GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #31: Gunung Gegerpulus Cililin dan Sejarah Telekomunikasi Zaman Hindia Belanda
Mendaki Gunung Gegerpulus CIlilin, kita bisa sekaligus belajar tentang sejarah telekomunikasi di era Hindia Belanda. Ada gedung bekas stasiun radio dan air terjun.
Gan Gan Jatnika
Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika
21 Juni 2022
BandungBergerak.id - Pada tahun 1914, Gedung Telefoenken Cililin resmi dioperasikan. Hubungan telekomunikasi menggunakan pesawat telepon dari Nusantara ke luar negeri bisa dilayani dari sini. Pasokan listriknya diperoleh dari turbin pembangkit yang berputar memanfaatkan aliran sungai yang melewati air terjun bernama Curug Sawer.
Gedung Telefoenken dan Curug Sawer terdapat di lembahan antara tiga buah gunung. Ketiga gunung tersebut adalah Gunung Pasiripis, Gunung Pasirkuda, dan Gunung Gegerpulus.
Akses dan Lokasi
Gunung Gegerpulus berada di sebelah barat daya pusat Kota Bandung, dengan jarak sekitar 17 kilometer. Waktu tempuhnya sekitar satu jam atau satu setengah jam saja.
Secara administratif, wilayah Gunung Gegerpulus terletak di dua desa, yaitu Desa Cililin dan Desa Batulayang. Kedua desa ini termasuk wilayah Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Bagian gunung yang termasuk wilayah Desa Batulayang, tepatnya Kampung Cikakak dan Pasirnangka, adalah lereng dan kaki gunung sebelah selatan. Sementara itu yang termasuk Desa Cililin, tepatnya Kampung Jati Radio, Kampung Kaum, dan Pasirmeong, adalah kaki dan lereng sebelah utara.
Puncak Gunung Gegerpulus berada di perbatasan kedua desa tersebut. Ketinggian puncaknya adalah 897 mdpl (meter di atas permukaan laut), berdasar peta RBI (Rupa Bumi Indonesia), lembar : 1209-222 dengan judul peta : Cililin, edisi I – 2000, dan skala 1:25.000. Dalam lembar peta yang sama, didapat keterangan tinggi puncak Gunung Pasiripis adalah 957 mdpl, dan Gunung Pasirkuda 970 mdpl.
Untuk mencapai Gunung Gegerpulus dari Kota Bandung, kendaraan bisa kita arahkan ka arah barat menuju Cipatik, kemudian melaju ke arah Alun-alun Cililin. Dari alun-alun ini, sudah terlihat dengan jelas penampakan gunung. Sebagai rekomendasi tambahan, ada baiknya kita mengunjungi Gunung Gegerpulus sekaligus menyambangi wisata air terjun di Curug Sawer.
Petunjuk arah ke Gunung Gegerpulus bisa juga didapatkan secara daring dengan memgetikkan kata kunci “Curug Sawer Cililin” atau “Gunung Gegerpulus Cililin” di mesin pencari. Peta dan petunjuk rute akan tersaji.
Sajian menarik lainnya dari kawasan Gunung Gegerpulus, selain wisata air terjun Curug Sawer, adalah bangunan bekas operasional stasiun telepon dan radio zaman Belanda serta bangunan bekas rumah-rumah pegawai radio yang pernah dijadikan kediaman serta tempat kerja Raymond Westerling, tokoh perang Belanda yang banyak berbuat semena-mena di Nusantara, khususnya di Sulawesi dan Bandung.
Stasion Telefoenken dan Radio NIROM
Ada beberapa perkampungan di kaki Gunung Gegerpulus. Salah satunya adalah kampung Jati Radio. Awalnya, nama kampung ini hanya Kampung Jati, tetapi karena keberadaan sebuah bangunan bekas operasional radio zaman dahulu, kampung ini pun dikenal dengan sebutan Kampung Jati Radio.
Usia bangunan bekas stasiun rradio yang terletak di dekat Markas Koramil Cililin sudah lebih dari seratus tahun. Ketika diresmikan pada tahun 1914, stasiun ini hanya sanggup melayani keperluan telepon saja. Baru pada tahun 1924, bisa dilakukan penyiaran radio. Nama gedungnya juga berubah dari Telefoenken menjadi NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij) atau Maskapai Siaran Radio Hindia-Belanda.
Sekarang bangunan ini sudah termasuk ke dalam kategori Bangunan Cagar Budaya sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Papan informasi mengenai hal ini pun sudah terpasang di dekat pintu depan gedung.
Bagian dalam gedung bekas stasiun radio NIROM sudah dicat ulang, dan terlihat terawat. Tiang-tiang penyangga berukuran besar, serta kayu-kayu di bagian atap tampak bersih dan rapi.
Sementara itu, bangunan bekas rumah pegawai stasiun radio saat ini menjadi bagian dari gedung SMA Negeri 1 Cililin. Kondisinya terawat dengan baik. Salah satunya adalah rumah yang dahulu ditempati oleh Tuan H. C. A Smits, seorang teknisi kelas 1 , dan sempat digunakan oleh Raymond Westerling, yang sekarang berfungsi sebagai ruang wakil atau kepala sekolah.
Untuk memenuhi kebutuhan pasokan tenaga listrik bagi pengoperasian stasiun radio, dibuatlah Pembangkit Listrik Tenaga Air yang mengandalkan aliran sungai untuk memutar turbin. Aliran sungai ini melewati air terjun bernama Curug Sawer. Letak PLTA dan Curug Sawer tidak terlalu jauh dari lokasi bangunan NIROM.
Curug Sawer dan Kawasan Wisata Hutan Pinus
Curug Sawer merupakan curug atau air terjun dengan ketinggian tidak terlalu menjulang. Letak gerbang wisatanya sekitar 150 meter dari bangunan bekas radio, sedangkan curugnya berjarak sekitar 300 meter dari gerbang.
Sebagai informasi, harga tiket masuknya sebesar Rp 7.500,- per orang. Untuk parkir sepeda motor, biayanya sebesar Rp 2.500,-, sedangkan untuk mobil Rp 5.000,-. Sayangnya, selama masa pandemi Covid-19, tempat wisata ini sedikit terbengkalai pengelolaannya. Bahkan tiket masuk pun hanya berlaku pada hari Minggu atau hari libur saja. Di hari biasa, tidak ada petugas yang berjaga di pintu masuknya.
Namun tidak demikian dengan sebuah warung yang ada di sana. Warung ini selalu buka setiap hari melayani pengunjung yang datang. Bu Ayi, demikian nama pemilik warung, akan melayani keperluan pengunjung, baik yang jajan dan berbelanja maupun yang membutuhkan informasi seputar Curug Sawer.
Perjalanan dari gerbang menuju lokasi Curug Sawer bisa ditempuh dengan berjalan kaki menyusuri jalan selebar empat meter. Kondisi jalan sudah dibeton dan dapat dilalui kendaraan roda dua atau roda empat. Jalan ini, selain digunakan sebagai jalan wisata, juga digunakan oleh warga menuju Kampung Jaladri dan Kampung Gabus. Walaupun jalan sudah dibeton, tidak direkomendasikan untuk pengunjung wisata menggunakan kendaraan menuju lokasi Curug Sawer karena kondisinya relatif curam dan licin.
Berjalan kaki dari gerbang menuju Curug Sawer sangatlah menyenangkan. Kerimbunan pohon yang meneduhi jalan, pemandangan hutan pinus, serta aliran sungai seakan menemani kaki melangkah. Di hutan pinus, kita diperbolehkan memasang tenda atau ayunan hammock. Menggelar alas duduk sambil memasak pun sangat menyenangkan. Apalagi jika kita memilih lokasi yang tidak jauh dari sungai yang jernih.
Menjelang memasuki jalan setapak menuju air terjun, terdapat plang penunjuk arah yang dipasang pada sebatang pohon, berbentuk tanda panah, dengan tulisan “Curug Sawer”.
Setibanya di curug, kita akan menyaksikan air terjun dengan ketinggian sedang. Sebagai catatan, di musim hujan, biasanya air di curug akan melimpah dan berwarna kecoklatan. Namun, jika kita datang ketika hari tidak hujan, kondisi air curug relatif tenang dan jernih.
Jika ingin berendam atau berenang, sebaiknya kita ditemani oleh orang yang berpengalaman berenang, serta dilengkapi alat keselamatan yang memadai.
Asal nama Curug Sawer memiliki beberapa versi. Ada yang menyebutkan nama ini berasal dari kisah sepasang pengantin yang disawer di tempat ini. Ada juga yang mengatakankan bahwa kata sawer berasal dari kata saweran yang berarti “serpihan atau ceceran kecil dari air terjun atau curug yang lebih besar”.
Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #30: Gunung Putri Cililin, Sekali Mendaki, Dua Tiga Puncak Terlewati
GUNUNG-GUNUNG Di BANDUNG RAYA #29: Gunung Sangianganjung (Sanghyang Anjung) Nagreg, Petilasan Kerajaan Kendan yang Kaya dengan Batu Obsidian
GUNUNG-GUNUNG di BANDUNG RAYA (28): Gunung Lumbung Cililin dan Penggal Sejarah Terakhir Dipati Ukur dalam Pesona Dusun Lembang
Tanjakan Mengesankan Menuju Puncak
Pendakian menuju puncak Gunung Gegerpulus bisa dilakukan dari kawasan wisata Curug Sawer. Jadi, kita tidak perlu berpindah tempat parkir. Namun, kita bisa juga memulai pendakian dari Kampung Jati Radio atau Kampung Pasirmeong.
Jalur pendakian bisa dikatakan 80 persennya berupa perkebunan. Ada kebun pisang, sayuran, dan lainnya. Beberapa kali juga pendakian akan melintasi rumpun bambu. Pohon keras yang ditemui merupakan tanaman budidaya yang diambil kayunya, semisal pohon jati putih dan albasia atau sengon. Hanya di kawasan puncak saja masih terdapat pohon-pohon pinus serta rumpun pohon jahe-jahean, seperti panglay.
Gunung Gegerpulus tingginya tak lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut, namun perjalanan menuju puncaknya cukup melelahkan. Tanjakan dengan kemiringan di atas 45 derajat, serta jalur pendakian yang kurang jelas, cukup membuat repot pendaki. Apalagi jika pendakiannya dilakukan di bawah terik sinar matahari.
Sebelum mendaki, kita harus memastikan persediaan air cukup, baik air minum maupun air untuk memasak. Di sepanjang perjalanan, sulit ditemukan sumber air.
Di puncak Gunung Gegerpulus, terdapat sebuah menara. Menara ini milik PLN (Perusahaan Listrik Negara) yang berfungsi sebagai repeater atau penguat sinyal. Menurut Abah Eman, seorang warga yang ditemui, menara ini dibuat bersamaan dengan pembangunan Bendungan Saguling, yaitu sekitar tahun 1984 atau 1985. Di salah satu tiang beton menaranya, terdapat tulisan angka 1984-8.
Di sekitar menara terdapat area datar yang cukup nyaman. Tampaknya ada yang sering datang untuk merawat kebersihan tempat ini. Para pendaki disarankan untuk membawa lotion atau obat anti nyamuk lainnya jika hendak beristirahat di sini.
Sekitar 100 meter ke arah selatan dari menara, terdapat makam atau petilasan. Warga mempercayainya sebagai makam atau petilasan Eyang Geger Malela, seorang karuhun atau tokoh yang berperan menyebarkan ajaran agama dan cara bermasyarakat yang baik. Terdapat juga sebuah patok beton setinggi 60 sentimeter di dekat makam sebagai penanda titik puncak Gunung Gegerpulus.
Dari kerimbunan puncak, kita bisa melihat dengan jelas permukaan air Danau Saguling dan beberapa tempat keramaian, misalnya Alun-alun Cililin dan Pasar Cililin. Jika cuaca sedang cerah, dan langit berwarna biru, pemandangan yang tersaji akan demikian memikat.
Kejadian Longsor Tahun 2017
Pada Maret 2017, musibah tanah longsor pernah terjadi di lereng Gunung Gegerpulus. Longsoran ini diduga disebabkan oleh perubahan pola tanam dan pola panen. Dahulu di lereng gunung banyak rumpun bambu besar atau dalam bahasa Sunda disebut awi gombong. Sekarang kawasan tersebut berubah menjadi perkebunan kayu. Dampaknya, aliran air dari atas gunung menjadi deras ke bawah. Penyerapan air tanah tidak lagi berjalan sesuai mestinya. Akibatnya tanah longsor menimpa beberapa rumah di Kampung Jati Radio, kaki sebelah utara gunung.
Iwan G Tejakusuma dalam tulisannya yang dimuat pada Jurnal Sains dan Teknologi Mitigasi Bencana, Volume 12, Juni 2017 menyebutkan bahwa penyebab longsor di Gunung Gegerpulus, selain karena perubahan pola tanam, juga karena lokasi permukiman warga berada di bawah lereng yang curam . Jenis tanahnya dominan berukuran pasir dengan ketebalan antara tanah dengan batuan dasar yang berjenis andesit menyerupai cekungan udara yang diakibatkan oleh proses pelapukan dalam waktu cukup lama.
Bencana ini seyogyanya menjadi pengalaman dan pelajaran bagi semua pihak agar peristiwa buruk serupa tidak terjadi lagi.
*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)