• Kolom
  • BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (8): Bergerak di Bandung

BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (8): Bergerak di Bandung

Achmad Bassach banyak perperan penting dalam pergerakan kaum kiri di Bandung. Pada titik balik kehidupannya, ia dipecat dari PKI cabang Bandung.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Achmad Bassach menjadi salah seorang pembicara pada pertemuan PKI-SR Bandung, 18 Januari 1925, di SR School. Saat itu ia antara lain memuji pemerintahan Bolsyewik, Russia. (Sumber: Sin Po, 20 Januari 1925)

25 Desember 2021


BandungBergerak.idApa yang terjadi dengan Achmad Bassach selepas dipecat dari jabatannya sebagai kepala Stasiun Kemayoran pada akhir Mei 1923? Salah satu jawaban ringkasnya, bisa kita simak dari keterangan S dalam Keng Po (1929). Di situ dikatakan, “Pada boelan Mei 1923 ia dikeloearken dari S.S., dengen mendapet titel merah dan kombali ka Bandoeng.”

Lalu, apa yang selanjutnya dilakukan oleh Achmad Bassach di Bandung pasca pemecatan itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya mengandalkan keterangan-keterangan sezaman, paling tidak antara Mei 1923 hingga awal 1925, dari koran-koran.

Di antaranya saya membaca AID De Preanger-bode, De Indische Courant, Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, Het Vaderland, dan Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers (IPO). Itu yang berbahasa Belanda. Sementara yang berbahasa Melayu, saya mengandalkan koran Matahari dan Sin Po, sedangkan yang berbahasa Sunda Soerapati.

S sendiri dalam Keng Po menyatakan, “Pada taon itoe (1923) djoega ia dipilih mendjadi voorzitter VSTP Afdeeling Bandoeng. Pada taon 1924 ia mendjadi voorzitter SI Merah. Pada taon 1925 ia mendjadi redacteur Soerapati dan pada itoe taon djoega ia mengoendoerkan diri dari semoea gerakan politiek, teroes mendjadi romans schrijver sampe sekarang”.

Dari keterangan S, saya tahu Achmad Bassach pernah menjadi ketua VSTP cabang Bandung, ketua Sarekat Islam (SI) Merah Bandung, ditambah dari koran-koran di atas saya juga tahu ia sempat menjadi ketua Sarekat Rakyat (SR) Bandung. Dengan demikian, karena bersangkutan dengan perkembangan SI Merah yang nantinya berubah menjadi SR, tulisan kali ini akan lebih dulu menyoroti perkembangan tersebut.

Selanjutnya, saya akan lebih rinci menyampaikan kembali rincian peristiwa yang dialami Achmad Bassach selama tahun 1923-1925, khususnya dalam kerangka aktivitasnya di dunia pergerakan di Bandung.

Sarekat Islam Merah ke Sarekat Rakyat

Perubahan SI Merah menjadi Sarekat Rakyat (SR) dapat kita simak dari The Rise of Indonesian Communism (1965, 1993, 2006) karya Ruth T. McVey dan An Age in Motion:  Popular Radicalism in Java-1912-1926 (1990) atau Zaman bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926 (1997) karya Takashi Shiraishi. Sementara dalam konteks di Bandung, kita dapat mengikutinya dari buku karya Hafidz Azhar, Bandung di Persimpangan Kiri Jalan (2021).

Menurut ketiga sumber di atas, setelah peristiwa Cimareme di Garut dan SI afdeeling B pada 1919, kekuatan kelompok kiri di wilayah berbahasa Sunda bangkit kembali, terutama demi kepentingan politik, di bawah payung SI Merah. Dalam hal ini, Bandung memainkan peranan sangat penting, karena nantinya menjadi markas besar Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1925.

Arah ke sana di antaranya ditandai dengan berdirinya SI School di Bandung yang dipelopori Tan Malaka sejak 1921 dan khusus di Bandung, ia hadir pada 13 Januari 1922. S. Goenawan sebagai ketua SI Merah Bandung berperan penting mengembangkan sistem persekolahannya, sekaligus menyebarkan ke sekitar Bandung. Ini dilakukan Goenawan bersama Moeh. Sanoesi antara Juli-Agustus 1922. Dengan penyebaran itu, pada 1924 disebutkan sudah ada 13 SI School di Bandung.

Goenawan pula yang pada Oktober 1921 menyarankan agar kelompok-kelompok SI lokal yang prokomunis melepaskan keterkaitannya dengan SI dan menyebut diri sebagai Sarekat Rakyat. Namun, pada rapat yang diselenggarakan di markas pusat PKI di Semarang pada 25 Oktober 1921 yang disarankan adalah mengorganisasikan anggota-anggota SI yang prokomunis sekaligus memenangkan hati mereka, agar SI Merah berada di bawah arahan PKI dan mampu bersaing dengan SI Putih.

Sebagai tanggapan atas kongres Centraal SI (CSI) disusul pembentukan PSI di Madiun pada 17-23 Februari 1923, pengurus pusat PKI mengadakan kongres PKl dan SI Merah di Bandung pada 4 Maret 1923 dan Sukabumi pada 6 Maret 1923. Keputusan sangat berarti diambil saat kongres di Sukabumi. Saat itu diputuskan, “PKI dan SI-SI Merah bersatoe dalam satoe badan”.

Di antara rinciannya dinyatakan bahwa “Di tiap-tiap tempat dimana ada SI Merah misti didirikan tjabang PKI”, “SI Merah dan PKI di itoe tempat misti bekerdja bersama-sama”, “Dalam bekerdja bersama-sama itoepoen mereka haroes melawan kapitalisme”, dan “Dimana masih ada SI. ...disitoe PKI akan bikin tjabang PKI dan Sarekat-Rajat (SR jang akan kerdja bersama-sama ditempat itoe dengan PKI precies sebagai di lain-lain tempat PKI dan SI merah kerdja bersama-sama”.

Namun, meski kongres PKI menyarankan agar mengubah SI Merah menjadi SR, tetapi tidak terjadi pada 1923, bahkan di Semarang pun tidak terjadi. Perubahan tersebut baru mengemuka pada April 1924, ketika diumumkan bahwa seluruh SI Merah akan mengadopsi nama baru. Ini dinyatakan dalam pernyataan 16 pemimpin SI Merah Jawa Barat bahwa mereka harus berbeda dengan SI biasa dan memproklamirkan urusan agama terlalu mulia bila dilibatkan dalam urusan politik.

Menurut McVey, keputusan untuk berubah menjadi SR sebenarnya masih isu yang panas, sehingga baru didiskusikan secara terbatas. Sementara untuk kalangan lebih luas, baru dinyatakan lagi sejak Juni 1924.

Menghidupkan Serikat Buruh Kereta Api

Bila dikaitkan dengan riwayat hidup Achmad Bassach, hingga 23 Februari 1923, dia masih bekerja di Kemayoran, sebagai kepala stasiun kereta api, sekaligus aktivis VSTP. Bahkan setelah dipecat dari jawatan kereta api dan kembali ke Bandung pada akhir Mei 1923, ia berusaha tetap aktif menjadi pengurus serikat buruh kereta api.

Jejak-jejak Achmad Bassach sebagai ketua VSTP afdeeling Bandung antara lain dapat disimak dari korespondensi antara VSTP Bandung dan VSTP Tapanuli serta pusat-pusat serikat buruh pada Juli 1923 atau dua bulan setelah kembali ke Bandung. Adapun misinya menjadi ketua VSTP Bandung adalah menghidupkan lagi serikat itu setelah pemogokan pada 9-13 Mei 1923 banyak mengikis keanggotan VSTP. Konon, setelah pemogokan, anggotanya hanya tinggal 500 orang dan larangan berkumpul bagi VSTP tetap dipertahankan hingga 1 Oktober 1923.

Namun, kata McVey, di balik kegagalan pemogokan itu, aksi VSTP menjadi keuntungan tersendiri bagi kalangan kiri. Sebabnya, tindakan keras pemerintah kolonial saat menumpas orang-orang yang terlibat dalam pemogokan menimbulkan simpati publik. Bahkan, Semaoen sendiri saat itu dibilang martir layaknya Gandhi dari Indonesia.

Meski mendapatkan simpati publik, setelah pemogokan, VSTP tetap mengalami keterkejutan yang akut, sehingga memerlukan waktu siuman lebih lama. Inilah konteks saat Achmad Bassach menyelenggarakan rapat VSTP Bandung pada hari Minggu, 2 Desember 1923, di SI School di Jalan Pungkur. Saat itu wacana untuk menghidupkan kembali VSTP, konon, digemakan.

Di samping itu, Siti Atikah, istri Achmad Bassach, angkat bicara. Katanya, dia telah menerima suntikan semangat dari suaminya untuk berpartisipasi dalam pergerakan politik. Yang ditekankan oleh Atikah adalah kemiskinan kaum buruh, sekaligus mengajak sekitar 40 perempuan yang hadir dalam rapat untuk membentuk perhimpunan, agar dapat bergabung dalam pergerakan (AID, 3 Desember 1923 dan Sapoedjagat, 4 Desember 1923, dalam Azhar, 2021: 93).

Apa yang dilakukan Achmad Bassach bisa kita kaitkan dengan sudah melonggarnya kebijakan pelarangan berkumpul bagi aktivis VSTP setelah 1 Oktober 1923. Itu sebabnya, butuh sekitar dua bulan bagi Achmad Bassach untuk mengumpulkan kembali sisa-sisa anggota VSTP Bandung. Saya sekaligus menduga, barangkali sekitar Oktober-Desember 1923 inilah Achmad Bassach terpilih menjadi ketua VSTP Bandung.

Dari koran Matahari edisi 27 Desember 1923, saya tahu Achmad Bassach hadir dalam pertemuan SI Merah-PKI yang membicarakan ihwal kelaparan di Rancaekek dan berujung pada pembentukan komite bantuan serta mengajukan mosi kepada pemerintah agar memberi bantuan kepada yang sedang mengalami kelaparan.

Komitenya sendiri terdiri atas Winanta (dari PKI) sebagai ketuanya, Achmad Bassach (dari VSTP) sebagai sekretaris pertama, S. Darmoprawiro (SI Merah) sebagai sekretaris kedua, Soepradja (Sarekat Postel) dan Soemirat menjadi bendaharanya, ditambah beberapa komisaris pribumi dan Tionghoa (IPO, no 5, 29-01-1924).

Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (5): Satu Syair dalam Sinar Pasoendan, Lima Esai dalam Poesaka
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (6): Dua Guguritan dan Sejumlah Esai dalam Padjadjaran
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (7): Rawe-Rawe Rantas, Bangunlah Hai Kaum Buruh

Pada halaman pertama Soerapati edisi 20 April 1924, Moh. Sanoesi juga mengumumkan rencana kongres yang sama. (Sumber: Atep Kurnia)
Pada halaman pertama Soerapati edisi 20 April 1924, Moh. Sanoesi juga mengumumkan rencana kongres yang sama. (Sumber: Atep Kurnia)
Ketua SI Merah dan SR

Menurut Shiraishi (1997), “Kekuatan utama yang banyak menyumbang kesuksesan PKI untuk tetap memperoleh dukungan massa adalah mereka yang baru bebas setelah 3 sampai 4 tahun dipenjara akibat keterlibatan dalam peristiwa Afdeling B di Jawa Barat yaitu bekas-bekas PFB, VSTP, PPPB, dan aktivis serikat buruh lainnya. Pada akhir tahun 1923 dan awal tahun 1924 mereka bekerja sebagai propagandis untuk PKI dan SI Merah.”

Bila dikaitkan dengan Achmad Bassach, bisa jadi, setelah tidak cukup berhasil menghidupkan VSTP, ia berpaling ke SI Merah dan akif melakukan propaganda ke berbagai daerah di sekitar Bandung. Ini misalnya terbukti, menjelang akhir 1923, diwartakan Achmad Bassach menjadi pembicara dalam rapat umum SI-PKI di Buahbatu. Dalam pertemuan yang dihadiri 150 orang termasuk 30 perempuan itu, ia menyatakan bersyukur bahwa di Priangan kebiasaan mengadakan pertemuan sudah diadopsi di perdesaan (De Indische Courant, 31 Desember 1923).

Seminggu kemudian, kita sudah mengetahui Achmad Bassach ternyata menjadi ketua SI merah Bandung. Pada hari Minggu, 6 Januari 1924, ia hadir bersama 400 orang dalam pertemuan SI Merah Bandung. Agenda rapatnya saat itu ihwal pembentukan pemerintahan yang baru, perbedaan antara SI Merah dan SI Putih (“het verschil tusschen de roode en de witte SI”), serta pilar-pilar Islam merah (De Indische Courant, 9 Januari 1924).

Akibat aktivitasnya sebagai propagandis SI Merah, Achmad Bassach kerap berurusan dengan polisi. Ini bermula saat dia memimpin pertemuan SI Merah di belakang rumah lurah Desa Pasar Bandung hari Minggu, 17 Februari 1924 (Soerapati, 20 Februari 1924). Buntut acara tersebut, pada 18 Februari 1924, dia terkena delik akibat omongannya. Dalam Matahari (22 Februari 1924) dikatakan “Koetika tg 18 ini boelan saudara2 Achmad Bassach dan Djaedi, masing2 voorzitter dan comissaris SI Merah Bandoeng telah mengadap di hoofdbureau v Poitie, serta dipriksa perkara spreekdelict”.

Namun, rintangan-rintangan seperti itu tidak menghalangi Achmad Bassach untuk tetap berpropaganda. Dalam Matahari edisi 15 dan 20 April 1924 dan Soerapati edisi 20 April 1924, Moh. Sanoesi mengumumkan rencana “Congres SI Merah dan Sarikat Rajat” di Bandung antara 20-21 April 1924. Para pembicaranya antara lain Alimin dan Moeso (dari Betawi), Moechtar (Buitenzorg), Sastrosoewirjo (Tjirebon), Kartawiria, A. Winanta, S. Goenawan, Moh. Sanoesi, A. Bassach (Bandung), Sardjono (Soekaboemi), dan H. Djoenaedi (Tjiamis).

Pada praktiknya, redaksi Matahari (25 April 1924) menurunkan laporan bombastis bertajuk “Beriboe-riboe orang berdoejoen-doejoen. Mereka pergi mengoendjoengi congres Serikat Rajat”. Pertemuan dua hari itu berlangsung pada Minggu-Senin, 20-21 April 1924, di bioskop Oranje Casino, Bandung, dan konon dihadiri 1.200 orang dan “politie lebih dari lengkap”. Namun, yang menarik, di ujung laporan dikatakan, “Hanja djangan diloepakan, bahwa SI Merah boeat seantero Djawa Koelon, pada moelai hari Congres itoe soedah diterimanja dengan sangat goembira oleh sekalian publiek dan oetoesan-oetoesan, boeat diganti namanja djadi SAREKAT RAJAT”.

Dengan demikian, paling tidak untuk SI Merah se-Jawa Barat, yang meliputi Jakarta, sejak 20-21 April 1924 sudah dinyatakan berubah menjadi SR. Sehingga dengan demikian pula, Achmad Bassach yang notabene ketua SI Merah Bandung berubah menjadi ketua SR Bandung.

Dugaan tersebut mendapat konfirmasinya dalam berita yang menyebutkan bahwa pada rapat umum pada 1 Mei 1923, SR Bandung di bawah kepemimpinan Achmad Bassach menjadi tumbuh dan berkembang (IPO, no 22, 27-05-1924). Bukti lainnya terlihat dari kegiatannya saat berpropaganda ke daerah Cianjur antara 11-13 Mei 1924.

Dalam Soerapati (22 Mei 1924) dan Matahari (26 Mei 1924) dikatakan Cianjur merupakan sarang PSI atau nomor dua setelah Garut, “Akan tetapi sesoedahnja diakan openbare vergadering oleh kawan A. Bassach voorz. Sarikat Ra’jat Bandoeng, dan ... maka berdirilah Sarikat Ra’jat”. Achmad Bassach pula yang memimpin propaganda SR ke Cibeber dan Cikalong pada 11-12 Mei 1924 dilanjutkan ke Cikalong Kulon (Mande) pada 13 Mei 1924.

Kesumat kepada Wiranatakoesoma

Dalam Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie (30 Mei 1924) saya mendapat warta Achmad Bassach harus berurusan lagi dengan polisi. Gara-garanya, beberapa minggu sebelum Bupati Bandung Wiranatakoesoema naik haji, Achmad Bassach berpidato yang isinya menyerang sang bupati dalam hubungannya dengan tindakannya saat pemogokan buruh kereta api. Ketika pidato disampaikan bupati hadir, dan berusaha mengendalikan dirinya. Namun, setelah laporan resmi dibuat, ada alasan untuk mempersekusi Achmad Bassach.

Akibatnya Achmad Bassach diinterogasi polisi. Namun, konon, ia segera melayangkan surat permohonan maaf kepada bupati. Wiranatakoesoema kemudian mengajukan permohonan agar aduannya dicabut, sehingga Achmad Bassach tidak jadi dipersekusi.

Dalam pertemuan PKI dan SR di SI School di Kampung Parapatan Idjan, pada Minggu, 17 Agutus 1924, Achmad Bassach menghujat lagi Wiranatakosoema yang naik haji. Menurut Sin Po (19 Agustus 1924), “Achmad Bassach menerangken bahoea maksoednja regent Bandoeng pergi ke Mekka tida laen hanja boeat mentjari tambah pengaroeh serta boeat bikin ia poenja pangkat djadi semangkin tinggi”.

Serangan lain Achmad Bassach terhadap Wiranatakoesoema kembali dikaitakan dengan larangan mogok. Menurut Achmad Bassach, “Seperti orang masih inget pada waktoe timboel pemogokan dari PPPB, ia djoega soeda asoet itoe penggawe penggadean di Bandoeng soepaja tida toeroet mogok, sahingga kadjadian djoega tida toeroet mogok, sedeng ia (Wiranatakoesoema) lantas dapet titel Adipati”.

Achmad Basscach juga kumat kesumatnya kepada Wiranatakoesoema kala teringat campur tangannya bupati itu saat terjadinya pemogokan buruh kereta api tahun 1923. Dikatakannnya, “Begitoe djoega dengen timboelnja itoe pemogokan dari spoor dan tram. Ia (Wiranatakoesoema) soeda bitjara di moeka orang banjak (penggawe dari SS) soepaja tida toeroet mogok.”

Moh. Sanoesi mengumumkan kongres SI Merah-SR di Bandung antara 20-21 April 1924. (Sumber: Matahari, 15 April 1924)
Moh. Sanoesi mengumumkan kongres SI Merah-SR di Bandung antara 20-21 April 1924. (Sumber: Matahari, 15 April 1924)

Dipecat dari Kalangan Merah

Tahun 1925 merupakan titik balik bagi Achmad Bassach, karena saat itu dia dipecat dari gerakan politik kalangan kiri. Menurut keterangan S dalam Keng Po, “Dan pada itoe taon djoega ia mengoendoerkan diri dari semoea gerakan politiek, teroes mendjadi romans schrijver sampe sekarang”.

Sebelum tiba pada alasan pemecatan itu, agaknya ada baiknya untuk melihat dulu rekam jejak Achmad Bassach sebelum dipecat dan apa yang terjadi di kalangan kiri di masa itu. Rekam jejaknya selama menjabat sebagai ketua SR Bandung berakhir pada Februari 1925. Saya mendapatkan buktinya antara lain dari keterangan koran Sin Po edisi 20 Januari 1925, Api (dalam IPO no. 6, 05-02-1925) dan Het Vaderland edisi 11 Februari 1925.

Dari Sin Po didapatkan keterangan bahwa Achmad Bassach hadir dan angkat bicara dalam pertemuan umum PKI-SR Bandung pada hari Minggu, 18 Januari 1925, di SR School. Rapat tersebut diketuai Soeprodjo, dihadiri sekitar 500 orang, termasuk kalangan pemerintahan Kota Bandung dan polisi yang mengawasi jalannya pertemuan. Yang didapuk sebagai pembicaranya Boedi Kamid Mandojono, Darmoprawiro, Achmad Bassach, dan S. Goenawan.

Dalam rapat tersebut, Achmad Bassach sebagai pembicara terakhir menerangkan bedanya pemerintahan Tsar dan Sovyet di Russia. Ia memuji pemerintahan Bolsyewik dan merasa bangga pemerintahan baru itu sudah diakui di seluruh Eropa sebagai pemerintahan Sovyet.

Achmad Bassach juga membandingkan reaksi yang harus dihadapi kaum pergerakan di Hindia dan Eropa. Katanya, “Reactie-reactie di Hindia dengen di Europa jang belon ada seper seriboenja. Di Hindia kawan-kawan kita – kata spr – tjoema dihoekoem satoe atawa doea taon sadja, tetapi kita poenja kawan-kawan di Europa seperti Rosa Luxemburg dan Liebknecht soeda diboenoeh orang jang bentji dengen kita poena pergerakan alias raactie”.

Kemudian dalam koran Api edisi 26-31 Januari 1925, disebutkan bahwa SR Cimahi mengadakan pertemuan umum di Citatah, Cipatat, yang dihadiri 100 orang laki-perempuan dan 20 orang polisi. Para pembicara pada rapat tersebut adalah Achmad Bassach, Kartadipoera, Oele, Padmadisastra, H. Doerachman, Soemedi, Walikin, O.K. Jaman, Ny. Surtinah dan Ny. Kosasih.

Sementara pada awal Februari 1925, disebutkan ada rapat di SR School  Bandung yang dihadiri sekitar 600 orang, termasuk 20 orang perempuan. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Achmad Bassach, dengan agenda membahas rencana fusi SR dengan PKI. Saat itu, Achmad Bassach sendiri bilang SR secara otomatis akan turut bergabung dengan PKI (Het Vaderland, 11 Februari 1925).

Lalu, mengapa ideologi kiri yang nampak kuat dianut Achmad Bassach menjadi luntur sehingga mengalami pemecatan? Salah satu kemungkinannya, saya kira berkaitan dengan aturan disiplin partai (partijtucht), yang memang sedang hangat-hangatnya dilakukan oleh organisasi-organisasi pergerakan saat itu. Menurut Shiraishi (1997), orang pertama yang memperkenalkan disiplin partai adalah Soewardi Soerjaningrat yang baru kembali dari pembuangan di Belanda pada awal 1920.

Aturan yang melarang anggota satu organisasi untuk masuk ke organisasi lain atau rangkap organisasi itu mula-mula secara umum diperkenalkan oleh Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia (NIP-SH), lalu ditiru Boedi Oetomo (BO) dan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV). Sementara CSI baru memperkenalkan disiplin partai pada 30 September 1920 di Yogyakarta dan secara resmi pada kongres CSI, 16 Oktober 1921, di Surabaya.

Menurut Shiraishi (1997), aturan disiplin partai itu menyebabkan renggangnya hubungan CSI/PSI dengan PKI/SI Merah. Bahkan kemudian, dalam kongres PKI di Batavia pada Juni 1924, organisasi kalangan kiri menegaskan hal yang sama. Bahkan dengan terbitnya surat perintah nomor 6b tanggal 5 Juni 1925, pengurus pusat PKI memerintahkan agar segenap daya upaya partai itu ditujukan bagi “sentralisasi demokratik” dan “disiplin yang kuat dan kokoh”.

Bila dikaitkan dengan dipecatnya Achmad Bassach dari kalangan merah paling tidak sejak Februari 1925, ada kemungkinan dia dianggap melakukan tindakan indisipliner, tindakan yang tidak sesuai dengan keputusan hasil kongres PKI pada Juni 1924.

Lalu, apa pelanggaran yang telah dilakukan Achmad Bassach? Jawabannya dapat kita temukan dalam obituari yang ditulis S dalam Keng Po (1929).  Di situ ada kutipan mengenai Achmad Bassach yang mengadopsi seorang anak perempuan. Begini kata S, “Toean Achmad Bassach tida poenjaken poetra. Ia poengoet anak prempoean sedari orok dari beambte SS waktoe ia di Padalarang. Itoe anak ia kasi nama Johana, dimana ia pake sebagi nama pedengan boeat ia poenja boekoe-boekoe.”

Lalu, apa hubungannya dengan pemecatan Achmad Bassach? Justru karena alasan anak pungutnya itulah Achmad Bassach dipecat dari kalangan merah. Kata S, “Ketjintaan pada ini anak djoega mendjadikan ia pada taon 1925 diroyeer dari kalangan merah”.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//