• Kolom
  • RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (19): Jalan Pangeran Sumedang

RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (19): Jalan Pangeran Sumedang

Perubahan nama Tegallegaweg menjadi Pangeran Sumedangweg di Bandung menuai protes. Pada dekade berikutnya jalan tersebut diberi nama Jalan Oto Iskandardinata.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Pertokoan di Jalan Oto Iskandardinata, Kota Bandung, Minggu (24/4/2022). Sebelumnya Jalan Oto Iskandardinata sempat bernama Tegallegaweg kemudian menjadi Jalan Pangeran Sumedang. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

26 April 2022


BandungBergerak.idPersis pukul 10.00 pagi, 25 April 1922, dentuman meriam terdengar membahana di seantero pendopo Kabupaten Sumedang. Sulutan di bawah komando Kapten Sleeboom itu menandai tibanya orang nomor satu di Hindia Belanda, Gubernur Jenderal D. Fock, dalam rangka meresmikan monumen peringatan bagi mendiang Bupati Sumedang Pangeran Soeriaatmadja.

Rombongan kemudian berjalan ke arah Alun-alun Sumedang. Monumennya persis di tengah alun-alun dan masih terselubungi kain putih. Gubernur jenderal kemudian naik ke atas undakan dan di bawah payung keemasan peninggalan sang bupati, ia mulai berpidato. Antara lain katanya, “Sebuah kehormatan bagi saya, atas nama Yang Mulia Ratu Kita, untuk membuka selubung monumen penghormatan bagi orang yang sepenuh hati melayani negerinya selama setengah abad, dengan tiada maksud lain kecuali demi kesejahteraan penduduk serta menjadi permata bagi keluarga yang selama dua abad mengabdikan diri bagi pemerintah Belanda ...”

Setelah mengucapkan “Dengan ini saya menyatakan monumen dibuka”, tirai putih itu tersibak dan hadirin bertempik sorak. D. Fock kemudian meletakkan piagam pada lapik monumen, yang berisi ungkapan: “Dit monument werd ingewijd op Dinsdag 25 April 1922 ter herinnering aan Pangeran Aria Soeria Atmadja. Regent van Soemedang, 31 Januari 1883-5 Mei 1919—Ridder van de Orde van den Nederlandschen Leeuw—Officier van de Orde van Oranje-Nassau—gerechtigd tot het voeren van den gouden pajoeng-Begiftigd met den gouden ster van trouw en verdienste—geboren te Soemedang, II Januari 1851; overleden te Mekka 1 Juni 1921.

Artinya kira-kira, “Monumen ini diresmikan pada Selasa, 25 April 1922 sebagai kenangan bagi Pangeran Soeria Atmadja. Bupati Sumedang, 31 Januari 1883-5 Mei 1919-dianugerahi gelar Ridder van de Orde van den Nederlandschen Leeuw—Officier van de Orde van Oranje-Nassau—memenuhi syarat untuk menggunakan payung keemasandiberkahi dengan bintang emas tanda kesetiaan dan tanda jasalahir di Sumedang, 11 Januari 1851; meninggal di Mekah, 1 Juni 1921”.

Uraian di atas saya temukan dalam AID de Preanger-bode edisi 25 April 1922. Untuk tulisan ini, cuplikan di atas adalah latar belakang bagi lahirnya gagasan untuk mengganti nama ruas jalan di sekitar Tegallega dengan Pangeran Soemedangweg pada 1922, berikut polemik yang menyertainya. Namun, agar konteksnya lebih jelas, saya memulai dulu dari kilasan riwayat hidup Pangeran Soeriaatmadja.

Gang Wiria, sebagaimana terlihat dari Pangeran Soemedangweg sekitar tahun 1929. (Sumber: KITLV 157018)
Gang Wiria, sebagaimana terlihat dari Pangeran Soemedangweg sekitar tahun 1929. (Sumber: KITLV 157018)

Meninggal Selama Menunaikan Haji

Riwayat hidup Pangeran Soeriaatmadja dapat dibaca dari obituari dalam AID edisi 25 April 1922 bertajuk “Van den overieden Pangeran”. Riwayatnya dalam bahasa Sunda dapat disimak dari Wawatjan Kandjeng Pangeran Soemedang (Pangeran Ari Soeria-Atmadja), Dalem Soemedang Almarhoem, noe Poepoes di Tanah Arab Nagri Mekah (1922) karya Raden Kartadinata dan De Stichter van De Soemedangsche Familievereening Soeriakoesoemaadinata (1936).

Dari ketiga sumber itu, saya jadi tahu Pangeran Soeriaatmadja dilahirkan pada 11 Januari 1851 dan semasa kecil dipanggil Aom Sadeli. Ia mulai bekerja sebagai Kaliwon sejak 1 Agustus 1869. Pada 7 Februari 1871, ia diangkat menjadi wedana Ciawi dan pada 29 November 1875 terpilih menjadi patih Sukapura, tempat dinasnya di Manonjaya. Pada 13 Maret 1879 gelarnya bertambah “rangga”, sehingga namanya menjadi “Raden Rangga Soeriaatmadja”.

Ia diangkat menjadi bupati Sumedang pada 30 Desember 1882 plus bertambah gelar “Tumenggung” serta dilantik pada 31 Januari 1883. Pada 21 Agustus 1891, mendapat anugerah Bintang Emas dan pada 31 Agustus 1898 mendapat gelar “Adipati”. Penghargaan lainnya adalah anugerah Officier van de Orde van Oranje-Nassau (27 Agustus 1903), “Pajeng Songsong Kuning” (payung keemasan, 26 Agustus 1905), gelar “Aria” (29 Agustus 1906), gelar “Pangeran” dan “Pajeng Songsong Jene” (26 Agustus 1910), anugerah Ridder van de Orde van den Nederlandschen Leeuw (17 September 1918).

Karena merasa sudah tua, Pangeran Soeriaatmadja memohon pensiun. Pemerintah kolonial mengabulkannya pada 17 April 1919. Setelah pensiun ia tinggal di Sindangtaman, dan sempat berencana membentuk perkumpulan keturunan Pangeran Soeria Koesoemaadinata. Keinginan itu memang terkabul oleh bupati penggantinya, R.A.A. Koesoemadilaga, sehingga disahkan pada 5 Desember 1922, dengan nama Soeriakoesoemaadinatabond.

Takdir berkata lain. Pada Minggu, 24 April 1921, Pangeran Soeriaatmadja berserta istrinya berangkat untuk menunaikan ibadah haji. Namun, setelah menempuh perjalanan Jeddah-Mekah, sang pangeran meninggal dunia pada Rabu, 1 Juni 1921 (24 Ramadan 1339) dan dimakamkan di Mu’Allah.

Sementara dari koran-koran saya mendapatkan keterangan kepergiannya ke Mekah sudah tersiar sejak Februari 1921 (De Locomotief, 22 Februari 1921). Menurut AID edisi 4 April 1921, keberangkatan sang pangeran dan istri ditetapkan pada 7 April dari Tanjung Priok. Lalu berita kematiannya baru diterima pemerintah kolonial Hindia Belanda dari Jeddah pada Selasa, 7 Juni 1921, melalui telegram. Sore itu pula kabarnya disebarkan kepada keluarga almarhum (AID, 10 Juni 1921).

Pada edisi yang sama, dengan meninggalnya Pangeran Soeriaatmadja, AID mengabarkan tentang penundaan pertandingan balap kuda di Sumedang ke 24-25 Juli 1921. Bupati R.T. Koesoemadilaga membuat pengumuman dalam AID edisi 13 Juni 1921. Di situ dikatakan dia atas nama istri dan kerabat Pangeran Soeriaatmadja mengabarkan kepada sejawat dan mitra bahwa mantan bupati Sumedang Pangeran Soeriaatmadja telah meninggal dunia di Mekah dalam usia 71 tahun.

Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (16): Kompleks Wayang di Cicendo
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (17): Kompleks Babatan
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (18): Kompleks Ikan Asin di Andir

Pasar Baru Heritage di Jalan Oto Iskandardinata, Kota Bandung, Minggu (24/4/2022). Sebelumnya Jalan Oto Iskandardinata sempat bernama Tegallegaweg kemudian menjadi Jalan Pangeran Sumedang. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Pasar Baru Heritage di Jalan Oto Iskandardinata, Kota Bandung, Minggu (24/4/2022). Sebelumnya Jalan Oto Iskandardinata sempat bernama Tegallegaweg kemudian menjadi Jalan Pangeran Sumedang. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Rencana Mendirikan Lingga

Dua bulan kemudian, tersiar kabar ihwal pembentukan “Pangeran-stichting” atau Yayasan Pangeran. Dalam AID (10 Agustus 1921) dikatakan perhimpunan itu sedang mengirimkan edaran dan daftar registrasi kepada mitra dan pengagum Pangeran Soeriaatmadja, agar berkontribusi untuk memperingatinya. Karena konon kematiannya dihormati di mana-mana di Pulau Jawa, dan karena citranya sangat baik di mata pemerintah kolonial, Gubernur Jenderal D. Fock menekankan pentingnya peringatan bagi Pangeran Soeriaatmadja.

Dalam kerangka itu dibentuklah asosiasi di bawah perlindungan gubernur jenderal. Tujuan perhimpunan itu membuat tanda peringatan di Alun-alun Sumedang, yang sederhana dan terpuji, seperti riwayat hidup sang pangeran (“Die vereeniging stelt zich ten doel, het plaatsen op de aloen-aloen ter hoofdplaats Soemedang van een gedenkteeken, eenvoudig en waardig, zooals ook het leven was van den Pangeran”).

Komite Pangeran-stichting terdiri atas A.J.H. Eijken (residen Priangan, ketua), Mas Hadji Abdoelmanan (naib Tanjungsari), H.C.H. de Bie (mantan inspektur pendidikan pertanian untuk pribumi), A.J.N. Engelenberg (mantan residen, anggota Volksraad), Raden Kartakoesoema (wedana Tanjungsari), R.T. Koesoemadilaga (bupati Sumedang) C.A. de Munnick (asisten residen Sumedang, sekretaris), A.E. Reijnst (ketua Soekaboemische Landbouw-vereeniging), Raden Sadikin (guru pertanian pribumi), Dr. H.J. van der Schroeff (dokter hewan), Soemadiria (landbouwer en veefokker), I. de Vries (administratur Soemedangsche Afdeelingsbank, bendahara), dan R.A. Wiratanoeningrat (bupati Tasikmalaya).

Dalam rapat kedua Yayasan Pangeran Sumedang (“commissie voor de Pangeran-stichting”) selain anggota, hadir undangan lainnya yaitu R.A.A. Martanegara, mantan bupati Bandung. Kemudian J.Z. van Dijck, mantan guru di Garut, yang diminta datang oleh pengurus harian, untuk menjadi perancang monumen Pangeran Soeriaatmadja (“ontwerper van het Pangeran-monument”). W.H. Elsman, insinyur di dinas pekerjaan daerah Garut diminta untuk mengelaborasi serta memperkirakan anggaran pembangunan monumen berdasarkan rancangan Van Dijck. H. Buijs, arsitek di Bandung, bekas pelaksana pembangunan Technische Hogereschool (ITB), diminta menjadi pelaksana pembangunan monumen. Dr. C. Kunst, dokter hewan di Bandung, diharapkan dapat merancang pendirian model padang rumput di Desa Cimacan, Onderdistrik Situraja.

Biaya yang dibutuhkan yayasan lebih dari 31.000 gulden, dengan rincian untuk membangun monumen oleh arsitek H. Buijs berkonsultasi dengan J.Z. van Dijck serta Ir. W.H. Elsman sebesar 7.000 gulden; 5.100 gulden untuk membangun padang rumput di bawah arahan Dr. C. Kunst; sekitar 18.000 gulden disimpan di Soemedangsche Afdeelingsbank sebagai dana cadangan (AID, 16 Januari 1922).

Demikian asal-usul mengapa hingga sekarang di Kelurahan Regol, Kecamatan Sumedang Selatan ada Monumen Lingga Sumedang serta dalam lambang daerah Kabupaten Sumedang tertera gambar monumen yang sama.

Pangeran Soeriaatmadja (paling kanan) bersama keluarganya di Sumedang. (Sumber: KITLV 119347)
Pangeran Soeriaatmadja (paling kanan) bersama keluarganya di Sumedang. (Sumber: KITLV 119347)

Mengubah Nama Taman atau Jalan

Komite Yayasan Pangeran Sumedang melangkah lebih jauh. Mereka mengusulkan agar mengganti nama sebuah taman atau jalan di Kota Bandung. Hal ini mengemuka dalam rencana rapat dewan Kota Bandung pada 28 Juni 1922. Menurut AID (24 Juni 1922), komite itu memohon agar menamai sebuah taman atau jalan dengan nama almarhum Pangeran Sumedang.

Atas permohonan itu, dua anggota komite nama jalan dengan persetujuan bupati Bandung akan mengganti Logeweg menjadi Pangeran Soemedangstraat. Kebetulan pada rapat dewan, 24 Mei 1922, Groote Lengkongweg diusulkan untuk diubah menjadi Pangeran Soemedangweg. Selanjutnya, anggota ketiga komisi nama jalan tidak menganggap penting mengubah nama jalan yang sudah ada, tetapi lebih baik mengusulkan kepada direktur pekerjaan umum untuk menggunakan nama Pangeran Sumedang pada rencana pembangunan di Bandung selatan (het plan Zuid-Bandoeng).

Dari berita itu dapat diperkirakan, komite mulai mengajukan penggantian nama jalan sejak Mei 1922 atau 13 bulan kemudian setelah Monumen Lingga Sumedang diresmikan Gubernur Jenderal D. Fock.

Dalam AID (26 Juni 1922), seorang pembaca menyentil usulan itu serta mengaitkannya dengan penamaan jalan di sekitar nama Merdika untuk Merdika Park, Merdika Lio, Nieuw-Merdika dan Oud-Merdika yang membikin pusing. Oleh karena itu, seiring usulan nama Pangeran Sumedang, si penulis pun mengusulkan untuk mengubah nama jalan yang mengandung kata Merdika.

Sebulan kemudian, dalam rapat dewan Kota Bandung pada Rabu malam, 19 Juli 1922, salah satu agendanya membahas usulan komite Yayasan Pangeran Sumedang. Untuk penjelasannya, pada rapat 28 Juli 1922, pemungutan suara akan dilakukan untuk menentukan Pangeran Soemedangweg pada rencana pembangunan di Bandung selatan (AID, 23 Juli 1922).

Sebulan berikutnya, pada rapat Rabu malam, 16 Agustus 1922, dewan Kota Bandung dengan persetujuan komite pembangunan Bandung selatan (commissie Zuid) bersepakat untuk mengubah Grooten Tegallegaweg menjadi Pangeran Sumedangweg (AID, 19 Agustus 1922). Selanjutnya, dalam rapat dewan Kota Bandung yang dihadiri Wali Kota B. Coops, 23 Agustus 1922, diputuskan untuk mengganti Grooten Tegallegaweg menjadi Pangeran Sumedangweg (AID, 24 Agustus 1922).

Penyingkapan selubung Monumen Lingga Sumedang oleh Gubernur Jenderal D. Fock pada 25 April 1922. (Sumber: KITLV 153493)
Penyingkapan selubung Monumen Lingga Sumedang oleh Gubernur Jenderal D. Fock pada 25 April 1922. (Sumber: KITLV 153493)

Menuai Kritik Keras

Usulan Pangeran Sumedangweg menuai kritik keras dari sebagian kalangan yang merasa tidak layak digunakan. Hal ini antara lain mengemuka dalam berita tentang pertemuan yang dihelat dalam kerangka ceramah Stokvis di Oriental-bioscoop Minggu pagi, 3 September 1922. Dalam pertemuan itu, Meijer dan Goenawan akan angkat bicara ihwal Pangeran Soemedangweg (AID, 2 September 1922).

Menurut De Expres (7 September 1922), dalam pertemuan yang diselenggarakan Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) itu, Stokvis menyampaikan ceramah bertajuk “Het kostbaar geschenk der nieuwe staatsinrichting” atau hadiah berharga dari konstitusi baru. Setelah rehat, ketua ISDP Meijer menyampaikan protes terhadap cara buruk dewan Kota Bandung, termasuk melayangkan surat protes atas nama ISDP, Nationale Indische Partij (NIP), dan Sarekat Islam (SI) terkait penggantian Tegallegaweg menjadi Pangeran Soemedangweg. Bahkan konon ISDP mengundang wali kota dan penasihatnya, tetapi tidak seorang pun yang hadir dalam pertemuan itu.

Salah satu butir penentangan mereka adalah usulan penggantian nama itu jangan di Bandung selatan, yang notabene pusat SI. Mereka menganggapnya penghinaan besar terhadap orang yang tinggal di sana, karena semasa hidup Pangeran Soeriaatmadja dikenal sebagai musuh SI dan gerakan pribumi (“want de overleden pangeran had zich steeds een vijand van den SI en de inheemsche volksbeweging getoond”).  

Dalam sidang dewan Kota Bandung berikutnya, Smith mempertanyakan mengapa undangan dari pengurus ISDP Bandung tidak diterima tepat waktu oleh anggota dewan. Ternyata undangan itu diterima Sabtu sore (2 September 1922) dan wali kota merasa tidak diundang. Sementara Schneider menyatakan akan datang bila tahu terlebih dulu sekaligus tidak merasa enak hati karena dalam pertemuan ISDP itu dikatakan anggota dewan pengecut (AID, 21 September 1922).

Ketua Cabang Bandung ISDP H.E. Meijer mengklarifikasinya dalam tulisan “Over een ISDP-Vergadering” (AID, 17 November 1922). Pada awal tulisan bertitimangsa Bandung, 14 November 1922, itu ia mengatakan tidak dapat segera menanggapi berita AID edisi 4 September 1922, karena sakit. Ia menilai laporan AID keliru, sehingga ia merasa perlu membuat pembelaan.

Katanya, apa pun yang dipertanyakan tentang Pangeran Sumedangweg hampir semuanya keliru dan menurutnya memang sengaja diarahkan demikian. Meijer menyatakan ISDP tidak memprotes maksud untuk menghormati Pangeran Soeriaatmadja itu. Karena yang diprotesnya adalah cara penghargaan tersebut diberikan. Lagi pula, katanya, mereka tidak terlibat di dalamnya, karena pandangan almarhum Pangeran Soeriaatmadja memang selalu bertolak belakang dengan gerakan rakyat (“omdat wijlen de Pangeran zien steeds tegen de volksbeweging gekeerd heeft”).

Lebih lanjut, Meijer menulis seandainya nama Pangeran Soeriaatmadja digunakan di Bandung utara, mereka akan diam, karena tidak peduli. Seperti halnya tidak peduli terhadap nama jalan yang menggunakan De Stuers, tetapi bila namanya dipakai di lingkungan kota pribumi merupakan penghinaan. Meski demikian, katanya, pemerintah Kota Bandung tetap memaksakan kehendaknya. Karena dalam pandangan Meijer, Pangeran Soeriaatmadja adalah pendukung rezim Belanda dan mengambil sikap berlawanan dengan pergerakan rakyat, khususnya SI. Katanya, logika untuk menghormatinya adalah dengan menamai jalan di lingkungan yang berkaitan dengan kesejarahannya, atau dengan kata lain lingkungan Eropa. Dengan demikian, protes itu akan terus dilakukan, tetapi bukan masalah penghormatannya sendiri.

Dalam Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche Pers (IPO) Nomor 32, 33, dan 34 tahun 1922 tergambar sedikit banyak polemik mengenai Pangeran Sumedangweg. Pada artikel bertajuk “De Ex-Regent van Soemedang, De Regeering en De Sarekat-Islam” (Kaoem-Moeda, 31 Juli-5 Agustus 1922, sebagaimana diringkaskan IPO Nomor 32), Soet Koes mengatakan almarhum Pangeran Soeriaatmadja sempat bersurat dengan Gubernur Jenderal Limburg Stirum tentang SI saat itu. Namun, bukan karena almarhum menentang SI, melainkan lebih kepada sikap pemimpin SI yang antara perkataan dan tindakannya tidak sejalan.

IPO Nomor 33 melaporkan ulang berita dari koran Matahari edisi 3 Agustus 1922. Di situ dikatakan kelompok yang berseberangan dengan pemerintah membentuk Bandoengsche Permanente Comité voor Plaatselijke Actie. Salah satu tuntutan mereka adalah meminta kepada mantan Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum agar memberikan pandangan lebih jauh tentang Pangeran Soeriaatmadja. Kemudian dari ringkasan Matahari edisi 10 dan 20 Agustus 1922 (dalam IPO Nomor 34) tersaji kabar polemik Kaoem Moeda dan Daum dari Preanger-bode yang mengkritisi Bandoengsche Permanente Comité voor Plaatselijke Actie.

Alhasil, dapat dibayangkan betapa ramai polemik antara yang membela dan memprotes digunakannya Pangeran Soemedangweg untuk mengganti Grooten Tegallegaweg. Tetapi yang pasti, Pangeran Soemedangweg tetap digunakan hingga awal 1950, sebelum hasil rapat dewan Kota Bandung pada 3 Maret dan 28 April 1950 mengembalikannya menjadi Djalan Tegallega (Perubahan Nama Djalan-djalan di Bandung, 1950). Tetapi seiring berjalannya waktu, paling tidak sejak tahun 1960, ruas jalan itu diganti menjadi Djalan Oto Iskandardinata. Salah satu buktinya, dalam Memorandum IKAPI Lustrum ke II pada Kongres kilat di Bandung pada tgl. 23 s/d 26 Nopember 1960, sudah disebutkan penerbit Ekonomi beralamat di Djalan Oto Iskandardinata No. 344.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//