• Kolom
  • RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (12): Lembah Cikapundung dan Pemandangan ke Gunung

RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (12): Lembah Cikapundung dan Pemandangan ke Gunung

Di Bandung terdapat jalan dengan nama-nama berdasarkan khazanah legenda Sunda. Misalnya, Jalan Munding Laya, Lebak Siliwangi, dan sebagainya. Bagaimana ini bermula?

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Nama-nama jalan di kawasan Taman Sari, Bandung, diambil dari nama tokoh legenda Sunda. Salah satunya jalan Munding Laya, Selasa (8/1/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

27 Februari 2022


BandungBergerak.idPada masa Wali Kota Bandung R. Moh. Enoch (1949-1957), seluruh nama jalan di sekitar Kelurahan Lebak Siliwangi (Kecamatan Coblong) dan Kelurahan Tamansari (Kecamatan Bandung Wetan) diubah menjadi nama-nama yang ditimba dari khazanah legenda, terutama cerita pantun, dan sejarah Sunda.

Sejak itu hingga sekarang, di sekitar Lebak Siliwangi ada Jalan Badak Singa, Jalan Mundinglaya, Jalan Gelap Nyawang, Jalan Dayang Sumbi, Jalan Ciung Wanara, Jalan Siliwangi, dan Jalan Sumur Bandung. Sementara di Tamansari ada Jalan Sawunggaling, Jalan Rangga Malela, Jalan Ranggagading, Jalan Kidang Pananjung, Jalan Hariangbanga, Jalan Wastukancana, Jalan Pajajaran, Jalan Purnawarman, Jalan Linggawastu, dan Jalan Sulanjana.

Bagaimana awalnya? Bila membaca Perubahan Nama Djalan di Bandung (1950) ternyata kompleks itu dulu terdiri atas kompleks para penulis, perintis pembangunan Technische Hoogeschool (TH, ITB) dan arsitek yang termasyhur di Bandung, penerbang yang meninggal di Bandung, dan dua wali kota Bandung. Ada juga yang diambil dari nama perintis radio di Hindia Belanda.

Dua kelurahan di dua kecamatan yang berbeda itu pada zaman Hindia Belanda termasuk pada tiga rencana pembangunan yang dihelat pemerintah Kota Bandung sejak 1917. Mengenai hal ini dapat dilihat dari Prospectus voor de Uitgifte van Gronden, terbitan 1923 dan 1931. Dari dua buku itu, saya tahu kompleks khazanah legenda dan sejarah Sunda termasuk bagian dalam rencana pembangunan ketiga (Plan III), kedelapan (Plan VIII) dan keempat a (Plan IVa).

Plan III dan Plan VIII terletak di sebelah barat Dagoweg dan berbatasan dengan lembah Cikapundung atau antara lain melingkupi Huygensweg (Jalan Taman Sari), Tjikapajangweg (Jalan Cikapayang), De Klerkweg (Jalan Mundinglaya), De Bazelweg (Jalan Badak Singa), Maclaine Pontweg (Jalan Gelapnyawang), Berlageweg (Jalan Ciung Wanara), Ijzermanpark (Taman Ganesha), dan Dr. de Grootweg (Jalan Siliwangi).

Peta rinci pembangunan dalam Plan VIII, sekitar lembah Cikapundung, dengan bangunan utama ada di kompleks ITB. (Sumber: Prospectus voor de Uitgifte van Gronden, 1923)
Peta rinci pembangunan dalam Plan VIII, sekitar lembah Cikapundung, dengan bangunan utama ada di kompleks ITB. (Sumber: Prospectus voor de Uitgifte van Gronden, 1923)

Lembah ini seluruhnya dimaksudkan sebagai taman. Pembangunannya dimulai dengan Jubileumpark yang terdiri atas tujuh bangunan besar. Bangunan utamanya adalah TH. Di sebelah selatannya ada Ijzermanpark, taman paling indah di Bandung, yang bertahap diperluas berdasarkan rencana yang telah dirancang sebelumnya oleh Ir. Maclaine Pont, yang juga merancang TH.

Dengan demikian, lingkungan di selatan TH menjadi paling indah dan paling tenang di Bandung. Semuanya dikelilingi lapangan dan taman-taman publik, sejumlah lahan yang terbatas diperuntukkan bagi perumahan, yang sebagian di antaranya memiliki pemandangan paling indah di lembah Cikapundung serta pemandangan ke gunung-gunung di sekitarnya. Oleh karena itu, sejak awal permukiman di daerah ini diproyeksikan sebagai tempat tinggal elite, terutama bagi para dosen TH. 

Sementara di sebelah utara TH, pemerintah Kota Bandung kala itu menyediakan lahan berbagai ukuran bagi orang yang suka tinggal di luar ruangan. Konon mulanya harga lahan di sini sangatlah rendah, tetapi memberi kenyamanan hidup layaknya di tengah kota, dengan adanya sambungan telepon, pipa air, penerangan gas dan listrik. Khususnya lahan di sepanjang Dr. de Grootweg (Jalan Siliwangi) sangat ideal bagi pembangunan rumah perdesaan yang kecil maupun besar, sehingga dapat membentuk satu taman. Pemandangan ke kolam pamijahan ikan milik Departement van Landbouw juga jadi keunikan tersendiri.

Sementara Plan IVa terbentuk oleh lahan-lahan pada Engelbert van Bevervoordeweg (Jalan Wastukancana) dan Sim de Ruyterweg (Jalan R.E. Martadinata). Lahan-lahan di sini sejak awal sudah banyak dibeli dan didirikan bangunan, sebagian masih ada dijual, paling tidak hingga 1923. Karena sambungan ke jalan dengan dinding cadas setinggi 3 meter dan lokasinya yang relatif berada pada ketinggian, sehingga bebas dari debu dan tidak ada halaman depan. Lahan-lahan di sini meski harganya tinggi tapi banyak yang membelinya, dengan alasan dekat ke pusat kota.

Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (9): Wali Kota Mengusulkan Kompleks Sungai
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (10): Kompleks Burung di Sadang Serang
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (11): Kompleks Provinsi, Pelukis, dan Anggota Kerajaan Belanda

Engelbert van Bevervoordeweg (Jalan Wastukancana) diambil dari nama penerbang Kapten J. Engelbert van Bevervoorde (1881-1918) yang meninggal pada 11 September 1918. (Sumber: KITLV 6467)
Engelbert van Bevervoordeweg (Jalan Wastukancana) diambil dari nama penerbang Kapten J. Engelbert van Bevervoorde (1881-1918) yang meninggal pada 11 September 1918. (Sumber: KITLV 6467)

Dua Villa Park

Bagaimana pembangunan jalan di sekitar kompleks khazanah legenda dan sejarah Sunda itu dulu?

Berdasarkan peta Bandoeng (1921) yang dibuat berdasarkan keputusan dewan Keresidenan Priangan tanggal 8 April 1921 nomor 4018/3, jalan-jalan di sekitar kompleks TH belum jadi, masih berupa titik-titik putus, belum diberi nama. Sementara di sebelah selatannya baru ada Dacostaboulevard (Jalan Sawunggaling) dan Bilderdykstraat (Jalan Rangga Malela). Di sebelah selatan dari situ ada juga jalan putus-putus yang sudah diberi nama Engelbert van Bevervoordeweg

Tiga tahun kemudian, dalam peta Plan of Bandoeng (1924) di kompleks TH baru ada dua jalan yang sudah diberi nama, yaitu Hogeschoolweg (Jalan Ganesha) dan Huygensweg (Jalan Tamansari). Sebagian lainnya masih titik-titik putus. Kemudian di antara Dacostaboulevard dan Bilderdykstraat, sudah bertambah dengan jalan yang diberi nama Multatuli-boulevard (Jalan Sulanjana), Bosscha-boulevard (Jalan Ranggagading), dan Vondelstraat (Jalan Hariangbanga). Yang menarik, di sana ada disebut sebagai Entree Villa Park (pintu masuk ke Villa Park) dan keseluruhan kompleks boulevard itu disebut sebagai Villa Park. Namanya terus bertahan hingga 1935, sebagaimana yang saya lihat dalam peta Bandoeng (1935).

Dari penelusuran pustaka, Villa Park di sekitar Tamansari itu merupakan yang kedua di Bandung setelah sebelumnya ada di sekitar Jalan Veteran dan Jalan Sunda. Dalam  AID De Preanger-bode (3 Oktober 1917) diwartakan tentang Geldens dan Roos, arsitek di Batavia, yang punya usaha properti Bouw Mij. De Woning. Mereka membeli tanah seluas 15.000 meter persegi dari janda Meijl di Boengsoeweg dan rel kereta api di sebelah timur. Maksud mereka adalah untuk mendirikan Villa Park, yang terdiri atas dua rumah tinggal yang besar dengan paviliun ganda dan di belakangnya satu blok yang berisi 14 villa kecil, sehingga totalnya 20 rumah.

Bouw Mij. De Woning juga membeli Het Christelijk militair tehuis yang ada di Cibunut atau Verlengde Oosteinde dari Van de Stoot, dengan harga 40.000 gulden. Mereka memang membutuhkan lahan baru untuk memperluas usaha Villa Park-nya. Padahal, konon, semula bangunan tua itu hampir kosong sebelum diisi tentara yang bermukim di sana. Namun, sejak daerah itu dibuka jalan lebar dan besar, Oosteinde (Jalan Sunda), harganya menjadi mahal (AID, 15 Maret 1918).

Pada 1924, di kompleks ITB baru ada dua jalan yang sudah diberi nama, yaitu Hogeschoolweg dan Huygensweg, dan yang lainnya masih titik-titik putus. Sumber: Peta Plan of Bandoeng (1924), KK 161-05-10.
Pada 1924, di kompleks ITB baru ada dua jalan yang sudah diberi nama, yaitu Hogeschoolweg dan Huygensweg, dan yang lainnya masih titik-titik putus. Sumber: Peta Plan of Bandoeng (1924), KK 161-05-10.

Kemudian setelah Kapitein der Infanterie-vliegenier Jan Engelbert van Bevervoorde (1881-1918) mengalami kecelakaan saat mengemudikan pesawat terbang di Sukamiskin hingga meninggal pada 11 September 1918, ada gagasan untuk menjadikannya nama jalan. Mulanya, hal ini dipicu petisi yang disampaikan oleh warga Bandung yang kemudian pindah ke Surabaya, E.A. Tissot van Patot. Ia menawari pemerintah Kota Bandung lahan miliknya di antara jalan Cikapundung-Lembangweg secara gratis. Tissot memohon agar pembangunan jalannya segera direalisasikan.

Proposal Tissot diterima dan dibahas oleh dewan Kota Bandung dalam sidangnya tanggal 18 Februari 1918. Menurut rencananya, saat itu titik sambung bagian utara dan timur Bandung dengan Lembangweg adalah Merdika Lio dan pembangunannya menjadi bagian dari rencana perluasan kota. Jalan-jalan yang dibangunnya berupa boulevard. Dengan adanya jalan baru yang disebut Nieuw Lembangweg maka tersedia pula lahan perumahan. Konon bagian pertama boulevard itu sudah diberi nama jalan Engelbert van Bevervoordeweg oleh pemiliknya, setelah berkonsultasi dengan pemerintah Kota Bandung.

Penamaan itu merupakan penghargaan kepada penerbang yang warga Bandung dan meninggal dunia saat latihan. Oleh karenanya, namanya perlu diabadikan sebagai nama jalan, bahkan konon akan didirikan monumennya di depan bangunan publik di tepi kiri Sungai Cikapundung, yang bila memandang ke bawah akan terlihat jembatan serta jalan yang menggunakan namanya.

Pemilik lahan telah merancang peta zonasi yang menggambarkan hampir semua rumah yang akan dibangun di atas 16 persil dan pemandangannya indah tidak terhalang apa pun. Beberapa di antaranya bahkan terarah ke Gunung Tangkuban Parahu dan Burangrang tanpa terhalang-halang bila dilihat dengan arah membujur dari lembah Cikapundung. Rencana baru ini, konon seperti rencana Villa Park (AID, 16 Maret 1919).

Demikianlah, kita jadi mengerti mengapa dulu kompleks boulevard itu disebut sebagai Villa Park, termasuk Entree Villa Park, di sekitar Jalan Sulanjana, Jalan Ranggagading, Jalan Rangga Malela, Jalan Sawunggaling, dan Jalan Tamansari. 

Nama-nama jalan di kawasan Taman Sari, Bandung, diambil dari nama tokoh legenda Sunda, Selasa (8/1/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Nama-nama jalan di kawasan Taman Sari, Bandung, diambil dari nama tokoh legenda Sunda, Selasa (8/1/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Nama-nama Jalan Baru

Sekarang marilah beralih kepada keterangan-keterangan dalam guntingan koran sezaman. Dalam koran AID edisi 15 Februari 1921, ada berita bertajuk “Nieuwe Straatnamen” (nama-nama jalan yang baru). Pada awal warta dikatakan pekerjaan untuk membangun jalan yang mempertemukan Lembangweg dengan Nieuw Merdika terus dilakukan.

Jalannya baru selesai ke arah Cikapundung dan pembangunan jembatan yang melintasi sungainya juga sudah dimulai. Ruas Lembangweg-Tjikapoendoeng telah diberi nama yang menggunakan nama penerbang Engelbert van Bevervoorde, sementara ruas di timur sungai ditambah perluasan ke arah barat Riouwstraat, juga akan diberi nama jalan dari nama penerbang yang juga meninggal karena kecelakaan, Sim de Ruijterlaan. Sementara pada sekitar Radio Park (perumahan untuk pegawi dinas radio) antara lain akan diberi nama jalan Antenne- straat, Radio-straat, De Groot-straat dan Marconi-plein.

Sejak awal Maret 1921, ada pembicaraan untuk mengubah nama-nama jalan yang menggunakan kata boulevard menjadi straat. Ini mulai mengemuka dalam rapat dewan Kota Bandung pada 2 Maret 1921. Wali kota Bandung menyarankan agar mengubah Multatuli-boulevard, Tjiliwoeng-boulevard, Dacosta-boulevard, Bosscha-boulevard dan Tjitaroem-boulevard menjadi Multatulistraat, dan seterusnya (AID, 22 Maret 1921).

Dari AID edisi 23 Maret 1921 yang antara lain berisi laporan rapat dewan Kota Bandung pada 22 Maret 1921, saya jadi tahu salah satu agenda diskusinya mengenai “Straatnamen” (nama-nama jalan, terutama berkaitan dengan isu mengenai boulevard, “kwestie boulevards”). Selain itu, salah seorang anggota dewan Van Heerde menyatakan jalan-jalan di sekitar Villa Park secara resmi belum diberi nama. Kata ketua sidang, penamaan itu masih mungkin dilakukan.

Itu sebabnya dalam berita AID selanjutnya ada pengajuan resmi nama-nama jalan baru oleh pemerintah Kota Bandung. Sepanjang yang berkaitan dengan kompleks khazanah legenda dan sejarah Sunda, saya antara lain menemukan Burgemeester Coopsweg (Jalan Pajajaran), Entree Villapark, Engelbert van Bevervoordelaan, De Groot-straat, Hoogeschoolweg, Huygensweg, dan De Ruyterlaan (AID, 30 April 1921). Saya menduga pada masa ini pula lahirnya nama-nama Jubileumpark, Ijzerman Park, Burgemeeter Kuhrweg, De Bazelweg, De Klerkweg, Maclaine Pontweg, dan Berlageweg.

Kecuali Kapitein Gielweg (Jalan Linggawastu) yang pasti baru digunakan setelah Januari 1923, karena Kapitein der Infanterie-vliegenier W.H.F. Giel (1884-1923) mengalami kecelakaan pesawat terbang dan meninggal dunia pada 25 Januari 1923. Selain itu, saya mendapatkan data tambahan bahwa jalan-jalan di sebelah barat Dagowerg dan belakang TH, selesai dibangun dan diberi nama Lammingaweg (Jalan Sangkuriang), Ghijselweg (Jalan Taman Sari), dan Van Hoytemaweg (Jalan Sumur Bandung) pada September 1932 (De Koerier, 20 September 1932).

Dengan demikian, bila dihimpun, nama-nama jalan di kompleks legenda dan sejarah Sunda itu dulu terdiri atas kompleks penulis dan penyair J. van den Vondel (1587-1679), W. Bilderdijk (1756-1831), Isaac da Costa (1798-1860), dan E.D. Dekker alias Multatuli (1820-1887); perintis TH dan arsitek, yaitu J.W. IJzerman (1851-1932), K.A.R. Bosscha (1865-1928), K.P.C. de Bazel (1869-1923), H.P. Berlage (1856-1934), dan H. Maclaine Pont (1884-1971); penerbang Kapitein der Infanterie-vliegenier J. Engelbert van Bevervoorde (1881-1918) yang meninggal pada 11 September 1918, 1ste Luitenant der Artillerie-vliegenier Sim de Ruijter pada 8 Februari 1921, dan Kapitein der Infanterie-vliegenier W.H.F. Giel pada 25 Januari 1923; dan wali kota Bandung B. Coops (1874-1966) dan J.E.A. Von Wolzogen Kühr (1880-1955). Satu lagi perintis radio di Hindia Belanda, Dr. C.J. de Groot (1883-1927).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//