• Kolom
  • GUNUNG-GUNUNG di BANDUNG RAYA (28): Gunung Lumbung Cililin dan Penggal Sejarah Terakhir Dipati Ukur dalam Pesona Dusun Lembang

GUNUNG-GUNUNG di BANDUNG RAYA (28): Gunung Lumbung Cililin dan Penggal Sejarah Terakhir Dipati Ukur dalam Pesona Dusun Lembang

Gunung Lumbung di Desa Lembang, Cililin, yang jadi benteng pertahanan terakhir Dipati Ukur, lahir dari sumbat lava. Arca di puncaknya dalam kondisi memprihatinkan.

Gan Gan Jatnika

Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika

Suasana persawahan khas Dusun Lembang, Cililin, Kabupaten Bandung Barat, dengan Gunung Lumbung sebagai latar belakangnya, Mei 2022. (Foto: Gan Gan Jatnika)

16 Mei 2022


BandungBergerak.id - Mendengar nama Lembang, orang biasanya akan teringat sebuah daerah nan sejuk di kawasan Bandung utara. Tidak banyak yang mengetahui bahwa ada Lembang lain yang tak kalah mempesona, yaitu Dusun Lembang di Cililin.

Bak putri cantik yang belum terkena polesan juru rias, Dusun Lembang di Cililin mempunyai potensi unik yang tak kalah menarik. Salah satu adalah adalah keberadaan Gunung Lumbung, gunung yang erat kaitannya dengan sejarah Dipati Ukur dan diduga merupakan sumbat lava yang muncul di tengah bekas kawah atau kaldera sebuah gunung berapi.

Topinimi dan Sekilas Sejarah Dipati Ukur di Gunung Lumbung

Ada beberapa kutipan tentang Dipati Ukur dan Gunung Lumbung. Cerita Dipati Ukur versi Sukapura, yang selesai ditulis tahun 1886, mencatat: “Ki Dipati Ukur kawon, mundur menek dhateng Gunung Lumbung, bumi Batulayang(Ki Dipati Ukur kalah, lalu mundur dan naik ke Gunung Lumbung, di daerah Batulayang).

Salomon Muller dan rekannya seorang pelukis, Pieter Van Oort, mengunjungi Gunung Lumbung pada 17 Januari 1833, dan membuat catatan tentang akhir kisah Dipati Ukur, serta hancurnya negara di Gunung Lumbung. Kutipannya sebagai berikut: “... De Nagara hier op den Loemboeng werd verwoest ... “ (Negara di Lumbung dihancurkan, ...”.

Seperti diketahui , kurang lebih 400 tahun silam, tepatnya sekitar tahun 1630-1632, Dipati Ukur sebagai pemimpin wilayah Tatar Ukur, membangun pusat kekuatan pertahanan terakhirnya di Gunung Lumbung sebagai persiapan menghadapi seterunya, yaitu Kerajaan Mataram dan juga VOC . Ini merupakan pilihan yang tepat. Gunung Lumbung sulit dijangkau dari segala arah. Kalau pun ada yang bisa menerobos, dipastikan tenaganya sudah cukup terkuras karena terlebih dahulu harus melewati benteng alam berupa pegunungan yang melingkari lokasi ini.

Dalam catatan sejarah, ditemukan keterangan bahwa pada tahun 1632, Sultan Agung sebagai penguasa Kerajaan Mataram mengirimkan 40.000 pasukan ke wilayah Priangan untuk meredam dan menangkap Dipati Ukur. Beberapa kisah sejarah menyebutkan bahwa di Gunung Lumbung inilah Dipati Ukur akhirnya menyerah .

Sampai sekarang beberapa tempat di sekitar Gunung Lumbung memiliki nama yang erat kaitannya dengan keberadaan Dipati Ukur sewaktu berada di sana.

Nama Gunung Lumbung pun konon berasal dari nama sebuah batu berukuran besar, menyerupai ukuran seekor kerbau atau hampir seukuran sebuah lumbung (tempat menyimpan padi). Batu besar ini menjadi senjata untuk menyerang lawan dengan cara digelindingkan dari atas. Bukan sembarang batu, melainkan batu sakti yang bisa kembali naik setelah digelindingkan. Batu ini memiliki nama Batu Munding Jalu. Ada juga yang menyebutnya dengan nama Batu Munding Lalampah .

Dalam naskah Carios Wiwitan Raja-raja di Pulo Jawa, 1847, tertulis seperti berikut: “... pakakasna eta batu, gedena kabina-bina, dikira sagede leuit, dingarannan batu si Munding Lalampah.(… senjatanya berupa batu yang sangat besar kira-kira sebesar leuit (lumbung), dinamai si Munding Lalampah.”

Batu milik Dipati Ukur merupakan salah satu senjata pusaka yang dimilikinya. Senjata lainnya berupa sebuah duhung atau pisau yang bernama Culanagara, yang menjadi asal toponimi Gunung Bukitcula di Ciparay. Senjata-senjata pusaka ini merupakan warisan leluhurnya dari kerajaan Pakuan Pajajaran.

Dari cerita turun-temurun warga Dusun Lembang didapatkan keterangan lebih banyak, seperti yang dituturkan oleh Yeti Rosyida, salah seorang warga setempat yang memiliki minat dan kecintaan terhadap sejarah tempat tinggalnya. Yeti menyebutkan beberapa tempat lain yang merupakan jejak sejarah Dipati Ukur, termasuk Batu Lawang yang merupakan tempat masuk menuju puncak Gunung Lumbung.

Ada juga tempat yang bernama Jaga Rungkang yang merupakan lokasi penyimpanan senjata milik Dipati Ukur dan pasukannya. Dulu tempat ini dijaga oleh hulubalang atau orang kepercayaan dengan kemampuan kanuragan yang mumpuni.

Nama tempat lainnya adalah Pasir Nagara, yang terletak di sebelah selatan puncak Gunung Lumbung. Pasir Nagara dipercaya sebagai tempat berkumpulnya pasukan, orang kepercayaan, dan petinggi negara Tatar Ukur.

Toponimi tempat lain yang terkait kisah Dipati Ukur datang dari T. Bachtiar, pakar geografi dan geowisata, dalam salah satu tulisannya yang memaparkan analisa tentang toponimi Gunung Hanyawong yang ada di sebelah barat Gunung Lumbung. Pegiat Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) ini menyebut bahwa kata Hanyawong berasal dari banyaknya pasukan Mataram, sehingga di seluruh permukaan gunung yang terlihat hanya wong(hanya orang-orang Mataram). ( T.Bachtiar, Petilasan Dipati Ukur di Gunung Lumbung sebagai Situs Cagar Budaya, 2018).

Dari lereng Gunung Lumbung, terlihat bagaimana Dusun Lembang tumbuh di dasar cekungan dengan gunung-gunung yang mengelilinginya, Mei 2022. (Foto: Gan Gan Jatnika)
Dari lereng Gunung Lumbung, terlihat bagaimana Dusun Lembang tumbuh di dasar cekungan dengan gunung-gunung yang mengelilinginya, Mei 2022. (Foto: Gan Gan Jatnika)

Akses dan Lokasi

Gunung Lumbung terletak sekitar 18 kilometer arah barat daya dari pusat Kota Bandung. Secara administratif gunung ini berada di Kampung Poponcol, Dusun Lembang, Desa Mukapayung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat.

Gunung Lumbung memiliki titik puncak 1.093 meter di atas permukaan laut (Mdlpl), sesuai peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) lembar peta 1209-222, dengan judul peta : Cililin, edisi I – 2000, skala peta 1 : 25.000.

Untuk menuju Kampung Poponcol, Dusun Lembang, kita memilki dua pilihan jalur. Perjalanan bisa dimulai dari arah barat melalui Cililin, kemudian melewati lembah wisata Curugan Gunung Putri, dan melanjutkannya dengan menyusuri jalan berkelok dengan tanjakan yang cukup curam menuju Dusun Lembang. Jalur lainnya ditempuh dari arah timur, melalui Soreang dan Cihampelas, dilanjutkan ke Walahir dan melewati Desa Kidang Pananjung sampai tiba di Kampung Poponcol.

Jika ingin menggunakan bantuan peta daring (online), kita bisa mengetik kata kunci “SDN Lembang Cililin” di mesin pencarian. Nantinya akan ditampilkan peta dan rute menuju ke sana.

Dari kedua pilihan tadi, rekomendasi jalan yang lebih baik kondisinya adalah dari arah barat, atau dari lembah Curugan Gunung Putri. Walaupun kondisi jalannya menanjak dan banyak berlubang, rute ini relatif lebih mudah ditempuh.

Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (27): Gunung Bukitcula Ciparay, dari Kasih tak Sampai Pemuda Baki Culah hingga Jejak Perjuangan Dipati Ukur
GUNUNG-GUNUNG di BANDUNG RAYA (26): Gunung Pangporang, Puncak Tersembunyi yang Cocok bagi Mereka yang Senang Kesunyian
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (25): Gunung Artapela atau Gambungsedaningsih dan Potensi Wisata Sastra Sejarahnya

Mendaki Gunung Lumbung

Pendakiani ke puncak Gunung Lumbung tidak dilengkapi dengan pos atau gerbang pendakian. Kendaraan bisa dititipkan di rumah warga atau di warung. Jangan khawatir, banyak warung tersedia di Kampung Poponcol. Kita bisa sekalian belanja perbekalan di sini, seperti air minum, cemilan, kopi, dan yang lain.

Pendakian menuju puncak dengan perjalanan santai membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Jalannya sudah lumayan jelas. Selama perjalanan, kita akan melewati aneka perkebunan, seperti kebun tomat, jagung, cabe rawit, dan terong ungu.

Jika ragu akan jalan yang ditempuh dan takut tersesat, kita bisa bertanya kepada para penggarap kebun yang ditemui di perjalanan. Atau, sejak awal pendakian kita bisa minta bantuan warga untuk mengantarkan menuju puncak.  

Di sepanjang perjalanan, kita bisa menikmati penampakan tebing batu berkomposisi lava tuf  dan kincir angin atau kolécér dalam ukuran besar. Selain itu, di beberapa titik, sesekali cobalah untuk melihat ke arah bawah. Akan terlihat keindahan Dusun Lembang yang didominasi hamparan sawah yang luas. Setelah itu, kita akan menyusuri jalur kebun. Hingga puncak gunung, tak ada hutan rimbun yang ditemui.

Tepat di puncak Gunung Lumbung, terdapat sebuah bangunan kecil tanpa dinding. Hanya atap dan tembokan berbentuk persegi setinggi kurang dari setengah meter. Di dalam area bangunan, kita akan menemukan beberapa batu menarik yang umurnya diperkirakan sudah ratusan tahun. Yang paling menarik tentunya sebuah batu yang oleh warga setempat disebut dengan Batu Arca. Ada juga batu berbentuk menhir atau lingga dan dolmen.

Keberadaan arca, menhir, dan dolmen tersebut bisa jadi sudah ada dari dulu, sebelum Dipati Ukur membangun kekuatan pasukannya. Namun, bisa juga batu-batu itu dibawa oleh seseorang atau sekelompok orang pada saat Dipati Ukur sudah tak ada. Hal ini masih membutuhkan penelitian lanjutan oleh para ahli di bidangnya.

Warga Dusun Lembang menyebut puncak Gunung Lumbung dengan nama Puncak Arca. Belum didapat keterangan pasti tentang usia dan jenisnya. Yang memprihatinkan arca ini sudah tak lagi utuh. Bagian kepalanya sudah hilang dan diganti dengan sebuah batu berbentuk bulat.

Dari bentuknya, ada yang menganalisa kalau arca ini seperti sedang mengepit Garudeya, yaitu seekor burung garuda sakti milik Dewa Wisnu yang memiliki bentuk kepala seekor burung, berparuh dan bersayap, tetapi badan, tangan, dan kakinya mirip manusia.

Sementara itu, batu menhir atau lingga dengan ketinggian 1,2 meter dan lebar sekitar 30 sentimeter berada di belakang arca. Sedangkan dolmen atau batu altar berada di depan arca. Dari pencocokan posisi dan arah sudut menhir serta dolmen, dengan menggunakan peta dan kompas didapat hal menarik, yaitu perpanjangan arah garisnya tepat mengarah ke Gunung Gede Pangrango. Hal ini cocok dengan kebiasaan ritual zaman batu, yakni penempatan menhir dan dolmen menghadap suatu objek yang lebih besar.

Mencocokkan dan menganalisa batu arca, serta membandingkannya dengan sketsa yang dibuat Muller dan Van Oort pada tahun 1833, Mei 2022 (Foto: Gan Gan Jatnika)
Mencocokkan dan menganalisa batu arca, serta membandingkannya dengan sketsa yang dibuat Muller dan Van Oort pada tahun 1833, Mei 2022 (Foto: Gan Gan Jatnika)

Geomorfologi Dusun Lembang

Dusun Lembang berada di cekungan yang dikelilingi pegunungan. Sebagian besar wilayahnya merupakan pesawahan yang luas. Bentuknya mirip dasar kaldera, atau ahli geologi menyebutnya sebagai central fasies dari tubuh gunung api.

Dari dalam kaldera berdiameter sekitar 3,5 kilometer, muncullah sumbat lava yang membentuk sebuah gunung. Gunung ini yang kemudian dikenal dengan nama Gunung Lumbung. Tidak heran jika tebing batuannya berjenis lava tuff, atau batuan yang terbentuk dari abu vulkanik. Dari kaki Gunung Lumbung, mengalir sungai Cilembang yang bermuara ke aliran Sungai Cibitung.

Sebelum menjadi area sawah dan pemukiman, kawasan ini sempat tergenang air dan menjadi ranca atau rawa. Air genangannya mengalir menuju tempat yang bernama Pameungpeuk, terletak di arah barat laut Dusun Lembang. Dalam bahasa Sunda peungpeuk atau peupeuk berarti menutup, Dalam artian toponiminya, kawasan ini bisa berarti tempat menutup atau tersumbatnya aliran air.

Sebagai catatan pendakian, akan semakin menarik jika sebelum memulai pendakian, kita menyempatkan melakukan pemanasan dengan berjalan-jalan ke area pesawahan di belakang permukiman warga. Dari area pesawahan ini, dapat dilakukan pengamatan terhadap gunung-gunungnya. Tentu saja kita bisa sambil berfoto di sawah dengan latar belakang pegunungan yang mengelilingi Dusun Lembang ini.

*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//