RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (3): Peta Van der Tas dan Distrik Pulau
Tahun 1907, L.P.L. van der Tas mengajukan peta Bandung yang baru saja dibuat. Dibahas pula nama-nama jalan di Kota Bandung yang diambil dari nama pulau.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
19 Desember 2021
BandungBergerak.id - Pada 12 April 1907, untuk kesekian kalinya dewan Kota Bandung menyelenggarakan rapat. Setelah membahas berbagai agenda rapat, anggota dewan L.P.L. van der Tas diperkenankan angkat bicara. Dalam kesempatan tersebut, ia mengajukan peta Kota Bandung yang baru saja dibuatnya (nieuwen plattegrond van Bandoeng).
Dalam peta itu, Tas membubuhkan nama-nama jalan yang baru, hasil konsultasinya dengan direktur pekerjaan kota. Pada bagian kota yang baru di sebelah timur, yang berarti daerah Cikudapateuh, diterakan nama-nama pulau di Nusantara sebagai nama jalan. Misalnya, Sumatra-straat, dan Java-straat. Dengan demikian, sistemnya akan mengikuti pola tersebut dan ketua dewan berterima kasih atas rancangan dan penyusunan peta itu.
Karena peta itu telah diajukan ke kantor kadaster untuk diperiksa bahkan telah disetujui, Tas menyarankan agar segera memasang papan nama bagi jalan-jalan baru (Soerabaijasch Handelsblad, SH, 16 April 1907).
Dari peta yang dibuat Tas berikut usulan-usulannya, sekarang kita mengenal jalan berbasis nama pulau di Bandung. Lalu, bagaimana realisasi usulan Tas itu? Apakah selama tahun 1907 semua jalan berbasis nama pulau di Bandung semua digunakan?
Untuk menjawabnya, akan saya jawab setelah menguraikan, sedikit banyak, usulan pembangunan dan perbaikan jalan di sekitar Kota Bandung selama tahun pertama dan kedua keberadaan dewan Kota Bandung (1906-1907). Pertimbangannya, sekali lagi, saya hendak menunjukkan bahwa penamaan jalan berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan kotanya sendiri.
Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (1): Mengenal Jalan, Memahami Perkembangan Kota
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (2): Komisi Nama Jalan dan Peran Pentingnya
Jalan dalam Sidang Dewan Kota
Menurut De Preanger-bode (AID, 11 April 1906), dewan Kota Bandung akan menyelenggarakan sidang pertamanya pada Selasa, 17 April 1906, mulai pukul 10.00, di pendopo Kabupaten Bandung. Beberapa agendanya adalah melakukan pemilihan sekretaris dewan, pembahasan ordonansi tentang dewan-dewan lokal, pembentukan komisi untuk memperoleh pendapatan dari rumah penjagalan, dan pembentukan komisi keuangan.
Dalam praktiknya, rapat pertama itu terjadi pada pukul 18.00 dan dihadiri belasan orang Eropa dan banyak orang pribumi yang penasaran. Orang pertama yang angkat bicara adalah residen Priangan. Setelah itu antara lain dilakukan pemilihan sekretaris dewan, dengan calon P.F. Verduijn Lunel, P.J.A. Renaud, G.L. La Bastide, L.H. Kramer, J. Hulshoff, P. Heijblom dan J.J.W. Brouwer. Setelah dua kali pemungutan suara, Verduijn Lunel terpilih (AID, 18 April 1906).
Beberapa sidang lainnya pada 1906 antara lain terjadi pada 5 September, 17 Oktober, dan 11 Desember 1906. Dalam sidang 5 September yang dibahas antara lain proposal penggalian sumur artesis yang sudah mendapatkan persetujuan residen, rencana residen Priangan untuk menjual lahan di belakang rumah dinasnya karena terlalu besar dan menuntut perawatan yang layak, pengairan jalan, penetapan waktu bagi direktur pekerjaan kota untuk menyampaikan anggaran belanja tahun 1907, dan usulan untuk mendirikan Hoogere Burgerschool (HBS) (SH, 10 September 1906 dan AID, 12 Oktober 1906).
Dalam sidang 17 Oktober yang dibicarakan antara lain tentang anggaran belanja tahun 1907, penggalian sumur artesis yang akan mulai dilakukan akhir tahun, peninjauan pekerjaan yang berkaitan dengan jalan selama 1906, usulan untuk membuat beberapa jalan di kota, penetapan komite untuk pendirian HBS, dan rencana pendirian Javasche Bank (SH, 20 Oktober 1906).
Lalu, sejak kapan penamaan jalan dibicarakan dalam sidang dewan Kota Bandung? Yang nyata-nyata mengemuka ihwal penamaan jalan adalah pada sidang 11 Desember. Saat itu, ada usulan dari pemilik lahan dan rumah di sekitar Gang Kadjaksaan Girang untuk memperlebar jalan dan mengganti namanya dengan Bordeelsteeg. Ditambah fakta hingga Desember 1906 sudah dipertimbangkan akan membangun jalan penghubung dari Oude Mardikaweg dengan Nieuwe Mardikaweg hingga ke Lioweg (AID, 8 Desember 1906 dan SH, 14 Desember 1906).
Aspirasi masyarakat pula di antaranya yang menyebabkan adanya pembangunan, perbaikan, sekaligus penaman jalan atau perubahan namanya. Pada sidang tanggal 25 Jun 1907, dewan Kota Bandung menerima surat usulan bertitimangsa 2 Mei 1907 dari Th. K.J. van Kuijk, dkk., yang bermukim di sekitar Cicendo. Mereka memohon pemerintah kota agar memperbaiki jalan jelek dan memindahkan pemandian di dekat Tjitjendoweg ke dekat sumur artesis. Demikian pula W.G. van Haastert, dkk., dengan surat permohonannya pada 10 April 1907. Mereka usul agar memperlebar jalan di Gang Kebon Kawoeng (AID, 22 dan 26 Juni 1907).
Konteks inilah yang mendorong Van der Tas untuk membuat peta Kota Bandung, berikut sejumlah usulan nama jalan yang akan dibangun. Pada praktiknya, sejak diusulkan pada 12 April 1907, pemerintah Kota Bandung mengakomodir usulan Tas untuk memberi nama-nama jalan di sekitar Cikudapateuh dengan nama-nama yang diambil dari pulau-pulau di Nusantara.
Buktinya, ketika Bandoengsche Electriciteit Maatschappij sudah mendapatkan konsesinya untuk membuat penerangan di sekitar ibu kota Bandung, Cimahi, dan sekitarnya, mereka diharuskan membuat pedoman jalan. Antara lain yang disebutkan dalam berita Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie (14 Desember 1907) adalah Sumatra-straat, Oost einde, Java-straat, Nias-straat, Borneo-straat, Celebes-straat, Bali-straat, Biillton-straat, Timor-straat, Bangka-straat, Atjeh-straat, Ambon-straat, Ternate-straat, Ceram-straat dan Riouw-straat.
Perbandingan dari Peta
Bagaimana perkembangan nama pulau pada jalan di sekitar Cikudapateuh itu? Untuk mengetahuinya, saya mengandalkan peta-peta Kota Bandung yang dibuat antara tahun 1910 hingga 1930.
Dalam peta Bandoeng en Omstreken (1910), nama-nama jalan di sekitar itu masih sama dengan yang terdaftar pada saat Bandoengsche Electriciteit Maatschappij mendapatkan konsesi pada akhir 1907. Namun, dari peta tersebut nampak sejumlah fakta menarik yang sangat layak kita catat. Terutama bersangkutan dengan pembangunan jalan itu sendiri.
Dari peta itu, kita jadi tahu hingga 1910, pembangunan Riouw-straat baru sampai ke persimpangan Banda-straat. Sementara Bangka-straat baru sampai bertemu Banda-straat. Demikian pula Bali-straat dan Biliton-straat yang masih buntu ke arah timur. Sementara empat jalan di antara Biliton-straat dan Java-straat, meski sudah selesai dibangun tetapi belum diberi nama.
Satu dasawarsa kemudian, dalam Kaart van de Gemeente Bandoeng Schaal 1: 5000 (1921), kita tahu Banda-straat sudah dibangun ke timur, bersambung dengan Prinsen-Boulevard, dan berakhir di Oranje-Plein. Kemudian Bangka-straat diubah menjadi Ambon-straat yang pembangunan jalannya sudah selesai hingga bertemu Lombok-straat. Bali-straat juga berubah nama menjadi Menado-straat dan sudah bersambung dengan Noorder Kampement-straat.
Satu jalan di antara Bangka-straat dan Bali-straat yang sebelumnya tidak beridentitas, diberi nama Soenda-straat. Biliton-straat sudah selesai dibangun hingga ke pintu masuk kompleks Militaire-societeit. Kemudian empat jalan di antara Biliton-straat dan Java-straat juga sudah diberi identitas dengan Bali-straat, Soembawa-straat, Timor-straat, dan Lombok-straat. Selain itu, satu ruas jalan di antara Sumatra-straat dan Java-straat yang asalanya tak bernama, sudah dikasih nama Atjeh-straat.
Selanjutnya, dalam peta Bandoeng (1930) nama-nama jalan sudah semakin banyak digunakan di lingkungan jalan yang menggunakan nama kepulauan di Nusantara itu. Tentu saja ini seiring dengan pembangunan jalan-jalan baru dalam tempo antara 1921-1929. Oleh karena itu, agak musykil juga menuliskan semua nama jalan di sekitar Cikudapateuh itu.
Namun, yang pasti ini adalah buah dari realisasi pembangunan Kota Bandung ke arah timur, sesuai dengan Plan I, Plan II, Plan X, dan Plan XI dalam Prospectus voor de Uitgifte van Gronden (1923). Keempat perencanaan pembangunan itu berlangsung di sekitar Cikudapateuh, dengan perhatian pada pembangunan kompleks perkantoran, perumahan pegawai sipil, dan kompleks industri (industrieterrein).
Menjadi Distrik Pulau
Pemerintahan Kota Bandung menamakan kompleks bangunan di sekitar Cikudapateuh itu sebagai Archipelwijk (distrik pulau). Sesuai rencananya, bangunan-bangunan, terutama perumahan yang telah selesai dibangun oleh dinas pembangunan kota akan dijual kepada siapa saja yang berminat (AID, 2 Februari 1917 dan De Locomotief, 6 Februari 1917).
Apa yang dimaksud Archipelwijk? Saya menemukan salah satu jawabannya dalam laporan AID edisi 4 Februari 1917. Di situ disebutkan Archipelwijk merujuk kepada distrik atau lingkungan baru di antara barak militer dan Sumatra-straat, yang diupayakan perusahaan lahan pemerintah (“gouvernementsgrondbedrijf”). Ketika dewan kota dibentuk, rencana perluasan pembangunan tersebut semula tidak langsung diberikan kepada pihak pemerintahan Kota Bandung. Bahkan disebutkan pula hingga saat itu Archipelwijk masih berada di bawah militer.
Hingga awal 1917 sendiri, konon, keadaan sekitar distrik itu baru sedikit atau sama sekali belum terawat baik, sebagian karena terkendala pengangkutan material bangunannya, kondisi bagian atas jalannya jelek atau kebanyakannya rusak. Jalan-jalan pun ditumbuhi rerumputan, drainasenya terabaikan, tepiannya tidak berada di bawah jalan, dan penanaman pohon hampir tidak ada sama sekali.
Sementara yang berkaitan dengan taman disebutkan Insulinde-Park belum selesai, demikian pula Molukken-park yang masih harus dirancang. Molukken-park akan dimaksudkan sebagai lapangan olah raga (terutama tenis) yang meliputi seperempat bagian taman. Saat itu juga direncanakan untuk membangun semacam taman (“stationsplein”) di Java-straat dan jalan ke kompleks perumahan perwira militer.
Rupanya pembangunannya berlangsung lancar, sehingga seorang pembaca dalam AID edisi 6 Maret 1918 memberi tanggapan bahwa secara keseluruhan apa yang dilakukan perusahaan lahan pemerintah di timur Kota Bandung menuai sukses besar. Persil-persil tanah dijual dengan harga wajar, dan para pembelinya merasa puas. Tidak lama lagi, katanya, bagian kota yang cantik ini akan bangkit, terutama bagian yang terhubung dengan pusat kota melalui trem.
Namun, satu hal keberatan pembaca itu, yaitu nama-nama jalan dalam Plan IA. Ia tidak puas mendapati nama-nama Balong Tjihapit, Djamboe Koelon, Djamboe Bangkok, Djamboe Kidoel, Djamboe Kaler, Djamboeweg, Kleine Djamboeweg, Djamboeplein, Djamboe Doea, Djalan Balong Tjihapit dan Kampoeng Kebon Djamboe. Namanya, konon, terdengar vulgar dan jelek. Tetapi ia setuju dengan penggunaan nama Karees dan nama-nama gunung untuk halan, yaitu Papandajan-straat, Goentoer-laan, dll. Demikian pula dengan nama-nama pulau, ia mufakat.
Sementara ke depannya, ia mengusulkan agar nama-nama jalan di sekitar Archipelwijk menggunakan nama-nama seniman dan orang-orang terkemuka, seperti Idenburg-straat, van Limburg Stirum-straat, Koningsberger-straat, dll. Nama-nama tersebut akan terdengar lebih elegan daripada Balong Tjihapit dan Djamboe Bangkok. Meskipun benar semua nama Djamboe adalah demi kemudahan dan kenyaman para pribumi ketika mengucapkannya.