• Opini
  • Tepatkah Buku G30S Sebelum & Sesudah untuk Guru dan Pelajar SMA?

Tepatkah Buku G30S Sebelum & Sesudah untuk Guru dan Pelajar SMA?

Buku G30S Sebelum& Sesudah karya Nina H. Lubis diperuntukkan untuk referensi bagi guru dan pelajar SMA. Ada masalah pada teknis penulisan dan pengutipan sumber.

Anton Solihin

Penikmat sepak bola dan Persib, mengelola Perpustakaan Batu Api di Jatinangor

Buku G30S Sebelum & Sesudah karya Nina H. Lubis. (Foto: Anton Solihin)

14 November 2024


BandungBergerak.id – Tokoh Geografer yang mengaku terpelajar tetapi tidak tahu apa-apa hanya karena senang bertengger di menara gading, terlalu mengotak-ngotakkan pengetahuan dan tanggung jawab. Pangeran Kecil berkomentar, “Dia berulang kali berkata kepada dirinya, Aku orang yang serius! Aku orang yang serius! Dan ini membuatnya membengkak sombong. Tetapi dia bukan orang -dia jamur!”(Antoine de Saint Exuperie, Pangeran Kecil)

*

Belum lama ini saya menemukan buku "sangat bermasalah”. Buku dengan tema sangat serius yang seharusnya digarap dengan serius.

Ceritanya begini. Sejarawan akademis Nina H. Lubis (selanjutnya ditulis: NH) menulis buku terkait peristiwa G30S. Buku ini dibiayai sebagaimana tertulis pada bagian pengantar - berasal dari CSR Bank Jabar-Banten, dengan pengantar oleh Ahmad Heryawan (gubernur Jawa Barat saat buku ini terbit tahun 2012).

Penerbitnya tampak berwibawa: YMSI (Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia) Cabang Jawa Barat. Muncul pertanyaan, apa beda YMSI dengan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) yang dikenal luas memayungi para sejarawan?

Pada bagian pengantar, si penulis membuat pernyataan-pernyataan "menarik" semacam ini:

"... puji syukur..., tulisan yang cukup sulit ini dapat diselesaikan. Mengapa penulis menyebutnya sulit? Karena G30S adalah masalah yang tidak sederhana, rumit. Namun semuanya harus ‘disederhanakan’, karena buku ini memang dimaksudkan untuk bacaan bagi siswa-siswa SMU dan juga guru-guru SMU." (halaman vii). Untuk selanjutnya angka  saja yang dipakai untuk halaman yang dirujuk pada tulisan.

Pernyataan semacam itu dan mengenai sasaran penggunaan buku ini untuk kebutuhan siswa SMA (kadang ditulis SMU) dan guru-guru se-Jawa Barat diulangi si penulis dalam sebuah acara di Aula PSBJ FIB Unpad Jatinangor (21 Maret 2016) (Untuk ini kebetulan saya menyimpan rekaman videonya).

Lalu kata-kata ini: "Beberapa tahun terakhir ini, kita membaca di jejaring sosial, berbagai komentar, opini, tentang Peristiwa G30S, yang kadang-kadang memutarbalikkan fakta" (halaman 1).

Juga pernyataan ini: "Dengan metode sejarah kritis, paling tidak rekonstruksi sejarah harus diusahakan bersifat obyektif" (halaman 2).

Dengan semua catatan, keterangan dan pernyataan si penulis di atas, dalam pandangan awam sekilas kelihatannya buku ini  diharapkan tampak ilmiah tetapi ditulis dengan bahasa popular, “ringan”, istilah penulisnya.

Perlu penekanan  kata-kata menarik ini: “..rumit, sulit, memutarbalikkan fakta & rekonstruksi sejarah harus diusahakan bersifat obyektif.”  

Mari kita uji!

Sebelumnya harus dipaparkan pernyataan si penulis berikut ini:

"Buku ini kebanyakan mengambil bahan dari buku Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional. Ditulis 15 orang sejarawan tahun 2012, dimana penulis ikut menulis sebanyak 2 (dua) bab." (halaman vii-viii)

Seperti kita bisa baca pada pernyataan si penulis di atas, sebagian isi buku memang penuh pengutipan ulang begitu saja dari buku dimaksud, sebagai berikut (semuanya ditulis … dalam Abdullah, ed.). Contohnya penulisan pengutipan “(Ambarwulan dan Kasdi dalam Abdullah, ed. 2012:137-138)” di halaman 44 buku tersebut. Pengutipan buku tersebut untuk “Ambarwulan dan Kasdi” dapat ditemukan di halaman lainnya, yakni halaman 45,71,72,78,80,82,85,87,88,89,90,91,94,95. Tidak hanya itu saja, pengutipan ulang “Narni” ada pada halaman 46,104; Ibrahim pada halaman 47,106; “Kasdi” pada halaman 48,49,59; “Krisnadi” pada halaman 48,49,111; “Sulistyono” pada halaman 65,66,109; “Djamhari” pada halaman 70,74; Sufi pada halaman 103; Gunawan pada halaman 106,108,109); “Ardhana dan Wirawan” pada halaman112,113; dst.

Juga untuk “Bab VI - Dampak Peristiwa Gerakan 30 September di Jawa Barat”, hanya penulisan ulang, sebagaimana pernyataan si penulis sendiri di bawah ini.

Disebutkan dalam catatan kaki: “Tulisan ini sudah dimuat dalam buku Sejarah Tatar Sunda Jilid 2 (2003) dan edisi revisinya dalam buku Sejarah Propinsi Jawa Barat, Jilid 2 (2011), yang merupakan edisi revisi dari buku di atas. Selain itu, sebagian tulisan ini sudah dimuat dalam buku Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional (2012) yang dieditori oleh Taufik Abdullah, dkk.

Dengan begitu pembaca tulisan ini diingatkan bahwa sebagian isi buku ini hanya pengutipan ulang buku-buku tadi. Jadi, sebetulnya "tidak ada yang sulit atau rumit".

Nah, menarik untuk mengetahui bagaimana jalan pikiran tersisa si penulis dalam “merancang” isi buku ini.

Halaman 13 buku G30S Sebelum & Sesudah karya Nina H. Lubis. (Foto: Anton Solihin)
Halaman 13 buku G30S Sebelum & Sesudah karya Nina H. Lubis. (Foto: Anton Solihin)

Baca Juga: BUKU BANDUNG #68: Potret Gerakan Mahasiswa Bandung 1960-1967
BANDUNG HARI INI: G30S Meletus di Jakarta, Situasi Sepi yang Ganjil di Kota Kembang
Panggung Sejarah Gerakan Anti Fasis

Teknis Penulisan

Sampai di situ, apakah masalah buku ini hanya pada urusan pengutipan-pengutipan ulang di atas dan penulis menyalin ulang tulisannya sendiri (sebagaimana Bab VI)?  Oh, tentu tidak!

Pertama kita periksa acak apa saja foto atau gambar yang digunakan, sebagaimana contoh berikut:

HOS Tjokroaminoto. Sumber: diakses dari http://kolom-biografi.blogspot.com/2012/03/biografi-cokroaminoto-pahlawan.html, tanggal 25 November 2012, pkl.09.55 WIB

atau:

DN Aidit. Sumber: diakses dari http://maulanusantara.wordpress.com/2011/07/02d-n-aidit/ tanggal 2 November 2012 pukul 10.45 WIB

Dari dua contoh di atas, dalam dunia akademis, pencantuman sumber-sumber seperti itu menyimpan persoalan. Misal saja mengenai sumber foto tersebut, ini terkait dengan izin penggunaan foto, hak cipta, dll. Soal semacam itu tentu bukan hal yang remeh.

Berikutnya, kita akan menemukan lagi masalah pada cara penulisan.

Buku Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto karya Roeder O.G. (Foto: Anton Solihin)
Buku Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto karya Roeder O.G. (Foto: Anton Solihin)
Pada “Daftar Sumber” di halaman 155 misalnya ditulis “Roeder O.G. tt. Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto. Jakarta: Gunung Agung.” Setelah dicek buku dimaksud, tahun terbit jelas tertulis: 1976. Mengapa dituliskan  tt. (tanpa tahun)?

Contoh lain, pada bagian “Surat Kabar/Majalah”, hanya ditulis Kompas. Yang dimaksudkan, Kompas yang mana? Artikel apa? Siapa penulisnya? Kapan tahun terbit, dst.?

Halaman 155 buku G30S Sebelum & Sesudah karya Nina H. Lubis. (Foto: Anton Solihin)
Halaman 155 buku G30S Sebelum & Sesudah karya Nina H. Lubis. (Foto: Anton Solihin)

Berikutnya, dengan menyisir halaman per halaman, kita akan menemukan nama penulis atau judul buku  namun kita sama sekali tidak menemukannya pada “Daftar Sumber” yang seharusnya menjadi rujukan untuk mencari referensi dari penulis dan buku yang disebutkan pada buku itu.

Berikutnya penulis mengutip kalimat-kalimat pada banyak halaman (sangat massif) dari:

Anwar dalam Lubis, 2011 (halaman 124); Sundhaussen dalam Lubis, 2011  (halaman 125); Bahar, et al, 1995 (halaman 60); Berita Indonesia (10 November 1947) (halaman 20);  Brackman, Arnold 1963 (halaman 25); Dokumen PRRI (halaman 66); Giebels, Lambert (halaman 51, 54); Indonesia Menggugat, Pidato Pembelaan Bung Karno) (halaman 55, 56, 57); Kahin, John Mc Turnan 1966 (halaman 30)...1969 (halaman 20); Legge, J.D. 1985 (halaman 52, 53, 54, 55, 56); Manai Sophiaan (halaman 4); Marboen (halaman 33); Scott, Peter Dale 1985 (halaman 59); Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1984 (halaman 120); Nasution, 1968 (halaman18, 19); Nasution, 1966 (halaman 37); Nasution, 1966 (halaman58); Oei Tjoe Tat (halaman 4); Poesponegoro dan Notosusanto, 1993 (halaman 21, 61, 63, 64); Pringgodigdo, AK 1977 (halaman 10, 11, 13, 14, 15, 16); Ricklefs, Merle 1200 - 2004 (halaman 9, 10, 11, 13, 14, 16, 30, 39, 41, 43, 44, 47, 50, 83, 88, 100, 101,102, 110, 118, 119, 120, 123); Robinson, Richard 1995 (halaman 113); Roeder, OG. tt. (halaman 119, 125) 1976; Saleh, 2000 (halaman 63); Sekretariat Negara, 1994 (halaman 22, 24, 38, 39, 40, 96, 97, 99, 100, 101, 116, 117, 118, 119); Smail, John 1964 (halaman 61); Soerojo, 1988 (halaman 60); Sundhausen, Ulf, 1988 -1986 (halaman 24); Sutanto, 1994 (halaman 37, 38); Tim Penyusun Jawa Pos, 1990 (halaman 21, 23, 30).

Mengherankan memang, terdapat 91 kutipan tetapi kita tidak menemukan pada referensi (Daftar Sumber) siapa orang-orang ini, atau  kutipan dari buku-buku apa saja?

Buku Indonesian Communism a History karya Arnold C. Brackman. (Foto: Anton Solihin)
Buku Indonesian Communism a History karya Arnold C. Brackman. (Foto: Anton Solihin)

Salah Kutip?

Apakah hanya itu? Tidak juga.

Begitu banyak pengutipan yang meragukan. Sebagai refleksi, kita ambil secara acak tiga contoh berikut, pengutipan penulis terhadap buku Brackman,  Sundhausen, dan M.C. Ricklefs .

Dikatakan "Sementara Setiadjit, Maroeto Daroesman, Abdoel Madjid, Tamzil, dan Moelawadi kembali ke Indonesia sekitar pertengahan 1946 setelah lama tinggal di Belanda", dari buku  Arnold Brackman (Indonesian Communism, 1963: 55-56) (halaman 25). Brackman dalam bukunya menulis begini: "In periods '45-'46...". itu artinya dalam periode antara 1945 sampai 1946. Tentu tidak diartikan "pertengahan 1946." Itu belum cukup. Di halaman yang sama disebut nama Tamzil dan Moelawadi, tetapi  Brackman sama sekali tidak menyebut nama-nama tersebut.

Buku Politik Militer Indonesia 1945-1967 karya Ulf Sundhaussen. (Foto: Anton Solihin)
Buku Politik Militer Indonesia 1945-1967 karya Ulf Sundhaussen. (Foto: Anton Solihin)

Selanjutnya, pada halaman 24 disebutkan bahwa "RE-RA bidang pertahanan ini dipandang oleh sayap kiri sangat merugikan mereka karena 90.000 orang anggota TNI Bagian Masyarakat akan dikembalikan ke kehidupan sipil." Sebelum kalimat tersebut, penulis menulis ini “Tujuan terakhir sangat penting dilakukan oleh pemerintah karena menurut Ulf Sundhausen (1988: 63-64) kesatuan-kesatuan tempur, khususnya yang berasal dari laskar, sudah menguasai daerah-daerah kantong Republik dan mereka secara mandiri menempuh kebijakan mereka masing-masing.” Buku Ulf Sundhausen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, yang dirujuk penulis ditulisnya dengan tahun terbit 1988, buku tersebut sebetulnya terbit tahun1986. Jika “RE-RA bidang pertahanan dst.” disarikan dari rujukan buku Sundhausen (1988: 63-64), bolak-balik dicari tidak ada penjelasan tersebut. Dari mana sumbernya?

Buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 karya M.C. Ricklefs. (Foto: Anton Solihin)
Buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 karya M.C. Ricklefs. (Foto: Anton Solihin)

Kemudian untuk pengutipan buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 tulisan M.C. Ricklefs –kekacauan amat masif. Yakni:

Awal kelahiran Partai Komunis Indonesia (hal. 9) yang katanya mengutip “Ricklefs, 2005: 359” –tidak ditemukan  paparan seperti itu.

Pernyataan senada (tidak ada kutipan dimaksud) untuk buku Ricklefs juga kita temukan  pada halaman 10, 11, dan 16.

Tiba-tiba ada kutipan dari “Ricklefs 2002: 459” di halaman 30. Buku Ricklefs apa yang terbit tahun 2002?

Pada halaman 44 dipaparkan bahwa “Pada tahun 1957 inilah, seorang anggota rahasia PKI bernama Sjam Kamaruzzaman mulai menyusup ke tubuh militer. PKI juga menyusup ke kalangan veteran. Namun, KSAD Nasution berhasil mempersatukan para veteran ke dalam satu lembaga sehingga PKI harus kecewa karena usaha mereka terganjal (Ricklefs, 2005: 513).” Setelah dicari, uraian soal Sjam tersebut ditemukan di buku Ricklefs halaman 512, di halaman 513 paparan soal upaya Nasution menyatukan para veteran.

Apakah masalah pengutipan tersebut sepele?

Barangkali ada yang menganggap permasalahan di atas enteng saja. Masalahnya, penulis adalah seorang akademisi yang seharusnya cermat untuk soal pengutipan sumber.

Sebetulnya permasalahan penulis menulis buku dengan cara semacam ini bukan yang pertama.

Jauh sebelum tulisan ini, Ajip Rosidi sudah menulis kritik pedas dan blak-blakan dalam artikel “Membaca Sejarah Tatar Sunda” (181-208) dan dimuat pada buku Fatimah In West Java (Pusat Studi Sunda, 2004). Dalam buku itu, si penulis buku ini menjadi ketua tim penulisan. Silakan memeriksa juga buku  Mengapa Saya Mengembalikan Hadiah Habibie? (Pustaka Jaya, 2019). Hingga hari ini tidak pernah ada tanggapan yang pantas dan bersifat akademis terhadap artikel dan buku Ajip Rosidi tersebut.

Saya juga mengecek salah satu tulisan yang lebih baru, Panjalu dari Masa Ke Masa (YMSI: 2019), dan coba secara acak memeriksa Bab III - Kadaleman Panjalu. Idem, ditemukan masalah dalam pengutipan sumber.

Melalui cara penulisan sebagaimana yang diuraikan  di atas, bagaimana kandungan buku dimaksud, yakni substansi yang dibahas (G30S istilah si penulis)?

Saya ingatkan kembali kutipan pernyataan penulis di bagian Pengantar:

"Mengapa penulis menyebutnya sulit? Karena masalah G30S adalah masalah yang tidak sederhana, rumit. Namun semuanya harus disederhanakan, karena buku ini memang dimaksudkan untuk bacaan bagi siswa-siswa SMU dan juga guru-guru SMU." (halaman vii)

Saya terus mengulang-ulang kalimat di atas untuk pengingat bagi pembaca artikel ini termasuk kutipan pernyataan Ahmad Heryawan dalam kata pengantar:

"...buku yang disusun secara rinci, mudah, dan sederhana…saya kira sangat tepat untuk dijadikan bahan bacaan sekaligus sumber referensi bagi pelajar terkait sejarah yang terjadi di Indonesia pada masa lampau."  (halaman vi)

Patut jadi renungan, bagaimana benak para guru dan siswa SMA dengan mengetahui detail ini.   

Meski sudah bisa menduga jawabannya, tetaplah menarik menjadi pertanyaan (yang amat mendasar). Pertanyaan itu, sebetulnya apa tujuan ditulisnya buku ini? Kemudian, apa yang si penulis pikirkan soal guru-guru dan pelajar SMA yang dikatakannya menjadi sasaran pembuatan buku ini, saat mereka membacanya?

Oya, harus diingat bahwa yang "sejarawan akademis" ini kerjakan ada dalam ranah, institusi  atau dunia pendidikan –yakni universitas. Perlu diingatkan bahwa pendidikan adalah dasar dari segala hal: kemajuan peradaban, etika, moral, agama, dst.

Sebagaimana kalimat yang ditulis si penulis pada halaman terakhir buku ini (halaman 151), “nasi sudah menjadi bubur”, tercermin di sini –buku ini sudah terbit dan tidak bisa ditarik ulang!

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Anton Solihin atau artikel-artikel lain tentang Resensi Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//