GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (27): Gunung Bukitcula Ciparay, dari Kasih tak Sampai Pemuda Baki Culah hingga Jejak Perjuangan Dipati Ukur
Gunung Bukitcula menyajikan pemandangan memikat dari Puncak Baranangsiang-nya. Riwayat kawasan ini terikat oleh legenda pemuda Baki Culah dan kisah Dipati Ukur.
Gan Gan Jatnika
Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika
27 April 2022
BandungBergerak.id - Sebuah tulisan besar di atas gunung terlihat dari pusat keramaian Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung. Tulisan itu berwarna kuning dan huruf-hurufnya menyusun kata “BUMIWANGI”, mengingatkan pada tulisan serupa yang sangat terkenal “Hollywood” di Amerika sana.
Gunung Bukitcula, lokasi tulisan tersebut berada, memang sedang dibenahi dan ditata sebagai bagian dari potensi wisata yang dimiliki Desa Bumiwangi. Selain destinasi wisata, kawasan ini juga disiapkan sebagai lokasi latihan olahraga paralayang.
Akses dan Lokasi
Gunung Bukitcula berada di arah tenggara dari pusat Kota Bandung dengan jarak sekitar 17 kilometer. Secara administratif, gunung ini memiliki puncak yang berada di perbatasan antara Desa Bumiwangi dan Desa Babakan, keduanya berada di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung. Desa Bumiwangi sendiri merupakan desa baru yang terbentuk pada tahun 2003, hasil pemekaran Desa Ciheulang.
Gunung Bukitcula memiliki titik tertinggi 1.073 MDPL (meter di atas permukaan laut), berdasar pada peta RBI (Rupa Bumi Indonesia), dengan lembar peta 1208-634, judul peta Pakutandang, edisi : I – 2000 , skala 1 : 25.000.
Akses menuju Gunung Bukitcula bisa ditempuh melalui beberapa jalur. Misalnya jalur Kampung Barugbug dan Kampung Calengka di Desa Bumiwangi, jalur Dusun Kadaleman di Desa Pakutandang, dan jalur Cihonje atau Cianginpuyuh di Desa Babakan. Dari semua jalur tersebut, yang paling banyak dipilih para pendaki adalah jalur Kampung Calengka, Desa Bumiwangi.
Dari pusat Kota Bandung, perjalanan bisa diarahkan ke selatan menuju Jalan Bojongsoang, kemudian menuju Jalan Siliwangi dan Jalan Laswi, Baleendah, hingga sampai ke Alun-alun Ciparay. Dari Alun-alun Ciparay, kita mengambil Jalan Paledang yang berada di samping Mesjid Besar Ciparay untuk menuju Jalan Gunungleutik. Dari sini, kita tinggal menuju jalan yg mengarah ke Kampung Calengka.
Kita juga bisa menggunakan layanan mesin pencari di dunia maya, semisal Google, dengan mengetikkan kata “Gunung Bukitcula”. Segera akan ditampilkan ke kita, rute menuju Kampung Calengka.
Pendakian Menuju Puncak Baranangsiang Gunung Bukitcula
Pilihan waktu yang pas untuk memulai pendakian Gunung Bukitcula adalah di pagi hari, saat sinar matahari belum terlalu terik. Akan tetapi, jika ingin berkemah di puncak, kita bisa juga memilih waktu pendakian saat hari menjelang sore.
Menyusuri jalan setapak bertanah merah dengan derajat kemiringan yang menanjak, dengan daun-daun ilalang yang cukup lebat di kanan-kirinya, akan sering kita temui dalam pendakian gunung ini. Jika sebelum mendaki kita membayangkan akan menemukan hutan lebat dengan pohon-pohon besar tinggi menjulang khas hutan pegunungan tropis, bersiaplah menerima kenyataan yang berbeda.
Ada tiga puncakan yang akan ditemui dalam perjalanan mendaki Gunung Bukitcula, yaitu Puncak Ramogiling, Puncak Leuit Salawe Jajar, dan Puncak Baranangsiang sebagai puncak utamanya. Untuk bisa mengenali ketiga puncak ini, terutama dua puncak pertama, kita harus jeli dan tidak dalam kondisi terburu-buru.
Puncak Ramogiling adalah puncak berbatu. Batu yang menjadi cirinya dikenal dengan nama Batu Korsi. Konon Batu Korsi ini dahulunya, sekitar 400 tahun silam, merupakan tempat Dipati Ukur biasa duduk. Sementara itu, Puncak Leuit Salawe Jajar adalah tempat pasukan Dipati Ukur membangun banyak lumbung. Bahkan dikisahkan jumlahnya mencapai salawe jajar atau sekitar 625 lumbung. Lumbung sebanyak itu digunakan untuk menyimpan cadangan beras sebagai bahan makanan rakyat dan prajurit Tatar Ukur, sebagai bagian dari keadaan siaga menghadapi ancaman pasukan VOC dan Mataram.
Melewati kedua puncakan itu, perjalanan kita menyisakan pendakian menuju puncak utama yang disebut Puncak Baranangsiang. Baranangsiang berasal dari kata baranang yang berarti keadaan terang-benderang sehingga orang bisa melihat jelas sampai ke arah yang jauh. Penamaan ini cocok dengan keadaan di puncak Gunung Bukitcula yang memiliki pemandangan terbuka nan indah memanjakan mata. Dari puncak ke bawah, bisa melihat suasana keramaian Ciparay dan Baleendah, serta gunung-gunung lainnya di kejauhan.
Ada pun gunung yang paling dekat dari Gunung Bukitcula adalah Gunung Nini yang letaknya di sebelah barat, Gunung Leutik di sebelah utara, dan Pasir Peteng di sebelah selatan.
Ada kebiasaan unik yang dilakukan oleh para pendaki di Puncak Baranangsiang, yaitu mengukur panjang sebuah makam yang terdapat di sana menggunakan sebatang kayu yang panjangnya dibuat sama dengan panjang makam, lalu mengulangi proses pengukurannya. Menurut mitos, jika pada pengukuran yang kedua kayu menjadi lebih panjang dari makam, kelebihannya harus dipotong dan dibawa pulang. Kebiasaan ini disebut dengan istilah ngadeupa. Namun kebiasaan ini sudah jarang dilakukan karena jika banyak pendaki mengambil kayu dari pepohonan yang ada , lama-lama bisa rusak dan habis pohonnya.
Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG di BANDUNG RAYA (26): Gunung Pangporang, Puncak Tersembunyi yang Cocok bagi Mereka yang Senang Kesunyian
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (25): Gunung Artapela atau Gambungsedaningsih dan Potensi Wisata Sastra Sejarahnya
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (24): Gunung Bukitjarian Tanjungsari dengan Tangga Seribu Menuju Puncaknya
Geomorfologi dan Toponimi
Gunung Bukitcula oleh para ahli geologi dimasukkan ke dalam bagian Pegunungan Bukit Barisan Baleendah, atau dikenal pula dengan istilah satuan Baleendah Vulkanologi (BV). Pegunungan ini membujur dari timur ke barat, dengan bagian paling timurnya adalah Gunung Bukitcula, kemudian berurutan ke arah baratnya terdapat Gunung Nini, Gunung Pipisan, Gunung Pabeasan, Gunung Geulis, Gunung Koromong, Gunung Heulangngambang, dan seterusnya sampai ke Gunung Karikil di bagian paling barat.
Usia pegunungan ini diperkirakan kurang lebih 3 juta tahun. Pegunungan Baleendah mulai muncul ke permukaan setelah Pegunungan Soreang atau Soreang Vulkanologi (SV) terbentuk pada kisaran 4 juta tahun yang lalu.
Dalam Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006, disebutkan bahwa berdasar analisis morfostratigrafi, terdapat tiga fase gunung api purba di kawasan ini. Fase pertama adalah kerucut gunung api tertua yang terletak di bagian timur, yaitu Gunung Bukitcula yang berumur 3,2 juta tahun. Fase kedua merupakan kerucut gunung api di sebelah barat, yaitu Gunung Geulis dan Gunung Pipisan yang berumur 2,8 juta tahun. Fase ketiga di sebelah selatan-tenggara dengan puncaknya adalah Gunung Tikukur (bisa jadi berumur 2,6 juta tahun).
Penamaan Gunung Bukitcula memiliki beberapa versi. Yang paling sering disebut ada dua, yaitu menurut keterkaitan dengan sejarah Dipati Ukur dan menurut cerita legenda Baki Culah.
Menurut legenda Baki Culah, Gunung Bukitcula adalah jelmaan dari seorang pemuda yang tidak jadi menikah dengan gadis pujaannya. Akhirnya pemuda yang bernama Baki Culah ini berubah menjadi sebuah gunung yang kemudian dikenal sebagai Gunung Bukitcula, yang oleh masyarakat setempat sering juga disebut dengan nama Gunung Baki Culah. Sementara itu, wanita pujaan hati sang pemuda berubah menjadi sebuah gunung yang lokasinya tidak terlalu jauh, disebut Gunung Geulis. Di antara Gunung Bukitcula dan Gunung Geulis, terdapat Gunung Nini dan Gunung Pipisan. Menurut legenda, Gunung Nini adalah jelmaan dari nenek sang gadis cantik.
Sedangkan menurut kisah Dipati Ukur, penamaan Gunung Bukitcula ada hubungannya dengan senjata pusaka milik Dipati Ukur, yaitu sebuah duhung yang diberi nama Culanagara. Senjata pusaka tersebut konon merupakan warisan dari raja terakhir Kerajaan Pakuan (Pajajaran) yaitu Prabu Suryakencana, yang dikenal dengan nama lainnya yaitu Prabu Nusia Mulya.
Dikisahkan, setelah kalah dari tentara VOC di Batavia, Dipati Ukur dan orang-orang kepercayaannya menenangkan diri ke Gunung Pangporang di perbatasan Subang-Sumedang-Bandung. Namun, tak berselang lama, keberadaan mereka tercium oleh Kerajaan Mataram. Dipati Ukur harus berpindah lokasi dan pilihannya jatuh ke kawasan yang sekarang disebut Gunung Bukitcula.
Di tempat barunya, Dipati Ukur membuat rumah kecil tempat menyimpan senjata dan baju kebesarannya. Tempat ini sekarang disebut dengan Gunung Leutik. Kata leutik berasal dari rumah kecil yang dalam bahasa Sundanya adalah imah leutik.
Cerita ini disampaikan oleh Abah Umar, sesepuh Desa Gunungleutik dan juru pelihara Situs Cagar Budaya. Abah Umar yang merupakan purnabakti PT. DI/IPTN juga merupakan ketua atau sesepuh perhimpunan Juru Pelihara Situs Cagar Budaya Kabupaten Bandung.
Pada Bulan Maret 2021, di lokasi Tugu Palagan Dipati Ukur, Abah Umar menceritakan kisah Dipati Ukur selama berada di daerah Gunung Leutik dan Gunung Bukitcula serta kaitannya dengan toponimi penamaan beberapa daerah di sekitarnya. Misal, Dusun Kadaleman di kaki sebelah timur Gunung Bukitcula, dulunya merupakan tempat berkumpul para abdi dalem dan orang kepercayaan sang raja. Ada juga Cebrek yang menjadi batas pertahanan. Dinamakan cebrek karena tanah di daerah tersebut selalu basah dan becek berlumpur (cebrek=becek).
Masih menurut Abah Umar, jejak Dipati Ukur lainnya adalah undakan Batu Sindang Panon sebagai tempat mengatur strategi, Lapang Barjati sebagai tempat latihan perang pasukan, Dusun Cipaku sebagai tempat tinggal para abdi, Dusun Barugbug sebagai tempat menyimpan peralatan pertanian, Batu Bendera sebagai tempat memberi tanda dengan bendera kepada pasukan dan para pimpinan yang ada di Kadaleman, Batu Palalangon, Batu Korsi, Batu Ramogiling, serta beberapa nama tempat lainnya.
Keragaman kisah yang terpelihara secara turun-temurun, seperti kisah Baki Culah dan juga Dipati Ukur, dapat digolongkan ke dalam warisan budaya tak benda, atau disebut pula intangible cultural heritage, demikian Abah Umar mengakhiri kisah tentang Gunung Bukitcula.
*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)