• Kolom
  • RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (22): Jalan Zaman Jepang

RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (22): Jalan Zaman Jepang

Pemerintah Jepang melarang warga Hindia Belanda menggunakan bahasa Belanda. Tetapi tidak banyak perubahan pada nama jalan dan tempat di Bandung.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Di zaman Jepang, tidak banyak perubahan nama jalan dan tempat di Bandung. Salah satu perubahan terjadi pada nama Hotel Homann menjadi Higasi Yamato Doori 70, Groote Postweg (Jalan Asia Afrika). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

23 Mei 2022


BandungBergerak.id“Atas perintahnja Pemerintah Balatentara Dai Nippon dipermakloemkan, bahwa moelai hari ini dilarang keras memakai bahasa Belanda dalam pembitjaraan tilpon. Apabila melanggar atoeran terseboet ini, pembitjaraannja akan dipoetoeskan dan/atau pesawat teleponnja akan diambil. Maka karena itoe haroes diperhatikan dengan betoel-betoel”.

Pengumuman tersebut saya baca dari koran terbitan Bandung, semasa pendudukan Jepang, Tjahaja edisi 3 Zyuni Gatu 2602 atau  3 Desember 2602. Bila melihat masa pendudukannya, pengumuman itu lahir setelah Jepang menguasai Indonesia sekitar sembilan bulan atau setelah Hindia Belanda menyatakan bertekuk lutut di Kalijati, Subang, 8 Maret 1942.

Bila membaca pengumuman dari Tuusin Sookyoku atau Oeroesan Pos, Tilgram, dan Tilpon di atas, sasaran pelarangannya adalah penggunaan bahasa Belanda: Bahasa yang sudah digunakan di Indonesia beratus-ratus tahun sebelumnya. Tentu saja, pelarangan itu merupakan kebijakan yang sangat mendasar, besar, menentukan, sekaligus mendadak. Karena terkesan Jepang hendak mengikis habis pengaruh Belanda di Indonesia.

Pengikisan Jepang itu antara lain mewujud pada penggantian nama Batavia menjadi Jakarta yang juga diumumkan pada Desember 1942. Dalam Tjahaja pengumuman penggantiannya dimuat dalam edisi Sabtu, 12 Zyuni Gatu 2062/12 Desember 1942. Di situ dikatakan, “Beberapa ratoes tahoen jang laloe, daerah ‘Batavia’ terkenal pada rakjat Nippon dengan nama ‘DJAKARTA’, tetapi nama itoe oleh pemerintah Belanda dahoeloe dengan ‘Batavia’”.

Kinosita Photo-atelier di Groote Postweg Oost, Bandung, sekitar 1920-1925. Sejak April 1945, nama jalan tersebut berubah menjadi Higasi Yamato Doori. (Sumber: PK-F-MM.537/003 (digitalcollections.universiteitleiden.nl))
Kinosita Photo-atelier di Groote Postweg Oost, Bandung, sekitar 1920-1925. Sejak April 1945, nama jalan tersebut berubah menjadi Higasi Yamato Doori. (Sumber: PK-F-MM.537/003 (digitalcollections.universiteitleiden.nl))

Konon, setelah pasukan Jepang mendarat di Indonesia, mereka hendak mengganti nama Batavia, tetapi baru terlaksana belakangan. Dalam pengumuman disebutkan, “Sedjak Balatentara Dai Nippon mendarat di Djawa, soedah dioesahakan soepaja nama itoe diganti dan baroe-baroe ini dari Pemerintah Agoeng di Tokio soedah didapat izin oentoek mengoebah nama ‘Batavia’ itoe”.

Dengan adanya izin dari pemerintah Jepang di Tokyo, maka diputuskan bahwa sejak 8 Desember 1942 nama Batavia secara resmi diganti dengan Jakarta. Dalam pengumuman yang dibuat oleh Gunseikanbu pada 10 Desember 1942 dinyatakan, “Berhoeboeng dengan itoe, moelai tanggal 8 boelan 12, jaitoe Hari Pembangoenan Asia Raja nama ‘Batavia’ diganti dengan “DJAKARTA’”.

Tentu saja Batavia bagi Hindia Belanda adalah lambang supremasi, karena dari tempat itulah mereka mulai meluaskan kekuasaannya ke seantero Indonesia sejak awal abad ke-17. Tetapi dengan kekalahannya di tangan Jepang, orang Belanda tidak lagi dapat membanggakan kata Batavia, dan sebaliknya justru harus belajar lagi mengatakan Jakarta. Bagi bangsa Indonesia, meski berada di bawah bayang-bayang Jepang, penggantian nama tersebut merupakan tanda kemenangan besar atas Belanda.

Lalu, dalam kaitannya dengan nama-nama jalan di Bandung, apakah kebijakan Jepang untuk mengikis habis pengaruh Belanda di Indonesia, termasuk bahasanya, ada pengaruhnya? Atau nama-nama jalan di Bandung tetap saja seperti semula? Jawabannya, saya peroleh setelah menelusuri koran Tjahaja dari edisi tahun 1942 hingga 1945.

Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (19): Jalan Pangeran Sumedang
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (20): Kompleks Gubernur Jenderal
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (21): Jalan dan Gang untuk Kaum Bumiputra

Sejak awal Desember 1942, di Kabupaten Bandung mulai mengemuka wacana penggantian nama jalan. (Sumber: Tjahaja, 4 Zyuni Gatu 2602/4 Desember 1942))
Sejak awal Desember 1942, di Kabupaten Bandung mulai mengemuka wacana penggantian nama jalan. (Sumber: Tjahaja, 4 Zyuni Gatu 2602/4 Desember 1942))

Penggantian Nama

Berita mengenai penggantian nama jalan di Bandung mulai saya temukan dalam Tjahaja edisi 4 Zyuni Gatu 2602 (4 Desember 1942). Dalam tulisan bertajuk “Mengganti Nama-nama Djalan”, dimuat kabar bahwa di Bandung Ken sudah mulai dilakukan penggantian nama-nama jalan. Orang yang diberi kepercayaan untuk menggantinya adalah Akip Prawirasoeganda, guru sekolah di Bandung Si No. 4 Ciateul yang sementara dipekerjakan di Kantor Ken. Penggantian nama jalan yang sedang dikerjakan hingga awal Desember 1942 itu konon di Desa Cicalengka. Berikut kabar lengkapnya:

"Sebagai terdapat pada lain-lain tempat, maka kini mendapat chabar, bahwa di Bandoeng Ken soedah moelai dengan mengganti nama-nama djalanan. Jang dipasrahi, adalah toean Akib Prawirasoeganda, goeroe dari sekolahan Bandoeng Si no. 4 di Tjiateul dan jang kini dipekerdjakan boeat sementara pada Kantor Ken. Desa jang sedang dikerdjakan, adalah Desa Tjitjalengka”.

Berita tersebut diakhiri dengan kalimat “Ta’ lama tentoe dikota sini akan mendapat gilirannja’. Kalimat tersebut bisa jadi mengandung arti paling tidak hingga berita itu diturunkan nama-nama jalan di Kota Bandung masih menggunakan istilah Belanda.

Hal ini memang terbukti dari berita “Perdjalanan Arak-arakan dalam Kota” yang dimuat dalam koran yang sama. Dalam konteks perayaan hari “Pembangoenan Asia Raja”, anak-anak sekolah, pemuda-pemudi, dan pegawai dari Priangan Syuu, PTT, dan Rikuyu Sikyoku mengadakan arak-arakan di Kota Bandung. Misalnya untuk anak-anak sekolah akan melalui rute: Tegallega Oost, Kebonklapa, Regentsweg, Aloen-aloen West, Groote Postweg Oost, Braga, Kerklaan, Javastraat, Niasstraat, Bilitonstraat, Borneostraat, Menadostraat, Atjehstraat, Logeweg, Verlengde Soeniaradja, Bantjeuj, Groote Postweg West, Pangeran Soemedangweg, Tegallega West, dan berakhir di lapangan Tegallega.

Dari berita tersebut, jelaslah istilah-istilah dan nama-nama jalan di Kota Bandung umumnya masih menggunakan bahasa Belanda. Kata-kata weg, laan, straat, verlengde masih tetap belum diubah dengan istilah yang ditimba dari bahasa Indonesia atau bahasa Jepang.

Pada edisi 9 Zyuni Gatu 2602 (9 Desember 1942) dimuat lagi berita bertajuk “Nama-nama Djalan di Bandoeng Ken”. Paragraf pertama pengumumannya disebutkan bahwa berita tersebut melanjutkan kabar sebelumnya ihwal penggantian nama jalan di Bandoeng Ken atau Kabupaten Bandung. Sementara pada paragraf kedua dinyatakan bahwa yang sudah dilakukan penggantian nama jalannya adalah di Cicalengka, Ciumbuleuit, dan Ujungberung.

Dengan berita tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hingga 9 Desember 1942, nama-nama jalan di Kota Bandung masih menggunakan nama lama. Ini juga terbukti, misalnya dengan koran Tjahaja sendiri yang masih menggunakan alamat Groote Postweg Oost 54-56 (Tjahaja, 15 Zyuni Gatu 2602).

Dengan dilarangnya penggunaan bahasa Belanda, pihak Jepang mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan mengajarkan bahasa Jepang. Di Bandung, hal ini nampak, antara lain dari digunakannya bahasa Indonesia pada khutbah Jum’at, sebagaimana diberitakan Tjahaja edisi 16 Zyuni Gatu 2602 (16 Desember 1942). Dalam berita bertajuk “Choetbah Djoem’at dengan Bahasa Indonesia” dikatakan “Kini choetbah Djoem’at memakai bahasa Indonesia. Ini boekan sadja dilakoekan dikampoeng-kampoeng dan dimesdjid-mesdjid, tetapi djoega ditangsi-tangsi poelisi Tjigereleng, jang mendapat perhatian besar dari fihak poelisi”.

Saya pikir, ini sekaligus menjadi tanda kebijakan Jepang terhadap penggunaan bahasa daerah (Sunda). Karena sebagaimana yang saya telusuri, Tjahaja sendiri merupakan peleburan dari beberapa surat kabar yang terbit di Bandung, yang berbahasa Belanda, Melayu, dan Sunda. Media Sunda yang dilebur saat itu adalah Sipatahoenan, koran Sunda paling besar dan punya pembaca paling besar di masanya. Dengan kata lain, dapat dikatakan Jepang lebih memilih mengedepankan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia, ketimbang membiarkan penggunaan bahasa daerah.

Dalam waktu yang bersamaan, pihak Jepang juga berusaha untuk mengajarkan bahasa Jepang, sekaligus mengganti nama-nama gedung dan lembaga dengan bahasa Jepang. Cermin dari upaya ini dapat kita temukan dalam Tjahaja edisi yang sama, dengan berita bertajuk “Peladjaran Bahasa Nippon”. Di situ ditulis, “Pada hari Djoem’at tanggal 25 dan pada hari Saptoe tanggal 26 boelan ini akan diadakan oedjian bagi moerid-moerid sekolah bahasa Nippon jang bertempat digedoeng Himpoenan Soedara”. Orang-orang yang mengadakan ujian tersebut adalah S. Ozu, M. Nakao, Karnaen, dan K. Soeganda.

Mengenai penggunaan istilah Jepang untuk nama gedung juga terbaca dalam edisi yang sama. Dalam berita bertajuk “Pemboekaan Resmi Gedoeng Asia Timoer Raja”dikatakan “Gedong Komidi ‘Concordia’ jang sekarang mendjadi ‘Gedoeng Asia Timoer Raja’ atau dengan bahasa Nippon ‘Dai Tooa Kaikan’ akan diboeka dengan resmi pada tanggal 2-3 boelan Djanoeari”.

Paling tidak sejak 9 Desember 1942, Poengkoerweg berubah menjadi Djalan Poengkoer. (Sumber: Tjahaja, 9 Zyuni Gatu 2603)
Paling tidak sejak 9 Desember 1942, Poengkoerweg berubah menjadi Djalan Poengkoer. (Sumber: Tjahaja, 9 Zyuni Gatu 2603)

Higasi Yamato Doori

Perubahan yang dilakukan secara radikal kerap kali tidak dapat berjalan dengan mulus. Ini juga berlaku dengan pengikisan istilah-istilah Belanda di Indonesia. Karena hingga Desember 1943 atau setahun setelah diluncurkannya kebijakan mengganti nama-nama yang berbau Belanda, tetap saja masih banyak yang masih menggunakannya.

Salah satu yang mengalaminya adalah Djakarta-Tokubetsu Sityo, sebagaimana yang saya baca dalam berita bertajuk “Melenjapkan Nama-nama jang Bersifat Moesoeh”. Di situ ditulis, “Karena masih banjak terdapat nama-nama peroesahaan, toko, roemah dll. jang bersifat moesoeh maka Djakarta-Tokubetsu Sityo menasihatkan kepada seloeroeh pendoedoek agar nama-nama itoe selekas moengkin diroebah dengan nama-nama jang sesoeai dengan tjita-tjita Masjarakat Baroe”. Di Jakarta, maklumatnya diluncurkan pada 1 Desember 1943.

Di Bandung juga dapat dikatakan kurang-lebih sama. Hingga 5 Desember 1943 bahkan koran Tjahaja dan Toko Boekoe Tjahaja yang menjadi bagian dari koran tersebut masih tetap menggunakan alamat Groote Postweg Oost 54-56 (Tjahaja, 6 Zyuni Gatu 2603). Meski demikian, ada juga yang sudah berubah nama. Misalnya Poengkoerweg yang diubah menjadi Djalan Poengkoer, seperti terlihat dari iklan Koms, lembaga penyelanggara “Koersoes oentoek Mengetik dan Steno” yang berlamat di Djalan Poengkoer 25a (Tjahaja, 9 Zyuni Gatu 2603).

Salah satu jalan yang diubah namanya menjadi nama Jepang adalah Groote Postweg Oost. Nama jalan tersebut hingga Maret 1945 masih digunakan, tetapi sejak April hingga Agustus 1945 namanya berubah menjadi Higasi Yamato Doori. Saya dapat membuktikannya dari alamat redaksi Tjahaja yang pada 5 Sangatsu 2605 (5 Maret 1945) masih menggunakan Groote Postweg Oost 54-56, tetapi pada edisi 23 Sitigatu 2605 (23 April 1945) namanya sudah berubah menjadi Higasi Yamato Doori 54-56.

Contoh alamat yang menggunakan nama baru itu adalah Toko Keriting Ramboet “Mulan” yang beralamat di Higasi Yamato Doori 64 (Tjahaja, 23 Sitigatu 2605), Hotel Homann dengan alamat Higasi Yamato Doori 70 (Tjahaja, 9 Hatigatu 2605/9 Agustus 1945), Toko “Sepoeloeh Riboe” yang beralamat di Higasi Yamato Doori 28 (Tjahaja, 10 Hatigatu 2605).

Namun, agaknya secara umum, hingga Agustus 1945 saat kekuasaan Jepang berakhir di Indonesia, nama-nama jalan di Bandung tidak mengalami perubahan berarti. Dalam artian, tetap mempertahankan nama-nama Belanda. Dalam Tjahaja edisi 3 Hatigatu 2605, saya menemukan Djawa Denki Bandung Kozyo yang masih menggunakan alamat Van der Wijckweg 10. Kemudian W. Cermak yang menjual kelinci keturunan besar menggunakan alamat Bilderdijkstraat 10 (Tjahaja, 4 Hatigatu 2605), dan Kantor Lelang “Indonesia” beralamat di Papandajanlaan 86 (Tjahaja, 7 Hatigatu 2605).

Lalu, apa makna inkonsistensi Jepang dalam soal penamaan nama jalan itu? Beberapa bulan yang lalu, saya mengajukan soal tersebut pada Kang Hawe Setiawan. Menurut tilikannya, keadaan tersebut mencerminkan keengganan Jepang untuk mengubah administrasi secara drastis. Karena dengan mengubah seluruhnya, itu berarti adalah harus membuat peta baru dan tetek bengek lainnya yang akan menghabiskan waktu demikian banyak, sehingga berpeluang menciptkan kekacauan administrasi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//