• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Perang Susu (Melk-Oorlog) di Bandung (3) Berdirinya BMC

NGULIK BANDUNG: Perang Susu (Melk-Oorlog) di Bandung (3) Berdirinya BMC

Kesepakatan para pengusaha susu menghentikan perang susu akhirnya hanya gencatan senjata. Jatuhnya harga mentega impor memicu perang susu jilid dua di Bandung.

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

Bandoengsche Melk Centrale (BMC), Jalan Kebon Sirih, Bandung, didirikan akibat “pertempuran” di antara para pengusaha susu di Bandung. Foto diambil tahun 1950. (Sumber: kibrispdr.org)

4 November 2021


BandungBergerak.id - Pertemuan tanggal 14 Desember 1931 antara Wali Kota Bandung, Ir.Von Wolzogen Kuhr dan beberapa orang perwakilan pengusaha susu telah dilaksanakan. Pertemuan yang diinisiasi oleh satu dari Ursone bersaudara tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan, seperti ditetapkannya harga yang sama dan berlaku untuk seluruh pengusaha susu di Bandung, serta kesepakatan untuk mengakhiri melk-oorlog (perang susu). Puncak dari pertemuan itu adalah disepakatinya rencana untuk mendirikan sebuah pusat pengelolaan susu (Melk-Centrale), yang akan memberlakukan sistem one stop service. Kesepakatan tersebut melegakan para pengusaha kecil yang hampir gulung tikar.

Belum sampai satu bulan para pengusaha susu tersebut merasa lega, atas keputusan yang telah ditetapkan dalam rapat, rupanya rasa lega tersebut tidak bertahan lama. Muncul ketidakpuasan atas hasil rapat tersebut, yang justru datang dari masyarakat pengguna susu segar. Masyarakat mengkhawatirkan akan harga susu yang telah ditetapkan sebesar 20 sen per botol, yang bisa jadi di pasaran akan mereka dapatkan dengan harga yang jauh lebih tinggi dari itu. Sedangkan di masa lalu, masyarakat sangat puas dengan harga “perang susu” sebesar 17 sen per botol, bahkan bisa mereka dapat dengan harga yang jauh lebih rendah (Het Niews Van den Dag Voor Nederlandsch-Indie, Januari 1932).

Iklan mentega impor yang memicu perang susu jilid 2 di Bandung tempo dulu. (Dok. Penulis)
Iklan toko di Bandung yang menjual mentega impor dari Australia yang terbit di koran De Koerier tanggal 10 Januari 1932. (Sumber: delpher.nl)

Perang Susu Jilid 2

Rapat yang telah menghasilkan beberapa kesepakatan yang saling menguntungkan di antara para pengusaha susu, ternyata dalam prakteknya tidak benar-benar dapat dilaksanakan. Karena tekanan dari masyarakat, keterbatasan teknologi, serta pengawasan mengenai higienitas, maka para peternak kecil tetap menjual susu dengan harga seperti saat perang susu sedang berlangsung agar mampu bertahan.

Sesuai dengan aturan Melk-Codex yang telah ditetapkan oleh Dinas Kesehatan mengenai kualitas susu segar yang dapat langsung diminum, rata-rata pengusaha kecil hanya mampu menghasilkan susu dengan kualitas sedang sebesar 60 persen dan dijual dengan harga 13 hingga 15 sen saja per botol. Dan sisanya dijual sebagai bahan baku pembuat mentega atau butter milk dengan harga 12 sen per botol.

Menurut koran Het Niews Van den Dag Voor Nederlandsch-inde, Februari 1932, akibat kemerosotan harga di pasaran, maka mentega impor dari Australia pun tidak bisa bertahan dengan harga jual biasanya. Pemasok terpaksa mengurangi harga, agar modal dapat segera kembali. Hal ini diperburuk dengan penurunan nilai tukar Pound, hingga harga mentega impor mengalami penurunan harga yang sangat tajam, yaitu sebesar 40 persen. Penurunan harga mentega impor ini, tentu sangat berpengaruh pada mentega yang dihasilkan oleh pengusaha lokal. Mereka dengan sangat terpaksa menurunkan harga susu yang biasa digunakan sebagai bahan baku pembuat mentega (butter milk) hingga 6 sen per botol. Perang Susu Jilid 2 pun dimulai!

Para pengusaha besar terus mengingatkan agar para pengusaha patuh terhadap kesepakatan. Mereka telah kehilangan harga pada jenis susu untuk bahan baku mentega, dan hal ini tidak boleh terus berlangsung hingga mematikan harga susu segar langsung minum. Namun para pengusaha kecil menganggap ini hanya akal-akalan pengusaha besar untuk menguasai pasar, dan tetap saja pengusaha kecil yang pada akhirnya akan terkena imbas dari ketidakstabilan harga di pasaran.

Para pengusaha kecil sepakat untuk tidak mematuhi aturan, karena kondisi seperti ini justru adalah peluang bagi mereka untuk meningkatkan jumlah pelanggan. Dengan pemikiran, bila pengusaha besar keukeuh menetapkan harga jual sesuai dengan kesepakatan, masyarakat tentu akan mencari harga yang jauh lebih murah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Akhirnya, para pengusaha kecil itulah yang menguasai dan mengambil alih pasar. Para pengusaha besar susu segar benar-benar kehilangan pelanggan mereka hingga terpaksa menjual seluruh hasil produksi mereka sebagai butter milk dengan harga obral, yaitu 6-7 sen per botol!

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Perang Susu (Melk-Oorlog) di Bandung (1) Perseteruan Antarperusahaan Susu
NGULIK BANDUNG: Perang Susu (Melk-Oorlog) di Bandung (2) Peternak Kecil Jadi Korban
NGULIK BANDUNG: Jalan Gunung Tangkuban Parahu dan Cerita-cerita di Baliknya (1)
NGULIK BANDUNG: Jalan Gunung Tangkuban Parahu dan Cerita-cerita di Baliknya (2)
NGULIK BANDUNG: Dokter Emilie Suzzan Houtman, Perempuan di balik Pendirian Sanatorium Dago Heuvel (1)

Mesin pemrosesan susu di zaman perang susu Bandung tempo dulu. (Dok. Penulis)

Mesin pengolah susu menjadi mentega. De Graafschap-bode tanggal 2 September 1927 menyebutkan mesin tersebut mampu menghasilkan 400 kilogram mentega setahun. (Sumber: delpher.nl) 

Rencana mendirikan sebuah lembaga yang diharapkan dapat menyatukan seluruh peternak atau pengusaha susu, ternyata juga tidak dapat berjalan dengan mulus. Antipati masyarakat terhadap ide tersebut, merupakan ekses yang sebelumnya tidak pernah diduga. Harga yang ditetapkan dalam pertemuan antara pengusaha susu dan Wali Kota Kuhr sebesar 20 sen per botol 700 ml adalah harga wajar, bahkan termasuk rendah bila dibandingkan dengan harga pasarannya di kota-kota lain di Hindia Belanda. Namun tidak demikian bagi masyarakat di Kota Bandung.

Saat itu masyarakat Bandung sudah terbiasa, bahkan terkesan dimanjakan dengan harga “perang”, yang bertahan pada angka sekitar 13 sen bahkan 7 sen per botol. Maka Melk Centrale yang didirikan dengan harapan menjadi solusi menstabilkan harga susu segar bagi seluruh kalangan masyarakat, justru dianggap menekan, bahkan mencekik rakyat secara finansial. Oleh karenanya, masyarakat beramai-ramai sepakat untuk tidak mengkonsumsi susu segar dan cukup puas dengan menggunakan susu kemasan kaleng (Het Niews, Van Den Dag Voor Nederlandsch-indie, Maret 1932).

Iklan mentega impor Australia yang memicu perang susu di Bandung tempo dulu. (Dok. Penulis)
Iklan salah satu merek mentega impor dari Australia yang terbit di koran De Locomotief tanggal 17 Maret 1932. (Sumber: delpher.nl) 

Pembangunan Melk-Centrale Dimulai

Masyarakat boleh jadi memilih untuk tidak menggunakan susu segar, sebagai upaya mereka untuk menunjukan kekhawatiran mereka akan harga yang tinggi. Namun pemerintah berpikir, bila mereka terus mengikuti keinginan masyarakat, maka harga susu di kota Bandung semakin tidak terkendali, para pengusaha segera gulung tikar dan bisa jadi perang susu pun merembet ke kota-kota lain. Hal seperti ini tidak bisa terus dibiarkan, harus ada upaya tegas untuk mengendalikan perang harga yang sebenarnya dimulai oleh kekonyolan perang media yang merembet pada kesenjangan yang terjadi antara pengusaha besar dan kecil.

Maka, perselisihan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun ini harus segera dihentikan dengan mewujudkan rencana pendirian pusat pengolahan susu yang sudah ditetapkan, dalam pertemuan ulang tanggal 22 Februari 1932. Dalam pertemuan tersebut diputuskan menunjuk Tn. G. Ursone sebagai direktur pusat pengolahan susu, dengan anggota dewan terdiri dari Tn. Hirschland, Tn. Ellwanger, Tn. Streithorst, Tn. Witbols Feugen, dan Tn. A. Ursone.

Kemudian seluruh anggota dewan yang telah ditunjuk, melanjutkan agenda yang telah ditetapkan dalam pertemuan tersebut dengan rencana yang lebih serius, termasuk membeli sebidang tanah di Jalan Kebon Sirih, Kota Bandung. Nederlandsch Indische Melk-Centrale atau Pusat Pengolahan Susu Hindia Belanda yang pertama ini, direncanakan akan memulai aktivitasnya pada paruh kedua di tahun yang sama (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, 23 Februari 1932).

Menurut koran, Het Niews Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indie, 21 Juni 1932, setelah melalui berbagai kendala, lahan di Jalan Kebon Sirih, yang memang diperuntukkan sebagai pusat pengolahan susu ini pun akhirnya dimulai konstruksinya pada bulan Juni 1932. Bangunan tersebut memiliki luas sebesar 800 meter persegi yang terdiri dari  5 ruang kantor, ruang distribusi, ruang khusus untuk mensterilkan botol, ruang pendingin yang dilengkapi oleh peralatan modern, serta mesin-mesin khusus pengolahan susu yang sengaja diimpor dari Eropa setelah berkonsultasi dengan Kepala Dinas kesehatan dan Kebersihan Kota.

Selama dua bulan, Bandung tampak sibuk dalam upayanya mendirikan bangunan yang diharapkan mampu menjadi jembatan yang paling baik, di antara 23 perusahaan susu, baik perusahaan besar maupun kecil yang terafiliasi pada Bandoengsche Melkcentrale N.V. ini. Diharapkan, pusat pengolahan susu tersebut dapat memenuhi keinginan masyarakat, untuk memiliki susu segar yang berkualitas namun dengan harga wajar.

Selain para anggota dewan yang telah terpilih, dengan dipimpin oleh Tn.G.Ursone sebagai direktur, dalam operasionalnya mereka menunjuk Tn. W.Ch. Nagel sebagai Manajer dan Kepala distribusi, serta Tn.H.M. Ennen yang telah bertahun-tahun berpraktek di Eropa sebagai penanggung jawab kualitas susu. Pada akhirnya, di awal bulan Agustus 1932, konstruksi bangunan di Jalan Kebon Sirih itu pun selesai.

Seiring dengan selesainya konstruksi bangunan tersebut, saluran telepon pun sudah tersambung, order serta distribusi sudah mulai berjalan. Bandoengsche Melk Centrale (BMC), yang didirikan akibat “pertempuran” di antara para pengusaha susu di Bandung itu pun mulai beroperasi pada awal Agustus 1932 dengan jam operasional mulai pukul 6 pagi dan sore mulai pukul 12 hingga pukul 1 siang.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//