NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #3
Harga kopi diturunkan secara drastis oleh VOC. Rakyat enggan menyerahkan hasil panen mereka. Para Saudagar Cina melihat ini sebagai peluang.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
21 Januari 2023
BandungBergerak.id - VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) didirikan pada dasarnya tak lain sebagai perusahaan dagang yang memang akan melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya: mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Mereka berhasil memonopoli perdagangan kopi di Priangan setelah sebelumnya tak lagi mendapatkan hasil yang besar dari perdagangan rempah-rempah dan candu dari berbagai wilayah lain di nusantara.
Dengan bantuan para penguasa daerah, VOC bertindak bagaikan raja. Mereka menjadikan para penguasa daerah tersebut sebagai boneka untuk mendapatkan tujuannya. Dengan cara-cara tersebut VOC berhasil menjalankan sistem tanam paksa kopi di seluruh Priangan, atau Preanger Stelsel, dengan memanfaatkan peran para penguasa daerah.
Aturan dan cara-cara licik yang terus diterapkan oleh VOC terhadap rakyat, akhirnya hanya memberikan beban tambahan tanpa imbal balik yang menguntungkan bagi para petani. Keengganan petani untuk bekerja sama pada akhirnya memang sangat masuk akal. Kerja keras dengan penuh tekanan bahkan ancaman kematian, berakhir di kantung-kantung gendut para penguasa daerah.
Saudagar Cina Mulai Memainkan Peran
Dalam masa awal-awal VOC menguasai kesultanan Cirebon, selain mengintervensi para sultan dan penguasa daerah setempat. Untuk melancarkan praktik monopoli perdagangannya, VOC menggunakan cara yang tidak biasa digunakan oleh perusahaan dagang lainnya. Ya, VOC menerima para pedagang serta saudagar Cina masuk ke pedalaman dan desa-desa untuk melancarkan praktik perdagangan mereka.
Tidak hanya sekedar menerima para pendatang tersebut untuk melakukan perdagangan, bahkan VOC menyewakan desa-desa dan kabupaten-kabupaten kepada para pengusaha Cina kaya tersebut. VOC memiliki tujuan dengan disewanya tempat-tempat tersebut dengan harga tinggi dari para sultan, menjadi alasan yang tepat untuk melebarkan wilayah kekuasaan mereka. Sebagai penguasa, hal ini membuat VOC leluasa untuk melakukan praktik pemerasan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya dari rakyat, dengan dalih pungutan pajak (A.Satori, 2020 ; Vlekke, 1959).
Strategi penguasaan daerah seperti itu pada awalnya sangat menguntungkan bagi VOC. Namun mereka tidak pernah menyadari belakangan hari hal tersebut akan menjadi blunder bagi mereka. Saat permintaan kopi di pasar dunia meningkat, VOC melancarkan aturan yang menyengsarakan rakyat. Mereka menetapkan perhitungan harga yang tidak adil. Para petani kemudian menolak untuk menyetorkan hasil pertaniannya ke gudang-gudang VOC dan lebih memilih untuk membuang atau mengubur hasil pertanian mereka.
Di saat inilah, para saudagar Cina melihat peluang yang baik dan menganggap keputusan VOC menurunkan harga kopi sebagai kesempatan emas. Para petani yang terus merugi memilih untuk menjual hasil pertanian kopi mereka ke pasar Batavia, tempat para tengkulak serta saudagar Cina menunggu di sana. VOC mengetahui hal tersebut dan menganggap ini sebagai persaingan dagang. Sebagai perusahaan dagang besar yang memonopoli perdagangan saat itu tentu VOC meradang.
Untuk mengantsipasi hal tersebut mulailah VOC membuat peraturan mengenai pelarangan penjualan kopi secara ilegal pada para tengkulak tersebut. Para saudagar Cina dilarang membeli dan melakukan transaksi perdagangan langsung dari para petani. Sementara itu, setelah pelarangan tersebut dilakukan, VOC tetap tidak pernah menaikkan harga kopi bagi petani, yang mengakibatkan perdagangan kopi ilegal di pasar gelap semakin berkembang dengan subur.
Satu hal yang lucu dari perdagangan gelap ini, adalah cara petani menghindar untuk menyetorkan hasil pertanian mereka ke gudang-gudang VOC. Sering kali dalam perjalanannya pikulan petani akan berpindah tangan dari satu tangan ke tangan lainnya dengan harga yang terus meningkat hingga sampai pada penampung terakhir di Batavia. Para penampung terakhir ini adalah para saudagar Cina yang bertindak sebagai agen bagi tuan tanah Eropa di Batavia atau bagi pegawai VOC sendiri, yang memiliki akses untuk menjual kopi ke pasaran dunia tanpa melalui VOC (Breman, 2014).
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #1
NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #2
NGULIK BANDUNG: Gedung PGN Braga, Bukti Bandoeng Pernah Punya Jaringan Gas Dalam Kota di Zaman Kolonial
VOC Bangkrut, Kekuasaan Berpindah Tangan
Begitulah ambisi VOC sebagai perusahaan dagang yang justru menguasai wilayah-wilayah yang didudukinya dan berkuasa atasnya. Mereka mampu melakukan apa pun untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan cara-cara yang licik. Bahkan bertindak bagai raja di wilayah asing yang sedianya bukanlah tanah mereka. Bisa dikatakan perusahaan dagang satu ini terlalu banyak tingkah di wilayah jajahannya dan seakan hukum alam, segala sesuatu yang keterlaluan pasti ada saatnya untuk berhenti.
VOC, perusahaan dagang ini membesar di tanah jajahannya karena monopoli yang mereka lakukan. Tidak sekedar memonopoli ekonomi dan perdagangan, namun memonopoli sumber daya alam dan manusia pribumi di dalamnya. Untuk mengontrol seluruh sumber daya di tanah jajahannya, VOC menempatkan banyak pegawai yang diharapkan mampu mengontrol tanah jajahan tersebut agar sesuai dengan apa yang mereka rencanakan.
Dalam pelaksanaannya, karena wilayah yang mereka kuasai semakin luas, mereka tidak mampu mengontrol para pegawai mereka sendiri. Tak ayal, para pegawai yang ditugaskan di lapangan pada akhirnya bekerja serampangan. Para komitir di daerah bersama para penguasa daerah dan bupati bekerja sama untuk memperkaya diri mereka sendiri. Alih-alih menyerahkan hasil pertanian ke gudang-gudang VOC mereka malah melakukan perdagangan-perdagangan ilegal, serta melakukan pungutan-pungutan upeti dari rakyat yang tentu hanya membuat tebal kantung pribadi, sementara kas VOC semakin menipis.
VOC terus mengalami kemunduran dengan krisis keuangan mereka. Korupsi yang dilakukan para bawahan di daerah-daerah semakin tak terkontrol. Dengan menyalahgunakan kekuasaan, para pegawai tinggi dan para perwira bahkan mampu memiliki aset-aset dengan jumlah luar biasa, bahkan melampaui nilai penghasilan resmi mereka. Sehingga pada akhirnya banyak sindiran pada VOC memberikan pelesetan kata VOC sebagai Vergaan Onder Corruptie yang berarti tenggelam karena korupsi.
Selain itu, dalam pendudukannya di Nusantara, VOC sebagai perusahaan dagang, tidak hanya sekedar menguasai perdagangan serta ekonomi namun ikut campur dalam peta politik dan pemerintahan daerah-daerah yang mereka duduki. Tak heran perlawanan di berbagai wilayah nusantara tak dapat mereka hindarkan. Hal ini menjadi salah satu alasan keuangan mereka terus tergerus, selain berbagai konflik politik dalam negeri Kerajaan Belanda dengan Perancis dan Inggris.
Maka pada akhirnya, dengan keuangan yang buruk, VOC tidak lagi dapat dipertahankan. Pemerintah Kerajaan Belanda membayar segala hutang VOC dan tanggal 31 Desember 1799 VOC resmi di bubarkan dan seluruh harta kekayaan yang tidak bergerak, termasuk daerah jajahannya diambil alih oleh pemerintah Belanda.
Setelah VOC bubar, apakah sistem tanam paksa di Priangan atau Preanger Stelsel otomatis berakhir? Lalu bagaimana dengan nasib Priangan selanjutnya setelah kekuasaan VOC berpindah ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda? Penulis akan membahasnya dalam tulisan selanjutnya.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman