RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (9): Wali Kota Mengusulkan Kompleks Sungai
Penamaan jalan di Bandung pada masa Belanda diwarnai diskusi hangat. Nama-nama jalan harus mudah diucapkan pribumi, misalnya, berasal dari nama sungai.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
30 Januari 2022
BandungBergerak.id - Dalam masa jabatannya yang terbilang singkat, Wali Kota Bandung penyelang S.A. Reitsma (1875-1958) tercatat ambil bagian dalam peristiwa-peristiwa penting di kota ini. Ia antara lain diangkat menjadi anggota komite konservatori pada November 1920, menganugerahi gelar warga kehormatan bagi K.A.R. Bosscha pada 20 Desember 1920, meresmikan Halte Karees pada 12 Februari 1921, membentuk panita Jaarbeurs kedua, menjadi pembicara pada kongres desentralisasi kesepuluh oleh Vereeniging voor Locale Belangen antara 23-24 Mei 1920, memberi sambutan bagi Kongres Java-Instituut antara 17-19 Juni 1921, dan meresmikan gedung Societeit Concordia yang baru pada 1 Agustus 1921.
Namun, saya kira, yang tetap bertahan hingga sekarang adalah gagasannya untuk memberikan nama sungai sebagai nama bagi beberapa ruas jalan yang baru selesai dibangun pada peta rencana pembangunan Kota Bandung kesepuluh (X). Jalan-jalan itu sekarang kita kenal sebagai Jalan Cibeunying, Jalan Taman Cibeunying Selatan, Jalan Taman Cibeunying Utara, Jalan Citarum, Jalan Taman Citarum, Jalan Cilaki, Jalan Cimanuk, Jalan Progo, Jalan Cipunagara, Jalan Ciwulan, Jalan Ciliwung, Jalan Bengawan, Jalan Brantas, Jalan Cilamaya, Jalan Serayu, Jalan Cimandiri, Jalan Cisanggarung, dan Jalan Ciujung (sekarang Jalan Supratman).
Karena dikatakan berkaitan dengan peta rencana pembangunan Kota Bandung, sebelum membahas lebih jauh soal nama kompleks sungai, saya akan membahas dulu rencana itu. Menurut Prospectus voor de Uitgifte van Gronden (1923), Plan X berada di sebelah timur Plan II dan dibatasi bagian timur Riouws-traat dan Grooten Post-weg-Soemedang. Konon, meski harganya sangat mahal, saat itu masih ada beberapa kavling yang tersedia, khususnya bagi rumah-rumah kecil.
Rencana pembangunan dalam kompleks ini terdiri atas taman, sekolah, gereja, dan tentu saja permukiman. Pemerintah telah membangun dua kompleks perumahan bagi pegawai pemerintah, terutama bagi yang bekerja di Departement van Gouvernements bedrijven. Dalam Prospectus voor de Uitgifte van Gronden juga disebutkan yang termasuk kompleks ini adalah Plan Xa yang terdiri atas Tjibeunjing plantsoen Zuid, Tjibeunjing-straat, Bengawan-laan, Groote Post-weg, Ananas-laan, Wilhelmina-straat, Barend-straat, Houtman-plein, dan Heemskerk-straat.
Rekaman Koran Sezaman
Dari rekaman koran sezaman, saya tahu para pemukim di kompleks Plan X bukan saja pegawai pemerintah, melainkan juga kalangan tentara kolonial. Dalam De Preanger-bode edisi 9 Mei 1921, disebutkan de IVde afdeeling (Genie) van het Departement van Oorlog atau pasukan zeni keempat dari departemen peperangan telah menerima kewenangan dari pemerintahan Kota Bandung untuk membangun 50 rumah bagi opsir untuk tahun 1921 dan 15 rumah lagi pada 1922. Di situ disebutkan lagi yang 15 lahan itu diambil dari Plan Xa.
Dewan Kota Bandung sendiri membahasnya dalam sidang 30 Agustus 1921. Menurut De Preanger-bode, 25 Agustus 1921, butir ke-20 pembahasan rapat itu adalah permohonan panglima KNIL untuk membatalkan kewajiban yang diisyaratkan keputusan dewan pada 18 Mei 1921 bahwa tidak boleh dilakukan pembangunan pada subdivisi Plan Xa sebelum pembangunannya dimulai dan semua kavling pada tahun-tahun sebelumnya. Karena departemen peperangan akan membangun sekitar 50 rumah opsir pada tahun ini dan tahun depan. Namun, karena rumah yang lebih besar takkan mulai dibangun sebelum 1923 dan umumnya kavling Xa akan mulai diterapkan pada 1922, sehingga permohonan itu harus dikabulkan.
Lalu, sejak kapan nama-nama jalan untuk Plan X diusulkan? Jawabannya saya dapatkan dari De Preanger-bode edisi 11 Desember 1920. Di situ dibilang, untuk agenda sidang dewan Kota Bandung yang akan datang adalah menetapkan nama-nama jalan dalam Plan Xa. Dewan akan membahas pula usulan dari warga yang merasa kebingungan karena mendapati satu ruas jalan yang menggunakan tiga nama yaitu Oranje-boulevard, Prinsen-boulevard dan Riouw-straat. Mereka mengusulkan agar ketiganya lebih baik menggunakan Oranje-boulevard.
Kemudian, kapan pula S.A. Reitsma mengusulkan nama sungai? Beruntung, saya dapat mengakses De Preanger-bode edisi 23 Desember 1920. Di situ dikatakan pada malam 22 Desember 1920, dewan Kota Bandung bersidang. Para anggotanya yang hadir antara lain Van Heerde, Gerber, The Goan Lioe, Soebroto dan Bouman. Agenda rapatnya membahas penetapan nama-nama jalan pada Plan Xa (yang terletak di antara Oranje-plein dan Verlengde Tjihapitweg) dan perubahan nama dari Prinsen-boulevard menjadi Riouwstraat.
Dalam sidang inilah, S.A. Reitsma mengingatkan bahwa Bandung telah memiliki kompleks dengan nama-nama jalan yang diambil dari nama anggota Kerajaan Belanda (vorstelijk huis), nama-nama pulau (archipel-wijk), sekarang yang dapat diajukan berasal dari nama-nama sungai (“namen aan rivieren te ontleenen”), dan ke depannya bisa dari nama gunung, dan sebagainya. Setelah membahas usulan Arifin yang bersikukuh nama-nama jalan harus mudah diucapkan pribumi dan Gerber yang menganggap penggunaan kata boulevard sebagai suatu kepongahan, nama-nama jalan bagi kompleks baru disebutkan: Brantas-straat, Serajoe-straat, Tjiliwoeng-boulevard, Tiibeunjing-plantsoen dan Bengawan-laan.
Sementara Tjimanoek-straat, Tjitaroem-plein, dan Tjitaroem-boulevard gagasan penamaannya baru ada pada Februari 1921. Dalam De Preanger-bode (24 Februari 1921), ada kabar J. A. Weinberg dan R.D. van Kooy, pegawai Het Departement van Gouvernements-Bedrijven, mengusulkan agar memberi nama jalan di lingkungan tempat tinggalnya, yaitu tiga jalan di sebelah kiri Riouw-straat, bila dihitung dari Merdika-weg, termasuk memberi penerangannya. Direktur Het Bouwbedrijf menyarankan nama jalannya Tjimanoek-straat, Tjitaroem-plein dan Tjitaroem-boulevard.
Dewan Kota Bandung menggodoknya dalam rapat pada 2 Maret 1921. Rapat yang dibuka Reitsma pada pukul 18.00 itu dihadiri para anggota dewan antara lain Stapel, Van Heerde, Bouman, Gerber, Tjen Djin Tjong, Darna Koesoema dan Wiriahardja. Saat membahas agenda pembahasan kedelapan, Gerber bersikukuh agar tidak menggunakan boulevard bagi nama jalan di Bandung. Sebagai tanggapannya, Reitsma menyatakan isu tentang sistem boulevard itu akan diperiksa lagi. Sementara berdasarkan ajuan yang masuk, kompleks yang baru akan diberi nama jalan: Tjimanoek-straat, Tjitaroem-plein dan Tjitaroem-boulevard (De Preanger-bode, 3 Maret 1921).
Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (6): Bunga-bunga di Kebon Jambu
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (7): Kompleks Buah-buahan di Cihapit
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (8): Kompleks Kayu-kayuan di Cihapit
Tanda-tanda dan Perubahan Jalan
Atas penamaan kompleks sungai itu, seorang koresponden dari Bandung menulis dalam Bataviaasch Nieuwsblad (19 Desember 1921). Ia mengatakan di timur laut Kota Bandung, di belakang Riouwstraat, banyak jalan yang selesai dibangun, termasuk perumahan yang dibutuhkan. Setahun yang lalu, semua jalan itu sudah ditetapkan dan diberi nama dalam rapat dewan kota, sehingga semua orang dibuat penasaran pada namanya. Sebagian orang tahu, mereka tinggal di Tjimanoek-straat, Progo-straat, Brantas-straat, Serajoe-straat, sebagian lainnya di Tjiliwoeng-laan dan Bengawan-laan serta Tjibeunjing-plantsoen.
Namun, si koresponden menyayangkan bahwa dia tidak menemukan tanda-tanda jalan yang menunjukkan keberadaan kompleks atau lingkungan air (“die waterige buurt”) itu. Padahal dampaknya sangat jelas. Bagi orang-orang yang mencari alamat keluarga, kawan, atau kerabatnya, atau kuli yang diminta untuk mengirimkan barang, atau pengiriman struk dan lain-lain, besar kemungkinan akan mengalami keliru kirim atau salah alamat.
Barangkali, itu sebabnya dalam dua peta Kota Bandung yang dapat saya akses, yaitu Bandoeng, nieuwe gemeentegrenzen (1921) dan Kaart van de gemeente Bandoeng (1921), kompleks sungai itu belum diberi nama. Atau apakah data-data yang dikumpulkan untuk membuat kedua peta tersebut berasal dari 1920, ketika kompleks perumahan dan jalannya masih dibangun? Karena dalam salah satu peta itu, saya melihat ada banyak garis berjalinan putus-putus yang menunjukkan bahwa di sana sedang dibangun jalan. Sementara dari peta Plan of Bandoeng (1924), Kaart van Bandoeng (1926), Gemeente Bandoeng (1928), Kaart van de gemeente Bandoeng (1930), Kaart van de Gemeente Bandoeng (1933), dan Bandoeng Town Plan (1945), sebagian besar jalan yang menggunakan nama sungai itu sudah digunakan.
Setelah Indonesia merdeka, ada beberapa jalan di sekitar kompleks sungai yang berubah nama. Terutama jalan-jalan yang asalnya berbau Belanda. Dari Perubahan Nama djalan-djalan di Bandung (1950) dan Veranderde Straatnamen in Bandung, Djakarta, Surabaja, Bogor, Medan, Semarang, Makassar, Malang (1950), saya mendapati bahwa Jalan Cilamaya mengganti Wigman-weg, Jalan Cimandiri sebagai pengganti Damme-weg, Jalan Cipunagara semula Van Neck-straat, Jalan Ciwulan asalnya Van Noort-straat, dan Jalan Cisanggarung menggantikan De Kat-straat.
Yang unik Houtman-straat dan Houtman-plein yang sempat berganti menjadi Jalan Ciujung dan Lapangan Ciujung pada 1950. Namun, dalam sidang dewan Kota Bandung pada 31 Oktober 1953, nama itu diubah menjadi Jalan Supratman dan Lapangan Ciujung. Menurut De Preanger-bode edisi 2 November 1953, dewan Kota Bandung mengambil keputusan itu dalam kerangka peringatan terhadap Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya, karena hari itu adalah peringatan ulang tahun yang ke-25 bagi lagu Indonesia Raya. Sekarang, yang tersisa dari keberadaan Ciujung adalah SD Negeri Ciujung 4, di Jalan Lapangan Supratman No.7.