RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (4): Gunung-Gunung di Kompleks Karees
Penamaan gunung pada sejumlah jalan di Bandung erat kaitannya dengan rencana pembangunan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Rencana ini bikin harga tanah naik.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
27 Desember 2021
BandungBergerak.id - Sekarang di sekitar Kecamatan Lengkong, Kota Bandung, kita mengenal adanya nama-nama jalan yang menggunakan nama-nama gunung di Priangan. Di sana antara lain ada Jalan Galunggung, Jalan Guntur, Jalan Tampomas, Jalan Windu, Jalan Patuha, Jalan Malabar, dan Jalan Halimun.
Pasti kita semua dibuat penasaran, terutama sama-sama hendak mengetahui riwayat penggunaan nama-namanya. Sejak kapan ya nama-nama gunung tersebut digunakan? Apakah mulai dipakai sejak Indonesia merdeka atau bahkan sudah dilakukan jauh-jauh hari pada masa kita semua hidup di alam penjajahan?
Sebagai salah satu isyarat ke sana, saya membaca berita tentang kunjungan Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum ke Bandung pada 3 Agustus 1917. Rencana kunjungan orang nomor satu di tanah jajahan itu antara lain diberitakan dalam AID De Preanger-bode (30 Juli 1917). Di situ disebutkan pada Jum’at sore, setelah mengunjungi pabrik karet N.I. Caoutchouc Fabriek, gubernur jenderal akan berkeliling Kota Bandung dan menyambangi perusahaan swasta.
Ia antara lain akan pergi ke Cikudapateuh, melewati distrik jawatan kereta api (S.S.-wijk) lalu ke Karees, dan sebagai tanggapan terhadap perhimpunan Insulinde gubernur jenderal akan menyambangi kampung-kampung untuk melihat kebenaran pengaduan. Hal ini sangat penting dilakukan, karena konon pemerintahan Kota Bandung memang sedang memperluas pembangunan ke timur, yakni Cikudapateuh. Sehingga kunjungan gubernur jenderal dapat menentukan bantuan pemerintah bagi Kota Bandung.
Redaksi AID juga menyatakan kunjungan orang nomor satu Hindia Belanda juga berkaitan dengan penyelenggaraan balap kuda tahunan di Tegallega. Selain itu, redaksi berharap pembangunan di luar pusat Bandung, seperti distrik kereta api, Karees, dan lain-lain akan lebih berkibar, sehingga kunjungan Van Limburg Stirum itu sangat berarti bagi Bandung.
Edisi AID lainnya (31 Juli 1917) memerinci rencana kunjungan gubernur jenderal ke Bandung. Katanya, pagi-pagi sekali tanggal 3 Agustus 1917, gubernur jenderal dan istri akan meninggalkan Istana Cipanas. Pada pukul 11.00, direncakan rombongan akan mengunjungi perkebunan gandum milik Bothma di Lembang. Menjelang makan siang, rombongan kembali ke Kota Bandung.
Sekitar pukul 15.30, mereka akan bertolak dari kediaman residen Priangan. Mula-mula ke pabrik karet di Citepus, lalu ke kampung melalui Gang Pedah, di antara Jalan Raya Pos dan Bioskop Orion. Tujuan berikutnya adalah bagian timur Alun-alun, ke tempat yang drainasenya payah. Dikawani wali kota Bandung, gubernur jenderal kemudian akan berkunjung ke timur, ke tempat rencana pembangunan Karees, kompleks di Terusan Jalan Riau (Verlengde Riouwstraat), dan pembangunan poros Technische Hoogeschool. Hari Sabtunya, pukul 08.30, gubernur jenderal akan menggunakan kereta kuda menuju pacuan Tegallega, untuk menyaksikan balap kuda.
Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (1): Mengenal Jalan, Memahami Perkembangan Kota
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (2): Komisi Nama Jalan dan Peran Pentingnya
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (3): Peta Van der Tas dan Distrik Pulau
Rencana Pembangunan Kompleks Karees
Apa hubungan antara perjalanan Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum dengan nama-nama jalan yang berkaitan dengan gunung di sekitar Lengkong? Hubungannya sangat erat, karena salah satu yang dikunjungi Van Limburg Stirum adalah Karees, lingkungan baru yang dibangun pemerintahan Kota Bandung, tempat digunakannya gunung-gunung di Priangan sebagai nama jalan.
Lalu, sejak kapan nama-nama gunung diajukan untuk menamai jalan baru di sekitar kompleks Karees? Siapa yang mengajukan nama-namanya? Jawaban pastinya saya peroleh dari AID edisi 31 Juli 1917. Di situ dikatakan, redaksi AID pada hari itu, 31 Juli 1917, baru menerima peta (een plattegrond) dari “Mij tot Expl. en Bebouwing van Gronden te Bandoeng”. Di dalam peta tertera pembangunan jalan-jalan di kompleks Karees hampir semua bagiannya sudah selesai dan sudah diberi nama gunung-gunung.
Jalan utamanya dinamai Papandajan-laan. Selebihnya ada Goentoer-laan, Tampomas-laan, Malabar-park, Patoeha-laan, Windoe-straat, Halimoen-laan, dan lain-lain. Dengan demikian, kita kini jadi mengetahui nama-nama jalan di sekitar Kecamatan Lengkong itu sudah mulai ada paling tidak sejak awal Juli 1917 dan berkaitan erat dengan pembangunan kompleks Karees.
Pertanyaan susulannya, sejak kapan rencana pembangunan kompleks Karees mengemuka? Dalam AID edisi 7 Juli 1917 ada berita bertajuk “Karees-bouwplan”. Rupanya di situlah kunci jawabannya. Di dalamnya dikabarkan Barkhausen, administratur Mij tot Expl. en Bebouwing van Gronden te Bandoeng”, mengajukan permohonan kepada dewan Kota Bandung untuk rencana pembangunan Karees lengkap dengan rencana jalan, termasuk pemasangan sistem perpipaan air (waterleiding) di jalan-jalan baru. Bahkan, konon, untuk jalan utama yaitu Papandajan-laan, pipanya sudah dipasang.
Pemerintahan Kota Bandung menyetujuinya. Namun, direktur pekerjaan kota mengingatkan agar rencana pembangunan tersebut dapat seia dengan rencana perluasan Kota Bandung. Karena, konon, bila rencana umum perluasan belum siap dan tersedia, maka rancangan pembangunan Barkhausen akan dipertimbangkan untuk disesuaikan, tetapi rencana Karees pasti akan diadopsi.
Rupanya ajuan Barkhausen menimbulkan debat di dewan Kota Bandung. Pada sidang tanggal 16 Juli 1917, dewan Kota Bandung menghadirkan pembicara dari Bandoengsche Kiesvereeniging, Elenbaas. Narasumber itu menyampaikan pokok bahasan di sekitar kebijakan lahan di Kota Bandung (grondpolitiek van de gemeente Bandoeng). Antara lain dia menyatakan khawatir melihat publik Bandung yang bersikap menunggu terkait kebijakan itu.
Kekhawatirannya, konon, terbukti pada Karees. Bertahun-tahun lalu, katanya, tidak ada yang mau banyak-banyak membeli lahan di sekitar Karees. Namun, sekarang orang-orang berlomba-lomba mendirikan bangunan di situ. Elenbaas mencontohkan, enam bulan lalu (Januari 1917) harga satu meter tanah di Papandajan-laan hanya 2,5 gulden, sekarang naik menjadi 4 gulden (AID, 17 Juli 1917).
Pada 24 Juli 1917, dewan Kota Bandung kembali bersidang. Salah satu agendanya mempertimbangkan proposal pembangunan kompleks Karees dari Barkhausen (Behandeling van het voorstel tot goedkeuring van het bouwplan-Karees). Dalam praktiknya, 15 ajuan kepemilikan lahan oleh N.V. Maatschappij tot exploitatie en bebouwing van gronden di Karees ternyata tidak mendapat penolakan. Ini berarti permohonan Barkhausen dikabulkan dewan Kota Bandung (AID, 19 dan 25 Juli 1917).
Inilah yang menjadi konteks ketika Mij tot Expl. en Bebouwing van Gronden te Bandoeng menyerahkan peta pembangunan di kompleks Karees kepada redaksi AID pada 31 Juli 1917 sekaligus salah satu tujuan kunjungan gubernur jenderal Hindia Belanda ke Bandung pada 3 Agustus 1917.
Tetap Masuk Master Plan
Sebagaimana yang sudah dinyatakan di atas, pembangunan kompleks Karees berkaitan pula dengan rencana perluasan Kota Bandung ke timur. Demi kepentingan perizinan lahan dan penentuan harga tanah, di Kota Bandung didirikan Dienst van het Grondbedrijf .
Menurut D.G. Stibbe dan F.J.W.H. Sandbergen (dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, Achtste Deel, 1939) dinas yang mengurusi pembangunan kota atau pertanahan itu didirikan pada 1916. Antara 1917-1930, dinas tersebut telah mengeluarkan uang sebesar 4.750.000 gulden untuk membeli tanah, terutama milik pribumi, dan 3.850.000 untuk pembangunan serta perbaikan jalan. Total pengeluarannya 11 juta gulden.
Buah perluasan pembangunan di Kota Bandung itu disebut sebagai “Nieuw-Bandoeng” atau Bandung baru oleh Stibbe dan Sandbergen. Bandung baru terbagi atas beberapa rencana pembangunan, di antaranya membangun perumahan bergaya indis modern di lingkungan atau distrik yang jalan-jalannya menggunakan nama-nama pulau (Archipelwijk), para pelukis (de Schilderswijk), pahlawan laut (de Zeeheldenwijk), guru besar (de Professorenwijk), anggota keluarga Kerajaan Belanda (de Oranjewijk), Kebon Djamboe dan Karees.
Sudah jelas pembangunan kompleks Karees adalah bagian dari rencana perluasan Kota Bandung. Mengenai hal tersebut antara lain dapat ditemukan dalam Nota Betreffende de Plannen tot Ombouw van den Spoorweg ter Hoofdplaats Bandoeng (1919: 46, 48, 51). Dalam catatan itu, Karees disebut-sebut sebagai bagian dari Plan III dari rencana perluasan Kota Bandung, yang menurut Prospectus voor de Uitgifte van Gronden (1923) letaknya berada di sebelah barat Dagoweg.
Lalu bagaimana peruntukan Karees? Bila membaca keterangan dari S.A. Reitsma dan W.N. Hoogland (Gids Van Bandoeng en Midden-Priangan, 1927: 38), pembangunan kompleks Karees ditujukan untuk kalangan orang Eropa (de modern gebouwde Europeesche wijk Karees). Di situ ada stasiun kecil (Cibangkong Lor), untuk menuju Ciwidey.
Apalagi di sekitar Karees kemudian didirkan barak untuk pasukan kavaleri yang dipindahkan dari Salatiga, Jawa Tengah (“Het escadron cavallerie van Salatiga is te Bandoeng aangekomen en heeft het nieuwe kampement op Karees betrokken”) pada 1922 (Java-post, jrg 20, no 19, 12-05-1922). Tiga tahun kurang kemudian dalam AID (12 Februari 1921) dikatakan pada 12 Februari 1921, jalur kereta api Bandung-Banjaran-Soreang yang tentu saja berawal dari Karees secara resmi dibuka.
Berbagai perkembangan pembangunan fisik di Karees juga tercermin dari bertambahnya jalan-jalan baru sekaligus penamaannya. Salah satunya adalah untuk jalan yang dibuat pada kompleks Sindang-sore. Dalam rapat dewan Kota Bandung tanggal 23 Agustus 1938, ada yang mengusulkan agar jalan baru itu dinamai Poetrilaan (“Djalan nos keur didjisun di complex Sindang-sore, soepaja dilandi Poetrilaan”). Fakta ini saya temukan dalam Sipatahoenan edisi 24 Agustus 1938. Yang membuat menarik tentu saja adalah karena nama tersebut terus bertahan hingga sekarang, digunakan di sekitar Kecamatan Lengkong.
Setelah Indonesia merdeka, Karees tetap menjadi salah “kota satelit” dalam masterplan Kota Bandung. Ini dinyatakan oleh Helena Ignasia (Transformations and Conservation of the Ex-Colonial Dwelling Settlements in North Bandung-Indonesia, 2008: 139). Menurut Ignasia, pemerintah Kota Bandung menetapkan empat distrik pembangunan untuk menyederhanakan dan mengelola pembangunan. Keempatnya adalah Cibeunying (untuk administrasi dan pendidikan), Karees dan Tegallega (untuk industri dan perdagangan), Bojonegara (untuk industri dan pendidikan), dan pusat kota (untuk pariwisata dan perdagangan).
Demikianlah asal-usul kehadiran nama gunung pada jalan-jalan di sekitar Kecamatan Lengkong. Ternyata sejarah Jalan Galunggung, Jalan Guntur, Jalan Tampomas, Jalan Windu, Jalan Patuha, Jalan Malabar, dan Jalan Halimun erat bertautan dengan rencana perluasan pembangunan Kota Bandung ke arah timur, ke Cikudapateuh, paling tidak sejak 1917.