• Kolom
  • BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (7): Rawe-Rawe Rantas, Bangunlah Hai Kaum Buruh

BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (7): Rawe-Rawe Rantas, Bangunlah Hai Kaum Buruh

Pemogokan yang dilakukan oleh 10 ribu buruh kereta api membuat Achmad Bassach dipecat dari SS, perusahaan kereta api milik Belanda di Hindia Belanda.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Edisi pertama mingguan Kijahi Djagoer, 14 April 1923. (Sumber: Atep Kurnia))

17 Desember 2021


BandungBergerak.idSayang sekali saya belum dapat memperoleh tulisan Achmad Bassach yang dimuat dalam Sinar Hindia antara 30 April hingga 7 Mei 1923. Saya baru dapat membaca keterangan ringkasnya dari Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche Pers (IPO) no. 19 (1923). Konon, dia menulis artikel bertajuk “Vaarwel en blijf in actie” (Selamat tinggal dan tetaplah beraksi) dengan keterangan tambahan “nog in verdrukking” (masih dalam tekanan).

Mengapa tulisan tersebut penting? Karena di sana digambarkan salam perpisahan Achmad Bassach kepada rekan-rekannya sesama aktivis Vereeniging voor Spoor - en Tramwegpersoneel (VSTP), berikut riwayat kerjanya di jawatan kereta api Hindia Belanda. Ini juga sekaligus menandai keluarnya Achmad Bassach dari pekerjaannya.

Dalam tulisannya, ia menekankan kekuatan besar yang dimiliki VSTP untuk dapat dapat berkembang bila para anggotanya tetap teguh, dan menggarisbawahi saat itu bukanlah waktunya lagi bagi para buruh untuk memohon-mohon. Satu-satunya cara yang menurut Achmad Bassach mampu memperbaiki keadaan buruh adalah melakukan pemogokan secara terorganisir.

Kata Achmad Bassach, kaum pemodal pun sadar betapa berbahayanya pemogokan, sehingga mereka mencari-cari cara untuk melemahkan pergerakan, menyensor surat edaran, mengawasi rapat-rapat, dan para pemimpin pergerakannya terus diburu dan dilarang, baik terang-terangan maupun secara halus. Ia mencontohkan nasib A. Winanta, ketua VSTP Tasikmalaya, yang dipindahkan ke Makassar, seakan-akan dibuang.

Demikian pula yang dialami Achmad Bassach. Katanya, setelah dia pulang mengikuti kongres VSTP di Semarang, dia mendapat cap sebagai “een communist, een bolsjewik, een roode mensch” (seorang komunis, seorang Bolsyewik, dan orang merah). Kemudian ketika 18 Februari 1923, Achmad Bassach menyelenggarakan rapat umum di Meester Cornelis yang diketuai Saerun dan dihadiri sekitar 1.500 orang, dua bulan kemudian dia dipecat. Padahal masa kerjanya sudah 12 tahun. Dan menurut catatan dari pengurus pusat VSTP, Achmad Bassach harus mengundurkan diri pada akhir Mei 1923.

Itulah mengapa saya sangat menyesal belum dapat menemukan tulisan asli Achmad Bassach dalam Sinar Hindia itu. Untungnya, dari IPO di atas, saya jadi tahu secara keseluruhan Achmad Bassach bekerja untuk negara kolonial selama 12 tahun, yang berarti antara 1911 hingga 1923, sejak menjadi guru di Cianjur hingga menjadi kepala Stasiun Kemayoran. Fakta tersebut sesuai dengan keterangan S dalam obituari Achmad Bassach.

Ringkasan tulisan Achmad Bassach yang dimuat dalam Sinar Hindia edisi 30 April-7 Mei 1923. Sumber: IPO no. 19 (1923).
Ringkasan tulisan Achmad Bassach yang dimuat dalam Sinar Hindia edisi 30 April-7 Mei 1923. Sumber: IPO no. 19 (1923).

Dua Tulisan dalam Kijahi Djagoer

Menurut S dalam Keng Po, “Pada taon 1922 ia mendjadi dd chef di Kemajoran, merangkep dengen mendjadi redacteur dari weekblad Djagoer di Mr. Cornelis. Pada boelan Mei 1923 ia dikeloearken dari S.S. (Staatsspoor- en Tramwegen in Nederlandsch–Indië), dengen mendapet titel merah dan kombali ka Bandoeng.”

Namun, sebelum dipecat, Achmad Bassach sempat menjadi redaktur Kijahi Djagoer. Mingguan ini mulai terbit pada hari Sabtu, 14 April 1923, dengan alamat redaksi di Pisangan No. 3, Meester Cornelis. Direktur merangkap verantwoordenlijk redacteur-nya adalah Soebagija. Sementara dewan redaksinya ada Soewarno, Achmad Bassach, Oesadiningrat, Djajadiredja, Najoan dan Mars. Dari IPO no 19, saya tahu Oesadiningrat, Djajadiredja, dan Najoan adalah anggota pengurus pusat VSTP. Selengkapnya pengurus pusat VSTP adalah Semaoen, Soegono, Soedibio, Najoan, Oesadiningrat, dan Djajadiredja. Dengan demikian, Achmad Bassach jelas juga merupakan salah seorang pentolan VSTP. Sekaligus Kijahi Djagoer dapat dianggap berkala terbitan VSTP.

Pada satu-satunya edisi mingguan yang mempunyai tagline “Haloeannja Membela Ra’jat jang Tertindas” itu saya mendapati dua tulisan Achmad Bassach. Keduanya “Rawe-rawe Rantas! Malang malang poetoeng!” dan “Bangoenlah hai kaoem boeroeh. Bersiaplah Menjoesoen Barisanmoe”.

Pada awal tulisan pertama yang diberi titimangsa Meester Cornelis, 4 April 1923, ia menyatakan, “Saudara-saudara! Kijahi Djagoer telah keloear dari kandoengan angan-angan kita. Sebagai pengasoehnja maka kita mengoetjapkan slamat ketemoe kepada saudara saudara dan toean toean pembatja, dengan pengharepan sepenoeh penoehnja hendaklah saudara saudara memperhatikan bagaimana maksoed dan toedjoean Kijahi Djagoer ini”.

Pada paragraf ketiga sebelum memungkas tulisannya, Achmad Bassach menyimpulkan: “Itoelah sebabnja, saudara saudara, bahwa kita haroes bergerak bersama-sama akan menjeberang di laoetan politiek, goena sekalian Ra’jat jang menderita kesangsaraan ini. Haloeannja Kijahi Djagoer tentoe sekali akan mempihak pada Ra’jat jang terhina, jang tertindas oleh pengaroeh kapitalisme, sebaliknja ialah akan memoengsoeh kepada siapa djoega jang akan merintangi pergerakan Ra’jat. Itoelah koewadjiban Kijahi Djagoer ini, saudara saudara!’

Bila membaca kutipan tersebut, saya jadi mengerti mengapa judul tulisannya “Rawe-rawe Rantas! Malang malang poetoeng!” Karena isinya memang mengajak para pembaca untuk turut bersatu dan mulai bergerak. Ajakan untuk bersatu ini pula yang sekali lagi ditegaskan Achmad Bassach dalam tulisan keduanya yang menggunakan inisial AB. Meski secara khusus target tulisannya adalah mengajak seluruh kaum buruh untuk mulai bergerak.

Dari dua paragraf pertama tulisan “Bangoenlah hai kaoem boeroeh. Bersiaplah Menjoesoen Barisanmoe”, terbaca demikian: “Maka tiada bisa disangkal lagi, bahwa kita kaoem boeroeh, kaoem melarat, pada ini waktoe melainkan seperapat hidoepnja”.

“Matjamnja kaoem2 boeroeh, sinarnja kaoem2 jang tertindas ada mesoem sekali, seolah-olah telah poetoes asa akan menghilangkan gentjetan-gentjetan jang mengenai padanja. Begitoepoen poela mereka ada mempoenjai hati setengah-setengah, artinja, apakah madjoe teroes bergerak, atau sama sekali moendoer? Begitoelah kira2 keadaan fikiran kaoem2 boeroeh pada djaman jang soesah ini. Itoelah tiada lain sebab-sebabnja, melainkan kaoem2 reactie senantiasa menghalangi gerakan kita kaoem2 jang tertindes goena mentjahari haknja sendiri-sendiri”.

Oleh karena itu, menjelang akhir tulisannya, Achmad Bassach mengajak, “Saudara saudara! Hilangkanlah poetoes asa, hilangkanlah hati takoet, berkoempoelah mendjadi satoe, koeatkanlah barisan Ra’jat, bantoelah pergerakan kita, sokonglah soerat kabar kita ini”.

Namun, yang membuat aneh adalah, meski diliputi ideologi kekiri-kirian, ternyata Achmad Bassach nampak tetap bersandar kepada keyakinan agamanya: Islam. Seperti nampak dalam obituari R. Alibasah Soeriaamidjaja (Poesaka, 3 Mei 1919), Achmad Bassach memperlihatkan keeratan dirinya dengan ideologi Islam dalam tulisan “Bangoenlah hai Kaoem Boeroeh. Bersiaplah Menjoesoen Barisanmoe”.

Pada akhir paragraf tulisan kedua di Kijahi Djagoer edisi 14 April 1923 itu, ia menulis: “Insja Allah nanti kita akan hadsil adanja. Amin ja Robboel Alamin.” Dengan menulis paragraf tersebut, jelas terbayang ketergantungan Achmad Bassach kepada sesuatu yang maha, yang menentukan segala sesuatunya di dunia: Tuhan. Dengan demikian pula, saya hendak menegaskan kembali dugaan pada dasarnya ideologi Achmad Bassach adalah Islam. Akar-akar ideologi ini seakan tertanam kuat di hatinya, melebihi ideologi kiri yang baru dipahaminya sejak bergabung menjadi buruh kereta api.

Dalam hal ini, saya kira Achmad Bassach mirip Hadji Mohammad Misbach. Menurut Shiraishi (1997: 159, 172, 343), Hadji Mohammad Misbach adalah “tokoh mubalig reformis (propagandis Islam)” yang pada akhir 1922 berpisah dengan bekas sekutunya, Moehammadijah, untuk kemudian pada Maret 1923 muncul sebagai propagandis PKI/SI Merah dan berbicara tentang keselarasan paham yang mendasar antara Islam dan komunisme.

Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (4): Pegawai Jawatan Kereta Api Kolonial
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (5): Satu Syair dalam Sinar Pasoendan, Lima Esai dalam Poesaka
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (6): Dua Guguritan dan Sejumlah Esai dalam Padjadjaran

Pemogokan Buruh Kereta Api 1923

Penerbitan Kijahi Djagoer berikut dua tulisan Achmad Bassach yang dimuat di dalamnya dapat pula dibaca dalam konteks pemogokan buruh kereta api yang gagal pada Mei 1923.

Menurut John ingleson (“Bound and Foot Railway-Workers and the 1923 Strike in Java”, dalam Indonesia edisi 31 April 1981) dan Shiraishi (1997) penyebab pemogokan buruh kereta api pada bulan Mei 1923 adalah resesi ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 1922 hingga 1923. Sebagai akibatnya pada pertengahan 1922, perusahaan kereta api swasta mengumumkan akan mengurangi uang penghargaan bagi buruh. Sementara jawatan kereta api milik pemerintah (SS) akan menghilangkannya pada 1 Januari 1923.

Dihadapkan pada situasi demikian, para anggota VSTP mendesak pengurus pusatnya agar bergerak untuk membela standar biaya hidup mereka. Oleh sebab itu, sejak Juni 1922 dimulailah kampanye anti pemangkasan biaya hidup buruh itu. Semaoen yang baru saja kembali dari Uni Sovyet pada Mei 1922 mengatur kampanye itu dalam bentuk rapat-rapat umum dan propaganda. Lalu, menjelang akhir 1922, gagasan untuk melakukan pemogokan buruh kereta api nampak menuntut pembuktian.

Itu sebabnya pengurus pusat VSTP menyelenggarakan kongres di Semarang pada 3-4 Februari 1923. Kongres ini pula yang dihadiri oleh Achmad Bassach dan sepulang dari sana, dia mendapat cap “een communist, een bolsjewik, een roode mensch” seperti yang dilaporkan dalam IPO di atas. Dalam kongres tersebut diputuskan bahwa pemogokan akan dilakukan bila negosiasi dnegan manajemen perusahaan kereta api gagal.

Pada 23 April 1923, Semaoen mengirim surat edaran yang memerintahkan semua afdeling VSTP untuk bersiap-siap mogok, sekaligus memberikan peringatan kepada pemerintah bahwa jika ada satu saja pemimpin VSTP yang ditangkap, serikat akan segera mogok. Semaoen mengulangi ancamannya pada rapat umum VSTP di Semarang pada 6 Mei 1923.

Tetapi dua hari kemudian, 8 Mei 1923, Semaoen ditangkap dan penangkapan tersebut memicu keributan pada sore harinya. Para pemuka VSTP di Semarang merencanakan aksi tanggapan, yang lalu diperkuat dengan para pemimpin PKI setempat, Sarekat Islam, dan serikat-serikat lainnya. Esoknya, 9 Mei 1923, pemogokan buruh kereta api terjadi, yang tersebar dari Semarang hingga Pekalongan. Tanggal 10 Mei 1923, pemogokan sudah meluas ke Tegal dan Cirebon. Puncaknya, 13 Mei 1923, sekitar 10.000 pribumi yang menjadi buruh kereta api melakukan pemogokan. Pusatnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sementara di Jawa Barat hanya sedikit saja yang terlibat pemogokan.

Namun, dari dua pustaka di atas, saya juga jadi tahu bahwa pada 10 Mei 1923, pemerintah kolonial menerbitkan artikel 161bls Hukum Kriminal Hindia, yang isinya tidak hanya melarang hasutan untuk mogok, tetapi juga dukungan dan dorongan pemogokan. Dengan terbitnya aturan tersebut, banyak pemuka VSTP ditangkap, dipecat dari perusahaan, hingga pada 22 Mei 1923, pengurus harian VSTP menghentikan pemogokan dan mengaku kalah.

Di mana dan apa yang dilakukan Achmad Bassach saat pemogokan itu? Pada pagi hari, 11 Mei 1923, muncul selebaran merah dari VSTP, yang mengajak semua anggota serikat pekerja untuk hadir dalam rapat umum pada malam harinya, pukul 20.00, di Unipark, Meester Cornelis. Di sana disebut-sebut yang akan bertindak sebagai pembicara adalah Semaoen, Achmad Bassach, dan lain-lain.

Dalam kesempatan itu, dibagikan pula Kijahi Djagoer yang dicetak di Bandung. Mingguan tersebut menyatakan sejumlah pemogokan sudah terjadi di Bandung. Namun, redaktur Bataviaasch Nieuwsblad (edisi 11 Mei 1923) yang mengabarkan rencana rapat menyarankan kepada para pembacanya agar tetap diam di rumah dan menyebutkan tidak akan ada yang datang ke acara itu. Sebab rapat terbuka itu tentu saja memerlukan izin dan izinnya pasti akan ditolak oleh pemerintah.     

Betapapun, Achmad Bassach tentu saja termasuk orang yang bergerak dalam pemogokan buruh kereta api pada Mei 1923 itu dan dampaknya akhir Mei 1923 dia dipecat sebagai pegawai jawatan kereta api. Akhirnya, seperti yang dibilang S dalam Keng Po, “Ia dikeloearken dari S.S., dengen mendapet titel merah dan kombali ka Bandoeng.”

Editor: Redaksi

COMMENTS

//