• Kolom
  • BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (6): Dua Guguritan dan Sejumlah Esai dalam Padjadjaran

BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (6): Dua Guguritan dan Sejumlah Esai dalam Padjadjaran

Achmad Bassach menggunakan guguritan atau sajak sebagai alat untuk protes dan membela kaum buruh. Dalam “Asmarandana" ia menyindir media terbitan Sarekat Islam.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Pada Padjadjaran edisi 22 Oktober 1921, Achmad Bassach bersama dengan Gatot Mangkoepradja medewerker surat kabar tersebut. (Sumber: Atep Kurnia)

10 Desember 2021


BandungBergerak.idBila dalam surat kabar Sinar Pasoendan dan Poesaka, pada 1919, Achmad Bassach menulis dalam bahasa Melayu. Namun, meski begitu, dalam syair dan esainya memperlihatkan pengaruh kuat bahasa Sunda. Salah satu penandanya adalah kehadiran diksi-diksi Sunda.

Dari “Sair Goela” yang dimuat dalam Sinar Pasoendan edisi 5 April 1919 saya mendapati kata “si kasebelan” pada kalimat “Oentoek mengadjar si kasebelan”. Kata “si kasebelan” jelas ditimba dari bahasa Sunda yang bermakna orang yang dibenci.

Selanjutnya, pada esai “Tiada Sangka” (Poesaka, 3 Mei 1919), Achmad Bassach menggunakan kata “ketoembiri (regenboog)” yang berasal dari kata “katumbiri” yang berarti pelangi. Demikian pula, “sewarga maniloka” (surga), “djoengdjoenan” (yang sangat terhormat), dan ungkapan “setrija sedjati rembesing madoe tetesing andanawarih” (ksatria sejati keturunan mulia). Satu contoh lagi kata “gancang” yang diberi tanda kurung dengan “lekas” sehingga ditulis “gantjang (lekas) dalam “Satoe Boeat Semoea dan Semoea Boeat Satoe” (Poesaka, 14 Juni 1919).

Selain kosa kata dan ungkapan dari khazanah Sunda, Achmad Bassach memperlihatkan salah satu ciri khasnya ketika nanti menulis roman Sunda, yaitu penggunaan istilah dan kalimat-kalimat bahasa asing. Ini misalnya nampak dari penggunaan kata-kata Belanda dalam “Dubbel Boek” (Poesaka, 7 Juni 1919). Di situ ia memakai petatah-petitih, “Menschen is niet te oud om te leeren” dan “Moeder is de beste onderwijzer” (ibu adalah guru terbaik). Juga menggunakan satu paragraf kutipan berbahasa Jerman dari penyair dan filsuf Goethe.

Satu contoh lagi dari “Satoe Boeat Semoea dan Semoea Boeat Satoe”. Di situ ada kalimat, “Maaaarrr het leven bestaat uit tegen stellingen” (tetapi hidup ...). Penggunaan kosa kata Belanda yang terkesan dimaksudkan sebagai ironi oleh Achmad Bassach nampak jelas dalam romannya Rusiah nu Goreng Patut (1927). Di situ, ia mempermainkan kata “de” dan akhiran “ceh” yang konon ciri khas bahasa Belanda.

Banyaknya kosa kata Sunda yang digunakan Achmad Bassach, menurut saya, secara langsung menunjukkan bahwa bahasa ibu yang digunakannya adalah bahasa Sunda. Namun, setahun setelah publikasi terakhirnya, paling tidak, yang dapat saya akses dari Poesaka terbitan 1919, ia mulai menulis dalam bahasa Sunda. Media yang memuat tulisannya yang berbahasa Sunda adalah Padjadjaran.

Padjadjaran untuk Keperluan Pribumi Hindia

Menurut Ajip Rosidi (ed) dalam Ensiklopedi Sunda (2000), Padjadjaran adalah surat kabar mingguan berbahasa Sunda yang terbit setiap hari Sabtu (1918-1923) oleh Paguyuban Padjadjaran di Bandung.

Saya sendiri punya kesempatan untuk membuka-buka pelbagai edisi Padjadjaran. Dari edisi-edisi itu, saya tahu isinya berkaitan dengan politik serta ekonomi (“Soerat kabar minggoean noe eusina hal politik djeung ekonomi, dikaloearkeun oenggal-oenggal poe Saptoe koe Pagoejoeban Padjadjaran di Bandoeng”). Verantwoordelijk Redacteur-nya adalah Darna Koesoema, Plv. Verantwoordelijk Redacteur-nya Hr. Sumaamidjaja, redaktur di Bogor O. Tejaningsih, dan redaktur di Batavia, Moh. Sanoesi. Administrateur-nya Usman. Alamat redaksinya di Oude-Kerkhofweg, Bandung.

Sejak edisi 30 Agustus 1919, posisi Sanoesi diangkat ke jajaran redaktur, bersama Hr. Sumaamidjaja. Sementara Darna dan O. Tedjaningsih masih sama. Karena Sumaamidjaja sakit, dari edisi 8 November 1919, Sanoesi menjadi Plv. Verantwoordelijk Redacteur. Kemudian sejak 26 Juni 1920 nama Moh. Sanoesi tak lagi tercantum dalam susunan redaksi yang berubah menjadi Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat, Darna Koesoema, A. Winanta, A. Tedjaningsih. Memasuki 1921, ada perubahan lagi, yaitu Bratakoesoemah, A, Winanta dan Nji Martawidjaja Parmasih. Sedangkan Dr. Tjipto, Darna dan Soewardi Soerjaningrat sebagai “medewerkers”.

Seperti yang disebutkan S dalam Keng Po tahun 1929, Achmad Bassach memang tercatat menjadi medewerker Padjadjaran. Meski S pun tidak tepat ketika menyatakan “taon 1919 ia mendjadi veste medewerker weekblad Padjadjaran di Bandoeng”, karena sepanjang yang saya dapat telusuri ia menjadi medewerker pada 1921 bersama Gatot Mangkoepradja (Padjadjaran, 22 Oktober 1921) dan sendiri pada awal 1922 (Padjadjaran, 29 Januari 1922).

Soal isinya yang berkaitan dengan politik dan ekonomi itu merupakan protes terhadap berbagai peristiwa dan tindakan para pejabat pribumi yang merugikan rakyat. Misalnya, tulisan “Kromo djeung hak2 milikna", yang dimuat pada edisi 18 Januari 1919, "Kaajaan Pamarentah djeung Kalaparan" (17 Mei 1919), dan "Gerakan Rahajat Hindia" (11 Oktober 1919).

Peristiwa Cimareme, Garut, atau SI Afdeeling B yang melibatkan H. Hasan Arief dibahas mendalam dalam surat kabar ini. Peristiwa itu diliput dalam Padjadjaran sejak 12 Juli 1919, yang antara lain memuat tulisan “Perkara Leles”; Padjadjaran (18 September 1919), ada artikel "Njamboeng Hal Garoet jeung H. Hasan", "Parepeh S.I. afd B", "Verslagna noe djadi Commissie anu Dioetoes koe Pamarentah, mariksa perkara Leles", dan "Pikiran Redactie"; edisi 15 November 1919 memuat surat terbuka yang ditulis Moh. Sanoesi, "Soerat Muka, Dr. Hazeu djeung H. Hasan"; hingga 13 Desember 1919, yang memuat tulisan S. Goenawan, "Rohna H. Hasan Menta Pangadilan".

Sanoesi sendiri menulis buku tipis yang berisi semacam protes dalam bentuk sajak tradisional dangding mengenai ketidakadilan pada peristiwa H. Hasan itu. Buku yang berjudul Rasiah Garoet (Tembang Lagoe Garoet Gendjlong) itu mula-mula diiklankan pada Padjadjaran edisi 4 Oktober 1919, hingga edisi-edisi selanjutnya. Namun, pada 1 November 1919, Sanoesi melaporkan buku itu dibredel pihak yang berwajib pada 24 November 1919.

Surat kabar ini banyak juga memuat tulisan karya kaum pergerakan Indonesia yang aktif di Bandung, seperti Dr. Douwes Dekker, Dr. Tjipto, dan Soewardi. Begitupun dengan para tokoh intelektual Sunda, misalnya D.K. Ardiwinata, Memed Sastrahadiprawira, Soetisna Sendjaja, dan Ema Bratakoesoemah.

Termasuk kaum pergerakan dan intelektual itu tentu saja Achmad Bassach. Menurut hasil penelusuran, ia menulis di Padjadjaran antara 25 Oktober 1920 hingga 18 Desember 1922. Dalam rentang waktu tersebut, ia bekerja sebagai kepala Stasiun Padalarang (1918-1922) dan sejak 1922 menjadi kepala Stasiun Kemayoran.

Bila dilihat satu per satu tulisan Achmad Bassach dalam Padjadjaran, ternyata ada dua sajak tradisional berbentuk guguritan yang bertajuk “Asmarandana” (Padjadjaran, 25 Oktober 1920) dan “Dandang Goela Ketoe Oedeng” (24 Desember 1920). Sementara esainya ada 13, yang uraian judul-judulnya akan saya berikan di bagian akhir tulisan.

Salah satu guguritan karya Achmad Bassach yang dimuat dalam Padjadjaran edisi 25 Oktober 1920. (Sumber: Atep Kurnia)
Salah satu guguritan karya Achmad Bassach yang dimuat dalam Padjadjaran edisi 25 Oktober 1920. (Sumber: Atep Kurnia)

Guguritan-guguritan Protes

Menurut Ensiklopedi Sunda (2000: 251), guguritan merujuk kepada “bentuk basa ugeran yang ditulis sesuai dengan aturan dangding. Biasanya berupa lirik yang melukiskan perasaan penulisnya, tetapi banyak juga yang merupakan nasihat atau kisah. Dengan kata lain, guguritan adalah bahasa terikat (basa ugeran) yang ditulis dengan menggunakan aturan puisi tradisional (dangding) yang disebut pupuh dan umumnya terdiri atas beberapa bait (pada), meski ada juga yang beratus-ratus bait.

Adapun Achmad Bassach mengganggit guguritan dengan menggunakan dua pupuh, yaitu Asmarandana dan Dangdanggula. Menurut Ensiklopedi Sunda (2000: 66, 177), setiap bait Asmarandana terdiri atas 7 padalisan (larik) dengan guru wilangan (suku kata) dan guru lagu (sajak akhir) 8i, 8a, 8e atau o, 8a, 7a, 8u, dan 8a. Watak pupuh ini melukiskan orang yang sedang kasmaran atau nasihat. Sementara Dangdanggula terdiri atas 10 padalisan, dengan jumlah suku kata dan sajak akhir 10i, 10a, 8e atau o, 7u, 8i, 7a, 6u, 8a, 12i dan 7a. Karakternya melukiskan suasana hati yang gundah atau pemandangan alam indah.

Apakah dua guguritan karya Achmad Bassach sesuai watak-watak pupuh-nya? Ternyata bila dibaca secara saksama, kedua sajaknya berkebalikan dengan sifat-sifat pupuh. Dalam “Asmarandana” yang mengemuka adalah semacam sindiran kepada redaktur surat kabar dari Sarekat Islam cabang Bandung, Kaoem Moeda.   

Sajaknya terdiri atas empat bait yang bila dijumlahkan seluruhnya 28 larik. Menariknya setiap huruf awal larik mewakili inisial yang bila disatukan hingga larik akhir akan terbaca sebagai berikut: “KAOEMMOEDADJADIMOESOEHOERANG” atau “Kaoem Moeda djadi moesoeh oerang” (Kaum Muda menjadi musuh kita).

Apa yang membuat Achmad Bassach menempatkan Kaoem Moeda sebagai musuh bersama? Jawabannya langsung terbaca pada bait pertama: “Kaoem-Moeda djadi djoerig, Anjar keneh barobahna, Obah haloeanana teh, Eleh koe invloed kapitaal, Mempihak ti kaoem oewang, Moesoeh bangsa kaoem boeroeh, Omat oelah langganan” (Kaum Muda menjadi hantu, yang baru saja berubah, berubah haluannya, kalah oleh pengaruh modal, memihak kaum pemilik uang, [menjadi] musuh bangsa buruh, jangan sampai kita berlangganan).

Alhasil, ada nada protes Achmad Bassach bagi dua redaktur Kaoem Moeda. Dua redaktur itu adalah Atje Padmawiganda dan A.H. Wignjadisastra, pentolan Sarekat Islam Bandung. Pada bait terakhir Achmad Bassach memang menyatakan, “Horeng kitoe ari doewit, Osok tega ka bangsana, Euleuh-euleuh pamimpin ge, Repeh moen digandjeul oewang, Atje Padma A.H. Wignja, Noengtoen kadorakaan woengkoel, Gampang leeh koe gogoda” (Ternyata demikianlah duit, suka tega kepada bangsanya, tuh lihat saja pemimpinnya pun, diam saja bila diganjal uang, Atje Padma dan A.H. Wignja, membawa orang kepada kedurhakaan belaka, mudah tergoda).

Dalam guguritanDandang Goela Ketoe Oedeng” pun Achmad Bassach menerapkan pendekatan yang sama. Dari empat bait yang berarti 40 larik, setiap huruf awalnya digunakan untuk membentuk kalimat “DJOERAGANWENINATIDJADIWAKILWIRIAPASARBAROE” atau “Djoeragan Weninati djadi wakil Wiria Pasar Baroe” (Tuan Weninati menjadi wakil Wiria dari Pasar Baru).

Nada-nada protes dan sindiran pun sama kentalnya dengan sajaknya yang pertama. Pada bait pertama, ia menggambarkan ternyata perkara udeng atau ikat kepala saja menjadi bahan perdebatan, padahal seorang wakil rakyat seharusnya memiliki “Ati gilig tedak kasatrian, Kadjeun teu nganggo bendo ge” (mempunyai hati yang teguh seperti ksatria, biarpun tidak menggunakan ikat kepala).

Guguritan-guguritan protes karya Achmad Bassach ini mengingatkan saya kepada guguritan Rasiah Garoet (Tembang Lagoe Garoet Gendjlong)  karya Moh. Sanoesi dan dimuat sebelum Achmad Bassach mempublikasikan dua karyanya. Karya Sanoesi itu berisi kritik pedas terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan bupati Garut Moesa Kartalegawa terhadap perlawanan yang dilakukan Haji Hasan dan kawan-kawan dalam peristiwa Cimareme.

Guguritan-guguritan karya Achmad Bassach dan Moh. Sanoesi juga mengingatkan saya kepada pendapat Tom van den Berge (Puisi Sunda Zaman Belanda, 2021: 116, 132). Ia menyatakan, “Di Tatar Sunda, puisi selalu menjadi bentuk karangan tempat informasi penting disampaikan” dan “Pada paruh kedua abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, puisi dianggap sebagai puncak pencapaian orang Sunda terpelajar”, sehingga dengan demikian “Konsep-konsep politik modern tidak hanya diandalkan untuk pidato sehari-hari atau prosa dalam surat kabar, melainkan juga bisa disisipkan ke dalam bentuk puisi tradisional ... Para penyair Sunda mencoba mengadaptasikan nuansa yang tradisional dengan bentuk dan isi yang modern, mencoba memadukan yang dua hal yang tadinya terpisah.” 

Persatuan dan Kemajuan

Selanjutnya bagaimana esai-esai Achmad Bassach yang berbahasa Sunda? Dari jumlahnya, saya menghitung ada 13 esai dalam Padjadjaran, dengan catatan satu berupa terjemahan. Selengkapnya sebagai berikut: “VSTP diangken Doeloer” (8 Desember 1920), “Hidji Perhinaan” (27 Juli 1921), “Reactie djeung Revolutie” (11 Agustus 1921), “Pamimpin Pergerakan Wadjib Ngahidji” (15 Oktober 1921), “Kaoem Moeda Mabok Arak Tjap Lodong” (22 Oktober 1921), “Kaoem Boeroeh” (29 Januari 1922), “Oelah Mogok Tjeuk Boepati Bandoeng” (Februari 1922), “Noot” (5 Februari 1922), “Miroeha” (22 Juli 1922), “Apakah Hindia akan Merdika dari Kehendaknya Nederland atau dari Oesahanja ra'jat Hindia Sendiri” (14 November 1922), “Mr Fok djeung Colijn” (18 Desember 1922), “Bewara Hoofdbestuur PPPB perkara Pemogokan Ngoepasan” (terjemahan, No 12., 1922), dan “Beubeunangan Matja”  (No 14., 1922).        

Bila membaca judul-judul tersebut, saya sendiri jadi yakin Achmad Bassach adalah sosok yang terlibat dalam arus zaman yang sedang bergerak. Ia bisa dikatakan seorang intelektual yang memanfaatkan penanya untuk turut mempengaruhi opini publik. Oleh karena itu, kosa kata yang digunakannya tidak jauh-jauh dari perjuangan buruh, sebagai titik berangkatnya, dan perjuangan demi kepentingan khalayak banyak saat itu.

Kosa kata yang sering muncul dalam tulisan-tulisan Achmad Bassach sejak Sinar Pasoendan, Poesaka, hingga Padjadjaran antara lain kromo yang dipertentangkan dengan pembesar, kaum proletariaat versus kaum kapitalis, kaum buruh, reaksi dan revolusi, mogok dan pemogokan. Dan dalam banyak kesempatan Achmad Bassach terus menyerukan tentang pentingnya menulis demi mempengaruhi opini publik dan berkali-kali menggarisbawahi pentingnya persatuan.     

Apa yang dilakukan Achmad Bassach mewakili ungkapan Takashi Shiraishi “kebangkitan ‘bumiputra’ pada awal abad XX” (Zaman Bergerak: Radikalisme Jawa, 1912-1926, 1997: xi). Achmad Bassach adalah anggota serikat buruh kereta api, terlibat dalam penulisan sajak dan esai yang menggambarkan perjuangan serikat buruh, menekankan dan menyokong pentingnya pemogokan untuk menekan pemilik modal agar lebih memperhatikan nasib buruh terutama yang berasal dari kalangan pribumi.

Achmad Bassach juga seperti aktivis pergerakan lainnya menyeru-nyeru tentang keuntungan untuk bersatu melawan penindasan dan meraih otonomi alias kemerdekaan. Inilah yang pasti dimaksudkan oleh Tom van den Berge (2021: 130), ketika mengatakan, “Bagi para penulis, persatuan dan kemajuan adalah istilah-istilah yang pengertiannya tidak terpisahkan. Persatuan diperlukan agar kemajuan tidak terhalang.” Pada praktiknya, kosa kata-kosa kata politik modern yang diajukan Achmad Bassach dipakainya baik dalam bentuk sisipan dalam puisi maupun seutuhnya prosa dalam esai, tentu berpautan dengan persatuan agar maju dan merdeka.         

Editor: Redaksi

COMMENTS

//