RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (24): Setyabudhi, Lembong, Petunjuk Kota Bandung
Danudirdjo Setyabudhy meninggal dunia. Kemudian diputuskan nama sebagian Jalan Lembang menjadi bernama “Djalan Dr. Setyabudhi”.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
5 Juni 2022
BandungBergerak.id - Setelah Dewan Kota Bandung membahas pergantian nama jalan bernuansa Belanda ke suasana Indonesia dalam dua kali sidang, yaitu 30 Maret 1950 dan 28 April 1950, bagaimana perkembangan selanjutnya? Saya memperoleh jawabannya dari guntingan koran berbahasa Belanda saat itu, terutama dari AID De Preangerbode.
Saya akan memulainya dari berita kematian Dr. Ernst Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950). Berita kematian dan riwayat singkat hidupnya dimuat AID Selasa, 29 Agustus 1950. Di situ antara lain disebutkan tokoh bernama Indonesia Dr. Danudirdjo Setyabudhy itu meninggal hari Senin sore, 28 Agustus 1950, jam 15.50, setelah menderita sakit beberapa hari. Ia termasuk kerabat pengarang terkenal Douwes Dekker yang menulis novel Max Havelaar dengan menggunakan sandiasma Multatuli.
Setyabudhy juga novelis cum penulis. Karyanya antara lain novel mengenai kejatuhan Majapahit, Ratu Darawati. Sementara pengamatannya ihwal tanah Pamanukan dan Ciasem dibukukan dengan nama samaran Siman de Javaan. Sebelum meninggal dia menulis otobiografi bertajuk Zeventig Jaar Consequent.
Setelah sempat berperang melawan Inggris dalam Perang Boer, ia hijrah ke Indonesia dan sejak 1908 menjadi edior koran Bataviaasch Nieuwsblad, lalu menerbitkan bulanan Het Tijdschrift dan harian De Expres. Setyabudhy juga dikenal sebagai pendiri sekolah Het Ksatrian Instituut. Semasa Perang Dunia Kedua, ia dibuang ke Suriname. Setelah Indonesia merdeka, Setyabudhi diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung di Yogyakarta dan menteri dalam kabinet Syahrir yang kedua. Semasa di Yogya, dia sempat menjadi dosen akademi ilmu politik (“Academie voor politieke wetenschappen”). Gelar doktornya sendiri diraih dari bidang ekonomi di Zurich, Swiss, pada 1917.
Pemakaman Dr. Setyabudhy dilakukan Selasa sore, 29 Agustus 1950. Jenazahnya diberangkatkan pukul 14.00 dari rumahnya di Jalan Lembang dan baru tiba di Makam Cikutra pukul 16.30. Dalam prosesi secara Islam itu, hadir Gubernur Sewaka, Residen Priangan Sanusi, wali kota-wali kota, Letnan Kolonel Soetoko, dan sebagainya. Presiden Sukarno mengirimkan karangan bunga dan ada lima anggota parlemen yang hadir, yaitu Schmitz, R.H. Enoeh, Raden Djerman Prawirawinata, Moh. Isa Anshary dan J.B.A.F. Mayor Polak.
Dalam pidato sambutannya, Wali Kota Bandung R.H. Moch. Enoch menggarisbawahi peran penting Dr. Setyabudhi. Mengingat jasa-jasanya, komite eksekutif dewan Kota Bandung mengadakan rapat mendadak pada 29 Agustus 1950, pukul 11.30. Salah satu butir keputusan dalam rapat adalah memberi nama sebagian Jalan Lembang, yang dimulai dari ujung Jalan Cipaganti sepanjang enam kilometer dengan “Djalan Dr. Setyabudhi” (AID, 30 Agustus 1950).
Usulan Masyarakat Menado
Sebulan kurang kemudian, masyarakat Menado yang tinggal di Bandung mengajukan usulan kepada dewan Kota Bandung agar mengubah keputusan dewan yang telah mengganti Menadostraat menjadi Djalan Atjeh. Alih-alih, mereka mengusulkan agar memberikan nama sebagian dari Djalan Atjeh dengan nama Djalan Menado. Permintaan ini mengingat fakta almarhum Komandan Lembong tewas di depan lingkungan markas TNI di jalan tersebut saat terjadinya kasus tanggal 23 Januari 1950. Mereka juga memohon agar Oude Hospitaalweg yang menjadi Djalan Bungsu diganti menjadi Djalan Lembong (AID, 23 September 1950).
Komandan Lembong tentu merujuk kepada Letnan Kolonel Adolf Gustaaf Lembong (1910-1950) yang meninggal saat Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) menyerang Bandung pada 23 Januari 1950. Menurut laporan Het Nieuwsblad voor Sumatra (25 Januari 1950), korban serangan APRA itu termasuk Komandan Lembong dan Mayor Ir. Djoko Sutikno. Seluruhnya ada 59 orang anggota TNI yang meninggal di sekitar Jalan Braga, Tamblong, Jawa, Merdeka, dan Hotel Preanger. Tiga orang TNI luka parah dan tujuh orang luka ringan. Sedangkan warga sipil yang meninggal dua orang, ditambah lima orang luka ringan. Sebagai tambahan, ajudan Letnan Kolonel Lembong yang bernama Letnan Leo Kailola turut meninggal dunia (Java-bode, 25 Januari 1950).
Baik jasad Lembong dan Kailola dimakamkan di Pemakaman Pandu. Kedua jasadnya kemudian dipindahkan ke Pemakaman Menteng Pulo di Jakarta pada 17 Juni 1950. Dalam upacara pemindahan yang dilangsungkan Sabtu pagi itu hadir kerabat kedua almarhum dan sejumlah pihak berwenang dari kalangan militer maupun sipil. Sebelum dibawa, Korompis atas nama keluarga, Erom atas nama Panitia Sosial Korban Politik, dan Letnan Bakri atas nama KMKB memberikan sambutan. Pendeta Porawo menyampaikan khotbah, disambung koor lagu-lagu, dan diakhiri tembakan serentak oleh pasukan TNI (AID, 19 Juni 1950).
Kematian Letkol Lembong berikut pemindahan jasadnya ke Menteng Pulo yang barangkali kemudian mendorong masyarakat Menado di Bandung mengajukan usulan perubahan nama jalan. Apakah usulan mereka diterima? Jawabannya antara lain ada dalam berita AID edisi 25 Oktober 1950. Dari situ diketahui bahwa sejak 1 Oktober 1950, Djalan Lembong secara resmi menggantikan Oude Hospitaalweg.
Dalam keputusan yang diterbitkan Residen Priangan Sanusi, ada beberapa jalan lain yang juga berubah nama. Van der Hoopweg diganti menjadi Djalan Dr. Abdurrachman Saleh, yang meninggal pada awal Agresi Militer Pertama Belanda di Yogyakarta. Kemudian Gang Conducteur diganti menjadi Gang Ergulo, De Kadtstraat (Djalan Tjisanggarung), Hartmanweg (Djalan Somawinata), Kapt- Gielweg (Djalan Linggawatsu), Kruisweg (Djalan Bagawan Sempani), Pelikaanweg (Djalan Hadisutjipto), Postjagerweg (Djalan Kapten Sumantri), dan Van Weerden Poelmanweg menjadi Djalan Aruna.
Baca Juga: RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (21): Jalan dan Gang untuk Kaum Bumiputra
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (22): Jalan Zaman Jepang
RIWAYAT JALAN DI KOTA BANDUNG (23): Pengakuan Kedaulatan dan Perubahan Nama Jalan di Bandung
Peta dan Buku Petunjuk Bandung
Perubahan nama jalan di Bandung terus berlanjut. Menjelang akhir tahun 1950, dewan eksekutif Kota Bandung kembali membahas perubahan nama jalan secara maraton yaitu pada Sabtu, 23 Desember 1950 dan Selasa, 26 Desember 1950. Pada rapat hari Selasa diputuskan antara lain untuk mengubah nama-nama jalan: sebagian Djalan Tjihapit menjadi Djalan Menado, sebagian Djalan Tegallega menjadi Djalan Pasar Baru, dan sebagian Djalan Pasar Baru (yang dimulai dari Restoran Sin Ah ke pekarangan tempat tinggal gubernur) menjadi Djalan Gubernuran (AID, 29 Desember 1950).
Dengan berbagai perubahan nama jalan itu, ada beberapa percetakan yang berusaha untuk merekamnya dalam bentuk buku dan peta. AID Preangerbode barangkali termasuk yang pertama melakukannya, dengan menerbitkan Perubahan Nama Djalan-djalan di Bandung atau Gewijzigde straatnamen van Bandung, paling tidak per 1 Juni 1950.
Langkah ini diikuti Visser & Co yang mengeluarkan Plattegrond van Bandung atau Peta Bandung, disertai keterangan “Indonesische straatnamen en register van de nieuwe en oude namen” (nama-nama jalan bernuansa Indonesia dan daftar nama baru dan lama). Visser mulai mengumumkannya dalam AID edisi 4 Juli 1951.
Setahun setelah menerbitkan Perubahan Nama Djalan-djalan di Bandung, AID Preangerbode mengeluarkan buku Gids van Bandung atau Petundjuk Kota Besar Bandung. AID mulai mengumumkan iklannya dalam edisi 9 Juni 1951. Di situ antara lain dikatakan bukunya diterbitkan dalam format ringan, berisi empat bagian peta Bandung yang berwarna, termasuk berisi rute bus, lembaga-lembaga utama, gereja-gereja, sekolah-sekolah, jawatan kereta api, dan lain.
Alasan lebih rinci di balik penerbitan buku itu dijelaskan redaksi AID dalam tulisan bertajuk “Vreemdeling in eigen stad” (AID, 20 Agustus 1951). Pada awal tulisan disebutkan tidak ada yang lebih menjengkelkan ketimbang menjadi orang asing di kota sendiri (“Niets is zo vervelend als vreemdeling in eigen stad”). Itulah alasan utama publikasi Gids van Bandung yang baru. Di dalam buku tersebut ada peta Bandung yang terbagi menjadi empat bagian, yaitu barat laut, timur laut, tenggara, dan barat daya.
Selain menyediakan data rute bus dan kereta api, buku panduan itu berisi banyak data yang berkaitan dengan tempat-tempat penting, kolam renang, taman umum, lembaga kota, bioskop, pusat hiburan, pasar, dan lain-lain. Daftar kedatangan dan keberangkatan kereta api dari dan ke Jakarta serta tempat-tempat lainnya pun dimuat. Demikian pula informasi layanan bus di dalam kota, berbagai hotel, restoran, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kebutuhan umum warga kota ada di dalamnya.
Berkaitan dengan nama jalan di Kota Bandung, di dalam Petundjuk Kota Besar Bandung tersedia daftar jalannya. Baik nama baru maupun nama lama bersandingan. Maksudnya untuk menghindari pencarian berlama-lama dan tak perlu (“Bijzonder gemakkelijk is het feit dat men bij het samenstellen van de stratenlijst, zowel de nieuwe als de oude straatnamen heeft vermeld. Dit zal veel onnodig gezoek voorkomen”).
Soalnya kemudian, apakah dengan terbitnya buku-buku dan peta-peta Bandung yang baru, nama-nama jalan di Kota Bandung tidak lagi mengalami perubahan? Jawabannya akan saya sampaikan pada tulisan mendatang. Mudah-mudahan.