NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur Ke Bandung #5
Di saat ibu kota Kabupaten Bandung hendak dipindahkan menuju tepian Sungai Cikapundung di Bandung, Cianjur sudah tumbuh jadi kota favorit bangsa Eropa.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
18 Februari 2023
BandungBergerak.id – Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Bandung, sebenarnya sudah lama direncanakan oleh Bupati R.A. Wiranatakusumah, mengingat Karapyak (Dayeuh Kolot, sekarang) seringkali dilanda banjir. Surat keputusan 25 Bloeimaand 1810 Verplatsing van de hoofdnegorijen in de regentschappen Bandoeng en Parakanmoentjang, yang dikeluarkan oleh Daendels, menguatkan R.A. Wiranatakusumah untuk segera memindahkan Ibu Kota Kabupaten Bandung tersebut ke dekat Sungai Cikapundung.
Bupati R.A. Wiranatakusumah memulainya dengan mencari lokasi yang tepat untuk mendirikan pendopo, sebagai pusat pemerintahannya. Bukan hal yang mudah dalam menentukan lokasi yang paling tepat untuk mendirikan pendopo. Karena biasanya mendirikan sebuah pendopo atau tempat tinggal, harus mengikuti pakem adat yang disebut sebagai tatali karuhun atau ikatan turun temurun warisan leluhur.
Dalam kepercayaan masyarakat Sunda, mendirikan sebuah bangunan tempat tinggal, yang merupakan pusat pemerintahan harus memenuhi syarat taneuh garuda ngupuk, bahè ngalèr-ngètan, deukeut pangguyangan badak putih (tanah yang menyerupai burung garuda mengibaskan sayapnya di tanah, landai ke arah timur-laut, dekat kubangan badak putih) (Rusnandar, 2010). Kalimat tersebut memiliki makna yang sarat akan nilai filosofi serta spiritual.
Makna kalimat tersebut bahwa sebuah kota harus didirikan di atas tanah yang memiliki berbagai nilai kebaikan seperti berada di lokasi yang strategis, dekat dengan sumber air, serta menghadap ke arah timur yang memungkinkan untuk mendapat pasokan sinar matahari yang baik. Begitulah pada akhirnya R.A. Wiranatakusumah memilih lokasi di sebuah lahan kosong berupa hutan di tepi barat Sungai Cikapundung di sebelah selatan Jalan raya Pos yang sedang dibangun Daendels. Jalan Raya Pos membentang dari arah Sumedang, memotong kota Bandung, Jalan Asia afrika kini). Sejak itulah, Bandung yang dulu disebut sebagai pedalaman Priangan itu, mulai dibangun menjadi sebuah kota.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur Ke Bandung #4
NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #3
NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #2
NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #1
Cianjur Kota Favorit Bangsa Eropa
Berbeda dengan situasi Bandung yang saat itu baru mulai membuka hutan untuk dijadikan sebuah kota, pada saat yang sama Cianjur yang merupakan daerah penghasil kopi dunia saat itu, berkembang menjadi sebuah wilayah yang disegani. Sebagai wilayah kekuasaan kolonial VOC, Cianjur menjadi kota yang menjadi basis hunian warga Eropa.
Berbagai fasilitas sudah didirikan di sana, seperti yang dikisahkan oleh S. Coolsma, dalam catatannya yang berjudul Lichtstralen op den Akker der wereld, ISMAIL en MOERTI de eerstelingen uit de Soendaneezen, yang mengisahkan perjalanan serta suka dukanya menjadi seorang misionaris dari sebuah zending di Cianjur, diterbitkan tahun 1895.
Coolsma mengatakan, di Cianjur terdapat sebuah aloen-aloen atau taman kota yang berbentuk persegi, dikelilingi oleh pohon waringin besar dengan bayangannya yang menyejukkan. Di sebelah selatan alun-alun terdapat sebuah dalem atau istana tempat tinggal para bupati dan anak-anak raja. Dapat diartikan sebagai pendopo, tempat tinggal para bupati beserta keluarganya dan sebuah masjid di sebelah barat alun-alun.
Selain itu telah didirikan juga sebuah kediaman bagi asisten residen, kepala pemerintahan lokal Eropa, kantor pos dan telegraf, sebuah rumah sakit sederhana dan sebuah penjara dengan bangunan yang tidak kuat, karena sangat jarang terjadi kejahatan serius yang dilakukan oleh orang-orang soenda (pribumi lokal priangan) saat itu, sehingga tugas polisi sangatlah ringan.
Selain itu terdapat sebuah barak kecil militer yang hanya memiliki sedikit sekali prajurit, dan juga Nederlandsche Zendingsvereeniging, sebuah serikat atau organisasi misionaris Kristen dengan gerejanya telah berdiri di sana. Tidak hanya di pusat kota, namun daerah pedalaman Cianjur sudah banyak didirikan kampung-kampung, tempat pemukiman warga yang hampir seluruhnya adalah oerang soenda.
Tak hanya warga lokal sunda serta pendatang dari Eropa saja yang telah tinggal serta bermasyarakat di Cianjur. Para saudagar Cina yang dulu didatangkan hingga menjadi mitra dagang oleh VOC pun menetap dan berkembang di sana. Bahkan pada masa pemerintahan Raden Noh atau Raden Adipati Wiratanu Datar VI, didirikanlah sebuah kampung khusus para pendatang terebut yang diharapkan dapat mengisi lahan-lahan kosong untuk dapat ditanami dengan tembakau, kapas dan indigo, melalui Belsuit tanggal 9 Juni 1810.
Cianjur, Wilayah yang Rawan Bencana
Tak hanya fasilitas yang lengkap, udaranya yang sejuk membuat siapa pun betah untuk tinggal di sana, tak terkecuali orang Eropa. Tidak hanya para kumpeni VOC beserta keluarganya, yang memang berkepentingan dengan perkebunan kopi di Cianjur, namun banyak orang dengan berbagai profesi memilih untuk bermukim di sana dan menjadikan Cianjur sebagai tempat paling favorit untuk ditinggali.
Namun udara sejuk serta cuaca yang relatif ramah, tidak menjadikan Cianjur sebagai wilayah yang selalu ramah ditinggali. Secara geografis, wilayah Cianjur rawan terhadap gempa. Setidaknya gempa pertama yang diberitakan di berbagai media terbitan Hindia Belanda, yang dapat penulis telusuri tercatat mulai tahun 1818 yang diberitakan oleh harian Bataviasche courant, 7 November 1818 yang memberitakan bahwa gempa terjadi di wilayah Priangan, hingga Jakarta.
Namun berita yang lebih spesifik, diberitakan oleh harian Javasche Courant, 15 Oktober 1834 tentang gempa yang terjadi pada tangga 10 Oktober di tahun yang sama. Gempa hebat tersebut merubuhkan banyak bangunan, bahkan rumah bupati pun hancur, serta penjara pun terpaksa dirusak dengan paksa untuk mengeluarkan para tahanan. Bahkan sebuah stasiun yang bernama Tjiandjawar di sisi Gunung Mega Mendung dekat dengan Tjipanas terkubur oleh longsoran tanah yang menewaskan 5 orang dan membunuh 10 ekor kuda.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tangga 21 September 1844, bencana kembali melanda Cianjur. Kali ini bukan lagi gempa, namun banjir besar meluluhlantakkan kota yang sejuk lagi indah tersebut. Banjir besar yang melanda sedikitnya tiga kecamatan, telah menerjang sebanyak 70 rumah penduduk dan tidak kurang dari 107 orang penghuninya ikut terseret dalam banjir besar tersebut, dan hanya 44 sosok mayat yang ditemukan. Tidak hanya itu banjir juga menghanyutkan 47 lumbung padi dan hasil panen kopi milik penduduk.
Demikianlah Cianjur sebagai Ibu Kota Keresidenan Priangan saat itu. Sebuah wilayah yang indah, subur dengan cuaca yang sangat disukai oleh orang-orang Eropa kala itu, namun sangat rawan terhadap bencana. Banyak sekali kisah nestapa akibat bencana yang terus berulang di Cianjur dan diberitakan oleh media-media cetak kala itu.
Sementara Bandung, semenjak Bupati R.A. Wiranatakusumah memindahkan pusat pemerintahannya ke wilayah yang dulunya dikenal sebagai “Pedalaman Priangan” yang disebut juga sebagai bergdessa atau kampung udik ini terus berbenah dan melakukan pembangunan.
Usulan Memindahkan Ibu Kota Keresidenan Priangan Ke Bandung
Meskipun Cianjur menjadi wilayah yang banyak disukai sebagai tempat tinggal, namun tidak bagi C.P.C. Steinmetz, Residen Priangan yang menjabat sejak tahun 1851 hingga 1855. Walaupun menjabat sebagai seorang residen, dia tidak pernah bersedia untuk dibuatkan rumah di Cianjur. Alih-alih bersedia untuk dibuatkan rumah dinas, ia lebih memilih untuk tinggal di kantor keresidenan dan justru mengusulkan untuk memindahkan ibu kota Keresidenan Priangan tersebut ke Bandung.
Apakah Steinmetz adalah satu-satunya orang yang mengusulkan pemindahan ibu kota tersebut? Lalu kapan tepatnya pemindahan tersebut dilaksanakan? Seberapa siapkah Bandung menjadi Ibu Kota Keresidenanan Priangan? Penulis akan mengulasnya pada tulisan terakhir minggu depan.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman