• Kolom
  • RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (1): Mengenal Jalan, Memahami Perkembangan Kota

RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (1): Mengenal Jalan, Memahami Perkembangan Kota

Dengan mengetahui riwayat jalan di Kota Bandung, terutama penamaan dan perubahannya, kita memiliki tambahan bekal untuk memahami perkembangan sebuah kota.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Lampu-lampu menyala di sepanjang jalan Asia-Afrika, Kota Bandung, masih di tengah suasana pandemi, Jumat (3/12/2021) petang. Jalan yang membelah pusat kota ini merupakan bagian dari Jalan Raya Pos Besar atau Jalan Raya Daendels yang membentang dari Anyer hingga Panarukan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

6 Desember 2021


BandungBergerak.id - Untuk urusan visualisasi Bandung masa bihari, antara lain, saya kerap mengandalkan koleksi gratis situs disc.leidenuniv.nl, colonialarchitecture.eu, dan collectie.wereldculturen.nl. Ketiga situs yang berbasis di Belanda tersebut menghidangkan potret-potret yang jumlahnya tidak terbilang mengenai Kota Kembang di masa lawas.

Salah satu koleksi yang disajikan discleiden.nl adalah album foto Bertus Coops. Ia adalah asisten residen Bandung pada masa 1913-1917 dan sekaligus menjadi wali kota Bandung yang pertama (1 Juli 1917-22 Mei 1920 dan September 1921-1928). Dalam koleksi berkode KITLV 11815 itu disajikan 129 foto yang berkaitan dengan perkembangan Bandung. Tajuknya “Album aangeboden aan de burgemeester van Bandoeng, B. Coops, bij zijn vertrek naar Europa. Augustus 1920” (album yang dipersembahkan kepada Wali Kota Bandung B. Coops saat kepergiannya ke Eropa, pada Agustus 1920).

Koleksi foto semasa Coops banyak yang memperlihatkan transformasi Bandung dari keadaan yang lama (bergdesa) ke keadaan baru (nieuwstad). Beberapa buktinya dapat dilihat dari perbandingan keadaan lama (oud) dengan keadaan baru (nieuw), seperti yang tergambar dalam potret De oude Bragaweg-Noord (KITLV 11817), De nieuwe Bragaweg-Noord (KITLV 11818), De oude Riouwstraat (KITLV 11834), dan De nieuwe Riouwstraat (KITLV 11835).

Seperti terbaca dari judul-judulnya, perbandingan keadaan lama dan baru itu berkaitan dengan jalan-jalan di Kota Bandung. Dengan adanya potret-potret jalan itu, rasa penasaran saya jadi tergugah. Timbul dalam hati saya keinginan untuk mencari tahu sejarah pembangunan dan terutama penamaan jalan-jalan di Kota Bandung, sejak dulu hingga hingga terjadi perubahan nama-namanya pada 1950.

Bagaimana saya mengetahui keadaan jalan di Bandung pada masa lalu, berikut pembangunan, perbaikan, dan penamaannya? Sebagai jawaban untuk mengenal jalan di Bandung, saya melakukan riset pustaka. Dari riset itu, saya bisa mendapatkan sumber primer dari berbagai guntingan koran, buku-buku, dan peta-peta. Namun, sebelum membahas sumber primer, saya akan mendahulukan tinjauan keadaan jalan di Bandung dari sumber sekunder.

Dua potret yang menggambarkan perkembangan bagian utara Jalan Braga, Kota Bandung. (Sumber foto: KITLV 11817 dan KITLV 11818)
Dua potret yang menggambarkan perkembangan bagian utara Jalan Braga, Kota Bandung. (Sumber foto: KITLV 11817 dan KITLV 11818)

Perkembangan Kota Bandung 

Paling tidak ada dua sumber sekunder yang saya gunakan. Keduanya karya A. Sobana Hardjasaputra, yaitu Perubahan Sosial di Bandung, 1810-1906 (2002a) dan Sejarah Kota Bandung (2002b). Dalam karya pertama, Hardjasaputra membagi perubahan sosial di Bandung itu menjadi tiga tahap, yakni Bandung sebagai kota tradisional (1810-1864), perkembangan kota (1864-1884), dan Bandung menuju kota modern (1884- 1906).

Secara ringkas, Hardjasaputra (2002a: 284-286) menyatakan pada tahap pertama (1810-1864), perubahan sosial di Bandung berlangsung lambat. Ada tiga faktor yang mempengaruhinya, yaitu kondisi kotanya masih sederhana, adanya kendala yang menghambat proses perubahan, dan pengaruh kekuasaan pemerintah kolonial terhadap bupati dan terhadap perubahan. Inilah yang menyebabkan kondisi kota Bandung pada masa itu cenderung masih bernuansa tradisional.

Pada tahap kedua (1864-1884), perubahan sosial di Bandung berlangsung lebih cepat karena efektivitas pengaruh kekuasaan kolonial terutama setelah Bandung menjadi ibu kota Keresidenan Priangan (1864), kendala perubahan kian berkurang, dan adanya push factors sebagai channel of change berupa lembaga pendidikan. Oleh karena itu, di Bandung terjadi mobilitas sosial yang kian meningkat.

Pada tahap ketiga (1884-1906), perubahan sosial di Bandung berlangsung kian cepat, karena kehadiran transportasi kereta api dan pihak swasta asing yang turut berperan aktif memajukan kota. Dengan dua faktor itu Bandung berkembang menjadi pusat layanan dalam bidang sosial ekonomi dan budaya, sehingga makin mengarah ke kota kolonial yang modern dan menjadi dasar pertimbangan pembentukan Gemeente Bandung (1906).

Karya kedua Hardjasaputra seakan menyambung karya pertama. Di samping mendapatkan keterangan perubahan tahap selanjutnya, dari situ saya memperoleh kilasan perkembangan jalan di Bandung.

Menurut Hardjasaputra (2002b: 106), dengan pertimbangan beratnya beban pemerintah pusat kolonial untuk mengurusi setiap pemerintah daerah (keresidenan), sehingga meluncurkan kebijakan desentralisasi pemerintahan. Hal ini dimulai dengan penyusunan rancangan undang-undang desentralisasi (1902) dan pengesahannya pada 23 Juli 1903. Pada 1905, pemerintah kolonial menerbitkan surat keputusan tentang desentralisasi dan ordonansi dewan lokal.

Salah satu yang mendapatkan status pemerintahan otonom atau gemeente itu adalah Gemeente Bandung yang dibentuk berdasarkan ordonansi tanggal 21 Februari 1906. Gemeente Bandung menyusul pembentukan Gemeente Meester Cornelis dan Gemeente Buitenzorg pada 1905. Selain alasan pemerintahan otonom itu, menurut Harjasaputra (2002b: 82), besarnya jumlah orang Belanda di Bandung sejak sekitar 1900 menjadi bahan pertimbangan dibentuknya Gemeente Bandung. Penambahan jumlah itu tentu saja terkait dengan perkembangan Bandung pada tahap ketiga sebagaimana yang diterangkan Hardjasaputra pada karya pertamanya.

Lalu, bagaimana perkembangan jalan di Bandung? Menurut Hardjasputra (2002b: 37-38), hingga 1820-an prasarana dan sarana transportasi di Kota Bandung masih sederhana. Berdasarkan peta 1825, jalan-jalan di Kota Bandung hanya berada di sekitar pendopo kabupaten dan alun-alun, yaitu sebagian-sebagian Jalan Dalem Kaum, Jalan Asia-Afrika, Jalan Banceuy, Jalan Braga dan Jalan Wastukencana hingga Balai Kota, Jalan Merdeka, Jalan Oto Iskandar di Nata dan Jalan Cibadak, dan Jalan Pungkur. Jalan-jalan utamanya bertumpu pada Jalan Raya Pos dan selanjutnya berhubungan dengan jalan-jalan lama (jalan kampung dan desa) yang kondisinya masih jelek.

Setelah memperoleh status gemeente, pembangunan dan perbaikan jalan di Bandung menjadi prioritas. Pada 1909, jalan yang diperbaiki adalah Merdekalioweg, Kerklaan, Parklaan, Dagoweg, dan Lembangweg. Antara 1912-1915, Gemeente Bandung memperbaiki Grote Postweg, Gardudjatiweg, Pasarbaruweg, Suniaradjaweg, Bragaweg, Bungsuweg, Tamblongweg, Naripanweg, Regentweg, Pungkurweg dan lain-lain. Selain memperbaiki, ada juga yang baru dibangun yaitu antara Merdekaweg dengan Cikudapateuh dan dilakukan pengaspalan jalan. Jalan pertama yang diaspal adalah jalan Kebonjukut Kidul. Pada 1938 disusun rencana pembuatan jalan lintas tepi Cikapundung yang disebut Cikapundung Boulevard (Hardjasaputra, 2002b: 153).

Selain pemerintah, ada juga kalangan swasta yang berpartisipasi dalam kerangka pembangunan dan perbaikan jalan di Kota Bandung. Itulah Vereenging Tot Nut van Bandoeng en Omstreken yang didirikan pada 1898. Perhimpunan ini juga berusaha menambah jumlah ruas jalan dan meningkatkan kondisinya. Organisasi swasta lainnya mengupayakan hal yang sama pada paruh pertama abad ke-20 di Bandung adalah Bandoeng Vooruit.

 

Dua potret menggambarkan perubahan di Jalan Riau, Kota Bandung. (Sumber foto: KITLV 11834 dan KITLV 11835)
Dua potret menggambarkan perubahan di Jalan Riau, Kota Bandung. (Sumber foto: KITLV 11834 dan KITLV 11835)

Sumber Primer 

Sekarang marilah kita beralih ke sumber-sumber primer yang dapat digunakan untuk membaca riwayat jalan di Bandung. Untuk koran, yang saya gunakan sebagai sumber utama adalah De Preanger-bode (AID) yang terbit sejak 6 Juli 1896.

Selama menelusuri iklan-iklan dalam koran tersebut, paling tidak antara 1896 hingga 1901, saya menemukan rata-rata pemasang iklan tidak memasukkan nama jalan, melainkan nama daerahnya. Misalnya Nederlandsch-Indische Escomto Maschappij yang hanya menuliskan “Kedjaksaan Girang (oude huis van den heer Dickhaus)” dan Smederij van Tan Koei Hoa menuliskan “Kampoeng Tjibadak, Bandoeng” sebagai patokannya (AID, 15 Oktober 1900). Demikian pula Toko Bombay yang hanya menyertakan “Pasar Baroe” dan W. Koenecke, Fotograaf yang menyertakan “Bantjeuj, tegenover de gevangenis” (AID, 31 Desember 1900).

Dari AID, saya baru menemukan penggunaan nama jalan sebagai alamat antara lain pada iklan B.E. van Gils, Barbier en Haarsnijder, yang menuliskan “Bragaweg” sebagai alamatnya (AID, 31 Januari 1901) dan Preanger Bureau- en Sigarenhandel yang menyertakan alamat “Residentsweg No. 15, nabij Pasar Baroe” (AID, 15 April 1901).

Dengan demikian, saya menduga, paling tidak hingga tahun 1900, orang-orang di Bandung masih terbiasa menggunakan kata “Bandoeng” atau nama tempat sebagai alamat pemasangan iklan. Mereka belum menggunakan nama jalan sebagai patokannya. Baru pada 1901, orang Bandung mulai menggunakan nama jalan sebagai alamat pemasangan iklan.

Hal tersebut, nampaknya sangat logis, mengingat saya baru menemukan wacana penamaan jalan di Bandung pada 1904. Dalam AID edisi 6 Mei 1904, seorang pembaca menuliskan keanehan mendapati nama-nama jalan di Bandung. Meski pada awalnya, ia memuji-muji “Bandoeng is een lieve, en héél lieve plaats” (Bandung adalah tempat yang manis, sangat manis), tetapi ketika mendapati nama-nama jalan seperti Merdika, Tamblong, Tjitjendo, Tjiateul, Tjiboenoet, Tjitepoes, Babakan-Trogong, Aloen-aloen-Oostweg, Aloen-aloen-Westweg, Kawadanaan-weg, Kadjaksaan-hilir, Kadjaksatin-girang, Katja-katja-Wetan, Katja-katja-Koelon ia merasa aneh.

Si penulis surat pembaca mengatakan kata-kata yang indah itu bukan untuk digunakan sebagai patah lidah melainkan merupakan nama-nama jalan (“maar als straatnamen bedoeld!”). Bagi pribumi sekalipun, kata-kata itu masih merupakan rahasia, dan bagi orang Eropa harus baik-baik menerjemahkannya, meski jauh dari ketemu maknanya. Bagaimana tanda-tanda digunakan begitu? Konon, lima tahun yang lalu, ada kontrolir yang berpendapat Bandung sedang berkembang menjadi kota, sehingga jalan-jalannya pun seharusnya mempunyai nama (“nu Bandoeng zoetjes-aan een stad worden zou, de wegen er ook een naam moesten hebben”).

Dengan demikian, saya kira, paling tidak hingga 1899 – lima tahun sebelum si penulis surat pembaca dan kontrolir Bandung mengungkapkan pentingnya nama jalan di Bandung – nama-nama jalan di Bandung belum begitu diperhatikan, baik oleh pemerintahan pribumi maupun oleh pihak kolonial. Sehingga bersesuaian dengan rekaman-rekaman iklan yang saya temukan pada AID antara 1896 hingga 1901.

Sumber primer kedua yang saya gunakan adalah buku-buku. Di antaranya yang paling utama yang saya temukan adalah Verslag van den toestand der gemeente Bandoeng over de jaren 1906-1918 (1919a) atau laporan keadaan kotapraja Bandung pada tahun 1906-1918 dan Uitbreidingsplan Noord Bandoeng (1919b) atau Rencana Perluasan Bandung Utara. Keduanya diterbitkan semasa B. Coops menjadi wali kota Bandung.

Dari buku pertama (1919a: 16-20), jadi ketahuan bahwa pada 1909, jalan-jalan yang diperbaiki dan dialasi batu (verbeterd en verhard de volgende wegen) adalah Merdikalioweg, Kerklaan, Parklaan, Lembangweg, dan Dagoweg, dengan total biaya lebih dari 15.000 gulden. Pada 1910, yang diperbaiki dan dibatu adalah Nieuwe Hospitaalweg, Dagoweg, dan Regentsweg. Dengan terbitnya Staatsblad 1910 No. 262, pemerintah Kota Bandung membangun jalan baru di antara Merdika ke militair établissement Tjikoedapateuh.

Untuk 1911, tidak ada jalan baru yang dibangun, melainkan menguji-coba memberi aspal beberapa jalan, yaitu Tamblongweg dan Naripanweg. Kemudian pada 1912, jalan-jalan yang diperbaiki dan diberi alas batu adalah Postweg (Chin. Kamp), Gardoe Djattiweg, Pasar Baroeweg, Postweg (van Hotel Preanger tot Pasar Baroe), Weg van station naar Pr. Kerk, Soeniaradja-Bragaweg, dan Boengsoeweg. Selain itu, bagian selatan Ouden Kerkhofweg diperbaiki dan dibangun jalan akses (toegangsweg) dari Schoolweg ke emplacement Gemeentewerken.

Pada 1913 hingga 1915, total biaya untuk jalan sebesar 45.980 gulden, 66.780 gulden, dan 77.800 gulden. Dengan catatan pada 1915, ada 10 kilometer jalan yang dialasi batu dan diaspal dengan ketebalan 10 centimeter. Pada 1916, yang diperbaiki adalah Astana-Anjarweg, Kopoweg, Boengsoeweg dan Oosteindeweg. Sementara yang dibangun baru adalah Oosteinde-Javastraat, yang tidak selesai dibangun pada 1916 dan harus dikonsultasikan dengan pihak jawatan kereta api karena melalui perlintasan kereta api. Di timur barak militer Gemeente Bandung membeli lahan untuk membuat jalan sepanjang 2 kilometer, yang akan menghubungkan Riouwstraat ke Grooten Postweg antara Bandung-Sumedang.

Pada 1917, Gemeente Bandung melanjutkan pengerjaan jalan yang sudah dilakukan pada 1916. Dengan tambahan pekerjaan, perluasan batas gemeente sejak 1 November 1917 dan penambahan jaringan jalan milik gemeente seluas 5.293 karena adanya pengambilan Archipelwijk. Jalan baru lainnya sepanjang 4.100 meter dan 1.300 meter.

Memasuki tahun 1918, banyak jalan yang diperbaiki dan dibangun oleh Gemeente Bandung. Di antaranya pembangunan Waringinweg di dekat Pasar Andir, perbaikan bagian Poengkoerweg dan Pasarstraten. Pengalasan lagi untuk Lembangweg, Landraadweg, Soeniaradjaweg, Tegallega Oost, Tegallega Zuid, Tegallega West, Nieuwe Hospitaalweg, Kebon Djattiweg, Pasir Kalikiweg, Postweg-Tjikoedapateuh, Javastraat, Astanaanjarweg, Boensoeweg, Oosteinde, dan Pasirkalikiweg-Javastraat. Pengaspalan lagi Schoolweg-Kerklaan, Landraadweg, Soeniaradjaweg, Kebon Djatiweg, Bragaweg, Soeniaradja, Kebon Djati, Schoolweg, Katja-katja Wetan, Kerklaan, dan Landraadweg.

Selanjutnya, perbaikan Grooten Postweg dari Tamblongweg ke Oosteinde, perluasan Ambonstraat, Floresstraat dan bagian timur jalan ke Neutrale School, dan pembangunan Molukkenpark, Timorstraat, Balistraat, dan Borneostraat di sekitar Archipelwijk, pembangunan Boengsoeweg dan Oosteindeweg, serta perluasan Oosteinde Noordwaarts ke Javastraat.

Sementara untuk rencana pengembangan utara Kota Bandung atau di seberang rel kereta api dibahas dalam Uitbreidingsplan Noord Bandoeng (1919b). Di dalamnya, ada pula bahasan yang berkaitan dengan jalan, yaitu “Het gewone verkeer” atau lalu-lintas biasa (1919b: 15-21).

Dari buku tersebut, saya antara lain jadi tahu tentang adanya “radiaalwegen” (jalan radial) yang meliputi De Astanaanjarweg-De Gardoe-Djatiweg-Passir Kaliki; De groote Tegallegaweg-Passar Baroe-Lembangweg; De Bragaweg-Loge en Oud Merdika-Dagoweg (yang belakangan akan diperlebar dari Oud Merdika); dan De Lengkongweg-Tamblongweg-Oud Merdika­-Dagoweg

Akibat kepindahan pusat-pusat militer ke Bandung, pada 1933 masih banyak nama jalan yang menggunakan istilah-istilah militer. (Sumber foto:  Kaart van de Gemeente Bandoeng 1933, KK 162-01-07)
Akibat kepindahan pusat-pusat militer ke Bandung, pada 1933 masih banyak nama jalan yang menggunakan istilah-istilah militer. (Sumber foto: Kaart van de Gemeente Bandoeng 1933, KK 162-01-07)

Peta Jalan

Saya juga memanfaatkan peta-peta Bandung yang tersedia di disc.leidenuniv.nl dan colonialarchitecture.eu, yaitu Kaart van de Gemeente Bandoeng (1921), Bandoeng (1921), Plan of Bandoeng (1924), Java Tourist Map Bandoeng and environs (1924), Gemeente Bandoeng (1928), Bandoeng (1930), Kaart van de Gemeente Bandoeng (1933), Bandoeng (1935), dan Bandoeng (1945).

Dari sekian peta Bandung tersebut, saya jadi tahu letak dan nama-nama jalan di Bandung paling tidak hingga 1945, termasuk perubahan serta penggunaan nama baru bagi jalan yang belum atau telah ada sebelumnya. Dari sekian banyak nama jalan yang saya telusuri dalam peta-peta itu, saya menangkap kesan nama-nama jalan berbau Eropa banyak terdapat di wilayah utara Kota Bandung. Barangkali ini merupakan wujud dari rencana pembangunan wilayah utara yang dimaksudkan dalam buku Uitbreidingsplan Noord Bandoeng (1919b). Sementara di wilayah selatannya, kebanyakannya menggunakan nama-nama lokal, seperti yang disebutkan oleh si penulis surat pembaca dalam AID tahun 1904.

Dari peta-peta itu, saya jadi tahu pula adanya kategorisasi jalan di Bandung. Di situ saya menemukan istilah-istilah boulevard (jalan lebar yang berpepohonan atau bervegatasi di satu sisi atau di kedua sisinya), weg (jalan apapun yang menghubungkan dua titik, sebagai dasar penamaan jalan), straat (jalan umum dengan bangunan di kedua sisinya), laan (jalan kecil yang biasanya mengarah ke pemukiman dan di kedua sisinya ditumbuhi pepohonan, kebalikan dari boulevard), gang (lorong), dan jalan. Anehnya, penggunaan istilah boulevard, weg, straat, laan hanya dan kebanyakannya ada di Bandung sebelah utara. Sementara bagian selatannya, banyak yang menggunakan istilah gang dan jalan.

Sebelum memungkas pengantar untuk seri tulisan riwayat jalan di Kota Bandung ini, saya sekali lagi akan sedikit mengulas tentang dampak dari perubahan di Bandung sebagaimana yang diutarakan oleh Hardjasaputra (2002a dan 2002b) di atas. Karena selama rentang waktu 1884 hingga 1945, banyak hal terjadi di Bandung. Kantor pusat eksploitasi jalur kereta api bagian barat dari Bogor pindah ke Bandung sejak 1 Agustus 1898 disusul kantor pusat jawatan kereta api antara 1923-1924.

Kemudian, departemen peperangan, istana panglima KNIL, dan batalyon-batalyon pindah antara 1915-1916; rintisan pembuatan lapangan terbang Hindia Belanda antara 1917-1922; departemen perusahaan negara yang membawahi PTT, jawatan pertambangan, pabrik garam, percetakan negara, dan jawatan kereta api pindah antara 1920-1921, Landskoepokinrichting en Het Instituut Pasteur dipindahkan pada 1923, serta perintisan radio yang juga dilakukan di Bandung pada 1923. Perubahan-perubahan penting itu juga kebanyakannya terjadi pada masa Bertus Coops menjadi wali kota Bandung (11 Juli 1917-22 Mei 1920 dan September 1921-1928).

Dengan kepindahan berbagai departemen ke serta pelembagaan-pelembagaan lainnya di Bandung tentu saja menyebabkan bertambahnya khazanah nama jalan. Apa saja nama-nama yang dipengaruhi oleh kepindahan dan inisiasi lembaga-lembaga penting itu? Para pembaca sekalian dapat menyimak jawabannya dalam tulisan-tulisan lainnya yang akan saya cicil untuk seri riwayat jalan di Kota Bandung.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//