NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #2
Menjadi pemasok kopi terbesar dunia, membuat VOC semakin tamak. Mulai dari menyengsarakan rakyat hingga meredupkan kejayaan kopi Cianjur dan Priangan.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
13 Januari 2023
BandungBergerak.id - Cianjur memperoleh kejayaannya sebagai pemasok kopi terbesar dunia di bawah kepemimpinan Aria Wira Tanu III, pada abad ke-17. Cianjur, berkembang menjadi sebuah wilayah yang maju sebagai pusat kekuasaan Vereenigde Oost-Indiche Compagnie atau VOC. Sementara Bandung, di saat yang sama masih berupa hutan belantara dengan rawa-rawa dan legokan situ, sisa-sisa danau purba.
Setelah Julian de Silva, Bandung, baru kedatangan orang asing lagi pada tahun 1713. Ia adalah Abraham van Riebeek, orang Eropa pertama yang mendaki Gunung Papandayan dan Gunung Tangkubanparahu. Ia juga dikenal sebagai orang pertama yang membawa benih kopi ke tatar Priangan. Sayang, ia harus kehilangan nyawa dalam perjalanan turun dari pendakiannya ke Gunung Tangkubanparahu.
Baru pada tahun 1720, Bandung mendapat tambahan penduduk dengan ditempatkannya seorang kopral bernama Arie Top. Dia ditugaskan oleh kompeni untuk menetap dan menjadi pengawas di sana. Arie Top yang ahli menebang pohon, dikenal sebagai seorang houthakker in de Preanger bosschen atau penebang kayu di hutan Priangan, sehingga keberadaannya di hutan purba tersebut sangatlah pas.
Dua puluh tahun sejak kedatangan Ari Top, pada tahun 1742 masuklah dua orang buangan Belanda yang bernama Jan Geysbergen atau “Ronde Jan” seorang pengawas. Seorang lagi adalah kopral yang tidak diketahui namanya. Arie Top beserta kedua orang itulah yang membuka hutan belantara Bandung untuk pertama kalinya (M.A.J Kelling: Mooi Bandoeng, 1938).
Kopi, Preanger Stetsel dan Diperbudak Bangsa sendiri
Keberhasilan Aria Wira Tanu III dalam mengembangkan pertanian kopi di Cianjur mendapat apresiasi yang luar biasa. Perkebunan kopi akhirnya tersebar ke seluruh wilayah Priangan, dari mulai Sukabumi, Karawang, Sukapura, Limbangan, hingga Sumedang. Cianjur yang masa kolonialisasi awalnya bermula dari Cirebon, pada abad ke-18 justru menjadi gudang utama VOC.
Daerah-daerah Priangan tersebut menjadi kantung-kantung utama sumber kas VOC. Perusahaan dagang Belanda ini mendapat keuntungan berlipat ganda dari perdagangan kopi dibandingkan dengan komoditas perdagangan lainnya. Akibat menerima manfaat yang sangat besar inilah, sifat tamak VOC pun muncul.
Mulai tahun 1720 VOC memberlakukan Preanger Stelsel atau wajib tanam kopi di seluruh wilayah Priangan. Sejak saat itu seluruh lahan baik yang dikuasai oleh VOC, penguasa daerah maupun milik rakyat, diwajibkan untuk ditanami kopi.
Secara meluas, bahkan VOC memerintahkan untuk menanam kopi pada lahan-lahan liar yang belum diklaim oleh pihak mana pun. Lahan-lahan tersebut hingga mencakup wilayah-wilayah pedalaman Batavia dan seluruh Priangan. Pengawasan langsung diserahkan oleh VOC kepada para bupati atau para penguasa di setiap daerah. Sementara VOC mengawasi para penguasa tersebut demi memastikan kepentingan mereka terpenuhi (D.H. Burger, 1962).
Berlindung di balik perintah vultuurdiensten (tugas kerja pada budi daya) dari VOC, para bupati tidak hanya memerintahkan para penduduk untuk menanam dan memanen kopi. Masyarakat diwajibkan untuk menyetorkan hasil panen, membangun gudang, membuat jalan, termasuk perintah untuk mengabdi kepada para bupati tersebut. Jenis pengabdian yang bahkan jauh dari nilai keadilan.
Masyarakat tidak hanya dituntut untuk menyisihkan panen padi untuk diserahkan kepada para bupati, namun juga dituntut untuk menggarap lahan-lahan pribadi para penguasa daerah tersebut tanpa mendapat upah. Tidak berhenti di sana, bahkan masyarakat juga dituntut untuk mengerjakan pekerjaan domestik para penguasa tersebut! Lebih tidak masuk akal, para bupati mulai memberlakukan sistem pajak tambahan atau upeti di wilayah kekuasaannya, dari mulai pungutan pasar, pembayaran kartu pas, pajak pemotongan, pajak pernikahan dan pungutan lain tak berdasar (Bremen, 2014 ; Syatori, 2020).
Sistem tanam paksa kopi di Priangan dengan menggunakan sistem yang diterapkan secara sembrono ini semakin lama semakin terasa “manis” dampaknya bagi VOC serta kaki tangannya. Namun semakin menekan rakyat. Kebun pada lahan-lahan liar yang terus dibuka menyebabkan banyak rakyat yang diwajibkan untuk pergi jauh meninggalkan rumah, untuk menggarap lahan-lahan tersebut.
Rakyat tidak lagi dapat mengolah lahan pribadinya, karena semua diwajibkan untuk menanam kopi. Ketidakpuasan di kalangan bawah kian terasa. Pada tahun 1726 VOC memberlakukan aturan yang tidak adil dengan menurunkan harga kopi, dari 50 Gulden per pikul menjadi 12 Gulden per pikul sedangkan harga kopi di pasar dunia sangat tinggi. Alasan diterapkannya aturan baru ini adalah untuk mencegah penggunaan uang untuk pembelian senjata di kalangan masyarakat (Breman, 2014).
VOC Tamak Rakyat Semakin Sengsara
Permintaan kopi di pasar dunia yang terus meningkat, rupanya tidak membuat VOC merasa puas. Setelah menurunkan harga beli kopi dari rakyat, VOC dibantu para bupati yang turut menikmati keuntungan, masih menggunakan cara-cara licik untuk kepentingan serta tujuan mereka sendiri.
Ketamakan memang tak ada obatnya. Tidak puas dengan menurunkan harga beli kopi, pada tahun 1764 ukuran berat satu pikul kopi untuk pengapalan adalah 126 pon, namun dengan alasan penyusutan VOC mewajibkan rakyat untuk menyetor sebanyak 140 pon per pikul. Dengan kenyataan tersebut, artinya VOC dan kroninya mendapatkan keuntungan sebesar 14 pon per pikul, berbanding terbalik dengan rakyat yang semakin tercekik, dengan harga beli yang semakin rendah.
Kelicikan VOC semakin menjadi, berbagai upaya dilakukan oleh para pejabat di lapangan guna mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Dengan bantuan dari para kepala daerah yang turut menikmati keuntungan dengan cara-cara licik tersebut, lagi-lagi mereka mereka memberlakukan aturan secara sepihak.
Pada tahun 1777 mereka memperkenalkan pembedaan yang “mutakhir” antara bergse pikoel atau pikul gunung dan pikul Batavia. Dengan perhitungan penerimaan pengapalan yang sama sebesar 126 pon, tetapi rakyat dikenakan hitungan pikul gunung antara 200 hingga 300 pon, namun menerima pembayaran dengan ukuran pikul Batavia yang tentu saja semakin membuat rakyat terjepit dan semakin menderita (Furnivall, 2009).
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #1
NGULIK BANDUNG: Gedung PGN Braga, Bukti Bandoeng Pernah Punya Jaringan Gas Dalam Kota di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG : Buitenzorg, Kota Pertama Pembudidaya Buah Nanas Khas Bandung Barat
Meredupnya Kejayaan Kopi Priangan
Terus menerus mendapat perlakuan tak adil dari VOC serta antek-anteknya membuat rakyat tak lagi semangat menanam kopi, bahkan merasa muak. Monopoli serta aturan sepihak yang dilakukan VOC untuk perdagangan kopi ini membuat rakyat akhirnya malas untuk menanam dan menyetorkan hasil jerih payah mereka pada VOC.
“Pembelotan” yang dilakukan oleh rakyat semakin meluas, rakyat benar-benar mogok untuk menyetorkan hasil panen mereka, walau ancaman hukuman berat di depan mata. Petani lebih memilih untuk membakar, menimbun, bahkan membuang hasil panen dan mengabaikan perkebunan kopi mereka daripada menyetorkannya ke gudang-gudang VOC.
VOC menyadari keinginan membelot dari rakyat sangatlah besar, karenanya mereka merasa perlu untuk menempatkan pejabat yang dapat mengawasi rakyat secara langsung. Ditunjuklah pejabat untuk urusan pribumi yang disebut Gecommitteerde tot de Saecken der Inlanderen atau disingkat Komitir. Komitir inilah yang mengawasi perilaku pribumi dalam pertanian kopi, sehingga pribumi yang sudah kecewa hingga malas menanam kopi tidak bisa kabur dari sistem pertanian wajib ini.
Betapa pentingnya tugas seorang Komitir bagi VOC, sehingga pada tahun 1745 VOC mengeluarkan instruksi untuk memberi penghormatan secara militer khusus saat Komitir mengunjung pos-pos luar (Lasmiyati,2015 ; Bremen, 2014). Hal tersebut diniatkan VOC untuk memberi “penghargaan khusus” dengan tujuan untuk “menyuap” para Komitir agar setia menjalankan tugas mereka.
Komitir memang bukan pejabat yang ditetapkan secara resmi, namun ia menjadi bawahan langsung dari Gubernur Jenderal. Gaji para Komitir sebenarnya rendah, namun ia memiliki fungsi, tugas, bahkan wewenang yang sangat luas melampaui gaji mereka. Saking berwenangnya pejabat ini, hingga para bupati harus melalui Komitir untuk berkomunikasi dengan Gubernur Jenderal.
Para Komitir inilah yang bekerja sebagai “anjing penjaga” VOC untuk mengawasi para pekerja pribumi. Untuk mendapat penilaian yang baik dari VOC inilah, para Komitir bekerja lebih galak dari tuannya sendiri. Gaji rendah tidak membuat para Komitir ini kecil hati, dengan kekuasaan yang ada, bahkan mereka dapat mengontrol para bupati. Karena itulah, dengan senang hati para bupati bekerja sama untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menekan rakyat.
Betapa tidak adilnya para pejabat ini di atas rakyat. Cara-cara keras terus mereka lakukan untuk menekan rakyat, dengan tujuan keuntungan sebesar-besarnya. VOC dan para anteknya hidup berkelimpahan dan rakyat sudah kepalang muak. VOC tidak menyadari perilaku inilah yang menyebabkan meredupnya pertanian kopi di Priangan dan blunder bagi perusahaan dagang ini di kemudian hari.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman.