• Kolom
  • RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (11): Kompleks Provinsi, Pelukis, dan Anggota Kerajaan Belanda

RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (11): Kompleks Provinsi, Pelukis, dan Anggota Kerajaan Belanda

Nama jalan di Kecamatan Coblong yang kini memakai nama tokoh Indonesia abad ke-16 hingga awal abad ke-20, sebelumnya memakai nama-nama provinsi di Belanda.--

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Jalan Kyai Gede Utama, Kota Bandung, Selasa (8/2/2022). Nama-nama jalan di Kecamatan Coblong ini di zaman Belanda sempat memakai nama-nama dari provinsi di Belanda. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

13 Februari 2022


BandungBergerak.idSekarang jalan-jalan di sekitar Kelurahan Citarum (Kecamatan Bandung Wetan) dan Kelurahan Lebak Gede (Kecamatan Coblong) banyak menggunakan nama tokoh Indonesia dari abad ke-16 hingga awal abad ke-20. Di Citarum ada Jalan Aria Jipang, Jalan Maulana Yusuf, Jalan Geusan Ulun, Jalan Sultan Tirtayasa, Jalan Sultan Agung, Jalan Bahureksa, Jalan Wira Angun-angun, Jalan Ranggagempol, Jalan Trunojoyo, dan Jalan Pangeran Kornel.

Sementara di Lebak Gede ada Jalan Raden Patah, Jalan Dipati Ukur, Jalan Singaperbangsa, Jalan Kyai Gede Utama, Jalan Kyai Luhur, Jalan Hasannudin, Jalan Bagus Rangin, Jalan Imam Bonjol, Jalan Teuku Umar, Jalan Tengku Angkasa, Jalan Haji Hasan, Jalan Haji Wasid, Jalan Tubagus Ismail. Di antara itu ada Jalan Surapati dan Jalan Diponegoro yang lintas kelurahan dan lintas kecamatan.

Bila membaca Perubahan Nama djalan-djalan di Bandung (1950), nama-nama di atas merupakan hasil penetapan Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bandung dalam dua kali sidang, yaitu pada 3 Maret 1950 dan 28 April 1950 (“Vastgesteld bij de Gemeenteraadsvergaderingen ddo. 3 Maart ’50 en 28 April 1950”).

Secara rinci nama-nama jalan di atas itu adalah perubahan dari: Aria Jipang (De Jonghlaan), Sultan Tirtayasa (Frisiastraat), Sultan Agung (Heetjansweg), Bahureksa (Gelriastraat), Wira Angun-angun (Hollandiastraat), Ranggagempol (Limburgiastraat), Trunojoyo (Wenckebachlaan), Geusan Ulun (Brabantiastraat), Maulana Yusuf (Zeelandiastraat), dan Pangeran Kornel (Pieter de Hooghlaan).

Sementara Jalan Raden Patah dari Pahud de Mortagneslaan, Singaperbangsa (Potterlaan), Kyai Gede Utama (Frans Halslaan), Kyai Luhur (van Ostadelaan), Teuku Umar (Sorghvlietlaan), Imam Bonjol (Peltzerlaan), Dipati Ukur (Beatrix Boulevard), Tengku Angkasa (Heytinglaan, Kistlaan), Bagus Rangin (Hobbemalaan), Hasannudin (Bernhardlaan), Haji Hasan (Vermeerlaan), Haji Wasid (Carel Fabritiuslaan), Tubagus Ismail (Harmsenweg). Ditambah Pager Gunung (Jan Steenlaan), Panatayuda (van der Veldelaan), Pangeran Kornel (Pieter de Hooghlaan), Prabu Dimuntur (van Ruysdaellaan), dan Adipati Kertabumi (Nic Maeslaan). Sedangkan Jalan Surapati  dan Irene Boulevard dan Juliana Boulevard, Diponegoro dari Wilhelmina Boulevard dan Rembrandtlaan serta Lapangan Diponegoro dari Wilhelminaplein.

Paling tidak ada tiga kelompok yang dijadikan untuk nama-nama jalan tersebut. Kelompok pertama diambil dari nama-nama provinsi di Kerajaan Belanda, termasuk satu nama untuk Jayapura dahulu kala. Kelompok kedua dari nama-nama pelukis Belanda zaman keemasan dan Barok dan kelompok ketiga berasal dari nama-nama anggota Kerajaan Belanda.

Nama-nama provinsi di Kerajaan Belanda yang dijadikan nama jalan adalah Provinsi Friesland atau Frisia di utara Belanda. Kemudian Provinsi Gelderland atau Guelders atau Gelria di timur, Provinsi Limburg atau Limburgia di daerah paling selatan,  Provinsi Noord-Brabant atau Brabant di selatan, dan Provinsi Zeeland atau Zeeuws di daerah paling barat Belanda. Sementara Hollandia nama lama Jayapura di Nederlands Nieuw-Guinea (Papua Nugini Belanda), sejak 1910.

Sedangkan nama-nama pelukis Belanda yang dijadikan nama jalan antara lain Frans Hals (1582-1666), Rembrandt Harmenszoon van Rijn (1606-1669), Adriaen van Ostade (1610-1685), Carel Pietersz Fabritius (1622-1654), Paulus Potter (1625-1654), Jan Havickszoon Steen (1626-1679), Jacob Isaackszoon van Ruisdael (1629-1682), Pieter de Hoogh (1629-1684), Johannes Vermeer (1632-1675), Nicolaes Maes (1634-1693), dan Meindert Hobbema (1638-1709).

Nama-nama anggota keluarga Kerajaan Belanda yang dijadikan jalan adalah Ratu Wilhelmina (1880-1962) yang memerintah antara 1890-1948, Ratu Juliana (1909-2004) yang menjabat antara tahun 1948 hingg 1980, Pangeran Bernhard (1911-2004) suami Ratu Juliana, Ratu Beatrix (lahir 31 Januar1 1938) yang memerintah antara 1980 hingga 2013, dan Putri Irene (lahir pada 5 Agustus 1939), anak kedua Ratu Juliana dan adik Ratu Beatrix.

Soalnya, lebih dulu mana penamaan antara ketiga kelompok itu? Bagaimana perkembangannya hingga diubah seluruhnya pada tahun 1950? Untuk menjawabnya, saya mengandalkan peta-peta lawas Kota Bandung. Nantinya akan didukung pula keterangan sezaman yang saya timba baik dari pustaka perencanaan Kota Bandung, dan koran-koran berbahasa Belanda maupun Sunda.

Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (8): Kompleks Kayu-kayuan di Cihapit
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (9): Wali Kota Mengusulkan Kompleks Sungai
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (10): Kompleks Burung di Sadang Serang

Peta rinci pembangunan perumahan dalam Plan II. (Sumber: Prospectus voor de Uitgifte van Gronden, 1923)
Peta rinci pembangunan perumahan dalam Plan II. (Sumber: Prospectus voor de Uitgifte van Gronden, 1923)

Peta dan Rencana Tata Kota

Dari peta Plan of Bandoeng (1924), di sekitar Kelurahan Citarum sudah digunakan nama-nama jalan dari provinsi Belanda, nama pelukis baru seorang yang digunakan, yaitu Rembrandt-straat (Jalan Diponegoro), sementara di sebelah utaranya, yang sekarang masuk Kelurahan Lebak Gede masih berupa garis-garis putus, yang menandakan infstrastruktur jalan masih dibangun. Sedangkan ruas jalan yang dikenal sebagai Juliana Boulevard (Jalan Surapati) masih terbangun sedikit, baru berupa tiga titik, ke timur.

Empat tahun kemudian, dalam peta Gemeente Bandoeng (1928) di sekitar Lebak Gede bertambah empat jalan yang diambil dari nama pelukis, yaitu Frans Halslaan, Jan Steenlaan, Potterlaan, dan Van Ostadelaan. Dengan demikian, hingga 1928 sudah ada lima jalan yang menggunakan nama pelukis. Hal itu mengandung arti pembangunan jalan di sekitar Lebak Gede ada yang sebagian selesai antara 1924-1927 sehingga perlu diberi nama. Keadaan ini masih tetap bertahan hingga 1935, sebagaimana yang saya lihat dari peta Bandoeng (1935). Dalam peta tersebut, jalan-jalan di sebelah timur Van Ostadelaan masih tetap berupa garis-garis putus.

Baru dalam peta Bandoeng Town Plan (1945), kompleks pelukis berikut kompleks provinsi dan kompleks anggota Kerajaan Belanda lengkap dituliskan. Ini artinya kompleks pelukis selesai dibangun dan akhirnya bertemu dengan kompleks burung antara 1935 hingga 1942, karena antara 1942 hingga 1945 tentu Bandung berada pada masa pendudukan Jepang. Adapun peta Bandoeng Town Plan (1945) itu dibuat AFNEI atau tentara sekutu di Bandung.

Dari dua buku rencana pembangunan Kota Bandung, Prospectus voor de Uitgifte van Gronden, terbitan 1923 dan 1931 oleh Gemeente Bandoeng, saya tahu kompleks provinsi Belanda termasuk bagian dalam rencana pembangunan kedua (Plan II) sementara kompleks pelukis ada dalam Plan IX. Menurut kedua pustaka itu, Plan II terletak di utara Riouwstraat dan timur Dagoweg. Pusat rencananya adalah Departement van Gouvernementsbedrijven (Gedung Sate). Alokasi lahan hanya terbatas di bagian selatan, sementara lahan-lahan luas diperuntukkan bagi departemen-departemen. Batas-batas jalan pembangunannya adalah Tjisangkoejstraat, Tjitaroemstraat, dan Riouwstraat.

Plan IX terletak di timur Dagoweg, seberang Cikapayang, atau di utara Plan II. Konon, meski hingga saat itu (1923-1931) sangat sedikit yang sudah digunakan, persil-persil lahan masih tersedia, dengan luas yang bervariasi dari 600 hingga 1000 meter persegi. Maksud pembangunan kompleksnya adalah untuk perumahan para pegawai departemen-departemen di Bandung, sehingga eksploitasi untuk rencana ini tetap terbatas. Di antara batas-batas jalan pada Plan IX antara lain Dagoweg, Zorgvlietweg, Potterweg, dan Frans-Halsweg.

Jalan Kyai Gede Utama, Kota Bandung, Selasa  (8/2/2022). Nama-nama jalan di Kecamatan Coblong ini di zaman Belanda sempat memakai nama-nama dari provinsi di Belanda. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Jalan Kyai Gede Utama, Kota Bandung, Selasa (8/2/2022). Nama-nama jalan di Kecamatan Coblong ini di zaman Belanda sempat memakai nama-nama dari provinsi di Belanda. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Perubahan-perubahan

Sekarang giliran saya menengok keterangan koran-koran sezaman. Dalam De Preanger-bode edisi 18 November 1922 dan 24 November 1922, ada berita tentang sidang dewan Kota Bandung (“De Gemeenteraads-Vergadering”). Di antara pembahasannya ihwal penamaan jalan untuk Plan II.

Di situ dikatakan, nama-nama jalan pada Plan II sudah ditetapkan. Nama-nama jalannya sudah dituliskan di atas kartu, tinggal diperiksa. Komite nama jalan setuju dengan proposal nama-nama jalannya, kecuali Ellestraat. Sebagai penggantinya, salah seorang anggota komite nama jalan mengusulkan Jansstraat. Namun, sebagian menilai namanya kurang bermakna, sehingga lebih baik menggunakan Gelriastraat. Sementara gagasan mengenai Heetjansstraat yang diambil dari nama direktur pembangunan Kota Bandung akan dibahas lebih lanjut.

Pada sidang berikutnya, salah seorang anggota dewan Kota Bandung, Schneider, menolak nama-nama pejabat digunakan sebagai nama jalan. Ia menilai nama Burgemeester-Coopslaan yang sudah ada pun keliru, karena menggunakan nama wali kota Bandung. Demikian pula halnya Heetjansstraat, karena lebar dan panjang jalan tersebut tidak cukup untuk Ir. Heetjans. Katanya, dalam dua tahun ke depan, bisa jadi ada perubahan lagi. Misalnya Heetjansstraat akan diganti menjadi Koekebakbersweg. Menurut Schneider, nama pejabat dapat digunakan sebagai nama jalan apabila sudah pensiun.

Dengan demikian, dari dua guntingan koran di atas, saya dapat menyimpulkan kompleks provinsi di Kelurahan Citarum baru digunakan pada tahun 1922, termasuk dari nama-nama pejabat di Bandung, seperti Heetjansstraat dan De Jonghlaan.

Sepuluh tahun kemudian, nama-nama pelukis Belanda lainnya baru ditambahkan di sekitar Lebak Gede. Menurut De Koerier edisi 20 September 1932, dewan Kota Bandung menerima usulan dari wali kota untuk 30 nama jalan baru di Bandung. Untuk di timur Dagoweg, mulai dari terusan Kromhoutweg, yang berupa jalan-jalan baru, jalan-jalannya akan menggunakan nama Van der Moore, Pahud de Mortanges, Van Vleuten, Peltzer, Heyting, Harders, Carel Fabritius, Hobbema, Ruysdaal, Pieter de Hoogh, dan Nicolaas Maes.

Di antara nama itu ada nama-nama residen Priangan, yaitu Christiaan van der Moore (1858-1874), Ferdinand Theodoor Pahud de Mortanges (1874-1879), Jan Marinus van Vleuten (1879-1884), Albert Gustaaf George Peltzer (1884-1887), Johannes Heijting (1887-1891) dan Johannes Diederik Harders (1891-1894). Sisanya nama-nama pelukis Belanda.

Lalu, bagaimana dengan nama-nama jalan dari nama anggota Kerajaan Belanda? Sebenarnya di Bandung ada dua kompleks yang sempat menggunakannya. Yang pertama di Kebon Jambu sejak 1918, sebagaimana yang diwartakan De Lokomotief edisi 2 Juli 1918. Di situ dikatakan warga Eropa keberatan dengan nama-nama jalan baru di Kebon Jambu, sehingga pemerintah Kota Bandung mengajukan nama jalan dari kalangan Kerajaan Belanda (“waar de straten en pleinen met hun namen herinneren aan het Koninklijk Huis”). Menurut Kaart van de gemeente Bandoeng (1921), di sekitarnya ada Nassau-laan, Willem-straat, Frederik-laan, Alexander-laan, Emma-laan, Nassau-plein, Wilhelmina-straat, Juliana-laan, Prins Hendrik-straat, Maurits-laan, dan Oranje-boulevard.

Pada tahun 1924, di sekitar Kelurahan Citarum sudah digunakan nama-nama jalan dari nama provinsi Belanda, sementara dari nama pelukis baru satu, yaitu Rembrandt-straat. (Sumber: Peta Plan of Bandoeng (1924), KK 161-05-10)
Pada tahun 1924, di sekitar Kelurahan Citarum sudah digunakan nama-nama jalan dari nama provinsi Belanda, sementara dari nama pelukis baru satu, yaitu Rembrandt-straat. (Sumber: Peta Plan of Bandoeng (1924), KK 161-05-10)

Nama-nama tersebut nanti berubah menjadi nama-nama bunga dan seakan-akan bertukar posisi seiring selesainya pembangunan jalan-jalan baru dan perumahan baru di sebelah utara Rembrandstraat pada tahun 1940. Perubahan namanya dapat disimak dalam laporan Sipatahoenan edisi 20 Agustus 1940. 

Di situ dikatakan “... patali djeung ajana kampoeng kalereun Rembrandstraat: noe keur diadegan imah-imah sarta moal lila oge anggeus, nja kitoe deui noe pernahna deukeut ka Beatrix Boulevard-Irene-Boulevard djeung di kalereun gedong kantorna Pansioenfondsen, oge perloe diajakeun sababaraha djalan deui” (berkaitan dengan adanya kampung di sebelah utara Rembrandstraat: yang sedang dibangun perumahan dan tidak akan lama lagi selesai, demikian juga yang letaknya berdekatan dengan Beatrix-Boulevard-Irene-Boulevard dan di sebelah utara kantor Pensioenfondsen, perlu diadakan lagi beberapa jalan).

Nama-nama jalan yang akan digunakan dalam kompleks perkampungan baru itu adalah Wilhelmina Bovlevard, Wilhelminaplein, Koningsallee, Juliana Boulevard, Emma Boulevard, Bernhardlaan, Prinsenplein dan Prins Hendriklaan (“Ari djalan2 di eta pakampoengan anjar teh baris dingaranan Wilhelmina Bovlevard, Wilhelminaplein, Koningsallee [kahareup baris dilandi make ngaran kroonprins], Juliana Boulevard, Emma Boulevard, Bernhardlaan, Prinsenplein djeung Prins Hendriklaan”).

Dengan adanya nama jalan di perkampungan baru itu menyebabkan 12 jalan yang sudah ada sebelumnya akan mengalami perubahan nama, yaitu Rembrandstraat yang sebagian di antaranya menjadi Wilhelmina Boulevard, Rembrandtplein menjadi Wilhelminaplein, Potterweg (menjadi Bernhardlaan), Wilhelminastraat (Orchideelaan), Wilhelminaplein (Orchideeplein), Prins Hendrikstraat (Congealaan), Julianalaan (Gardenialaan), Bernhardplein (Heliantusplein), Emmalaan (Oleanderlaan), Willemstraat (Bogain Villelaan), Alexanderlaan (Cannalaan), dan Frederiklaan (Melatilaan).

Perubahan itu juga dapat kita lihat dari Kaart van de Gemeente Bandoeng schaal 1:10.000 yang direproduksi Asia Maior/Atlas Maior pada 1999. Menurut keterangan dalam peta, menjelang Perang Dunia Kedua, dengan terjadinya peristiwa-peristiwa yang dialami anggota keluarga Kerajaan Belanda antara 1937-1939 menyebabkan beberapa ruas jalan di Bandung berubah nama, terutama pada kompleks pelukis dan kompleks bunga. Peristiwa-peristiwa penting itu adalah pernikahan Putri Juliana dengan Pangeran Benhard pada 7 Januari 1937, kelahiran Putri Beatrix pada 31 Januari 1938 dan Putri Irene pada 5 Agustus 1939.

Sejak 1950, semua nama jalan pada kompleks provinsi, para pelukis, dan anggota keluarga Kerajaan Belanda dikikis habis menjadi nama-nama tokoh yang ditimba dari sejarah Indonesia. Tokoh-tokoh yang berkaitan dengan keberadaan Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, perlawanan terhadap Mataram, serta perlawanan terhadap Kongsi Dagang Hindia Timur dan pemerintah kolonial.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//