NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #1
Gempa yang terjadi pada tahun 1800an di Cianjur, disebut-sebut sebagai alasan pemindahan ibu kota Karesidenan Priangan tersebut ke Bandung. Benarkah demikian?
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
17 Desember 2022
BandungBergerak.id—Gempa yang mengguncang Cianjur, jawa Barat, 21 November 2022 lalu, mengingatkan publik pada peristiwa yang sama pada medio 1800an. Peristiwa itu disebut-sebut sebagai alasan pemindahan ibu kota Karesidenan Priangan ke Bandung. Benarkah gempa yang menjadi alasannya?
Penulis akan mengulasnya dalam beberapa tulisan ke depan, dimulai dari tulisan bagian pertama ini.
Cianjur lahir pada masa-masa akhir kekuasaan Mataram di Priangan. Dari sebagian wilayah Priangan yang diserahkan Mataram tersebut, didirikanlah sebuah wilayah politik baru oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC, yang dinamakan Padaleman Cianjur dengan Cikundul sebagai ibu kotanya. Padaleman tersebut dipimpin oleh seorang Dalem, yang bernama Aria Wira Tanu.
Sejak itulah Cianjur memiliki sistem pemerintahan yang terus berubah dalam peta politiknya. Sepeninggal Aria Wira Tanu, kepemimpinan dilanjutkan oleh sang putra yaitu Aria Wira Tanu II, yang mendapatkan pengakuan dari VOC sebagai regent (bupati) Cianjur, pada tahun 1691, dan menetapkan Pamoyanan sebagai ibukotanya.
Kepemimpinan Aria Wira Tanu II, yang bernama asli Raden Aria Wiramanggala ini, mengakhiri sistem pemerintahan tradisional dan berintegrasi dengan sistem pemerintahan VOC. Aria Wira Tanu II memimpin Kabupaten tersebut hingga tahun 1707, dan digantikan oleh puteranya Raden Astramenggala, yang bergelar Raden Aria Wiratanu III (D.D. Reiza, 2002).
Menurut sejarawan Reiza D. Dienaputra, Dibawah kepemimpinan Aria Wira Tanu III, Cianjur banyak memiliki perubahan. Dimulai dengan memindahkan pusat pemerintahannya dari Pamoyanan ke Kampung Cianjur, lalu memperluas serta mempertegas batas wilayah-wilayahnya. Dibawah kepemimpinan Aria Wira Tanu III, yang memiliki nama baru yang disahkan oleh VOC, yaitu Aria Wira Tanu Datar III, Kabupaten Cianjur mengalami kemajuan.
Sebagai pusat kekuasaan Kolonial, otomatis Cianjur pun menjadi ibu kota Keresidenan Priangan. Dengan demikian kedudukan Cianjur lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Gedung PGN Braga, Bukti Bandoeng Pernah Punya Jaringan Gas Dalam Kota di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Maison Bogerijen, Pemasok Resmi Makanan Bagi Ratu Belanda di Bandung #2
NGULIK BANDUNG: Maison Bogerijen, Restoran Kerajaan Belanda di Jalan Braga #1
NGULIK BANDUNG : Buitenzorg, Kota Pertama Pembudidaya Buah Nanas Khas Bandung Barat
Cianjur Gemilang Sebagai Pemasok Kopi Dunia
Bermula dari meningkatnya kebutuhan kopi pada masyarakat Eropa, menyebabkan harga komoditas perdagangan satu ini terus mengalami peningkatan. Hal ini membuka mata VOC, sebagai perusahaan perdagangan Belanda, untuk mengambil peluang dalam memenuhi permintaan pasar Eropa tersebut.
Kenyataan ini melahirkan seruan dari De Herren XVII kepada VOC, untuk membudidayakan kopi di Pulau Jawa, pada tahun 1707 (Lubis : 1998). Di tahun yang sama Gubernur Jenderal Joan van Hoorn, memproyeksikan wilayah Cirebon dan Priangan sebagai daerah uji coba penanaman kopi di pulau Jawa.
Bibit kopi dibagikan melalui para pemimpin daerah yang berkuasa di daerah Batavia, Cirebon serta Priangan. Sejak tahun 1707 kopi menjadi tanaman wajib yang harus ditanam oleh para petani, atau merupakan cikal bakal dari Preanger Stelsel (Syatori.A, 2020).
Dalam uji coba penanaman kopi di Pulau Jawa tersebut, diketahui bahwa penanaman kopi di dataran rendah seperti Cirebon dan Batavia, tidak membuahkan hasil yang baik. Berbanding terbalik dengan kedua daerah tersebut, penanaman di daerah Priangan memperoleh hasil yang menggembirakan.
Pada tahun 1711, empat tahun setelah seruan wajib tanam kopi di tatar Priangan berlaku, Raden Aria Wira Tanu III, berhasil menyetor hampir 100 pon kopi ke gudang VOC. Setoran pertamanya tersebut dihargai 50 Gulden per pikul ( 1 pikul setara dengan 125 pon). Sebuah harga yang sangat bagus kala itu, sehingga Raden Wira Tanu III semangat untuk membudidayakan lahan kekuasaannya untuk ditanami kopi.
Budi daya kopi meluas hingga ke dataran tinggi Priangan, hingga panen pun berlimpah. Pada tahun 1726, VOC berhasil memasok kopi ke Eropa. Begitu melimpahnya hasil panen kopi dari wilayah kekuasaan VOC ini, membuat VOC mampu memasok setengah hingga tiga perempat kebutuhan kopi dunia. Yang sangat luar biasa, setengah dari keseluruhan ekspor kopi VOC tersebut, dihasilkan oleh Cianjur (Lasmiyati, 2015).
Keberhasilan Raden Aria Wira Tanu Datar III ini mendapat apresiasi penuh dari petinggi VOC. Dia mendapat sebutan Penjual Besar Kopi yang Terkenal. Atas keberhasilannya dia mendapat hadiah sebuah wilayah di daerah Segara Kidul, Pada tahun 1713-1718 dari Gubernur Jenderal Zwaarde Kroon.
Tidak hanya sampai disana, ia dikatakan sebagai penguasa pribumi pertama yang berhasil menyerahkan kopi kepada VOC dengan jumlah yang sangat menakjubkan. Atas prestasinya Aria Wira Tanu Datar III mendapat hadiah berupa Distrik Jampang yang terletak di Cianjur bagian selatan, dari Gubernur Jenderal Van Swoll (D.D. Reiza, 2000).
Di bawah kepemimpinan Raden Aria Wira Tanu Datar III, Karesidenan Cianjur memperoleh perluasan wilayah, yang berarti memperluas perkebunan kopi yang dikembangkannya. Bupati Cianjur, ini jelas memiliki jasa luar biasa bagi VOC dan juga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Karesidenan Cianjur, gemilang dan masyhur sebagai daerah yang kaya karena berhasil menjadi pemasok kopi dunia.
Bandung, “Desa Udik” Tak Berpenghuni
Ketika wilayah Cianjur sudah menjadi pusat kekuasaan kolonial pada abad ke 17, berbanding terbalik dengan Bandung yang saat itu masih berupa bergdessa atau desa udik. Bahkan seorang Mardjiker yang bernama Yulian de Silva, dalam catatannya menulis “Aen een negorij genaemt Bandong, bestaende uijt 25 ‘a 30 huysen..…” yang berarti “Ada sebuah negeri dinamakan Bandong yang terdiri dari 25 sampai 30 rumah…” (Rusnandar, 2010).
Dari catatan Mardjiker yang datang ke Bandung pada tahun 1641 tersebut dapat diasumsikan, bila satu rumah terdiri dari 3 hingga 4 orang, maka kota Bandung, saat itu hanya memiliki penduduk sekitar 75 hingga 120 orang saja. Baru pada abad ke-17, wilayah yang disebut sebagai wilayah “TatarUkur” oleh penduduk pribumi ini, disebut sebagai sebagai Negorij Bandong atau West Oedjeng Broeng, oleh pemerintah kompeni Belanda.
Sejak keberadaan wilayah “Tatar Ukur” yang dipimpin oleh seorang penguasa bernama Wangsanata (Dipati Ukur) ini terendus keberadaannya oleh kompeni, secara berkala mereka memata-matai wilayah yang masih berupa hutan dan rawa-rawa ini (Rusnanar, 2010).
Sangat sulit untuk membandingkan Cianjur dengan Bandung dalam kurun waktu yang sama, di abad ke-17. Cianjur yang merupakan pusat kekuasaan kolonial, sedang Bandung masih dijadikan tempat pembuangan soldadu atau pegawai pemerintahan yang dianggap memiliki kesalahan fatal. Saat itu hanya dengan mendengar kata Bandung, orang-orang Belanda itu akan bergidig ngeri, karena Bandung dianggap “neraka” yang mengerikan. Sekali masuk ke dalamnya, maka harapan untuk lolos sangatlah kecil.
Dengan kenyataan demikian, alasan apa yang menyebabkan ibu kota Karesidenan Priangan yang memiliki peran yang sangat penting tersebut dipindahkan ke Bandung yang jauh dari peradaban?
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman