RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (10): Kompleks Burung di Sadang Serang
Di Bandung ada nama-nama jalan yang berasal dari nama burung, mulai Jalan Caladi, dan sebangsanya. Jika ditelusuri, rupanya penamaan ini sudah sejak lama.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
6 Februari 2022
BandungBergerak.id - “Nah, kalau kaos pasti semua setuju dipegang sama Caladi 59 atau yang beken disebut C-59. Yang bikin merek ini beken adalah mereka produksi hampir semua kaos band luar, kayak Public Enemy, Cypress Hill, Soundgarden, atau band-band cadas lainnya. Keren, karena referensi di era itu kan cuma sampul kaset sama majalah,” demikian yang dibilang Nicko Krisna (Hits from the 80s & 90s, 2014: 85).
Nicko sedang mengenang hal-hal yang menjadi tren di kalangan anak muda pada 1980-an dan 1990-an. Salah satu yang dicontohkannya merk t-shirt C-59 yang mulai dirintis Marius Widyarto sejak 1980. Bagi saya, yang membuatnya istimewa adalah kata Caladi itu sendiri. Caladi adalah jenis burung dalam bahasa Sunda yang sama saja dengan burung pelatuk dalam bahasa Indonesia. Namun, maksud C-59 tentu saja adalah Jalan Caladi Nomor 59, alamat rumah sekaligus tempat asal Marius memulai bisnis.
Jalan Caladi sekarang termasuk Kelurahan Sadang Serang, Kecamatan Coblong. Selain Jalan Caladi yang terkenal karena dijadikan Marius Widyarto sebagai merek dagang kaos dan perusahaannya (PT. Caladi Lima Sembilan), di sekitarnya ada jalan yang sudah lama terkenal: Gang Tilil.
Hingga tahun 1990-an, di sekitar Gang Tilil ada terminal. Bukti-buktinya masih dapat kita simak dari berbagai pustaka. Saya antara lain melihat Petunjuk Perjalanan Wisata Remaja (1986: 93). Di sana Museum Geologi dikatakan “dapat dicapai dengan segala jenis kendaraan” dengan “Route: Statsion-Gang Tilil”. Demikian pula Joe Cummings (Indonesia: A Travel Survival Kit, 1990: 88), yang mengatakan untuk mencapai Museum Geologi, “From the train station you can take a colt bound for Terminal Gang Tilil and get off at the Gedung Sate, about 50 metres from the museum” (dari stasiun kereta api, naiklah colt dengan jurusan ke Terminal Gang Tilil, dan turunlah di Gedung Sate, sekitar 50 meter dari museum).
Gang Tilil dan terminalnya diabadikan pula dalam karya sastra. Dalam Mangle (1969: 24) antara lain ada kutipan begini: “Lumajan djauhna ka kantor teh, geura we imah di daerah Pasundan ari pagawean di tonggoh. Ngan hadena weaja oplet Gang Tilil ti Tjikapundung, ka tonggoh teh, atuh teu njiksa teuing suku dina indit atawa balik teh” (Jarak ke kantor cukup jauh, kan rumah ada di daerah Jalan Pasundan, sementara pekerjaan ada di daerah ketinggian. Tapi ada baiknya karena ada olet Gang Tilil dari Cikapundung ke arah ketinggian, sehingga kaki tidak tersiksa ketika berangkat maupun pulang kerja).
Dalam salah satu cerpennya, Wildan Yatim juga menyentil Gang Tilil. Dalam Selandang: Kumpulan Cerpen (1988: 136) antara lain ada kutipan begini, “Esih dengar Eman bergantian tinggal di rumah ibunya dan di rumah Ecin di Gang Tilil. Tak pernah dia dengar datang lagi ke rumah Onah. Rupanya sudah betul-betul bercerai. Sungguh seperti kena miang hati Esih memikirkan ...”.
Tilil seperti Caladi termasuk jenis burung dalam bahasa Sunda. Bila dicermati secara saksama, di Kelurahan Sedang Serang itu memang terbentuk kompleks jalan yang menggunakan nama-nama burung dalam bahasa Sunda. Di sana ada Jalan Japati, Jalan Titiran, Jalan Burung Gereja, Jalan Manyar, Jalan Merak, Jalan Ciung, Jalan Jalak, Jalan Dederuk, Jalan Piit, Jalan Titimplik, Jalan Titimplik Dalam, Jalan Caladi, Jalan Caladi Dalam, Jalan Puter, Jalan Bondol, Jalan Puyuh, Jalan Tilil, Jalan Gagak, Gang Gagak, dan Gang Tilil.
Saya dibuat penasaran ihwal awal mula penggunaan nama-nama jalan itu.
Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (7): Kompleks Buah-buahan di Cihapit
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (8): Kompleks Kayu-kayuan di Cihapit
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (9): Wali Kota Mengusulkan Kompleks Sungai
Sejak Agustus 1940
Untuk menjawab rasa penasaran, saya mula-mula membuka peta-peta lama Kota Bandung. Dari peta-peta antara 1910 hingga tahun 1930-an, kompleks burung itu belum ada. Baru dalam peta Bandoeng Town Plan (1945) yang dibuat Survey Directorate Head Quarters AFNEI dan Bandoeng Guide Map (1946) yang dibuat lembaga yang sama, saya menjumpai kompleks burung sudah ada di Sadang Serang.
Di kedua peta itu tertera, di belakang Juliana Boulevard (Jalan Surapati sekarang) ada Djapati-laan, Titiran-laan, Merak-laan, Gang Garedja, Gang Manjar, Tikoekoer-laan, Gang Tjioeng, Gang Djalak, Dederoek-laan, Gang Titimplik, Poeter-laan, Gang Tilil, dan Gang Bondol. Soalnya, apakah 1945 adalah kali pertama nama burung digunakan sebagai nama jalan? Dari penelusuran koran Sipatahoenan saya berhasil mendapatkan tahun pastinya. Saya menemukannya pada edisi 20 Agustus 1940.
Di situ ada laporan berjudul “Tambahan imah-imah pakampoengan Haminteu” (tambahan rumah-rumah di perkampungan kota). Yang dimaksud perkampungan kota adalah “Pakampoengan anjar di Rembrand-straat-Tjihaoergeulis” (perkampungan baru di Jalan Diponegoro-Cihaurgeulis). Konon, “Pakampoengan Haminteu noe kaseboet teh diadegan imah-imah laleutik, sarta lantaran tempatna sakitoe legana, atoeh ajana tambahan djalan djeung gang-gang oge lain saeutik, nja eta aja 19 di ieu kampoeng anjar teh” (Di perkampungan kota itu didirikan rumah-rumah kecil, dan karena tempatnya sangat luas sehingga tambahan jalan dan gang-gang pun tidak sedikit, yaitu ada 19).
Kemudian terbaca, “Ngaranna djalan-djalan djeung gang-gang anjar teh kabeh make ngaran manoek, saperti Meraklaan, Dederoeklaan, Poeterlaan, Djapatilaan, Tikoekoerlaan, Gang Djalak, Gang Tjioeng, Gang Piit, Titiranlaan, Gang Manjar, Gang Garedja, Gang Gagak, Gang Bondol, Poejoehlaan, Gang Tilil, Gang Ekek, Gang Titimplik, Gang Tjaladi djeung Gang Galatik” (Nama jalan-jalan dan gang-gang itu semuanya menggunakan nama burung, seperti Merak-laan, Dederoek-laan, Poeter-laan, Djapati-laan, Tikoekoer-laan, Gang Djalak, Gang Tjioeng, Gang Piit, Titiran-laan, Gang Manjar, Gang Garedja, Gang Gagak, ang Bondol, Poejoeh-laan, Gang Tilil, Gang Ekek, Gang Titimplik, Gang Tjaladi dan Gang Galatik).
Dari kutipan koran berbahasa Sunda itu, saya yakin penamaan kompleks burung di Sadang Serang dimulai setelah rumah-rumah bagi perkampungan penduduk pribumi rampung. Waktunya bisa ditetapkan sejak minggu ketiga Agustus 1940. Alhasil, penamaannya yang berarti pembangunan kompleksnya berselang hampir dua dasawarsa dari pembangunan dan penamaan kompleks sungai, kayu-kayuan, dan buah-buahan di sebelah selatan Jalan Surapati.
Perlu Segera Diperbaiki
Bagaimana selanjutnya? Untuk menjawabnya, saya masih mengandalkan Sipatahoenan. Empat bulan setelah penamaan kompleksnya, saya mendapati laporan bertajuk “Ngaronda ka Tjihaoer Geulis” dalam edisi 14 Desember 1940.
Mula-mula penulis mengatakan “Ajana hoedjan ti beurang keneh sarta nepi ka poekoel dalapan peuting kakara raat, kamari teh geus maksa ka noe noelis koedoe datang ka sababaraha kampoeng di palebah kaler sarta teroes ngaronda ka Tjihaoer Geulis” (Hujan yang terjadi sedari siang hingga pukul delapan malam kemarin, memaksa saya harus mendatangi beberapa kampung di sebelah utara dan berlanjut meronda ke Cihaurgeulis).
Setelah mendatangi kampung-kampung itu, ia berkesimpulan masih banyak kampung yang harus segera diperbaiki pemerintah Kota Bandung. Kampung-kampung di sekitar Cihaurgeulis dan perkampungan kota di Sadang Serang, dekat gedung-gedung baru, itu terkesan sangat kotor, karena jalan-jalannya berlumpur dan licin (“kampoeng-kampoeng noe katjida roedjitna teh, lantaran katjida djareblogna djalan-djalan oge djeung leueur”).
Dengan demikian, kata penulis, kedua perkampungan itu menggambarkan kurangnya perhatian dan kendali bagi gedung-gedung di sekeliling perkampungan kota yang baru (“Tapi koe kaajaan di Tjihaoer Geulis noe deukeut pisan ka kantor Pensioenfondsen djeung pakampoengan Haminteu Sadang Serang, deukeut sedong-gedoag noe wareuteuh keneh, oge geus tjoekoep ngagambarkeun koemaha koerangaa panalingaan di sakoerilingna gedong-gedong di pakampoengan Haminteu noe anjar”).
Penulis juga mendatangi Kampung Sadang Saip sekitar pukul 17.00, setelah hujan berhenti. Dari sana katanya perjalanan bisa dilanjutkan berjalan kaki ke lahan milik pemerintah Kota Bandung (perkampungan baru) baik yang sudah dibangun perumahan maupun yang masih difondasi, sebab banyak yang belum dibangun. Penduduk di sekitarnya atau orang yang berniat ke tempat tersebut sangat kesusahan bila musim hujan tiba. Karena keadaannya akan menjadi kotor, berlumpur, dan licin. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar dibuatkan jalan yang mengarah ke Gang Titimplik (“Nja ieu sababna anoe matak perloe koedoe dajakeun djalan anoe bras ka Gang Titimplik teh”).
Selain itu, penulis menyarankan pembuatan selokan dan benar-benar memperhatikan got-got untuk drainase air. Keadaan yang sama ia sebutkan pada Cihaurgeulis yang mesti mendapatkan perlakuan yang sama. Karena dari Gang Tilil ke Cihaurgeulis berlanjut ke jalan-jalan baru hingga Gang Bondol keadaannya buruk, bahkan kerap tergenang, karena selokan yang demikian kecil itu tak terawat.
Berbulan-bulan kemudian ada yang menulis mengenai Cihaurgeulis lagi dalam Sipatahoenan edisi 16 Juli 1941. Judulnya, “Tjaang boelan di Tjihaoer Geulis” (terang bulan di Cihaurgeulis). Mulanya penulis memuji Cihaurgeulis dengan mengatakan “'Tjihaoergeulis teh sabagian tina tempat anoe pinoeh koe roepa pamandangan noe katjida aloesna, sarta pernahna di djero kota [kota anjar], malah leuwih merenah oepama ieu kampoeng noe ajeuna kawengkoe koe Haminteu diseboet hidji tempat noe katjida sarina, lantaran loba pamadangan alam noe araloes di dinja teh” (Cihaurgeulis itu bagian dari tempat yang penuh dengan pemandangan indah dan letaknya di dalam kota [kota baru], bahkan lebih tepat dikatakan kampung yang sekarang termasuk kota itu disebut suatu tempat yang sangat indah, sebab banyak pemandangan alam yang indah).
Saat itu Cihaurgeulis termasuk Desa Coblong, Kecamatan Cipaganti, Kewedanaan Lembang. Setelah penulis memuji, uraian selanjutnya berisi sindiran. Ia menyatakan perkampungan bekas kebakaran besar di Cihaurgeulis, dekat Rembrandt-straat (Jalan Diponegoro), tetap tidak terpelihara, sehingga rentan berurusan dengan masalah kesehatan. Demikian pula perkampungan baru yang didirikan pemerintah Kota Bandung, belum dibuatkan tempat pemandian umum, tempat buang air (WC dan urinoir), dan belum dipasangi listrik.
Dengan demikian, bila malam tiba, masih jarang ada orang yang berpesiar ke Cihaurgeulis, meski ongkosnya murah, cepat dan mudah. Konon, bila pukul 19.30 tiba di Cihaurgeulis dan Sadang Serang lalu ke Gang Titimplik dan gang-gang yang sangat gelap, terbukti keadaan tepi-tepi jalan atau gangnya tidak berbeda dengan beberapa tempat di kota, yaitu adanya pemandangan tidak mengenakkan dan sangat bau, sebab orang bisa buang air [besar] sembarangan (“Oepama poekoel satengah 8 oerang geus aja di Tjihaoer Geulis djeung Sadang Serang toeloej ka Gang Titimplik djeung gang2 noe katjida powekna, bisa oge ngaboektikeun jen kaajaan di sisi2 djalan [gang] di dinja teh teu beda djeung kaajaan di sababaraha tempat di dajeuh, nja eta loba noe matak roengseb kana pamandangan ... sarta katjida baoena, lantaran di mana bae noe maritjeun teh”).
Itulah keadaan awal kompleks burung di Sadang Serang yang pada tahun 1950-an mulai dijadikan tempat indekos mahasiswa serta arena pertemuan partai politik, bahkan menjadi latar belakang adanya terminal Gang Tilil dan bisnis kaos di Jalan Caladi. Dalam AID de Preangerbode (17 Februari 1953) disebutkan mahasiswa jurusan meteorologi di fakultas teknik Bandung mendirikan Persatuan Mahasiswa Meteorologi. Para pengurusnya Iskandar (ketua), Soenarjo (sekretaris), Siswojo (bendahara), R.R. Rakiman dan Suharjo (komisaris). Sekretariat organisasi baru itu ada di Jalan Titiran nomor 19.
Sementara Gang Tilil, terutama lapangannya, dijadikan tempat pertemuan partai-partai menjelang pemilihan umum 1955. Menurut AID (26 Agustus 1955), sore nanti pada pukul 14.00 PNI cabang Coblong Selatan akan mengadakan latihan pencoblosan di lapangan Gang Tilil. Sementara pada edisi 10 September 1955, AID melaporkan rencana Nahdatul Ulama yang akan berkampanye di lapangan Gang Tilil pada Senin, 12 September 1955, sedangkan PNI pada Minggu, 11 September 1955, mulai pukul 09.00.