RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (6): Bunga-bunga di Kebon Jambu
Warga Bandung di masa kolonial aktif mengusulkan nama-nama jalan. Usulan ini melatarbelakangi mengapa ada jalan di Bandung yang diambil dari nama bunga.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
9 Januari 2022
BandungBergerak.id - Dalam Prospectus voor de Uitgifte van Gronden (1923: 22), saya menemukan satu kampung bernama Kebon Jambu yang termasuk dalam rencana pertama (Plan I) perluasan Kota Bandung. Dalam buku itu dikatakan Plan I akan melingkupi distrik kota (stadsdeel) yang dikenal sebagai “Kebon Djamboe” dan bagian timur kota yaitu “Archipelwijk”.
Menurut rencana, pembangunan di Kebon Jambu dimaksudkan untuk pendirian rumah-rumah kecil (bagi orang Eropa). Karena kebutuhan akan rumah di sekitar situ sangat besar, sehingga pembangunannya didahulukan. Pembangunan rumah-rumah di sana dimulai pada 1917 dan konon menuai hasil baik. Sebab semua kavling di sana terjual dan dapat dikembangkan kecuali satu kavling.
Rupanya inilah salah satu bagian dari yang disebut oleh D. G. Stibbe dan Mr. Dr.F.J.W.H. Sandbergen (Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, Achtste Deel, 1939: 1754) sebagai “Nieuw-Bandoeng”. Bandung baru itu terdiri atas berbagai rencana pengembangan distrik oleh Het Grondbedrijf, di mana sejumlah rumah dalam gaya indis modern dibangun, di tempat-tempat yang disebut De Archipelwijk, De Schilderswijk, De Zeeheldenwijk, De Professorenwijk, De Oranjewijk, Kebon Djamboe dan Karees.
Saya terus-terang penasaran tentang keberadaan Kebon Jambu. Di mana persisnya lokasi itu sekarang? Untuk menjawabnya, saya menelusuri peta-peta Kota Bandung dari tahun 1910 hingga 1945. Ketika membuka Kaart van de gemeente Bandoeng (KK 161-05-01/07, 1921), saya dapat menemukan jawaban pastinya. Rupanya sekarang wilayah Kebon Jambu meliputi jalan-jalan yang namanya diambil dari bunga. Itulah Jalan Soka, Jalan Gandapura, Jalan Anggrek, Jalan Pudak, Jalan Dahlia, dan lain-lain.
Lalu, bagaimana riwayat penamaan jalan-jalan di sana? Dari perbandingan atas peta-peta lawas Kota Bandung di atas, paling tidak saya mendapati tiga kali perubahan nama jalan di Kebon Jambu. Mula-mula yang digunakan adalah nama-nama anggota Kerajaan Belanda, paling tidak sejak 1918. Lalu berubah menjadi nama-nama bunga antara 1933-1938, dan pada 1950 mengalami lagi sedikit perubahan.
Namun, sebelum lebih jauh membahasnya, saya akan terlebih dulu meninjau wacana penamaan jalan di daerah Kebon Jambu dari guntingan-guntingan koran berbahasa Belanda yang terhimpun dari situs Delpher.nl.
Nama Kalangan Kerajaan Belanda
Seorang pembaca dalam AID De Preanger-bode (6 Maret 1918) menulis surat bertajuk “Het kindje moet een naam hebben!” (bayi itu mesti memilik nama!). Maksudnya, jalan-jalan baru harus memiliki nama dan ia menyatakan tidak sepakat dengan rencana nama jalan dalam Plan IA yang diajukan pemerintah Kota Bandung.
Ia merasa janggal dengan nama-nama jalan yang ditawarkan pemerintah, yakni Balong Tjihapit, Djamboe Koelon, Djamboe Bangkok (?), Djamboe Kidoel, Djamboe Kaler, Djamboeweg, Kleine Djamboeweg, Djamboe-plein, Djamboe Doea, djalan Balong Tjihapit dan Kampoeng Kebon Djamboe. Nama-nama itu ia anggap memang demi kepentingan pribumi yang takkan dapat mengingat nama-nama Eropa, atau paling tidak sukar mengingatnya. Namun, katanya, bila dibiasakan sebenarnya mereka akan terbiasa. Ia lebih menyarankan agar nama-nama jalannya lebih baik menggunakan nama seniman, orang-orang beken, dan lain-lain, seperti Idenburg-straat, van Limburg Stirum-straat, Koningsberger-straat, dan lain-lain.
Penulis lainnya, masih dalam AID edisi yang sama, menyatakan lebih baik jalan baru di Bandung menggunakan nama-nama dari kalangan militer, sebab publik Bandung saat itu tengah menghadapi wacana Indie Werbaar sekaligus bangkitnya minat pada ihwal militer. Oleh karena itu, menurutnya ada baiknya menggunakan namaVan der Heijden-straat, Van Swieten-plein, (Toontje) Poland-straat, Kohler-straat, dari khazanah militer lama. Sementara yang baru ada Vastenou, Vis, P. Holten, Darlang, Christoffel dan lain-lain. Konon, akan menjadi kehormatan bila nama panglima KNIL di Bandung suatu saat dijadikan nama jalan.
Bila membaca kedua tulisan di atas, saya dapat mengatakan paling tidak hingga awal Maret 1918, nama-nama jalan di sekitar Kebon Jambu belum ditentukan secara pasti. Karena nama-nama jalan yang diajukan pemerintah Kota Bandung ternyata ditolak oleh warganya yang berkebangsaan Eropa.
Ini misalnya diulangi oleh pembaca yang menulis dalam De Locomotief (DL) edisi 7 Maret 1918. Dalam Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie (9 Maret 1918) bahkan diolok-olok. Katanya, mau gampang memberi nama jalan, kasih saja kata “Nassi”, maka akan jadi jalan “Nassi goreng”, “Nassi merah”, “Nassi no. Satoe”, “Nassi no. Doewa”, dan “Nassi sadja”. Bisa juga dari bahasa Belanda “Aardappel” (kentang) berupa “Kromme Aardappel-straat”, “Dikke Aardappel-straat”, “Geschilde Aardappel-straat”, “Gebakken Aardappel-straat” dan “Halfgare Aardappel-straat” atau “Kool” (kobis), yaitu “Roode Koolstraat”, “Witte Koolstraat”, “Verlengde Koolstraat,” “Groote Koolplein”, dan “Apekool-buurt”.
Keberatan-keberatan warga Eropa itu ternyata ditanggapi serius oleh pemerintah Kota Bandung, karena ternyata tiga bulan kemudian sudah diwartakan kavling-kavling yang sudah didirikan bangunan-bangunannya di Kebon Jambu diberi nama jalan kalangan Kerajaan Belanda (“waar de straten en pleinen met hun namen herinneren aan het Koninklijk Huis”). Demikianlah yang saya lihat dari DL edisi 2 Juli 1918.
Tetapi, pada praktiknya, sejak minggu ketiga Juni 1918 sudah ada yang menggunakan nama jalan yang berkaitan dengan Kerajaan Belanda itu untuk alamat. Konon, dewan Het Bandoengsch Internaat akan menyewa sebuah rumah di Juliana-laan (sekarang Jalan Pudak) pada 1 Juli 1918 untuk indekos 14 orang anak lelaki murid HBS (AID, 18 Juni 1918). Dalam berita pencurian di Kota Bandung, dikatakan Nona P yang tinggal Willemslaan (Djamboe-wijk) kehilangan sepotong kain (AID, 7 Agustus 1918).
Orang-orang Eropa yang tinggal di “Djamboe-wijk” konon pada Januari 1919 merasa kesal karena kondisi jalan jelek ditambah belum ada penerangan, dan listrik baru akan dipasang (AID, 30 Januari 1919).
Perkembangan lainnya, terkait dengan pembangunan di Kebon Jambu adalah pembukaan sekolah Eropa yang diusahakan pihak swasta (Particuliere Europeesche School). Menurut AID (28-29 Maret 1919), pada 7 April 1919 akan dibuka sekolah swasta oleh Nyonya Th. Scholte Philippo. Bila melihat-lihat keadaannya sekarang, barangkali sekolah itu adalah SD Negeri 02 Soka, Jalan Soka No.34.
Sejak 1919, warga di “Djamboe-wijk” dapat menikmati hidangan musik berupa konser rutin digelar di Nassau-plein (sekarang, Taman Foto Bandung). Dalam AID (13 Oktober 1919) dikatakan korps musik militer di sekitarnya sudah mengadakan konser di Nassaup-lein pada 3 dan 10 Oktober 1919. Pentas musik (“Muziekuitvoering op het Nassauplein”) itu konon akan dilakukan setiap minggu dan mengharapkan kontribusi bulanan dari warga Kebon Jambu. Para pementasnya korps musik dari Batalyon Infanteri ke-15 (AID, 28 Oktober 1919).
Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (3): Peta Van der Tas dan Distrik Pulau
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (4): Gunung-Gunung di Kompleks Karees
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (5): Gudang-gudang Militer di Cikudapateuh
Tiga Kali Berubah
Kini mari kita tilik proses perubahan nama jalannya. Untuk mengetahuinya, saya akan membandingkan peta Kota Bandung yang terbit pada 1921 dan 1933 yang diperbarui lagi pada 1938, ditambah dua buku perubahan nama jalan di Kota Bandung dari tahun 1950.
Pada Kaart van de gemeente Bandoeng (KK 161-05-01/07, 1921), saya mendapati nama-nama jalan di Kebon Jambu sebagai berikut: Nassau-laan, Willem-straat, Frederik-laan, Alexander-laan, Emma-laan, Nassau-plein, Wilhelmina-straat, Juliana-laan, Prins Hendrik-straat, Maurits-laan, dan Oranje-boulevard.
Lalu, saya buka Kaart van de Gemeente Bandoeng schaal 1:10.000 untuk tahun 1933-1938 yang direproduksi oleh Asia Maior/Atlas Maior pada 1999. Menurut keterangannya, peta tersebut diproduksi pada Januari 1933 oleh Bandoengse Gemeentelijke Dienst van Stadsontwikkeling dan diterbitkan Visser & Co. Edisi keduanya diterbitkan pada 1938 yang hampir identik dengan edisi 1933. Menjelang Perang Dunia Kedua, beberapa ruas jalan mengalami perubahan nama dari distrik bernama pelukis (Schildersbuurt atau Schilders-wijk) menjadi nama bunga (Bloemenbuurt atau Bloemen-wijk). Hal tersebut sebagai tanggapan atas peristiwa penting yang dialami oleh Kerajaan Belanda pada 1937-1939.
Sepanjang yang berkaitan dengan distrik bernama bunga atau Kebon Jambu, nama-nama jalan yang berubah antara 1933-1939 adalah sebagai berikut: Alexander-laan menjadi Canna-laan, Emma-laan (jadi Kamoening-laan), Frederik-laan (Malati-laan), Juliana-laan (Seringen-laan), Nassau-plein (antara 1937-38 menjadi Bernhard-plein lalu Tjampaka-plein), Prins Hendrik-straat (Dahlia-laan), Wilhemina-plein (Orchidee-plein), Wilhelmina-straat (Orchidee-laan), dan Willems-traat (Bougainville-laan).
Sebagai informasi tambahan, pada 1922, nama Dahlia-straat sempat diajukan sebagai pengganti Gang Doerian. Pengusulnya N.V. Bouw Mij Gareng dan kawan-kawan serta dibahas dalam sidang dewan Kota Bandung pada 20 September 1922 (AID, 19 September 1922). Namun, dalam sidang dua bulan setelahnya, komite nama jalan menanggapi tidak keberatan atas permohonan mengubah “gang” menjadi “straat”. Namun, untuk Dahlia-straat tidak pantas digunakan di lingkungan yang menggunakan nama jalan dari buah-buahan (vruchtenwijk). Seharusnya, misalnya, menjadi Appel-straat (AID, 18 November 1922).
Dengan demikian, nama Dahlia-straat tidak digunakan hingga 1922. Namun, nantinya dengan nama Dahlia-laan digunakan antara 1933-1939 di lingkungan yang jalannya bernama bunga (bloemen-wijk). Yang berhasil adalah perubahan Kebon Djamboe-weg menjadi Mangga-laan pada 1924. Ini sesuai dengan permohonan penggantian nama jalan (naamsverandering) yang diajukan warga yang bermukim di sekitar Kebon Jambu (AID, 19 Juli 1924).
Perubahan ketiga terjadi setelah Indonesia merdeka, terutama setelah pengakuan kedaulatan Indonesia ole Belanda. Perubahan tersebut dapat disimak dari Perubahan Nama djalan-djalan di Bandung (1950) dan Veranderde Straatnamen in Bandung, Djakarta, Surabaja, Bogor, Medan, Semarang, Makassar, Malang (1950).
Dari kedua pustaka itu, saya tahu Canna-laan berubah menjadi Gang Tjulan, Kamoening-laan (Djalan Kamuning), Malati-laan (Djalan Anggrek), Seringen-laan (Djalan Pudak), Nassau-laan (Djalan Gandapura), Tjampaka-plein (Taman Tjampaka), Dahlia-laan (Djalan Dahlia), Orchidee-plein (Taman Anggrek), Orchidee-laan (Djalan Anggrek), dan Bougainville-laan (Djalan Soka). Selain itu, nama-nama jalan lainnya pun turut berubah jadi menggunakan nama bunga, seperti v. Oldenbarneveldt-laan menjadi Djalan Tongkeng, Stadhouders-laan (Djalan Ermawar), Stadhouders-laan 2e (Djalan Sumarsana), Johan de Witt-weg (Djalan Srigading), dan Societeit-straat (Djalan Patrakomala).
Walhasil, rasa penasaran saya tentang Kebon Jambu yang mulai timbul sejak membaca Prospectus voor de Uitgifte van Gronden (1923), kini terjawab sudah. Termasuk tiga kali perubahan nama-nama jalan di sekitarnya. Sepanjang tahun 1918 hingga 1950, jalan-jalan yang semula bernama kalangan Kerajaan Belanda dan sebagian nama bernuanasa Belanda berubah seluruhnya dengan nama-nama bunga dalam bahasa Sunda. Dengan demikian, sebenarnya di sana seolah-olah bunga-bunga tetap menghiasi Kebon Jambu yang sekarang namanya sama-sama tidak kita kenal.