• Kolom
  • RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (8): Kompleks Kayu-kayuan di Cihapit

RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (8): Kompleks Kayu-kayuan di Cihapit

Penamaan kompleks kayu-kayuan di Cihapit diperkirakan terjadi antara tahun 1921 hingga 1924. Diperuntukkan pegawai rendah pemerintahan kolonial.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Rumah era Hindia Belanda di persimpangan Jalan Rasamala dan Jalan Saninten, Cihapit, Kota Bandung, Jumat (14/1/2022). Permukiman di kompleks kayu-kayuan ini dulunya merupakan kompleks khusus pegawai rendah di kantor pemerintahan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

26 Januari 2022


BandungBergerak.id - Saya teringat satu pantun dalam bahasa Sunda. “Saninten buah saninten, saninten di parapatan, hapunten abdi hapunten, bilih aya kalepatan” (Saninten buah saninten, saninten di perempatan, maafkan saya maafkan, bila ada kesalahan), bunyinya. Ingatan itu sekaligus mengingatkan saya pada nama-nama jalan yang menggunakan nama kayu-kayuan di Kelurahan Cihapit, Kecamatan Bandung Wetan. Bahkan dua di antaranya ada di sekitar kompleks buah-buahan, sebelah timur kompleks kayu-kayuan.

Bila melihat Google Maps secara rinci, saya mendapati ada Jalan Tanjung dan Jalan Johar di sekitar kompleks buah-buahan – yang sudah saya bahas dalam tulisan sebelumnya. Kemudian ada Jalan Salam, Jalan Jamuju, Jalan Suren, Jalan Cendana, Jalan Kihiur, Jalan Pasang, Jalan Manglid, dan Jalan Saninten.

Dalam hati saya bertanya-tanya: adakah hubungan antara kompleks buah-buahan dan kayu-kayuan, berikut penamaan jalannya? Bila membaca kembali tulisan sebelumnya, saya menemukan titik terang untuk menjawabnya, yaitu pada peta rencana pembangunan kesepuluh (Plan X) yang mulai dirancang pihak pemerintahan Kota Bandung sejak 1917. Di situ terlihat kesinambungan antara pembangunan kompleks buah-buahan dengan kompleks kayu-kayuan. Dengan kata lain, kompleks kayu-kayuan merupakan kelanjutan dari pembangunan kompleks buah-buahan.

Lalu, pertanyaan lainnya: sejak kapan nama kompleks kayu-kayuan mulai digunakan? Apa saja yang terjadi di sana selanjutnya? Bagaimana perkembangannya, bila dikaitkan dengan perkembangan kependudukan Kota Bandung? Untuk menjawab soal-soal tersebut, saya akan berbagi hasil penelusuran pustaka baik dari peta-peta maupun dari data lama.

Dari Peta dan Koran

Dari peta Bandoeng, nieuwe gemeentegrenzen (1921) dan Kaart van de gemeente Bandoeng (1921) di tempat yang sekarang menjadi kompleks kayu-kayuan masih dalam tahap pembangunan. Salah satu cirinya berupa titik-titik berjalinan yang seakan membentuk jalan, seakan-seakan belum selesai dibangun. Lebih jelas lagi di sana belum diberi keterangan nama jalan.

Tiga tahun kemudian, sebagaimana yang saya lihat dalam peta Plan of Bandoeng (1924), di sekitarnya sudah ada Hout-straat, Kihioer-straat, Gang Manglit, Gang Pasang, Gang Saninten, dan Rasamala-straat. Tiga-empat tahun berikutnya, dari Map of Bandoeng (1927) dan Gemeente Bandoeng (1928), terlihat ada beberapa perubahan dari “gang” ke “laan” dan “straat” ke “weg”, yaitu Rasamala-weg, Saninten-laan, Pasang-laan, sementara Hout-straat dan Kihioer-straat masih tetap.

Dari perkembangan nama jalan itu, saya dapat menyimpulkan lahirnya penamaan kompleks kayu-kayuan terjadi antara 1921 hingga paling telat pada 1924. Tahun 1921 dapat dibilang kompleks perumahan berikut jalan-jalannya masih ada dalam tahap pembangunan, karena seperti subjudul peta dari tahun 1921 adalah “nieuwe gemeentegrenzen”.

Untuk mendapatkan keterangan lebih tepat, saya mengandalkan data dari koran lama. Salah satunya AID De Preanger-bode edisi 23 Juli 1922. Di situ ada warta mengenai agenda rapat dewan Kota Bandung pada hari Rabu, 19 Juli 1922. Di antara bahasan pertemuannya adalah membahas lagi ihwal perancangan beberapa jalan pada Plan X hasil sidang tanggal 24 Mei 1922. Waktu itu diputuskan untuk mengganti “gang” bagi sejumlah jalan dalam Plan X (Bengawan-laan complex - Serajoe-straat - Riouw-straat - Groote Postweg) menjadi “straat”, demi menanggapi adanya Gang Pisang.

Gang Pisang yang ada dalam peta sementara, konon, lebih pantas disebut sebagai Gang Doerian, sementara di tempat lainnya dalam Plan X ada tiga jalan lain yang juga menggunakan nama “gang”, yaitu Gang Pasang, Gang Mangga, dan Gang Saninten. Menurut wali kota Bandung, kata “gang” tidak terlalu jelek di Hindia, apalagi peta baru belum lagi dipesan, sebagian karena alasan biaya, juga untuk memberi kesempatan kepada dewan kota agar dapat memberi rincian lebih lanjut perihal nama semua jalan yang akan digunakan.

Dari berita tersebut, saya dapat menarik kesimpulan paling tidak nama-nama jalan di kompleks kayu-kayuan sudah ada sejak 24 Mei 1922.

Kompleks kayu-kayuan dalam Kaart van de gemeente Bandoeng tahun 1930. (Sumber: Koleksi Perpustakaan Leiden berkode D R 5,4.)
Kompleks kayu-kayuan dalam Kaart van de gemeente Bandoeng tahun 1930. (Sumber: Koleksi Perpustakaan Leiden berkode D R 5,4.)

Perluasan Polisi dan Para Pribumi 

Sekarang tentang perkembangan yang terjadi di sekitar kompleks kayu-kayuan. Hal pertama yang mencengangkan bagi saya adalah berita tentang perluasan polisi, maksudnya pendirian pos polisi di sekitar kompleks kayu-kayuan. Saya mendapatkan keterangannya dari Bataviaasch Nieuwsblad edisi 7 Maret 1925. Dalam koran itu dikatakan selama bertahun-tahun Bandung mengalami kesulitan dalam hal personil polisi. Salah satu alasannya, karena pada tahun-tahun sebelumnya sudah pernah dilakukan penambahan besar-besaran, lalu di bawah hoofdcommissaris (komisaris kepala) Van der Swan dikatakan sudah tidak mencukupi lagi.

Dalam berita itu juga ada perbandingan jumlah kecukupan polisi. Konon, di kantor pos di sekitar Alun-Alun Bandung, polisinya sudah mencukupi. Namun, di kompleks perkampungan di Saninten-laan yang ada beberapa toko yang dibangun jawatan pembangunan kota hampir tidak tersentuh. Dengan demikian dirasakan mendesaknya pendirian kantor komisariat polisi di sana.

Lalu apa arti penyebutan kompleks perkampungan itu? Setelah diselidiki lebih jauh, ternyata berkaitan dengan para pribumi yang tinggal di sekitar kompleks kayu-kayuan. Salah satu yang nampak jelas adalah kabar dari Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 18 April 1925. Di dalamnya ada berita perkelahian brutal tiga pribumi, yaitu Sarmili, Doelgani dan Rakidja. Ketiganya orang Batavia yang bekerja di Bandung. Masing-masing menjadi opas di jawatan kereta api, pengusahaan garam, dan PTT. Mereka juga sama-sama tinggal di Kihioer-straat bersama keluarganya.

Dari laporan-laporan kepolisian juga banyak menunjukkan pribumi yang tinggal di sekitar kompleks kayu-kayuan. Di antaranya ada Abdoel dari Gang Saninten yang menemukan sebundel pakaian di belakang rumahnya (De Koerier, 15 Juni 1927), Sostodihardjo dari Gang Saninten yang melaporkan kehilangan dua keponakannya, Wagiman dan Mohamad (De Koerier, 27 Juli 1927), pribumi dari Desa Surabaya ditahan karena disangka mencuri uang 10 gulden milik pribumi di Gang Pasang (De Koerier, 4 Januari 1929), dan seorang pribumi di Gang Manglid membuat laporan telah kehilangan koin emas senilai 25 gulden (De Koerier, 21 Januari 1929).

Hal menarik lainnya terkait pribumi yang tinggal di sekitar kompleks kayu-kayuan adalah ihwal kesadaran untuk berserikat atau membentuk organisasi. Dalam De Koerier edisi 19 Agustus 1929 tersiar kabar bahwa pada hari Sabtu, 17 Agustus 1929, ada pembukaan resmi Societeit Pasamoan Persaudaraan di Rasamala-weg no. 2, Cihapit. Di sana dikatakan pula daerah Cihapit merupakan kompleks perumahan para pegawai Department van Gouvernement Bedrijven.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan keberadaan para pribumi di kompleks kayu-kayuan berkaitan dengan pekerjaan mereka sebagai para pegawai Department van Gouvernement Bedrijven, yang meliputi jawatan pertambangan (termasuk survei geologi), jawatan kereta api, pengusahaan garam, dan PTT. Dengan kata lain, mereka tinggal di rumah dinas yang disediakan bagi mereka di sekitar kompleks kayu-kayuan.

Salah satu bukti yang memperkuat hal tersebut adalah fakta salah seorang yang diadili pada peristiwa kasus PNI (PNI-zaak) alias Indonesia Menggugat tinggal di Rasamala-weg. Bila Soekarno dikatakan tinggal di Poengkoer-weg, Gatot Mangkoepradja di Gang Embong No. 103, Maskoen di Kebon-sirih No. 9, maka Soepriadinata yang disebutkan berumur 23 tahun dan bekerja sebagai wakil komis di kantor pusat PTT tinggal di Rasamala-weg No. 17 (Deli Courant, 16 Mei 1931).

Lalu, apakah kompleks kayu-kayuan juga dihuni kalangan Eropa? Oh, tentu saja, bahkan lebih banyak.  

Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (7): Kompleks Buah-buahan di Cihapit
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (6): Bunga-bunga di Kebon Jambu
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (5): Gudang-gudang Militer di Cikudapateuh

Eksodus Orang Tionghoa ke Utara 

Setelah Indonesia merdeka, perumahan di sekitar kompleks kayu-kayuan masih dinyatakan sebagai perumahan negara (landswoning). Ini baru saya pahami setelah membaca pengumuman Kantoor Landsgebouwen Dienst, terutama yang berurusan dengan perkara rumah (Woningzaken).

Jawatan pemerintah yang beralamat di Groote Postweg 79 itu membuat pengumuman agar bagi siapapun yang tinggal dengan daftar nomor rumah yang dicantumkan dalam pengumuman, yaitu di Rijpwijk, Kihioer-straat, Rasamala-straat, Saninten-laan, dan Pasang-laan untuk segera melapor pada 5 Maret 1947 (AID, 1 Maret 1947).

Berbulan-bulan setelah pengumuman itu, saya mendapati fakta menarik terkait keberadaan orang-orang Tionghoa yang tinggal di utara rel kereta api atau ke daerah perluasan kota Bandung sejak 1907. Dalam iklan Depots Broedbakkery Ellenbroek yang beralamat di Manggalaan 2, saya antara lain mendapati Thio Liong Boe yang tinggal di Sabang-weg 22, Liem Kwan Leng (Sabang-weg 59), Kwong An (Lombok-straat 41), Joeng Hin (Riouw-straat 22A), Yo Tjong Ho (Tjitaroem-plein 6), Oh Phoa Liong (Gempol 97), Hen Kian Joen (Tjibeunjing-plantsoen Z. 25A), termasuk yang tinggal di kompleks kayu-kayuan, yaitu Hioe Hoen Kong di Rasamala-weg 7 (AID, 28 Agustus 1947). Sebelumnya dalam AID edisi 26 Februari 1947, B.H. Tjoa mengiklankan kemampuannya menyetel piano di Saninten-laan 32.

Bila dikaitkan dengan pengumuman Kantoor Landsgebouwen Dienst di atas, saya pikir kehadiran orang-orang Tionghoa terutama yang memilih tinggal di Kecamatan Bandung Wetan sekarang adalah para penyewa rumah yang dimiliki oleh pemerintah. Dan yang lebih menarik, saya pikir, fakta-fakta di atas memperkuat tulisan Kwee Kek Beng dalam Java-bode edisi 25 Januari 1951, dengan tajuk “Bandung is herrezen” (Bandung bangkit lagi).

Pada awal tulisannya, ia meringkaskan perkembangan Bandung. Katanya, mengunjungi Bandung lagi setelah setahun lalu, anda akan segera sadar betapa kota itu lebih sibuk dengan jumlah penduduk 600.000 jiwa, yang termasuk 80.000 orang Tionghoa, sementara pada tahun 1940, penduduk Bandung baru 217.000 dan orang Tionghoa-nya baru 23.610 orang.

Lebih jauh, menurut Kwee, pada 1821 orang Eropa terlarang tinggal di Priangan bila tanpa surat izin dari residen Priangan, tetapi seabad kemudian Bandung menjadi kota di Hindia yang jumlah penduduk Eropanya melebihi jumlah orang Tionghoa. Setelah Perang Dunia Kedua, jumlah orang Eropa di Bandung dikalahkan oleh jumlah orang Tionghoa, sehingga rasionya menjadi 1:2,5. Sehingga toko-toko Tionghoa di Braga sekarang lebih banyak daripada jumlah toko Eropa yang dapat dihitung dengan jari, padahal sebelum Perang Dunia Kedua, Braga adalah kawasan dagang paling Eropa.

Demikian pula, katanya, kawasan ekslusif Nijlandweg (Jalan Cipaganti). Sekarang hampir setengahnya dihuni oleh orang Tionghoa. Dengan Sekutu, yang diwakili Inggris, datang untuk merebut Bandung dan lalu membelah Bandung menjadi utara dan selatan, berdasarkan kesepakatan dengan pihak Republik Indonesia, maka berduyun-duyunlah orang Tionghoa bereksodus dari selatan ke utara. Bahkan rumah sakit dan sekolah Tionghoa pun dibawa serta oleh mereka ke lingkungan bekas hunian orang Eropa. Ketika sekutu angkat kaki dari Bandung, kata Kwee, masih banyak orang Tionghoa yang tetap bertahan di utara.

Demikianlah, saya pikir, yang dapat membuat terang mengapa pada tahun 1947 demikian banyak orang Tionghoa beralamat di sekitar Kecamatan Bandung Wetan, dengan menyewa rumah-rumah milik pemerintah, termasuk di kompleks kayu-kayuan yang semula diperuntukkan bagi para pegawai yang berdinas di bawah naungan Department van Gouvernement Bedrijven. 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//