• Kolom
  • GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (25): Gunung Artapela atau Gambungsedaningsih dan Potensi Wisata Sastra Sejarahnya

GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (25): Gunung Artapela atau Gambungsedaningsih dan Potensi Wisata Sastra Sejarahnya

Gunung Artapela, yang juga dikenal sebagai Gunung Gambungsedaningsih, menyimpan potensi wisata sastra yang bisa dikembangkan. Ada kisah Bujangga Manik dan Danau Aul.

Yostiani Noor Asmi Harini

Dosen Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI dan pegiat di Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB). Dapat dihubungi melalui laman Faceb

Bunga Edelweis bisa ditemukan di Puncak Sulibra Gunung Artapela, Pangalengan, Maret 2022. Selain menyajikan pemandangan elok, puncak gunung ini menyediakan juga tempat nyaman mendirikan tenda. (Foto: Yostiani Noor Asmi Harini)

5 April 2022


BandungBergerak.id - Gunung Artapela, memiliki ketinggian 2.194 meter di atas permukaan laut, terletak sekitar 29 kilometer ke arah selatan dari pusat Kota Bandung. Secara administratif gunung ini berada di wilayah Desa Sukapura Kecamatan Kertasari yang berbatasan dengan Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Puncak gunungnya dinamai Puncak Sulibra.

Pemandangan dari Puncak Sulibra sangat indah. Rerumputan hijau yang terhampar luas membuat kita nyaman untuk duduk di atasnya. Udara yang segar sangat menyejukan hati kita. Saat senja tiba, kita bisa menikmati nuansa jingga matahari hingga tenggelamnya. Malam kehilangan kelam karena bintang semarak memenuhi langit yang kita tatap. Saat pagi tiba, indahnya pelukan matahari hangatkan jiwa kita. 

Akses Perjalanan

Untuk sampai ke Puncak Sulibra di Gunung Artapela, kita dapat memilih jalur Majalaya atau jalur Pangalengan. Jika memilih jalur Majalaya, kita dapat melalui jalur Buah Batu – Dayeuhkolot – Majalaya – Ciparay – Pacet – Desa Sukapura. Dari Desa Sukapura, kita akan menemukan pos pendakian di Madrasah Nasharul Huda.

Dari pos pendakian ini, ada beberapa pilihan jalur. Jalur Seven Field memiliki medan yang cukup menanjak. Ada pula jalur Jamuju yang relatif lebih landau. Pilihan yang lain adalah jalur Cirawa yang saat ini paling direkomendasikan untuk dilalui.

Untuk dapat mendaki ke Gunung Artapela, kita membayar tiket masuk 15 ribu rupiah per orang. Jika menggunakan kendaraan pribadi, kita dapat memarkirnya di posko dengan membayar 5 ribu rupiah untuk sepeda motor dan 15 ribu rupiah untuk mobil. Setelah sampai di Puncak Sulibra, jika ingin mendirikan tenda atau berkemping, kita dapat membayar biaya kebersihan sebesar 5 ribu rupiah per tenda.  

Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (24): Gunung Bukitjarian Tanjungsari dengan Tangga Seribu Menuju Puncaknya
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (23): Gunung Kasur dan Kampung Gunung Kasur yang Lekat dengan Sejarah Perkebunan Kina
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (22): Gunung Kakapa dan Situ Sipatahunan, Pilihan untuk Jalan-jalan Rute Pendek di Baleendah

Toponimi

Dalam buku Bujangga Manik, Gunung Sembung, dan Hulu Citarum yang ditulis oleh Gelar Taufiq Kusumawardhana dan Karguna Purnama Harya (2022), nama gunung yang kini dikenal dengan nama Gunung Artapela pernah dikenal dengan nama berbeda. Sebagai contoh, pada tahun 1830 dalam Peta De Haan ANRI Kode Peta 0083-Seri A, dengan judul peta D: Tjipara?, gunung tersebut ditulis dengan nama Semboeng (Sembung). Kemudian, pada tahun 1855 pada peta karya Junghuhn yang berjudul Kaart van het eiland Java, gunung tersebut ditulis dengan nama Gamboeng (Gambung). Kemudian, tahun 1869 di atlas karya R. D. M. Verbeek dengan judul atlas Description géologique de Java et Madoura, puncak dibagi menjadi dua yaitu Gamboeng (Gambung) dan Sedatapa.

Selanjutnya, pada tahun 1999 di Peta Rupa Bumi Indonesia, Lembar 1208-632, Lebaksari, Edisi 1-1999, yang dicetak dan diterbitkan oleh Badan Informasi Geospasial (Dahulunya Badan Informasi Geospasial dikenal dengan nama Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional atau Bakosurtanal), gunung tersebut ditulis dengan nama Gambungsedaningsih. Saat ini, gunung yang dikenal dengan nama Gunung Artapela ini masih bisa dilacak dengan kata kunci Gambungsedaningsih pada Google Maps.

Menurut penduduk sekitar, nama Artapela terdiri dari dua kata, yaitu Arta dan Pela. Kata Arta berasal dari bahasa Sansekerta yang diserap ke dalam bahasa Sunda yang berarti harta, benda, uang.  Kata Pela menurut penduduk sekitar berarti bersama. Dengan demikian, Artapela berarti harta bersama yang harus dijaga.

Konon gunung tersebut dinamai Artapela karena pada zaman dahulu ia menjadi tempat penyimpanan dan pengumpulan harta bersama. Puncak Gunung Artapela dinamai sebagai Puncak Sulibra. Kata Sulibra dalam Kamus Basa Sunda berarti pohon yang biasanya ditanam sebagai batas kebun. Pohon sulibra ini merupakan sejenis pohon kayu yang tingginya bisa mencapai belasan meter.

Pemandangan Danau Aul yang menyimpan mitos lokal merupakan salah satu potensi wisata sastra yang dimiliki Gunung Artapela, Maret 2022. (Foto: Yostiani Noor Asmi Harini)
Pemandangan Danau Aul yang menyimpan mitos lokal merupakan salah satu potensi wisata sastra yang dimiliki Gunung Artapela, Maret 2022. (Foto: Yostiani Noor Asmi Harini)

Objek Menarik

Gunung Sembung atau Gunung Gambungsedaningsih, selain memiliki pemandangan menarik di kawasan berkemah Artapela, juga memiliki beberapa hal menarik lainnya, seperti tumbuhnya pohon edelweis dan danau kecil bernama Danau Aul.

Di sepanjang perjalanan menuju puncak Artapela, mata kita akan melihat kesegaran perkebunan. Terhampar pemandangan kebun kol, cabai, wortel, kentang, dan lain-lain. Tanaman tersebut tumbuh subur. Petani rutin memberikan pupuk untuk menghasilkan sayur yang berkualitas. Mereka tak segan menggunakan jasa pembawa pupuk yang biasanya menggunakan motor trail atau motor yang dimodifikasi untuk mencapai kebun.

Saat sampai di puncak, kita dapat melihat pohon Edelweis. Tanaman dengan nama latin Anaphalis javanica ini tidak boleh dipetik karena termasuk ke dalam tanaman yang dilindungi.  Memetik bunga Edelweis merupakan aktivitas yang melanggar Undang Undang Nomor 41 tahun 1999.

Di kaki gunung, terdapat Danau Aul. Oleh masyarakat sekitar, Danau Aul disebut sebagai Dano Aul. Konon, kata Dano digunakan masyarakat untuk menamai sumber mata air alami. Dalam Kamus Basa Sunda, Dano sinonim dengan danau. Debit air danau ini menyesuaikan dengan kondisi sekitar. Selain itu, tidak ada pembatas danau dan keterangan mengenai kedalaman airnya. Oleh sebab itu, harap berhati-hati jika ke danau ini.

Berdasarkan informasi yang terdapat dalam buku Manusia dan Gunung: Teologi-Bandung-Ekologi yang ditulis oleh Pepep DW (2018), danau tersebut dinamai demikian karena menjadi tempat Aul bersemayam. Aul menurut masyarakat sekitar merupakan perpaduan manusia dengan anjing hutan. Aul bertubuh manusia berkepala anjing hutan dengan posisi kepala menghadap ke belakang sehingga ia berjalan mundur.

Konon, hutan yang dipercaya sebagai tempat Aul bersemayam diyakini masyarakat sebagai hutan yang banyak membuat orang tersesat dan bahkan hilang. Di jalur setapak di dalam hutan itu sering kali ditemukan tapak kaki yang dijadikan patokan jalan. Masyarakat percaya bahwa tapak kaki tersebut merupakan tapak kaki Aul. Dengan cara itu Aul memancing korbannya untuk mengikuti tapak kakinya ke tempat yang tersembunyi. Jika sudah demikian, orang menjadi tersesat dan hilang.

Hamparan kebun kol bisa dinikmati di sepanjang perjalanan menuju Puncak Sulibra Gunung Artapela, Maret 2022. (Foto: Yostiani Noor Asmi Harini)
Hamparan kebun kol bisa dinikmati di sepanjang perjalanan menuju Puncak Sulibra Gunung Artapela, Maret 2022. (Foto: Yostiani Noor Asmi Harini)

Potensi Pariwisata Sastra Sejarah dan Budaya

Sesuai dengan nama yang digunakan sekarang, Gunung Artapela menyimpan banyak kekayaan yang dapat kita nikmati dan manfaatkan. Salah satu kekayaan tersebut adalah fenomena bahwa gunung ini pernah dilewati Bujangga Manik, nama tokoh dalam naskah Bujangga Manik (abad ke-15) yang melakukan perjalanan mengelilingi Jawa dan Bali.

Melihat fenomena tersebut, Gelar Taufiq Kusumawardhana dan Karguna Purnama Harya menggagas kegiatan Bujangga Manik Geotrek I: Melacak Jejak Hulu Citarum di Gunung Sembung. Kegiatan yang diketuai oleh Refi Syaiful Firmansyah tersebut dilaksanakan pada 26 Maret 2022.

Sebagai peserta dalam kegiatan tersebut, penulis melihat adanya potensi pariwisata sastra yang dapat dikembangkan. Dalam artikel The Use of Legend on Tourism: Case Study of Si Pitung from Indonesia (2018), penulis menyebut bahwa keberadaan cerita (karya sastra) memiliki kontribusi dalam mengembangkan pariwisata. Pendapat tersebut didukung pula oleh pendapat para ahli sastra yang tulisannya dimuat dalam buku Sastra Pariwisata (2020) yang disunting oleh Novi Anoegrajekti, Djoko Saryono, dan I Nyoman Darma Putra.

Potensi pariwisata sastra yang dapat dikembangkan di tempat ini yaitu penyebutannya dalam naskah Bujangga Manik serta cerita rakyat Aul. Pemanfaatan tersebut selain berfungsi sebagai hiburan dapat bermanfaat pula sebagai jembatan bagi generasi saat ini untuk memahami kearifan lokal yang terdapat dalam karya sastra sebagai sistem proyeksi masyarakat. Untuk mewujudkannya, diperlukan sinergi antara ahli sastra dan berbagai elemen pemangku kepentingan.   

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//