan menjadi bagus, di antaranya menggunakan nama gunung, sungai, dan orang (“Koe oesahana ‘Bandoeng Vooruit’ ngaran-ngaran djalan djadi araloes, geus poegoeh deui ari ngaran goenoeng djeung waloengan mah, malah kapan loba noe dilandi koe ngaran djelema”).
Ada nama orang Belanda, Arab, dan Tionghoa. Nama kaum bumiputra pun ada yang digunakan sebagai nama jalan. Tetapi jalan yang ditimba dari nama orang bumiputra kebanyakan, seperti Madhapistraat atau Djaminboulevaard, tidak ada. Paling mujur hanya menjadi steeg alias Gang Becek (“Aja ngaran Walanda, ngaran Arab, ngaran Tionghoa. Malah bangsa Entjep oge noe kaseboet ngaranna. Tapi nja kitoe bae, henteu aja ari Madhapistraat atawa Djamainboulevaard mah. Paling moedjoer oge ngan oekoer nepi kana steeg alias Gang Betjek”).
Di balik itu, sebenarnya berisi gugatan mengenai ketidakadilan yang terjadi di Bandung. Karena di satu sisi bagi kalangan Eropa dan kalangan atas pribumi, Bandung mengalami kemajuan, tetapi bagi rakyat kecil sebenarnya berarti meminggirkan mereka. Karena yang semula tinggal di pinggir jalan raya, terpaksa harus pindah ke belakang. Dalam Sipatahoenan dikatakan “Tapi, aeh aja tapina ari keur kaoem Entjep mah lain Bandoeng Vooruit, tapi djadi ‘Bandoeng Achteruit’, sabab noe tadina sisi djalan gede baraja Entjep mah, loba noe parindah nyararingkah, paling oentoeng ka achterbuuren”).
Dalam pojok “Panganggoeran” bertajuk “What is in a name” (Sipatahoenan, 6 Desember 1935), Entjep, sang penunggu pojok, melaporkan sidang-sidang di dewan kota yang bertalian dengan pemberian nama jalan, baik yang baru selesai dibangun maupun mengubah nama yang telah ada sebelumnya, karena tidak cocok dengan nama sebelumnya, seperti Andirweg yang diubah menjadi Kalipah Apoweg dan lain-lain (“Entjep antek pisan ngabandoenganana menir elid noe rek ngalandi djalan teh. Boh mere ngaran doemeh kakara anggeus didjieunna boh ngarobah noe geus aja, oepamana bae doemeh henteu ngadjodo, teu pinanggih djeung kawarasan, ririwit atawa koemaha bae saperti Andirweg djadi Kalipah Apoweg enz”).
Pada bahasan dua malam sebelumnya (4 Desember 1935), dewan Kota Bandung membahas pemberian nama plein atau lapangan di depan Departement Verkeer & Waterstaat, utara Rembrandtstraat. Calon namanya Hovigplein. Tapi menurut Visser lebih baik Mijnbouwplein, sementara menurut Nauta Lemke lebih baik Rembrandtplein, sebab lingkungan tersebut berupa himpunan nama jalan dari para pelukis klasik.
Tapi Jansen van Raay lebih memperkuat Hovigplein dan Wiesing menyatakan di lingkungan itu bukan hanya nama pelukis, karena ada juga nama sungai. Intinya, Entjep menegaskan pemberian nama bagi jalan atau lapangan di Bandung itu mirip seperti pemberian nama anak yang tentu harus membuat perhitungan lebih dulu (“Paingan atoeh dina ngalandi boedak, taja tinggal ti itoengan sagala roepa”). Padahal hanya urusan nama belaka. Dan akhirnya nama lapang yang dipilih adalah Rembrandtplein.
Selanjutnya, dalam salah satu sidang dewan Kota Bandung (Sipatahoenan, 26 Februari 1936), salah seorang anggotanya, Ir. Dessauvagie, menyatakan selama ini nama-nama jalan di Bandung tidak cocok dan susah terbaca oleh para pengguna mobil yang datang dari tempat lain (“Ngaran djalan-djalan kaanggapna koe spr. koerang merenah, hese kabatja koe noe toempak mobil datang ti sedjen tempat [richting]”).
Mh. K (barangkali inisial Moh. Koerdie, pemimpin redaksi Sipatahoenan) menulis semacam tajuk berjudul “Lijden Voorwerp” (Sipatahoenan, 17 April 1940). Dalam tulisannya, ia antara lain menyindir Hindia Belanda yang selalu tergantung kepada negeri induknya, Belanda, sehingga tidak punya hak mengatur dan memberdayakan diri sendiri. Dengan nada menyindir, Mh. K menyatakan Hindia hanya dapat memutuskan soal membuat selokan dan memberi nama gang atau jalan (“Noe sagala goemantoeng – iwal njieun solokan djeung gang atawa djalan!”) saja, karena konon ada disebut Volksraad.
Dalam tajuk “Samenwerking?”, Mh. K (Sipatahoenan, 8 Februari 1941) dan “Practische Politiek” (Sipatahoenan, 21 Agustus 1941) juga menyentil ihwal wacana penamaan jalan yang biasa menjadi perdebatan dalam sidang-sidang dewan Kota Bandung. Katanya dalam edisi 8 Februari, “Roegi lain ngan doemeh sipatna beda ti biasa bae, beda ti noe sasari, retjok-retjok mareboetkeun ngaran gang atawa djalan, oeroesan sloot djeung goot, kokotjoran djeung pamitjeunan” (Rugi bukan hanya karena sifatnya beda dari biasa, ribut memperebutkan nama gang atau jalan, urusan sloot dan got, aliran dan tempat pembuangan).
Namun, lebih dari itu, menurut Mh. K yang lebih penting adalah bagaimana kerja sama bangsa Belanda dan Indonesia dalam lingkungan Kota Bandung, khususnya kerja sama antara para anggota dewan kotanya (“tapi oge roegi teu bisa njaksian koe sorangan nepi ka lebah mana bisa digawe babarenganana bangsa Walanda djeung Indonesia dina harti doea golongan bangsa loeloegoe, hoesoesna di dieu, di djero koengkoeroengan gemeente Bandoeng, heureutna pisan antara para wawakilna, di Stadsgeementeraad”).
Ir. Oekar Brataskoesoema, sebagai anggota dewan Kota Bandung perwakilan dari Paguyuban Pasundan, pada salah satu sidang tahun 1941, menyampaikan kesedihan kaum pribumi mengingat ketidakadilan yang dialami mereka sepanjang berkaitan dengan pembangunan di Kota Bandung. Termasuk penamaan jalan, yang jarang dilakukan di lingkungan sekitar bumiputra.
Kata Sipatahoenan edisi 4 April 1941, Ir. Oekar menunjukkan kesedihan rakyat, terutama karena golongan Indonesia tidak demikian ada perlunya dengan adanya berbagai garapan Kota Bandung. Bahkan bila melihat segala garapan pemerintah Kota Bandung itu banyak yang menimbulkan ketidakadilan, sebab garapan-garapan sangat bagus itu hanya menjadi kemunduran bagi bangsa Indonesia.
Salah satu bentuk ketidakadilan itu adalah pengubahan nama atau pembangunan jalan baru di lingkungan bangsa Indonesia di Bandung (“Ngarobah atawa ngajakeun djalan anjar di tempat2 bagian Indonesiers teu pati aja, saoer spreker teh”).
Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (18): Kompleks Ikan Asin di Andir
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (19): Jalan Pangeran Sumedang
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (20): Kompleks Gubernur Jenderal
Jalan dan Gang Baru
Pembangunan jalan di Bandung antara 1934 hingga 1941 memang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung, melainkan juga oleh pihak Kabupaten Bandung.
Dalam Sipatahoenan edisi 16 Oktober 1935, misalnya, ada tulisan bertajuk “Tjipanas ‘Maribaja’” yang antara lain mengabarkan tentang jalan baru dari Kota Bandung ke Lembang dan dari Lembang ke Desa Cikidang, yang diresmikan bupati Bandung yang sekarang menetap di Batavia (“Ti dieu ka Lembang’ ti Lembang teroes ka desa Tjikidang, djalan anjar noe tjan sabaraha lilana diboeka officieel koe kg. Dalem Bandoeng anoe ajeuna linggih di Batawi”).
Meski demikian, keadaan jalannya ada yang menurun sangat tajam, terutama ke arah Desa Cibodas, sehingga menyebabkan sopir meminggirkan mobilnya (“Ti lebah dinja madjoe ka desa Tjibodas, ngan 2 kilometer djaoehna ka Tjipanas teh, tapi djalanna oedjoeg-oedjoe moedoen anoe pohara netekna, nepi ka aja autobeziiter[s] atawa bestuurder[s] anoe kapaksa noenda mobilna ...”).
Pada tahun 1938, antara lain dibangun jalan baru di sekitar Pangarang, Stadion Sidolig ke selatan dan jalan antara Braga dan Banceuy. Mengenai jalan di sekitar Pangarang disebutkan berkaitan dengan dibuatnya jembatan dan jalan baru (Pangarang Lebak) yang bersambung ke Kantoorweg, Jalan Pangarang yang semula sangat tidak memuaskan, diperbagus (Sipatahoenan, 21 Februari 1938).
Sementara pembuatan jalan baru di sebelah barat Stadion Sidolig ke selatan bertaut dengan rencana pembangunan gedung sewaan di tanah kosong (“Lantaran moal lila baris diadegan gedong sewaan di tanah kosong koeloneun lapang maen bal di Groote Postweg Oost, ajeuna di lebah dinja teh diajakeun [didjieun] djalan ka kidoel”). Konon, jalan itu ditembuskan ke Papandajanlaan di selatan (Sipatahoenan, 21 Februari 1938). Menurut berita Sipatahoenan (24 Agustus 1938), jalan baru itu akan diberi nama Rachussenweg, pada sidang dewan Kota Bandung 30 Agustus 1938.
Dalam kaitannya dengan pembangunan jalan antara Braga dan Banceuy, dijelaskan jalan baru itu akan meneruskan Jalan Naripan, sehingga nantinya di depan Bank Denis menjadi perempatan Bragaweg, Naripanweg, dan Nieuwe Weg (jalan baru). Akibatnya, toko piano J.H. Seelig harus dibongkar, kampung di belakangnya harus dibubarkan, dan jalannya akan bertemu dengan pinggir penjara, dan lurus ke ABC-straat (Sipatahoenan, 2 Maret 1938).
Konon, sambungan jalan dari Braga ke Suniaraja dan Naripan ke Groote Postweg itu mengisyaratkan pula pembangunan jembatan melewati Sungai Cikapundung yang akan memakan biaya sebesar 80.640 gulden. Pekerjaannya dilakukan oleh N.V. Volker Aanemings Mij (Sipatahoenan, 15 April 1939).
Selain itu, di sekitar Blok 16D terjadi pengaspalan pada gang-gang baru, yaitu Gang R. Soemarmo dan Gang S. Tisnasendjaja (“Ajeuna sadjabana gang noe kaseboet bieu, geus beres diaspalna gang noe anjar, mapaj ka tengah lemboer, noe kahidji ti Gang Djambatanbaroe bras ka Gang Noerrasid, dingaranan Gang R. Soemarmo. Noe kadoea ti Gang Noerrasid bras ka Gang Aboebakar ngaranna Gang S Tisnasendjaja, kari anoe katiloe ti Gang Aboebakar ka Djambatanbaroe beulah koelon”) (Sipatahoenan, 9 Agustus 1939).
Pada sidang dewan Kota Bandung, 23 Agustus 1939 malam, yang menjadi agenda pertemuan antara lain membahas permohonan van Hengst untuk membuat jalan baru di sekitar Gang Sapoeran, permohonan penduduk Gang Parendeng untuk mengganti nama gang menjadi Verlengde Pasoendanweg, permohonan Mr. Visser supaya Hobemaweg menjadi Irene-boulevaard, dan jalan baru di sekitar kompleks Sindangsore diberi nama Poetrilaan.
Urusan penamaan jalan memang tidak mudah, sehingga tidak bisa memperkuat ungkapan Inggris, what is in a name! (“Henteu, henteu atawa lain perkara tjetek ngaran teh; djadi teu bisa ngiatkeun babasan Inggris di loehoer”). Ini berkaitan dengan permohonan agar Gang Loerah diganti Laan de Wolf yang menimbulkan perdebatan dalam sidang dewan Kota Bandung tanggal 23 Agustus 1939.
Menurut pendapat Ir. Oekar Bratakoesoemah, bila tidak ada perlunya tidak usah diganti. Kata Ir. Birzeveld karena lurahnya sudah meninggal. Disambung Moh. Enoch bagaimana bila de Wolf-nya meninggal dunia, sehingga menurutnya lebih baik diubah menjadi Loerahlaan atau Loerahweg. Perdebatan lainnya berkisar di sekitar perubahan Nieuwe Kerkhofweg menjadi Kininefabriekweg. Van der Waals lebih memilih Junghuhnweg, Enoch memilih Singonaweg (nama latin kina), Ir. Dessauvagie mengajukan Kininefabriekweg. Akhirnya yang diterima usulan De Keyzer yang memilih Kinineweg (Sipatahoenan, 24 Agustus 1939).
Menurut agenda sidang dewan Kota Bandung pada 15 Maret 1940, ada pembahasan penamaan jalan di sekitar timur Alun-alun Bandung yang berlanjut ke Groote Lengkong, melalui jembatan baru, dengan istilah Dalem Kaoemweg. Sementara dari Groote Postweg, pinggir Savoy Homann ke selatan melalui Jalan Pangarang hingga jembatan gantung diberi nama Pangarangweg (Sipatahoenan, 14 Maret 1940).
Malam tanggal 21 November 1940, Madjlis B en W mengajukan pengesahan nama jalan yang baru. Di antaranya jalan antara Carpentierstraat yang disebut Tjipaera Zuid; jalan antara Pasoendanweg dan Cikapundung, selatan Djalan Sasak Gantoeng, disebut Gang Hadji Rais; jalan baru dari Gang Asmi ke selatan, ke timur Verlengde Pasoendanweg, diberi nama Gang Kandoeroean Partadisastra; antara Gang Kd. Partadisastra dengan Gang Pangampaan disebut Gang Soebrata.
Selanjutnya, jalan baru ke selatan, di ujung Djalan Pa Baki disebut Gang Maksoedi; simpangan jalan baru dari Gang Maksoedi ke timur disebut Gang W. Wiriadinata; dan simpangan dari Gang W. Wiriadinata ke selatan dan timur diberi nama Gang Hadji Topek. Konon, pemberian nama Tjipaera Zuid adalah atas permintaan penduduk yang tinggal di sana. Sementara yang lainnya memang menggunakan nama-nama orang terkenal di tempat bersangkutan (Sipatahoenan, 22 November 1940).
Pada 1941 banyak juga nama gang dan jalan yang baru digunakan. Menurut Sipatahoenan edisi 31 Januari 1941, Majlis B en W sudah mengajukan permohonan untuk memberi nama jalan kecil di kampung-kampung yang diperbaiki, yaitu di sekitar Cibeunying dan Bungsu. Di sekitar Cibeunying, jalan-jalan baru itu adalah Gang Tjikaso, Gang Madhapi, Gang Samad, Gang Oedin, Gang Moehadi, dan Gang Madtasan. Sedangkan nama-nama baru yang diajukan di sekitar Bungsu adalah Gang Ramli, Gang Lemboer Pandjang, Gang Hardjodiwirjo, Gang Haoer Koening, dan Gang Soewardja.
Beberapa bulan kemudian, Sipatahoenan (28 Oktober 1941) mengabarkan tentang pembangunan perumahan oleh pemerintah Kota Bandung di Cilentah, disusul pelebaran dan penutupan jalan Buahbatu. Selain itu, sudah ada beberapa jalan baru, dari Kleine Lengkong-Oosteinde-Djalan Karapitan hingga Boeahbatoeweg, bertemu dengan Djalan Tjikawo. Demikian pula jalan-jalan baru di perkampungan Kota Bandung yang masih digarap pembangunannya.
Dalam kaitannya dengan pembangunan jalan baru di sekitar Desa Cikawao menyebabkan penduduk yang tinggal di Cikawao, Regol, dan Lengkong banyak menjual tanah miliknya di sekitar Cikawo. Saking banyaknya orang yang menjual tanah hingga menjadi urusan besar, bahkan ada yang harus berurusan dengan hukum. Di antaranya dua orang lurah harus berurusan dengan pengadilan akibat jual-beli tanah itu (Sipatahoenan, 1 November 1941).