• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Riwayat Situ Aksan, Danau yang Hilang di Bandung

NGULIK BANDUNG: Riwayat Situ Aksan, Danau yang Hilang di Bandung

Kisah manis tentang danau tempat warga Bandung bersuka ria itu telah berakhir. Keindahan Situ Aksan kini berubah menjadi permukiman yang sangat padat.

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

Salah satu koleksi foto Danau Situ Aksan karya L. H. C. Hors ting yang terbit dalam artikelnya berjudul Het Westerpark di Mooi Bandoeng edisi Februari 1940. (Dokumentasi Djiwadjaman)

19 Mei 2023


BandungBergerak- Situ Aksan… Situ Aksan, Pelesiran jeung lalayaran. Andom Suka seuseurian, sempal guyon jeung gogonjakan. Situ Aksan… Situ Aksan, keur panglipur manah sungkawa, tempat sirna pangbebenah nu nandang lara asmara. Kalimat tersebut merupakan sepenggal lagu ciptaan Mang Koko, salah seorang budayawan Sunda, yang menceritakan tempat wisata populer di Bandung tempo dulu, Situ Aksan.

Bukan sekadar lagu, bahkan kesaksian dari orang-orang yang menghabiskan masa remajanya di Bandung sekitar tahun 60an, masih dapat didengar hingga hari ini. Sesuai dengan arti dari penggalan lagu Mang Koko di atas, mereka menyebut Situ Aksan, adalah tempat untuk pelesir, piknik hingga tempat menyatakan cinta bagi banyak pasangan muda Bandung.

Namun, kisah manis tentang danau tempat niis bari gogonjakan, yang berati tempat ngadem sambil bersenda gurau tersebut, telah berakhir. Kini wilayah yang dulunya berupa situ tinggal kenangan, bersisa seruas jalan diantara jalan Suryani dan Jalan Pagarsih. Tempat yang dulunya berupa danau yang sangat luas, berubah menjadi pemukiman penduduk yang sangat padat.

Peta daerah Sukahaji dalam peta Bandung di zaman kolonial terbitan Topographische Inrichting tahun 1910. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Peta daerah Sukahaji dalam peta Bandung di zaman kolonial terbitan Topographische Inrichting tahun 1910. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Bukan Danau Kenampakan Alam

Orang mengenal Bandung sebagai danau purba yang terbentuk akibat letusan Gunung Sunda pada zaman Pleitosen sekitar 210.000 hingga 105.000 tahun yang silam. Maka tak heran, banyak orang beranggapan bahwa Situ Aksan merupakan satu dari banyak danau yang tersisa akibat cekungan dalam pada danau purba tersebut.

Namun hal tersebut terbantahkan bila melihat peta-peta kuno terbitan pemerintah kolonial Belanda. Pada peta jalur penanaman kina di wilayah Bandung yang dikeluarkan tahun 1881, tidak terdapat danau dalam legenda atau keterangan arti simbol dalam petanya. Simbol meer atau danau justru hanya terdapat pada daerah Soekawana, dekat Gunung Tangkuban Parahu dan lebih jauh lagi di dekat Gunung Wayang.

Begitu juga dengan peta Bandung keluaran tahun 1910, daerah Sukahaji yang merupakan daerah Situ Aksan berada pada saat itu tidak terdapat satu pun daerah perairan. Namun ada yang berbeda dengan peta kali ini, terdapat beberapa simbol baru di daerah tersebut dengan keterangan Stb atau steenbakkerij yang berarti pabrik batu bata.

Hingga pada peta keluaran tahun 1921, kawasan yang kemudian hari diketahui sebagai Situ Aksan dalam peta tersebut mulai ditandai dengan arsiran jarang-jarang  di tepi lahan dan memiliki keterangan sebagai  drasland atau lahan basah, ditengarai sebagai kolam atau balong yang dikelilingi oleh steenbakkerij atau lio batu bata merah. Masyarakat kala itu banyak yang menyebutnya sebagai balong Aksan. Penggambaran simbol yang berbeda di atas wilayah yang sama jelas menunjukkan bahwa Situ Aksan merupakan danau buatan.

Foto dengan judul Sitoe Aksan nabij Bandoeng karya J. Juyp di Gang Kasim 6 Bandung yang menjadi foto terpilih pembaca dalam Mooi Bandoeng edisi April 1937. (Dokumentasi Djiwadjaman)
Foto dengan judul Sitoe Aksan nabij Bandoeng karya J. Juyp di Gang Kasim 6 Bandung yang menjadi foto terpilih pembaca dalam Mooi Bandoeng edisi April 1937. (Dokumentasi Djiwadjaman)

Asal Usul Penamaan Situ Aksan

Seperti banyak toponimi suatu tempat atau daerah di Bandung yang menisbatkan pemilik lahan atau yang menguasai wilayah tersebut pertama kali dengan namanya, begitu pula dengan Situ Aksan. Banyak cerita yang mengatakan bahwa pemilik lahan asal yang digunakan sebagai situ atau danau tersebut adalah hamparan sawah milik Haji Aksan, seorang pedagang batik besar di kota Bandung, atau dikenal sebagai Haji Aksan batikan.  Namun, benarkah demikian?.

Penulis mencoba menelusuri data terkait Haji Aksan dari berbagai sumber tertulis dan menemukan dua nama Aksan sebagai pengusaha di Bandung kala itu. Dalam buku Gedenkboek vereeniging Himpoenan Soedara 1906-1936 terbitan A. C. NIX & Co. BANDOENG, Hadji Aksan termasuk dalam daftar saudagar kulakan batik yang terhimpun dalam perkumpulan para pedagang yang dinamai Himpunan Soedara.

Bandung menjadi pusat perdagangan, termasuk perdagangan batik yang kala itu masih dikuasai oleh para saudagar bumiputera. Para pedagang tersebut mengambil batik dari Mataram, Solo, Pekalongan, Kaliwoengoe atau Tanah Abang yang mereka jual di rumah-rumah sederhana bertiang bambu milik mereka di tepi-tepi jalan, yang kemudian menjadi cikal bakal Pasar Baroe Bandung.

Selain nama Hadji Aksan, terdapat satu nama lagi yang tercatat sebagai pengusaha di Bandung yang menggunakan nama Aksan, yaitu Mas Aksan. Nama tersebut, banyak sekali ditulis oleh media-media cetak lokal sebagai seorang pengusaha yang diperhitungkan namanya. De Preanger Bode, 24 Agustus 1911, mengumumkan Mas Aksan beserta sejawatnya orang Tionghoa mendirikan sebuah perusahaan Kalkbranderij Berg atau Gunung Kapur. Mereka menjalankan usaha menambang, mengeksploitasi, dan membuat tempat pembakaran kapur serta memperdagangkannya sebagai material bangunan.

Nama Mas Aksan tidak hanya sekali dua kali masuk dalam pemberitaan terkait dengan kiprahnya sebagai pengusaha. Dia tidak hanya dikenal sebagai saudagar kapur, namun juga dikenal sebagai pengusaha properti. De Preanger bode, 20 Mei 1916, mengumumkan bahwa Commissie Voor Het Grondbejrift atau Komisi Pengelolaan tanah menyetujui permintaan pembelian tanah di Grootepostweg dan Tjikoedapateuh, dekat stasiun kereta, oleh Mas Aksan, sang landlord Kota Bandung.

Berita kepemilikan tanah di atas terkait dengan berita selanjutnya di De Sumatera Post, 24 Juni di tahun yang sama, bahwa Mas Aksan telah melakukan kesepakatan penting dengan Jawatan Kereta Api untuk membayar rutin sewa gerbong bulanan yang dia gunakan sebagai sarana pengangkut kapur ke kota-kota lain.

Berita tanggal 20 Mei 1916 tersebut sekaligus juga menjawab pertanyaan, siapa pemilik steenbakkerij atau lio batu bata yang tampak pada peta Bandung keluaran 1921 yang mengelilingi drasland di daerah Sukahaji, serta Westerpark (sekarang Jalan Suryani dan Jalan Pagarsih) yang merupakan wilayah sebelah Grootepostweg. Sehingga sangat masuk akal bahwa penamaan Situ Aksan merujuk pada nama Mas Aksan sebagai pemilik lahan sekaligus pemilik usaha properti, perdagangan, dan pengolahan kapur yang juga merupakan material tambahan pembuatan batu bata.

Selain data di atas, belakangan penulis mendapat konfirmasi dari generasi ke-4 keluarga Aksan. “Ada kemungkinan kedua orang yang disebutkan di atas memang merujuk pada satu orang yang sama, karena sepengetahuan keluarga kami, Aki memang pada awal usahanya menjual batik, tapi kemudian sukses ketika menjadi pengusaha kapur, bata lio, dan bahan bangunan di zaman Bandung, mulai dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda,” katanya.

Penulis menelusuri catatan pada Gedenkboek Vereeniging Himpunan Soedara 1906-1936, di sana tertulis nama M. Roesdi Achsan (Roesdi Aksan) sebagai orang yang aktif dalam organisasi tersebut, dan cek silang pada Himpunan Silsilah (Stamboom) Keluarga Besar Pasar Baru Bandung, karya Syamsuri, diketahui bahwa Roesdi Achsan, adalah salah satu putra dari delapan putra Moch. Achsan, alias H. Aksan.

Maka dari keseluruhan data di atas, baik Hadji Aksan atau Mas Aksan merujuk pada dua orang dalam satu keluarga besar yang sama yaitu keluarga Moch. Achsan, pedagang batik yang kemudian sukses sebagai pengusaha kapur dan pemilik banyak steenbakkerij atau bata lio.

Bermainan perahu di Danau Situ Aksan. Foto diambil sekitar tahun 1933. (Koleksi KITLV 37035, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Bermainan perahu di Danau Situ Aksan. Foto diambil sekitar tahun 1933. (Koleksi KITLV 37035, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Festival Air Peh Tjoen

Pada awalnya wilayah tersebut berupa drasland atau wilayah basah yang disebut balong. Semakin lama balong ini kian membesar menjadi sebuah situ atau danau yang memanfaatkan sodetan pada sungai Leuwi Limus yang mengalir di sebelah Westerpark yang mengelilinginya. Lambat laun danau kecil ini dijadikan sebagai tempat berkumpul bagi warga di sekitarnya.

Tidak sekedar berkumpul, bahkan pemogokan karyawan perusahaan telekomunikasi Nix & Co yang merupakan penerbit Indische Telegraf pun dilakukan di sana. Bataviaasch Niewblaad, 6 Januari 1925, memberitakan karyawan perusahaan tersebut berkumpul di Situ Aksan sambil menunggu keputusan akan nasib mereka.

Semakin lama Situ Aksan semakin sering dikunjungi oleh warga baik dari kalangan bumiputra, orang-orang Eropa maupun orang Tionghoa. Bahkan komunitas Tionghoa memiliki agenda rutin tahunan untuk melaksanakan waterfeesten atau Festival Air Peh Tjoen.

Algemeen Indisch Dagblad, 18 Juni 1947, menjelaskan bahwa festival ini dilakukan oleh komunitas Tionghoa untuk menghormati pahlawan yang berasal dari sejarah Tiongkok kuno yang bernama Chuh Yuan (Koet Goan) atau Ling Chun. Chuh Yuan difitnah hingga diusir oleh kaisar Tsing Siang Wang dari kerajaan. Karena kecewa dan sedih atas perlakuan tidak pantas itu, ia menghanyutkan diri ke Sungai Pe Lo di Negara Bagian Yuan.

Setelah kematian Chuh Yuan, Sag Kaisar baru menyadari tentang ketulusan hati sang pahlawan. Maka untuk menghormatinya, setiap hari ke-5 bulan ke-5 Tahun Cina, mereka mengadakan acara di tepi sungai yang disebut sebagai Peh Tjoen, yang di Bandung rutin dilaksanakan di Situ Aksan setiap tahunnya.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #1
NGULIK BANDUNG: Gedung PGN Braga, Bukti Bandoeng Pernah Punya Jaringan Gas Dalam Kota di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG : Buitenzorg, Kota Pertama Pembudidaya Buah Nanas Khas Bandung Barat

Foto perayaan festival tahunan Peh Tjoen yang terbit di Koran Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode tanggal 11-6-1951. Disebutkan bahwa ribuan warga Tionghoa pergi ke Situ Aksan (Het Westerpark) tempat diadakannya pesta tahunan Peh Tjoen. (Sumber delpher.nl)
Foto perayaan festival tahunan Peh Tjoen yang terbit di Koran Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode tanggal 11-6-1951. Disebutkan bahwa ribuan warga Tionghoa pergi ke Situ Aksan (Het Westerpark) tempat diadakannya pesta tahunan Peh Tjoen. (Sumber delpher.nl)

Peran Pemerintah Membangun Danau Buatan Situ Aksan

Peh Tjoen Waterfeesten di Situ Aksan rupanya menjadi festival tahunan yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Berbagai kegiatan seperti kompetisi dayung, panjat tiang, lomba renang, memancing,  bahkan kompetisi krontjong menarik perhatian warga (De Korier, 4 Juni 1932).

Setiap tahun festival air tersebut dilaksanakan dengan kegiatan yang lebih besar serta meriah. Bahkan Algemeen Indisch Dagblad: De Preanger Bode, 22 Juni 1955, memberitakan bahwa Peh Tjoen Waterfeesten tahun tersebut diadakan besar-besaran dengan barongsai dan pertunjukan wayang golek karena bertepatan dengan hari raya Idul Fitri.

Potensi Situ Aksan yang mampu menyerap turis lokal akhirnya menarik perhatian pemerintah yang sedang gencar-gencarnya membangun Kota Bandung. Mereka bekerja sama dengan N. V. De Eerste Nederlandsch-Indische spaarkas (Bank Tabungan Hindia Belanda)—yang disingkat N. V. Denis—untuk membangun dan mengembangkan daerah tersebut.

Pemerintah bersama N. V. Denis ingin menjadikan wilayah Djamikaweg, Westerpark, dan Sitoe Aksan sebagai villapark, sebuah perumahan sederhana dengan cicilan yang murah berkonsep real estate yang memiliki fasilitas mewah dengan danau yang indah (Mooi Bandoeng No.3, Maret 1939). Begitulah, proyek “Roro Jonggrang” ini dilaksanakan serempak dan besar-besaran.

Dengan dipimpin oleh Ir. Poldervaart, 150 unit rumah dibangun berjajar dengan indahnya. Jalanan yang biasanya berlumpur diaspal rapi, tanaman-tanaman yang membuat westerpark tampak sareukseuk dicabut, dipangkas, dan dirapikan; restoran-restoran mewah dengan lampu-lampu yang menyala akan tetap buka hingga pukul satu tengah malam, menjadi salah satu fasilitas mewah yang dibangun di Situ Aksan.

Yang paling penting dan perlu digarisbawahi, proyek ini mempekerjakan para tukang gali yang diperintahkan untuk memperbesar dan memperdalam danau yang akan menjadi pusat rekreasi alam buatan yang dapat dinikmati oleh seluruh warga Bandung (Mooi Bandoeng, vol.8, Februari 1940). Catatan ini sekaligus merupakan bukti tertulis bahwa Situ Aksan bukanlah danau alam.

Begitulah Situ Aksan yang pernah melaksanakan fungsinya sebagai tempat rekreasi utama di kota Bandung setidaknya hingga tahun 1970an. Danau buatan yang tergantung dari aliran sungai Leuwi Limus sebagai sumber utama pengairannya, Situ Aksan harus mengalah dengan dinamisnya pertumbuhan penduduk kota Bandung. Situ Aksan pun mengering, air berganti dengan bangunan-bangunan yang tumbuh bagai jamur sehabis hujan. Riwayat Situ Aksan pun tamat.

** Artikel ini mengalami pembaruan dan penambahan pada sub judul “Asal Usul Penamaan Situ Aksan” setelah mendapatkan data dan informasi terbaru yang menguatkan.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//