GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #34: Gunung Tangkuban Parahu, Legenda Sangkuriang dan Sejarah Geologinya
Pesona Gunung Tangkuban Parahu, destinasi wisata di utara Bandung, tidak terpisahkan dari legenda Sangkuriang. Tercatat 18 kali letusan dari tahun 1829 sampai 2005.
Gan Gan Jatnika
Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika
30 Juli 2022
BandungBergerak.id - Gunung Tangkuban Parahu di utara dan Gunung Malabar di selatan seolah menjadi dua ikon pegunungan Bandung Raya. Uniknya lagi, jika ditarik garis lurus melintas di antara dua gunung tersebut, Gedung Sate, ikon bangunan bersejarah di Kota Bandung yang berjarak sekitar 18 kilometer dari Gunung Tangkuban Parahu dan 26 kilometer dari Gunung Malabar, berada nyaris di titik tengah garis lintasan tersebut.
Legenda Sangkuriang dan Toponimi
Gunung Tangkuban Parahu identik dengan legenda Sangkuriang. Cerita yang sangat terkenal tidak hanya di kalangan warga Bandung, tapi juga di kalangan warga Jawa Barat, bahkan di berbagai penjuru Tanah Air.
Nama Gunung Tangkuban Parahu yang secara harafiah berarti “perahu telungkup” atau “perahu terbalik” sepertinya terinspirasi dari bentuknya. Dilihat dari sisi selatan, bentuk gunung ini betul-betul seperti sebuah perahu yang telungkup. Namun, jika dilihat dari arah sisi timur dan utara, bentuk Gunung Tangkuban Parahu tidak seperti demikian.
Menariknya, banyak nama gunung lain yang kajian toponiminya tersambung dengan kisah legenda Sangkuriang ini.
Dikisahkan, tatkala bertemu dengan seorang putri cantik rupawan, Sangkuriang dibuat jatuh hati. Demikian pula dengan sang putri yang bernama Dayang Sumbi, jatuh hati. Ketika mereka sedang memadu kasih, sang putri tak sengaja melihat ada bekas luka di kepala sang pemuda. Sontak sang putri terkejut dan menyadari bahwa pemuda ini sebenarnya adalah anak kandungnya sendiri. Luka di kepala itu adalah bekas pukulan ketika sang putri marah karena Sangkuriang telah lancang membunuh Si Tumang, anjing kesayangan sang putri, yang sebenarnya merupakan jelmaan dewa sekaligus ayah dari Sangkuriang .
Untuk menggagalkan rencana pernikahan di antara mereka, Dayang Sumbi memberikan syarat bahwa Sangkuriang harus bisa membuat sebuah danau dan sebuah perahu dalam waktu satu malam. Jika gagal, Sangkuriang tidak bisa meneruskan ambisinya menikahi Dayang Sumbi.
Sangkuriang menerima syarat tersebut. Dia meminta pertolongan kepada pasukan lelembut sebangsa jin yang disebut guriang untuk membantunya. Untuk membuat danau, disumbatlah aliran Citarum sehingga airnya akan menggenangi kawasan lembah dan menjadi danau.
Untuk membuat perahu, Sangkuriang memilih kayu lametang yang kokoh dan besar. Dia menebang sebuah pohon dan hanya menyisakan tunggulnya saja. Kelak tunggul ini akan menjadi sebuah gunung yang disebut dengan nama Gunung Beutitunggul. Beuti artinya akar atau umbi dan tunggul artinya pangkal pohon yang tersisa. Sekarang gunung ini lebih dikenal sebagai Gunung Bukittunggul, yang terletak di Desa Cibodas, Lembang.
Kayu dari pohon yang sudah ditebang tadi kemudian dibersihkan. Ranting-ranting atau disebut juga rangrang-nya dipotong dan dibuang ke sebuah tempat. Kelak rangrang ini berubah pula menjadi sebuah gunung yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Burangrang.
Setelah batang kayunya bersih, parang yang digunakan memotong ranting-ranting tadi dilemparkan oleh Sangkuriang dan menjadi sebuah gunung yang dikenal dengan nama Gunung Pangparang.
Jumlah guriang yang membantu kerja Sangkuriang sangat banyak. Silih berganti mereka berdatangan. Jika lelah, mereka beristirahat di daerah Bukanagara dan Cupunagara, sehingga ada yang menyebut bahwa di Bukanagara terdapat Gunung Tumpeng, dan di Cupunagara terdapat Gunung Paisdage. Tumpeng dan paisdage merupakan makanan bagi para guriang. Dalam mitologi Sunda, guriang juga diartikan sebagai guru hyang, atau makhluk lelembut yang menjaga kelestarian suatu gunung atau tempat.
Melihat Sangkuriang hampir menyelesaikan pekerjaannya, Dayang Sumbi resah. Dia tidak mau pernikahan ibu dan anak ini terjadi, sehingga bagaimana pun harus digagalkan. Dayang Sumbi membuat tipuan fajar buatan dengan cara mengibarkan dan mengibaskan kain boeh rarang berwarna putih, yang sebagiannya berubah menjadi irisan kain putih yang bertebaran. Seolah-olah fajar telah tiba dan waktu untuk Sangkuriang telah habis.
Tentu saja Sangkuriang menjadi kaget, dan bersikap kalap. Dalam kepanikannya, dia menendang perahu yang telah hampir selesai. Perahu itu melayang jauh ke atas dan jatuh di daerah perbatasan Lembang dengan Subang, kemudian menjadi Gunung Tangkuban Parahu. Setelah itu Sangkuriang menuju tempat disumbatnya aliran Citarum di Bandung bagian barat, dan mencabut sumbat penyocoknya. Sumbat tersebut dilemparkan hingga melayang jauh, dan jatuh di wilayah Bandung sebelah timur, menjadi sebuah gunung yang dikenal dengan nama Gunung Manglayang.
Dalam kepenasarannya terhadap Dayang Sumbi, Sangkuriang berusaha mengejarnya. Dayang Sumbi ketakutan, dia pun berlari ke arah timur dan tiba di puncak sebuah gunung. Dia berdoa kepada Sang Hyang Tunggal untuk diberi petunjuk. Dayang Sumbi masuk ke dalam sebuah rumpun pohon, dan berubah menjadi setangkai bunga. Bunganya dikenal dengan nama Bunga Jaksi, sedangkan tempatnya sekarang dikenal dengan nama Gunung Putri. Sampai sekarang keberadaan pohon jaksi masih ada di Gunung Putri, tersembunyi di kelebatan hutannya.
Sangkuriang tiba di Gunung Putri, tapi tidak menemukan keberadaan Dayang Sumbi. Dalam pikirannya, pastilah Dayang Sumbi menghindar ke arah timur. Sangkuriang terus berlari ke timur, sampai di satu tempat di mana dia merasa usahanya mengejar dan mencari Dayang Sumbi sia-sia belaka. Dia tersadar akan kekhilafannya sehingga lambat laun nafsu amarahnya mereda dan hilang. Tempat itu kemudian dinamakan Ujung Berung, atau ujung dari hawa nafsu yang menggelegak.
Kisah Sangkuriang ternyata meninggalkan jejak toponimi di pegunungan Bandung Barat juga. Beberapa gunung di Kabupaten Bandung Barat, khususnya daerah Cipatat dan Padalarang, misalnya, memiliki hubungan penamaannya.
Ada Gunung Hawu dan Gunung Pabeasan yang berasal dari kata hawu atau tungku untuk memasak. Gunung Hawu ini memang berbentuk batu karang yang berlubang di tengahnya, sehingga mirip dengan bentuk hawu atau tungku. Di sebelah baratnya terdapat Gunung Pabeasan sebagai tempat menyimpan beas atau beras yang akan dimasak untuk hidangan di pesta pernikahan Sangkuriang dan Dayang Sumbi.
Kemudian ada Gunung Pawon, sebagai pawon atau dapur untuk memasak lauk-pauk hidangannya. Di dekatnya ada Kampung Cibukur. Bukur artinya sayuran atau tambahan bahan makanan dalam satu masakan atau sayuran. Ada juga Gunung Manik, yang artinya perhiasan. Dikisahkan, di Gunung Manik disimpan dan disiapkan perhiasan sebagai mas kawin perkawinan. Kemudian ada Gunung Kancahnangkub alias panci terbalik.
Juga ada Gunung Karangpanganten sebagai tempat pelaminannya. Tak jauh dari sana, terdapat Pasir Bende dan Gua Ketuk yang berfungsi menyimpan tetabuhan atau alat musiknya.
Saat Sangkuriang menyadari kegagalannya, dia mengekpresikannya dengan berloncat-loncat. Tempat ini kemudian menjadi sungai, yaitu Ci Luncat, sebelum untuk sesaat berhenti dan terkena sinar matahari di sebuah tempat yang sekarang disebut Rancamoyan (Rawa tempat berjemur). Huru-hara akibat kekalapan Sangkuriang terjadi di dekat sebuah pasir. Karena mengakibatkan bencana ke banyak penjuru, tempat ini kemudian dinamakan Pasir Bancana.
Jejak legenda Sangkuriang ternyata masih bisa ditemukan hingga ke pegunungan di kawasan lebih baratnya lagi. Penulis pernah bertanya kepada warga di Desa Saguling dan diberitahu bahwa konon nama Saguling berasal dari tergulingnya Sangkuriang setelah menendang perahu. Tempat itu sekarang dinamakan Gunung atau Pasir Saguling.
Jadi, begitu kuatnya gaung dari kisah ini. Sayangnya, sampai sekarang informasi tentang awal mula atau kapan kisah ini mulai ada dan siapa pengarangnya, masih samar. Catatan tertulis yang dianggap paling tua tentang Sangkuriang adalah catatan Bujangga Manik di sekitar abad ke-16 atau tahun 1500-an masehi.
Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)
Datang ka Bukit Patenggeng (Kemudian datang ke Gunung Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (Tempat legenda Sang Kuriang)
Masa dek nyitu Ci tarum (Waktu akan membendung Citarum)
Burung tembey kasiangan (Tapi gagal karena kesiangan)
Demikian yang tertera dalam catatan Bujangga Manik perihal Sangkuriang. Catatan ini ditulis sebelum masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja,atau dikenal juga dengan gelar Prabu Siliwangi, di kerajaan Pakuan Pajajaran.
Akses dan Lokasi
Gunung Tangkuban Parahu berada di perbatasan tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Purwakarta.
Ketinggian puncaknya tercatat di titik 2.086 meter di atas permukaan laut (MDPL), berdasar keterangan di peta RBI (Rupa Bumi Indonesia), lembar peta 1209-313, judul peta Cimahi, edisi I-2001 dan skala peta 1:25.000. Namun demikian, ketinggian yang lebih dikenal di kalangan pendaki adalah 2.084 mdpl .
Perjalanan mencapai puncak Gunung Tangkuban Parahu bisa ditempuh melewati beberapa jalur, di antaranya dari perkebunan teh Sukawana, jalur hiking Jayagiri melalui Leuweung Tiis, dan dari jalur wisata Taman Wisata Alam (WA)Kawah Gunung Tangkuban Parahu.
Dalam catatan sejarah, Abraham van Riebeeck merupakan pendaki pertama yang berhasil sampai di puncak Gunung Tangkuban Parahu pada 1713.
Dari jalur Jayagiri, tiket masuknya adalah 8 ribu rupiah untuk pendakian satu hari pulang pergi, dan 15 ribu rupiah untuk berkemah. Dari jalur TWA Kawah Gunung Tangkuban Parahu, tiket pendakian 20 ribu rupiah pada hari biasa dan 30 ribu rupiah pada hari libur atau Minggu. Rute pendakian dari kedua jalur ini akan membawa kita ke sebuah bangunan milik ITB dengan sebuah menara atau antena cukup tinggi. Bangunan ini berfungsi sebagai stasiun penelitian petir.
Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #33: Gunung Tambakruyung Ciwidey, Gumuk Gunung Api dengan Jalur Pendakian yang Menawan
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #32: Gunung Puntang Banjaran, dengan Bumi Perkemahan Alami di bawah Puncak Mega dan Curug Siliwangi
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #31: Gunung Gegerpulus Cililin dan Sejarah Telekomunikasi Zaman Hindia Belanda
Sejarah Letusan Gunung Tangkuban Parahu
Gunung Tangkuban Parahu merupakan anak dari Gunung Sunda Purba. Hasil letusan Gunung Sunda Purba membentuk cekungan besar yang disebut Kaldera Gunung Sunda Purba. Di dalam kaldera ini kemudian muncul gunung baru yang kini dikenal dengan nama Gunung Tangkuban Parahu.
Jika ingin melihat langsung kalderanya, kita bisa mendaki Gunung Burangrang. Dari puncak ini, bisa disaksikan cekungan besar kaldera Gunung Sunda Purba secara utuh.
Gunung Sunda Purba sebelum meletus diperkirakan memiliki ketinggian lebih dari 4.000 mdpl. Letusan besar terjadi pada 105.000 tahun yang lalu, disusul dengan letusan besar berikutnya pada 55.000 tahun yang lalu.
Gunung Tangkuban Parahu, yang mulai terbentuk 90.000 tahun lalu, juga pernah beberapa kali meletus. Dalam buku Geologi Cekungan Bandung, terbitan Penerbit ITB tahun 2011, terdapat tabel yang menunjukkan 18 kali letusan dari tahun 1829 sampai 2005.
Akibat dari aktivitas vulkaniknya, terbentuk banyak kawah di Gunung Tangkuban Parahu. Setidaknya ada 13 kawah, di antaranya Kawah Ratu, Kawah Upas Tua, Kawah Upas Muda, Kawah Baru, Kawah Domas, Kawah Badak, Kawah Pangguyanganbadak, Kawah Ecoma, Kawah Jurig, dan Kawah Siluman.
*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)