• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Bioskop Majestic, dari Loetoeng Kasaroeng hingga Anugerah AFJB 2023

NGULIK BANDUNG: Bioskop Majestic, dari Loetoeng Kasaroeng hingga Anugerah AFJB 2023

Bioskop Majestic mewarnai sejarah panjang dunia hiburan Kota Bandung. Sempat menjadi bioskop kelas atas di zaman Hindia Belanda, hilang pamor di zaman republik.

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

De Majestic di Jalan Braga, Kota Bandung. (Foto: Koleksi Djiwadjaman)

20 Januari 2024


BandungBergerak.id – Gedung de Majestic menjadi saksi bisu atas penggalan sejarah Kota Bandung. Beralamat di Jalan Braga No.1, persis bersebelahan dengan Museum Konferensi Asia Afrika. Gaya arsitekturnya mengawinkan budaya timur dan barat yang dibawa kolonialisme. Wajah Batara Kala dipasang pada fasad bangunan dengan dinding-dinding menonjol khas model Art Deco.

Seiring usianya yang panjang, gedung Cagar Budaya Kelas A ini banyak mengalami pergantian nama. Sempat terabaikan pada kisaran tahun 90-an, sebagian masyarakat melihatnya sekadar bangunan tua yang usang. Biasa saja dan tidak istimewa. Bahkan, para tunawisma menjadikan emperannya sebagai sarana menginap mereka. Masyarakat menghindar untuk berjalan kaki di malam hari, penerangan yang minim membuat copet dan jambret senang beroperasi di kawasan itu.

Pada masa Hindia Belanda gedung ini disebut De blikken trommel, atau orang-orang Bandung mengenalnya sebagai gedung “kaleng biskuit”. Gedung yang sempat menyandang nama Asia Africa Cultural Centre alias AACC ini pernah mencuri perhatian karena peristiwa tragis yang terjadi 9 Februari 2008 malam: sebuah konser musik merenggut 11 nyawa. Para korban yang merupakan penggemar musik cadas kebanyakan meninggal karena kehabisan napas akibat berdesak-desakan. Jumlah pengunjung konser melebihi kapasitas gedung. Di saat yang sama, Bandung memang tak memiliki gedung representatif untuk sebuah konser musik underground.

Majestic Theater di Bragaweg Bandung sekitar tahun 1938. (Foto: Koleksi KITLV 181214, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Majestic Theater di Bragaweg Bandung sekitar tahun 1938. (Foto: Koleksi KITLV 181214, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Melengkapi Fasilitas Hiburan di Jalan Braga

Memasuki awal abad ke-20, Bandung menunjukkan geliatnya. Terutama setelah 21 Februari 1906, kota ini, memperoleh status wilayah administratif baru sebagai gemeente (Staatsblad van Nederlandsch?Indie over het Jaar 1906, No. 121). Setelah dibangun Groote Postweg atau Jalan Raya Pos dan rel kereta api yang melintasi kota, Bandung menjadi tujuan kunjungan orang-orang di luar Bandung.

Seiring perkembangan infrastruktur, laju pertumbuhan penduduk Kota Bandung terus meningkat. Tidak hanya pertumbuhan penduduk bumiputera, warga asli kota ini, jumlah penduduk dari negeri-negeri asing pun melonjak, mulai dari orang-orang Eropa, Tionghoa, dan timur jauh. Adanya kereta api menyebabkan Bandung menjadi tempat transit bagi para pemilik serta pengusaha perkebunan.

Peningkatan jumlah penduduk membuat kehidupan masyarakat Bandung semakin dinamis. Mereka tak hanya perlu infrastruktur utama seperti sarana transportasi, fasilitas perdagangan serta aktivitas jasa, melainkan juga membutuhkan tempat-tempat hiburan.

Majalah Mooi Bandoeng,edisi Desember 1933 mencatat, setidaknya telah dibangun sebanyak 41 hotel mulai dekade kedua abad ke-20 di Bandung, dan hotel-hotel utama didirikan di sepanjang Groote Postweg. Selain hotel tentu sarana hiburan lain pun dibutuhkan. Masyarakat Bandung membutuhkan tempat berkumpul. Maka, gedung teater pertama, de Crown Bioscoop dan Oranje Electro Bioscoop didirikan pada tahun 1907. Kedua gedung ini melengkapi keberadaan Societeit Concordia yang dibangun sebagai sarana berkumpul dan rekreasi masyarakat Eropa di Bandung pada tahun 1895.

Braga weg, yang dibangun membelah De Groote Post Weg, otomatis turut menjadi kawasan ramai, bahkan berubah menjadi kawasan utama bagi masyarakat Eropa untuk kongko-kongko. Tak hanya kedai-kedai kopi seperti Maison Bogerijen (Braga Permai, sekarang) dan Het Snoephuis (Sumber Hidangan, sekarang) yang selalu dipenuhi masyarakat Eropa, toko busana yang berkiblat ke Paris seperti Au Bon Marche Mode Magazijn pun dipenuhi para wanita Eropa.

Braga tempo dulu hampir memiliki segalanya. Sarana hiburan dan pemenuhan kebutuhan hidup warga sudah cukup terpenuhi. Hanya satu fasilitas hiburan yang belum ada di Braga Weg, yaitu gedung bioskop. Bioskop saat itu memang menjadi tempat hiburan favorit di Eropa dan Amerika. Di sisi lain, hiburan sinematografi sedang berkembang pesat dan sangat diminati masyarakat Eropa di Bandung. Maka, pembangunan bioskop di kawasan Braga dianggap perlu.

Lokasi Jalan Braga sekitar tahun 1905 sebelum Bioskop Concordia berdiri. (Foto: Koleksi KITLV 1400381, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Lokasi Jalan Braga sekitar tahun 1905 sebelum Bioskop Concordia berdiri. (Foto: Koleksi KITLV 1400381, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Tahun 1922, Bioskop Concordia Diresmikan

Gedung bioskop kemudian didirikan persis di sebelah gedung Societeit Concordia (kini Gedung Merdeka) yang terletak di Groote Postweg. Societeit Concordia merupakan klub masyarakat elite Bandung di era Hindia Belanda. Nama bioskop baru ini pun sama, yakni Bioscoop Concordia yang rancang bangunnya dikerjakan arsitek masyhur Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Shoemaker dengan biro arsiteknya Het Bureau Shoemaker en Associatie.

Charles Prosper Wolff Shoemaker yang tidak lain guru Sukarno di Technische Hoogeschool (THS, kini ITB), membikin Bioscoop Concordia dengan gaya arsitektur Art Deco yang lagi booming (De Preanger-bode, 02 Nopember 1922). Namun Wolff Shoemaker tak mau terlalu eropasentris sehingga desain bangunan bioskop ini memiliki sentuhan budaya lokal dengan menggandeng pematung dari Jawa yang ditugaskan khusus untuk memahat wajah Batara Kala di fasad bangunan. Sehingga bangunan ini memiliki unsur budaya timur (BANDOENG Beeld van een stad, R.P.G.A. VOSKUIL E.A., Asia Maior, 1966).

Di dinding bandungna yang kini dikenal Gedung Majestic terdapat plakat yang menyatakan bahwa bangunan cagar budaya ini dibangun pada 1925. Namun penulis justru mendapatkan data yang berbeda terkait titimangsa pendirian bangunan.  Surat kabar yang terbit di zaman Hindia Belanda, serta sebuah buku berbahasa Belanda, terbitan Asia Maior, 1996, memberikan data penting ini.

“Gisten-avond hadden de openings-voorstelingen der “Concordia” Bioscoop alhier plaats. Warbi in den voor-avond uitsluitend genoodigden toegang hadden” (De Preanger-bode, 02 Oktober 1922). Kutipan dalam koran tersebut, kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Kemarin malam pertunjukan pembukaan bioskop ‘Concordia’ dihadiri oleh para tamu undangan, mulai sore hari”. Hal tersebut menegaskan bahwa bioskop Concordia telah berdiri dan diresmikan pembukaannya pada tanggal 1 Oktober 1922 malam.

Buku BANDOENG Beeld van een stad, R.P.G.A. VOSKUIL E.A., Asia Maior, 1966, menegaskan hal yang sama “… Wolff Shoemaker zocht naar een synthese tussen het Oosten en het estern. Bij de bouw van boekwinkel Van Dorp in 1922 en van de Majestic Bioscoop uit dezelfde periode, beide aan de Bragaweg...(… Wolff Shoemaker juga memadukan (desain arsitekturnya) antara Timur dan Barat. Misalnya, pada pembangunan toko buku Van Dorp pada tahun 1922 dan Bioskop Majestic pada periode yang sama, keduanya terletak di Jalan Braga…)”.

Bioskop Concordia di Bragaweg Bandung dilihat dari samping. (Foto: Koleksi KITLV 1400380, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Bioskop Concordia di Bragaweg Bandung dilihat dari samping. (Foto: Koleksi KITLV 1400380, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Bioscoop Concordia Menjadi Majestic Theater pada Tahun 1937

Bioskop Concordia pada awal kemunculannya sering sekali memutar film-film yang didominasi produksian MGM (Metro Goldwyn Mayer) dari Amerika Serikat serta film-film produksi Eropa. Belakangan, 1 Desember 1925, seorang komedian ternama Henri Wallig, mantan direktur artistik Teater Tuchinski di Amsterdam, menyewa gedung bioskop ini. Rencana penyewaan bioskop telah diberitakan oleh Majalah Niew Weekblad vor de Cinematografie, jrg 4, 1925, 11 Desember 1925.

Sejak disewakan pada Henri Wallig, bioskop Concordia tidak hanya memutar pertunjukan sinema, namun juga diselingi dengan kabaret dan tarian; Hannelore von Velden, seorang penari ternama yang menjadi penarinya. Gedung pertunjukan ini semakin terkenal dan menjadi gedung teater kenamaan dengan para pengunjung kelas atas Bandung.

Tak cukup sampai di situ, Bioskop Concordia membuat gebrakan bersama Bioskop Elita dengan menampilkan film bisu lokal pertama, “Loetoeng Kasaroeng” yang merupakan cerita rakyat Sunda, dan juga dibintangi oleh artis-artis bumiputra. Pemutaran film bersejarah ini tercatat tanggal 31 Desember 1926.

Kesuksesan Henri Wallig memajukan bioskop Concordia terus berlangsung hingga tahun 1935, sebelum bioskop itu berganti kepemilikan. Pada tahun 1937, Bboskop Concordia direnovasi setelah kepemilikannya jatuh ke tangan pemilik Bioskop Elita, seperti yang tertulis dalam berita surat kabar Het Nieuws Van Den Dag Voor Nedherlands-Indie, 18 Juni 1937. Setelah perbaikan gedung rampung, Bioskop Concordia berganti nama menjadi “Majestic Theater” dan diresmikan pada 24 Juni 1937.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Kisah Keluarga Ursone, dari Pemusik Hingga Menjadi Juragan Susu di Bandung (1)
NGULIK BANDUNG: Perang Susu (Melk-Oorlog) di Bandung (1) Perseteruan Antarperusahaan Susu
NGULIK BANDUNG: Boemi Hajoe, Kebun Stoberi Eropa Pertama di Lembang

Dari Film Loetoeng Kasarung, Hingga AFJB

Sukses dengan seluruh pertunjukan yang ditampilkannya, termasuk pemutaran film lokal “Loetoeng Kasaroeng”, zaman keemasan bioskop legendaris ini runtuh setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Di masa republik, gedung ini beberapa kali mengalami pergantian nama.

Adi Raksanagara, warga Bandung sekaligus seorang jurnalis senior menuturkan, “Tahun 1970an pernah ganti nama jadi bioskop ‘Dewi’ karena sering memutar film yang dibintanginya, sempat juga dijuluk bioskop Edwige Fenech”.

Majestic Theater akhirnya benar-benar kehilangan kejayaannya dan berhenti beroperasi pada tahun 1980-an dan tidak difungsikan lagi sebagai bioskop hingga kini. Gedung eks bioskop Majestic direvitalisasi pada tahun 2002 dan dialihfungsikan menjadi Asia Afria Cultural Centre (AACC). Dan tragedi AACC pun meledak pada tahun 2008, setelah itu gedung ini mengalami mati suri.

Pasca tragedi AACC, Dinas Budaya dan Pariwisata merevitalisasi dan mengelola gedung dan memfungsikannya sebagai café, Café Majestic. Dalam perjalanan berikutnya, gedung ini beberapa kali mengalami perubahan fungsi sebelum dikelola oleh PD Jasa dan Kepariwisataan (PT JASWI, sekarang) pada tahun 2017. Di era ini aktivitas gedung kembali bergeliat dengan nama baru de Majestic.

Ketika masa pengelolaan oleh PT Jasa Kepariwisataan berakhir, aset yang dimiliki oleh Pemprov Jabar ini diserahkan pengelolaannya ke Yayasan Mestika Wanodja Indonesia sejak 10 Agustus 2023 hingga 5 tahun ke depan. Di tahun inilah, satu abad sejak berdirinya, pada hari Minggu, 24 Desember 2023 gedung bekas bioskop ini difungsikan sesuai peruntukannya. Layar bioskop ini kembali digunakan walau hanya satu hari.

Anugerah Apresiasi Film Jawa Barat 2023 (AFJB), sebuah event prestisius bagi insan perfilman Jawa Barat, dihelat di gedung bersejarah ini. Panitia penyelenggara AFJB berharap event ini akan mampu menghidupkan kembali kejayaan Bioscoop Majestic, seperti awal pendiriannya. Sebuah harapan yang patut didukung oleh seluruh elemen masyarakat Jawa Barat, khususnya bagi warga Kota Bandung.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung Merrina Listiandari merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//