• Kolom
  • RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (18): Kompleks Ikan Asin di Andir

RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (18): Kompleks Ikan Asin di Andir

Jap Loen, saudagar Tionghoa yang membangun pasar ikan asin Andir. Namanya sempat diabadikan pada Djalan Jap Lun yang kemudian menjadi Jalan Kakap.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Toko-toko ikan laut di Jalan Teri, salah satu jalan di Kompleks Ikan Asin, Andir, Kota Bandung, Senin (4/4/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

17 April 2022


BandungBergerak.id - Saya tidak tahu apakah ada hubungannya antara potret-potret yang menyajikan kolam ikan di sekitar Andir dalam koleksi KITLV dan Pasar Ikan Ciroyom sekaligus toko-toko ikan asin di Pasar Andir? Namun, yang pasti, dalam koran-koran lama saya menemukan beberapa tulisan yang berpautan dengan ikan laut di Bandung.

Ini saya temukan dalam AID de Preanger-bode edisi 1913 hingga Bataviaasch Nieuwsblad (BN) tahun 1920. Dalam berita-berita itu antara lain disebutkan ikan-ikan laut yang tersedia di Bandung berasal dari pelabuhan Tanjung Priok melalui kereta api ke Bandung atau dari Cirebon. Para penyedianya orang Tionghoa.

Saya juga tidak tahu apakah bisnis ikan laut itu ada hubungannya dengan penamaan kompleks ikan asin di daerah Andir saat ini? Mengingat yang mengusulkan kompleks penamaannya adalah Jap Loen pada 1923. Oleh karena itu, agar duduk perkaranya jelas, saya akan mulai mengurai dulu data bisnis ikan laut di Bandung. Setelah itu saya akan membahas sosok Jap Loen berikut kiprahnya di Bandung.

Ngabedahkeun kolam ikan di sekitar Andir tahun 1923. (Sumber: KITLV 141156)
Ngabedahkeun kolam ikan di sekitar Andir tahun 1923. (Sumber: KITLV 141156)

Bisnis Ikan Laut di Bandung

Dalam tulisan “Zeevischhandel te Bandoeng” (niaga ikan laut di Bandung) dalam AID (13 November 1913), mula-mula dikatakan sangat disayangkan penghuni Hindia Belanda yang dikelilingi laut jarang mendapatkan ikan laut segar. Keluhannya tidak hanya muncul dari pedalaman, tapi juga dari kota pesisir. Padahal komunikasi antara pesisir dan pedalaman tak lagi jadi kendala.

Data menunjukkan laut di utara Batavia, Karawang, dan Pemalang dikenal sebagai tempatnya ikan. Demikian pula Selat Sunda, Selat Maurits, Dirk de Vries, dan Wijnkoopsbaai (Palabuhanratu). Di daerah itu ditemukan ikan layur, tengiri, tongkol, kakap, belanak, bawal, teri, kembung, layang, selar, bandeng, cucut, lemuru, kura, dan lain-lain. Di sisi lain, impor ikan asin dari Siam masih sangat besar. Sementara Kongsi Tionghoa yang menguasai niaga ikan laut membiarkan usahanya tetap kecil, tetapi melumpuhkan setiap pesaingnya.

Perairan Batavia sepenuhnya dikuasai Tionghoa. Kru perahu nelayan hanya mendapatkan 0,25 gulden per hari, sementara juragannya mendapatkan 2,5 gulden. Nelayan mengirimkan ikan dengan harga pasar kepada kalangan Tionghoa, dalam takaran, dengan harga antara 2 hingga 5 gulden. Kalangan Tionghoa pula yang menyelenggarakan pasar ikan, yang sebagian besar dibeli pihak hotel sebagai langganannya, sehingga sedikit ikan segar yang tersisa untuk pasar.

Itulah sebabnya, impor ikan dari luar negeri, terutama Siam, tetap sangat penting. Dalam kerangka memperluas niaga ikan dari kota-kota pesisir Priangan, penulis menyarankan agar dipindahkan ke Bandung. Konon, selama sepuluh bulan lalu bisnis ikan laut segar di Bandung mulai berkembang. Ini terutama karena upaya bagian niaga dan transportasi Jawatan Kereta Api (Afdeeling handel en vervoer der spoorwegen) yang memberi peluang untuk mendapatkan ikan segar setiap hari di Bandung.

Pengusaha Tionghoa di Bandung, Lauw Eng Don, memperolehnya dari emplasemen Jawatan Kereta Api melalui kereta api ekspress pukul 11.00. Mula-mula yang diperolehnya sebanyak 20 kilogram setiap harinya dan diharapkan terus dapat meningkat hingga 150 kilogram per hari dengan harga 10 sen per pon. Bila demikian, kata penulis, orang Bandung akan dapat makan ikan laut lebih murah ketimbang di Batavia.

Dalam tulisan sambungannya (AID, 17 November 1913), penulis menyatakan ikan merupakan dagangan populer di Bandung, terutama bagi orang Eropa. Ikan laut yang dijual di Bandung terutama kakap, bawal, kembung, dan bandeng. Ikan-ikan itu tidak dibeli bangsa pribumi karena harganya mahal. Tetapi bila pribumi mulai mengonsumsi ikan layur, cucut, dan layang, yang lebih murah, kebutuhan ikan laut di Bandung akan mencapai ribuan kilogram setiap harinya.

Ikan-ikan laut di Bandung terutama berasal dari Cirebon, Indramayu dan Priok. Kadang-kadang ada kiriman dari Tegal dan Pekalongan. Perimbangan harga ikannya antara lain dapat digambarkan 1 pon ikan kakap di Batavia seharga 50 sen, 30 sen di Tegal, dan 45 sen di Bandung.

Masalahnya, kata penulis, kadang-kadang tidak ada ikan selama berhari-hari. Kereta berisi ikan tangkapan pagi dari Priok dan tiba di Bandung pada pukul 11.00, menyebabkan ikan hanya dapat dijual di sekitar waktu itu. Itu sebabnya, ibu rumah tangga yang hendak memasak ikan pada pukul 09.00 takkan dapat melakukannya. Masalah lainnya kadang ikan rusak pun dijual.

Itulah sebabnya, penulis lebih menyarankan agar Bandung mendapatkan ikan dari Indramayu, Cirebon, Tegal dan Pekalongan. Karena ikan-ikan dari sekitar itu dapat tiba di Bandung pada pukul 07.00 malam, dengan syarat dipak dalam es oleh pihak Jawatan Kereta Api. Karena iklim Bandung, ikan dalam es akan dapat bertahan sehari setengah setelah tiba di Bandung.

Tujuh tahun sejak itu, apakah bisnis ikan laut di Bandung sudah berubah? Jawabannya antara lain dapat disimak dari BN edisi 2 September 1920.

Ternyata sebagaimana yang dicita-citakan penulis tahun 1913 itu memang terjadi. Dalam BN 1920 dikatakan Bandung seakan diberi hak istimewa, melebihi kota pesisir. Ikan laut dari Cirebon, terbungkus es, dibawa dalam gerbong kereta api ke Cikampek. Setelah berganti kereta, dari sana ikan tiba sore hari yang sama di Bandung. Selama satu malam, ikan disimpan di gudang dekat pasar. Baru esok harinya pukul 06.00 diperiksa dan diberi titimangsa kedatangannya.

Orang yang butuh ikan tinggal datang ke situ. Sisanya baru dijual ke pasar. Namun, konon, beberapa bulan lalu, sebuah kongsi hendak mengambil niaga ikan seluruhnya dan mencoba melelangnya di sebuah ruangan. Namun, pelelangan tidak berlangsung lama, dan kembali ke cara lama. Masalah kemudian timbul, ketika Jawatan Kereta Api menghentikan gerbong ikan selama beberapa jam di Cikampek, lalu dilanjutkan ke Bandung dengan kereta lambat. Dampaknya, waktu tiba di Bandung menjadi 36 jam, esnya sudah mencair, dan ikan membusuk.

Akibat seterusnya orang Eropa tidak kebagian ikan laut dan ikan laut yang busuk dijual kepada warga pribumi. Wali kota Bandung sudah berupaya memulihkan keadaannya, tetapi tidak berhasil. Jawatan Kereta Api sangat lambat menanggapinya. Sementara ikan darat dari sawah atau tambak pribumi, tidak disukai kalangan Eropa.

Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (17): Kompleks Babatan
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (16): Kompleks Wayang di Cicendo
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (15): Indisch Bronbeek Suka Karang dan Sirna

Jap Loen (1874-1938), saudagar dan kontraktor pendiri kompleks ikan asin di Andir. (Sumber: Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008: 101)
Jap Loen (1874-1938), saudagar dan kontraktor pendiri kompleks ikan asin di Andir. (Sumber: Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008: 101)

Kiprah Jap Loen

Biodata Jap Loen (1874-1938) dapat dibaca dari Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008: 101) susunan Sam Setyautama dan ‎Suma Mihardja.

Di situ disebutkan Jap lahir di Batavia pada 1874. Saat berusia tujuh tahun ia tinggal di Tiongkok dan baru kembali ke Pulau Jawa saat berusia 12 tahun. Dari Batavia, ia kemudian pindah ke Bandung dan mulai berbisnis. Konon, pada masa Perang Dunia II, ia banyak beroleh keuntungan sehingga dapat membeli 130 pintu rumah di Pasar Andir.

Atas kiprahnya di Bandung, namanya diabadikan sebagai nama jalan dan lapangan di sekitar Andir. Di bidang organisasi, Jap dikenal sebagai salah seorang pendiri Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) Bandung, pendiri Siang Hwee Bandung tahun 1930, dan menjadi anggota pemerintah Kota Bandung. Ia memiliki perusahaan Jap Loen & Co dan N.V. Bouw Mij Tjoan Seng.

Bila membaca keterangan itu, kita mendapatkan fakta yang nampak berseberangan. Salah satunya yang paling nampak Jap Loen disebutkan meninggal dunia pada 1938, tetapi beroleh keuntungan ketika Perang Dunia II. Padahal kita tahu Perang Dunia II baru terjadi sejak 1939. Ditambah keterangan dia menjadi anggota pemerintah Kota Bandung, padahal yang betul menjadi anggota dewan Kabupaten Bandung.

Oleh sebab itu, saya akan menelusuri jejak langkah Jap Loen atau Yap Loen dari keterangan sezaman yang tersaji dalam koran-koran berbahasa Belanda. Berita paling lama tentang kehadiran Jap di Bandung berasal dari pemberitaan tahun 1909. Dari AID (3 Juli 1909) diperoleh keterangan Jap Loen diangkat menjadi ketua perhimpunan Hong Hwa Tong, dan wakilnya Na Tjoe. Ihwal perhimpunan Siang Hwee juga dapat dikoreksi dari De Expres edisi 17 April 1913. Karena dari koran itu diperoleh katerangan Jap terpilih lagi menjadi ketua Siang Hwee Bandung. Ini mengandung arti tidak betul Siang Hwee Bandung didirikan oleh Jap pada 1930.

Dari berita-berita lama juga mengemuka bukti kedermawanan Jap. Dalam AID (1 Juni 1915), diwartakan ia yang saat itu beralamat di Kaca-Kaca Kulon terlibat menjadi anggota komite Opera Derma Gie Boe Hie untuk penggalangan dana demi Republik Tiongkok. Saat Opera Ay Kok Koan itu diselenggarakan di Apollo-theater, Soeniaradjaweg, Jap berderma sebesar 300 gulden (AID, 24 Juni 1915).

Toko-toko ikan laut di Jalan Teri, salah satu jalan di Kompleks Ikan Asin, Andir, Kota Bandung, Senin (4/4/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Toko-toko ikan laut di Jalan Teri, salah satu jalan di Kompleks Ikan Asin, Andir, Kota Bandung, Senin (4/4/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Jap Loen memberi sumbangan 3.000 gulden demi terbangunnya gedung THHK yang baru, selain derma dari ketuanya Poei Kok Goan sebesar 10.000 gulden, Tan Joek Tjong 5.000 gulden, dan Tan Tek Goan 3.000 gulden (AID, 7 Agustus 1918). Untuk Steun-comité Jaarbeurs atau komite dukungan Jaarbeurs, Jap memberi 100 gulden (AID, 2 Maret 1921). Untuk pembukaan rumah sakit Gemeente Bandung pada 15 Oktober 1923, ia berderma selimut (AID, 15 Oktober 1923).

Sementara bukti betapa kayanya Jap terbukti dari berita tentang kebakaran di Pasar Atas Cimahi pada 12 September 1918. Menurut kabar AID (13 September 1918), kebakaran itu bermula dari gudang tapioka Te Bo Hin yang kemudian melalap kompleks di sekitarnya dengan area mencakup 2.500 meter persegi, termasuk gudang dan rumah milik Jap.

Meski demikian, untuk perusahaannya Bouw Mij. Tjoan Seng, ia mengajukan dua proposal pemerolehan properti (AID, 26 September 1918). Selanjutnya, bersama H.S.J. de Wijs (apoteker), W.F.H. Cramer (pensiunan pejabat), Tan Djin Gie (saudagar), Ph. Laoh (dokter), Raden Mohamad Saleh (dokter), F. van der Eist (asisten apoteker), Nyonya S.J. Brederode, dan D. Romijn (asisten apoteker militer), ia mendirikan N.V. Soeniaradja Apotheek dengan modal 50.000 gulden (AID, 17 September 1920).

Selain itu, Jap Loen terlibat dalam pembentukan De Nederlandsche Indie Anti-Opium-Vereeniging pada 1927. Ketuanya P.R.W. van Gesseler Verschuir, wakilnya K. Jochems, sekretaris Wennekendonk, bendahara J.J.B. Ostmeier, dengan anggota Nyonya J. van der Weyden, prof. H. M. Neeb, Raden Adipati Aria Wiranata Koesoema, Tjen Djin Tjong, Poey Ko Goan, Ong Soe Aan dan Yap Loen (De Indische Courant, 26 Februari 1927).

Sedangkan sebagai anggota dewan Kabupaten Bandung yang mewakili kalangan Tionghoa, Jap Loen bersama Kwee Mong An terpilih pada tahun 1929 (BN, 27 September 1929) dan tahun 1933 terpilih bersama dengan Kwee Liang An (De Koerier, 20 September 1933).

Sejak 1923, jalan-jalan di sekitar kompleks yang dibangun oleh Jap Loen itu diberi nama ikan baik laut maupun darat. (Sumber: Kaart van de Gemeente Bandoeng/KK 162-01-07, 1933)
Sejak 1923, jalan-jalan di sekitar kompleks yang dibangun oleh Jap Loen itu diberi nama ikan baik laut maupun darat. (Sumber: Kaart van de Gemeente Bandoeng/KK 162-01-07, 1933)

Mendirikan Kompleks Ikan Asin

Bagaimana kaitan Jap Loen dengan kompleks ikan asin di Kecamatan Andir? Jawabnya sangat erat, karena dialah yang menjadi kontraktor pembangunannya.

Rencana pembangunannya sendiri sudah mengemuka sejak 1917. Dalam AID (29 Desember 1917), tersiar kabar Jap akan membangun kompleks sekitar 80-90 toko untuk niaga ikan (visch-negoties). Untuk keperluan itu, ia akan membangun jalan pribadi. Pemerintah Kota Bandung saat itu sedang membangun terusan Jalan Kebon Jati di sekitar Pasar Andir, yang disebut sebagai Waringinweg.

Secara resmi, Jap mengajukan pembangunan jalan itu kepada pemerintah Kota Bandung pada Mei 1918 (AID, 13 Mei 1918). Ternyata permohonannya dikabulkan dalam sidang dewan Kota Bandung (AID, 17 Mei 1918).

Setahun kemudian dikabarkan kompleks toko ikan milik Jap di Pasar Andir sedang dibangun. Diperkirakan harga sewanya antara 25-30 gulden per bulan. Di sana diperkirakan akan ada 60 orang Tionghoa yang punya 20-25 toko ikan (AID, 14 September 1919).

Pada 1921, dewan Kota Bandung antara lain membahas syarat-syarat khusus penerbitan kepemilikan properti di Pasar Andir, pembersihan lahan untuk pembangunan Pasar Andir oleh Jap Loen, Seng Tay, dan Gouw An Kim Tjeng (AID, 17 Maret 1921). Syarat-syaratnya dikabulkan, dan sebagian lahan umum di Pasar Andir sudah digunakan. Dengan catatan, meliputi 1.732 meter persegi lahan yang diajukan oleh Jap di Desa Andir (AID, 24 Maret 1921). Permohonan Jap untuk membuat jalan di sebelah barat Pasar Andir juga dibahas dewan Kota Bandung (AID, 1 Desember 1921).

Dalam perkembangannya, pembanguan rumah-rumah toko di sekitar Pasar Andir oleh Jap yang juga dimaksudkan untuk menjual ikan asin (verkoop van zoutevisch), disebutkan tidak akan selesai pada Maret 1922 sehingga ordonansi ikan asin (zoutevisch-verordening) akan diajukan oleh wali kota Bandung pada 1 Mei 1923 (AID, 20 Desember 1921).

Kompleks yang dibangun oleh Jap itu disebut “zoutevisch-buurt van Yap Loen” (AID, 29 Juli 1922) atau “De Kaviaarbuurt” atau “Petak Jap Loen” (BN, 1 Agustus 1922). Harga sewanya berkisar di sekitar 40-75 gulden per bulan. Kompleks itu juga disebut sebagai “De Yap Loensche vischwijk” (AID, 29 November 1923).

Atas nama Jap, dalam sidang dewan Kota Bandung pada 20 Desember 1922, Tjen Djin Tjiong mengundang wali kota, anggota dan ketua dewan pada perayaan pembukaan kompleks Pasar Ikan Asin (AID, 21 Desember 1922). Perayaannya sendiri dilakukan Jum’at, 22 Desember 1922. Saat itu, hadir Asisten Residen Bandung Hardeman, Wali Kota Bandung B. Coops, perwakilan polisi, Van Galen Last, Lamers, Van den Dungen Gronovius, Smith, wedana, dll (AID, 23 Desember 1922). Hiburannya antara lain kembang api, wayang golek, gamelan, wayang cina, dan komedi stambul (BN, 26 Desember 1922).

Akhirnya, dalam sidang dewan Kota Bandung pada 7 Mei 1923 dibahas permohonan Jap Loen untuk memberi nama jalan-jalan dalam kompleks ikan di Andir (AID, 8 Mei 1923). Dengan demikian, inilah yang menjadi asal-usul mengapa di sekitar Pasar Andir ada Japloen-straat, Teri-straat, Sepat-straat, Pepetek-straat, Djambal-straat, Gaboes-straat, Japloen-plein, dan Peda-straat.

Pada 1950, semua nama jalan itu tidak mengalami perubahan. Kecuali penyesuaian istilah “straat” menjadi “djalan” dan “plein” menjadi “lapangan” (Perubahan Nama Djalan-djalan di Bandung, 1950). Sekarang, jalan-jalan itu termasuk Kelurahan Ciroyom, Kecamatan Andir, dengan nama hampir semua sama, kecuali Djalan Jap Lun yang menjadi Jalan Kakap.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//