• Kolom
  • RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (14): Kompleks Cipaganti

RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (14): Kompleks Cipaganti

Di sekitar Jalan Cipaganti dahulu terdapat Empang Cipaganti atau Situ Garunggang. Telaga ini dapat dicapai melalui jalan kecil dari Lembang-weg.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Jalan Lamping, Kota Bandung, Minggu (13/3/2022). Dahulunya jalan ini bernama Van Galen-weg, diambil dari nama-nama pahlawan laut (zeevaarders) Belanda tempo dulu. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

13 Maret 2022


BandungBergerak.idDi sekitar Kelurahan Pasteur, Kecamatan Sukajadi, terdapat nama-nama jalan yang berasal dari kata sifat-kata sifat baik. Di sana antara lain ada Jalan Makmur, Jalan Kesehatan, Jalan Waluya, Jalan Rahayu Selatan, Jalan Rahayu Utara, Jalan Sejahtera, Jalan Sabar, Jalan Tawekal, Jalan Rikrik, Jalan Waspada, Jalan Jujur, Jalan Setia, Jalan Bakti, Jalan Tenteram, Jalan Sentausa, Jalan Senang, Jalan Bahagia, Jalan Mulia, Jalan Kurnia dan Jalan Gembira.

Nama-nama jalan itu bukanlah nama baru, melainkan sudah berusia lebih dari enam dasawarsa. Menurut hasil telusuran pustaka, nama-nama itu mulai digunakan sejak Oktober 1953. Konteks penamaannya berkaitan dengan pembangunan perumahan di sekitar Cipaganti. Artinya, dulu seluruh jalan itu termasuk ke daerah Cipaganti, bukan Kelurahan Pasteur seperti saat ini.

Lebih jelasnya, kita dapat menelusuri berita dalam koran AID De Preanger-Bode edisi 15 Agustus 1953, 5 Oktober 1953, 7 Desember 1953, dan 31 Desember 1953. Dalam edisi 15 Agustus 1953 dikabarkan pada masa itu tengah berlangsung pembangunan perumahan umum di sekitar Jalan Buah Batu dan Jalan Cipaganti. Dalam edisi 5 Oktober 1953 dinyatakan nama-nama jalan baru untuk sekitar kompleks Dangdeur (Jalan Buah Batu) dan Jalan Cipaganti. Untuk kompleks Cipaganti, nama-nama jalannya persis dengan yang saya tuliskan pada awal tulisan.

Selanjutnya, dari edisi 7 Desember 1953 diberitakan pemerintah Kota Bandung sama-sama mengalami kesulitan keuangan seperti yang dialami daerah lainnya di Indonesia. Itu sebabnya Kota Bandung harus menunda projek-projek besar, seperti memindahkan Pasar Baru ke selatan kota yang membutuhkan biaya tidak kurang dari 30 juta Rupiah. Sebagai gantinya, pemerintah Kota Bandung berencana menggarap perumahan umum.

Di sekitar Kompleks Cipaganti, belakang Rumah Sakit Rancabadak (Rumah Sakit Hasan Sadikin), pemerintah akan membangun 35 rumah tembok berukuran kecil dan akan dijual seharga Rp. 12.000 untuk ukuran yang kecil dan Rp. 30.000 untuk yang lebih besar. Para pembelinya diberi kesempatan untuk membayar uang muka sebesar 20 persen dan 80 persen lagi bisa dicicil selama setahun hingga sepuluh tahun.

Sementara dalam edisi 31 Desember 1953 ditampilkan semacam kaleidoskop Kota Bandung selama 1953. Di antaranya yang berkaitan dengan titimangsa penamaan jalan-jalan baru di sekitar kompleks Cipaganti dimasukkan pada data bulan Oktober 1953.

Tempat tinggal keluarga G.M.G. Douwes Dekker di sekitar Tjipaganti-weg. (Sumber: KITLV 78745)
Tempat tinggal keluarga G.M.G. Douwes Dekker di sekitar Tjipaganti-weg. (Sumber: KITLV 78745)

Pahlawan Angkatan Laut

Soalnya, bagaimana bila sekitar kompleks Cipaganti itu dilihat tiga dasawarsa sebelumnya? Apakah di sekitarnya sudah ada permukiman dan jalan-jalan yang sudah diberi nama? Untuk menjawabnya saya akan menelusuri peta-peta Kota Bandung dulu.

Dari peta Bandoeng Nieuwe Gemeentegrenzen (1921) terlihat jalan-jalan di utara Lembangweg dan Tweede Lembangweg masih berupa titik-titik putus. Ini artinya jalan-jalan di sekitar itu masih dibangun. Sementara legenda yang memperlihatkan gedung-gedung atau perumahan pun belum ada. Lima tahun kemudian, dalam Kaart van Bandoeng (1926) terlihat di sana sudah ada Ravijn-weg, Tjipaganti-weg, dan Soekadjadi-weg.

Dua tahun berikutnya, sebagaimana yang ditampilkan dalam Gemeente Bandoeng (1928), bertambah Witte de With-weg meski gambar jalannya masih putus-putus, Piet Hein-weg dan Tromp-weg setengah jalannya masih putus-putus, sementara Admiraal de Ruiyter-weg dan Van Galen-weg jalannya sudah jadi.

Untuk permukimannya seperti terlihat dari peta Kaart van Bandoeng (1926) hingga Kaart van de gemeente Bandoeng Schaal 1: 10.000 (1938) ada kompleks Indisch Bronbeek yang terletak di sebelah barat Ravijn-weg dan Tjikalintoe, dengan jalan utama ke arah kompeks perumahannya adalah Bronbeek-weg.

Bila dikaitkan dengan rencana pembangunan di Kota Bandung, Nijland-weg, Piet Hein-weg, Ravijn-weg, Admiraal de Ruyter-weg, dan Tromp-weg termasuk Plan VII.  Menurut Prospectus voor de Uitgifte van Gronden (1931), lokasi pembangunan itu berada di utara Plan V dan secara ekslusif ditujukan bagi rumah-rumah perdesaan atau villa. Ukuran persilnya berkisar di sekitar 1.000 hingga 3.000 meter persegi.  Banyak lahan dalam kompleks itu yang berpemandangan indah dan semua lokasinya luas dengan pekarangan besar.

Dilihat asal-usul namanya, jalan-jalan itu menggunakan nama-nama pahlawan laut (zeevaarders) Belanda tempo dulu. Piet Hein-weg diambil dari nama Piet Pieterszoon Hein (1577-1629), laksamana Republik Belanda selama Perang 80 Tahun. Tromp-weg dari Maarten Harpertszoon Tromp (1598-1653), jenderal dan laksamana Belanda. Witte de With-weg dari Witte Corneliszoon de With (1599-1658), yang terlibat dalam Perang 80 Tahun dan Perang Inggris-Belanda pertama. Van Galen-weg dari Johan van Galen (1604-1653), komodor Republik Tujuh Provinsi Bersatu, yang turut dalam Perang Inggris-Belanda pertama. Admiraal de Ruyter-weg dari Michiel Adriaenszoon de Ruyter (1607-1676), laksamana yang terlibat dalam Perang Inggris-Belanda.

Semua nama jalan itu pada tahun 1950 berubah. Menurut Perubahan Nama Djalan-djalan di Bandung (1950), Piet Hein-weg menjadi Jalan Lamping, Tromp-weg (Jalan Bapa Hoesen), Van Galen-weg (Jalan Lamping), dan Admiraal de Ruyter-weg (Jalan Bosscha). Jalan Lamping kini sebagian masuk Kelurahan Pasteur (Kecamatan Sukajadi) dan sebagian lagi Kelurahan Cipaganti (Kecamatan Coblong), sementara Jalan Bosscha termasuk Kelurahan Pasteur.

Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (11): Kompleks Provinsi, Pelukis, dan Anggota Kerajaan Belanda
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (12): Lembah Cikapundung dan Pemandangan ke Gunung
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (13): Kompleks Tokoh Kesehatan

Peta di sekitar kompleks Cipaganti, termasuk Tempat Plesiran-weg tempat adanya Situ Garunggang atau Empang Cipaganti. (Sumber: Gemeente Bandoeng (1928)
Peta di sekitar kompleks Cipaganti, termasuk Tempat Plesiran-weg tempat adanya Situ Garunggang atau Empang Cipaganti. (Sumber: Gemeente Bandoeng (1928)

Berperahu di Situ Garunggang

Bila menyimak Plan VII yang meliputi kompleks Cipaganti dan para pahlawan laut Belanda itu, sangat wajar bila dulu daerah sekitarnya dipilih menjadi tempat bermukimnya warga dengan anggota keluarga yang banyak. Di antaranya pangeran Kerajaan Siam yang tinggal di Bandung antara 1932-1944, Paribatra Sukhumbandhu atau Pangeran Nakhon Sawan (1881-1944).

Setelah sempat menjadi komandan angkatan laut (1903-1910), menteri angkatan laut (1910-1920), menteri pertahanan (1926-1928), dan menteri dalam negeri Kerajaan Siam (1928-1932), Paribatra diasingkan ke luar negeri, akibat terjadinya kudeta militer pada 29 Juni 1932. Ia tiba di Batavia beserta istri, lima putri dan seorang putranya pada Kamis pagi, 4 Agustus 1932, dengan menumpang Baloeran (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 4 Agustus 1932).

Sebelum menetap permanen di Bandung, Paribatra sempat menyewa dua rumah di Sim de Ruyterweg 3a dan Van Houtenweg 4. Ini terhitung sejak 1 September 1932. Untuk sementara waktu, ia dan keluarganya tinggal di Hotel Homann (De Koerier, 13 Agustus 1932). Sejak November 1932, sang pangeran secara resmi tercatat sebagai warga Kota Bandung, beserta lima orang putri dan sembilan orang Siam lainnya (De Locomotief, 22 November 1932).

Akhirnya, setahun kemudian, Paribatra mendapatkan izin untuk membangun rumah tinggalnya sendiri di Bandung. Tidak tanggung-tanggung, tiga sekaligus. Rumah-rumah itu dibangun di sudut antara Nijland-weg dan Van Galen-weg, dengan luas lahan seluruhnya 1.398 meter persegi (De Indische Courant, 22 Agustus 1933).

Selain Paribatra, contoh lainnya keluarga Guido Maximiliaan Gustaaf (G.M.G.) Douwes Dekker (1883-1959), adik bungsu E.F.E. Douwes Dekker alias Dr. Setiabudhi. Dari situs digitalcollections.universiteitleiden.nl, saya mendapati foto-foto keluarga besar G.M.G. Douwes Dekker yang tinggal di sekitar Tjipaganti-weg atau Tjipaganti-straat pada tahun 1930-an. Rumahnya yang berpekarangan luas terkesan berada di perdesaan itu dinamai Waspada, yang tentu saja mengingatkan kita pada nama perkebunan milik K.F. Holle di Cikajang, Garut, pada abad ke-19.

Jalan Bosscha, Kota Bandung, Minggu (13/3/2022). Jalan ini awalnya bernama Admiraal de Ruyter-weg, diambil dari nama-nama pahlawan laut (zeevaarders) Belanda tempo dulu. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Jalan Bosscha, Kota Bandung, Minggu (13/3/2022). Jalan ini awalnya bernama Admiraal de Ruyter-weg, diambil dari nama-nama pahlawan laut (zeevaarders) Belanda tempo dulu. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Yang menarik, situs digital itu juga banyak memperlihatkan foto orang-orang yang berpesiar di sebuah telaga di sekitar Cipaganti. Di situ antara lain ada foto bertajuk “Roeiplaats Plesieran bij de straat Tjipaganti te Bandoeng” (KITLV 141126) yang bertitimangsa sekitar 1923, Maaltijd op een rondvaartbootje te Tjipaganti bij Bandoeng (KITLV 119655) dan Kano op een meer te Tjipaganti bij Bandoeng (KITLV 119656) yang bertitimangsa sekitar 1930.

Besar kemungkinan itulah yang dimaksud sebagai Empang Cipaganti atau Situ Garunggang. Telaga itu pernah dibahas S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland dalam karyanya, yaitu Gids voor Bandoeng en Omstreken (1921) dan  Gids voor Bandoeng en Midden Priangan (1927). Menurut mereka (1927: 34-35), empang itu dapat dicapai melalui jalan kecil dari Lembang-weg, sebelum pintu masuk Javasche Conservenfabriek atau sebelum pinggir resort Cihampelas. Setelah berjalan lima menit, tibalah di Situ Garunggang atau Empang Cipaganti milik Haji Sabandi.

Kedalaman telaga itu sekitar 3 meter yang tercipta akibat penggalian batuan untuk pembangunan di Kota Bandung, dan terpisah dari Sungai Cikapundung oleh sebuah tanggul. Di sini, para pengunjung dapat mencoba berperahu dengan menggunakan “salimar”. Orang dewasa dipungut bayaran sebesar 25 sen dan anak-anak 12,5 sen. Bila mendayung sendiri, biaya sewa perahunya hanya 5 sen. Namun, konon, tidak disarankan untuk berenang di sana, karena airnya kotor. Bila perjalanan dilanjutkan, pengunjung harus melintasi Sungai Cikapundung melalui jembatan kayu, ke Dagoweg, lalu ke Technische Hoogeschool (ITB) atau rumah wali kota di Huygensplein.

Tentu itulah sebabnya saya menemukan, dalam Kaart van Bandoeng (1926), ada terusan jalan sebelah timur Garoenggang-weg yang dinamakan sebagai Djalan Tempat Plesiran. Jalan itu memotong Sungai Cikapundung, seperti yang disebut Reitsma dan Hoogland, dan berakhir di Huygens-weg. Pada tahun 1950, Tempat Plesiran-weg sempat berubah menjadi Jalan Taman Hewan, tetapi sekarang menjadi Jalan Pelesiran ditambah beberapa Gang Pelesiran dan Taman Pelesiran.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//