BANDUNG HARI INI: G30S Meletus di Jakarta, Situasi Sepi yang Ganjil di Kota Kembang
Pada masa Orde Baru, film G30S rutin diputar. Di hari Gestapu, situasi Bandung sepi, tetapi militer dalam kondisi bersiap.
Penulis Tri Joko Her Riadi30 September 2023
BandungBergerak.id - Bandung setiap tanggal 30 September pada masa Orde Baru berkuasa sama mencekamnya seperti di daerah-daerah lain di Indonesia. Tanggal ini merupakan momen yang disakralkan. TVRI sebagai satu-satunya televisi yang ada, rutin menyiarkan film Gerakan Tigapuluh September (G30S). Film ini tentu ditonton banyak kalangan, tak terkecuali anak-anak yang menonton sambil ketakutan.
Pascareformasi 1998, film garapan sutradara Arifin C. Noor tersebut tak lagi wajib diputar. Belakangan, film ini kembali disiarkan televisi swasta seperti TV One. Beberapa komunitas juga tercatat pernah nonton bareng film jenis thriller dengan latar sejarah ini. Pada 30 September 2010 sebuah komunitas di Bandung memutar film berjudul Penghianatan G30S/PKI tersebut di Gedung Indonesia Menggugat.
Pascareformasi pula beragam penelitian dan penafsiran sejarah tentang Gestapu (sebutan lain untuk G30S) banyak bermunculan dengan sudut pandang masing-masing. Sebutan gerakan ini sendiri sidikitnya ada tiga istilah, selain G30S dan Gestapu, ada juga Gestok kependekan dari Gerakan Satu Oktober yang dibuat Sukarno dengan dalih bahwa peristiwa berdarah pembunuhan 6 jenderal ini terjadi pada 1 Oktober dini hari, dan bukan 30 September.
Film Penghianatan G30S/PKI sendiri merupakan film dokumenter dari sudut pandang tunggal, yaitu Orde Baru, khususnya Suharto. Setelah reformasi, tidak ada lagi sudut pandang tunggal itu. Suatu peristiwa mahabesar yang mengubah peta kekuasaan nasional tentunya memiliki dimensi sangat kompleks dan multitafsir seperti halnya G30S. Untuk melihat beragam sudut pandang dan pelbagai fakta seputar Gestapu, kita bisa mendapatkan cukup mudah di internet.
Yoseph Yapi Taum, dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, dalam karya ilmiahnya menyampaikan pandangannya tentang film G30S. Dalam Tulisan Berjudul “Lubang Buaya: Mitos dan Kontra-Mitos”, Yoseph menyatakan tanggal 30 September dan 1 Oktober menjadi hari-hari yang ‘dikeramatkan’ oleh rezim Orde Baru.
“Selalu ada seremoni ritual formal yang dirayakan secara hikmat. Tanggal 30 September diperingati sebagai Hari G30S/PKI dan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila,” demikian tulis Yoseph Yapi Taum, diakses Sabtu, 30 September 2023.
Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Spirit Konferensi Asia Afrika dalam Perangko dan Radio
BANDUNG HARI INI: Hoaks Pemukulan Ratna Sarumpaet, Mewaspadai Kabar Bohong di Tahun Politik
Bandung Hari Ini: Gugum Gumbira dan Kontroversi Jaipongan
“Pada tanggal 30 September, masyarakat Indonesia mengenang dengan penuh kesedihan peristiwa pembantaian di Lubang Buaya. Bendera dinaikkan setengah tiang. Tanggal 30 Setiap malam tanggal 30 September, TVRI menyiarkan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan sutradara Arifin C. Noor,” lanjut Yoseph.
Yoseph menelaah film Pengkhianatan G30S/PKI dari sudut pandang kritis. Menurutnya, film ini secara sangat ’luar biasa’ mengkultuskan pribadi Suharto sebagai tokoh penyelamat bangsa. Yoseph kemudian mengutip keterangan Eros Djarot yang menyatakan bahwa film ini merupakan sebuah rekonstruksi visual yang dicomot langsung dari kepala Suharto, superhero satu-satunya dalam film tersebut.
Pada masa Orde Baru berkuasa, “memberi kesaksian yang berbeda dari versi tersebut akan sama mencekam dengan menyeberangi sepetak tanah lapang yang ditebari ranjau pada setiap incinya (Djarot, 2006: 4). Versi yang diindoktrinasikan selama 32 tahun berkuasanya Soeharto ini sangat sulit diubah,” demikian tulis Yoseph.
Dikisahkan bahwa pada tanggal 4 Oktober, Suharto memimpin kegiatan pengangkatan jenazah para jenderal dari dalam sumur tua. Suharto digambarkan dengan jelas sebagai pahlawan penyelamat bangsa, sebaliknya PKI digambarkan benar-benar bukan hanya sebagai kriminal tetapi lebih dari itu sebagai pengkhianat bangsa.
“Sejak lengsernya Soeharto, film itu secara resmi dihentikan penayangannya. Orang kemudian bertanya-tanya, mengapa film itu dihentikan penayangannya? Apa yang salah dengan film itu? Bukankah film itu sebelumnya selalu dikesankan sebagai versi yang paling sahih dalam kaitan dengan kebenaran sejarah?” ungkap Yoseph.
Bandung setelah 30 September 1965, Kesaksian Suparman Amirsyah
Peristiwa gelap yang terjadi pada malam 30 September dan 1 Oktober dini hari tahun 1965 di Jakarta dampaknya sangat luas. Gerakan ini diinisiasi Resimen Tjakrabirawa dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berakhir dengan pembunuhan 6 jenderal dan seorang letnan satu. Dalang gerakan ini sampai saat ini masih menjadi misteri karena ada banyak versi.
Esoknya, 1 Oktober 1965 pagi, kebingungan terjadi di mana-mana. Tak terkecuali di Bandung. Informasi tentang apa yang terjadi di Jakarta masih sangat simpang-siur.
Bukan hanya apa yang sebenarnya terjadi dan siapakah para pelakunya, keberadaan dan nasib Presiden Sukarno juga menjadi perbincangan. Orang bertanya-tanya apa yang mungkin akan terjadi kemudian, menyusul insiden tiba-tiba tersebut.
Suparman Amirsyah dalam buku memoar “Sebuah Catatan Tragedi 1965: Dari Pulau Buru sampai Mekah” (2006) menggambarkan suasana di Kota Bandung pada 1 Oktober 1965. Suparman merupakan pemimpin umum harian Warta Bandung yang dituduh dekat dengan kelompok kiri.
Sebagai jurnalis, Suparman wajib mengikuti setiap perkembangan yang terjadi. Apalagi iklim politik nasional di bulan-bulan itu memang sedang panas-panasnya. Pagi itu ia mendapat kabar mengejutkan dari berita radio bahwa Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Letkol Untung telah mengambil alih kekuasaan.
Rumor tentang akan adanya kudeta yang dilakukan oleh Dewan Jenderal memang sudah beredar lama di kalangan jurnalis. “Tapi mengenai Dewan Revolusi memang ini betul-betul suatu kejutan yang tidak terduga,” tulis Suparman.
Bandung Dicekam Sepi
Hari itu Suparman berjalan ke kantornya dan mendapati suasana kota yang demikian sepi. Ia berkantor di Jalan Naripan, kawasan Braga. Di sinilah harian Warta Bandung beroperasi.
Ia kemudian sengaja melintas di beberapa ruas jalan utama di jantung kota. Juga sepi dan lengang.
“Suasana kota hari Jumat itu betul-betul sepi. Nyenyet. Saya coba menelusuri jalan-jalan di pusat kota, mulai Jalan Braga terus ke utara ke halaman Balai Kota Bandung, belok kiri ke Jalan Wastu Kencana, rumah kediaman Panglima kodam Siliwangi,” tulis Suaprman.
Dalam buku setebal 343 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Nuansa Bandung tersebut, Suparman menceritakan suasana serupa saat ia melintas di Wastu Kencana, Jalan Riau (Jalan R.E Martadinata), lalu berbelok ke Jalan Aceh sebelum kembali lagi ke kantor.
Ketika hendak kembali pulang ke kantor, ia bertemu dengan Ramadhan K.H, jurnalis sekaligus seniman. Mereka lalu berbincang di sebuah warung bakso Gang Telepon, Jalan Braga, tentang tentang kabar yang terjadi di Jakarta.
Mereka sudah tahu bahwa sebuah peristiwa besar telah meletus di Ibu Kota, namun segalanya masih samar.
“Tapi hanya sekadar berandai-andai karena kebetulan sama-sama tidak memperoleh informasi yang jelas sebelumnya. Bahwa rumor tentang akan adanya kudeta yang dilakukan oleh Dewan Jenderal memang di kalangan wartawan sudah beredar lama. Tapi mengenai Dewan Revolusi memang ini betul-betul suatu kejutan yang tidak terduga,” tulis Suparman.
Militer Siaga
Ada yang ganjil dari suasana sepi Kota Bandung waktu itu. Memang orang tak banyak hilir-mudik seperti biasanya, tetapi Suparman mengamati betapa ketatnya penjagaan oleh militer di beberapa lokasi strategis.
Di depan pintu gerbang rumah kediaman Pangdam Siliwangi yang ketika itu dijabat Ibrahim Adjie, misalnya, sebuah panser siaga dengan meriam-meriamnya dihadapkan ke jalan raya.
Pemandangan serupa tampak di Markas Besar Kodam Siliwangi. Selain dijaga para tantara yang siap tempur, tiga panser disiapkan.
“Beberapa panser siaga di sepanjang markas Kodam, di depan, kiri, dan kanannya. Tentara yang siap tempur dengan helm dan senjata bayonet terhunus nampak siaga mengawasi setiap gerak-gerik yang terjadi,” tulis Suparman.
Kegentingan di hari-hari pertama setelah peristiwa G30S itu menjalar ke mana-mana. Menyusul peristiwa G30S, terjadi penangkapan besar-besaran terhadap semua nama yang dituding menjadi bagian dari PKI, partai tertuduh pelaku utama upaya kudeta.
Di Bandung, ribuan orang dijebloskan ke penjara. Sebagai jurnalis di koran kiri Warta Bandung, Suparman masuk dalam pusaran penangkapan ini.
Ia ditahan di Kebon Waru, tetapi mengaku tidak mengalami satu kali pun siksaan fisik. Namun ada para tahanan politik lain yang mengalaminya. Suparman melihatnya sendiri atau mendengar dari kesaksian sesama tahanan.
Bagi Suparman, penderitaan yang muncul selama proses penangkapan ini adalah kepergian dua anggota keluarganya. Pertama, si sulung berumur delapan tahun meninggal karena sakit difteri. Berikutnya, sang istri meninggalkannya untuk kawin dengan orang lain. Kabar yang membuat Suparman pingsan.
“Setelah peristiwa itu, selama berbulan-bulan saya mengalami depresi berat. Dada rasanya seperti ditindih batu besar,” tulisnya.
Dari Kebon Waru, Suparman bersama ribuan tahanan politik lain dikirim ke Pulau Buru. Ia menghabiskan delapan tahun hidupnya di kamp konsentrasi ala Orde Baru.
Ibrahim Adjie Loyalis Sukarno
Peristiwa G30S merupakan tonggak menentukan yang mengubah perjalanan bangsa. Itulah insiden yang diyakini sebagai salah satu awal keruntuhan kekuasaan Sukarno sebagai presiden Republik Indonesia. Suharto kemudian berkuasa selama 32 tahun.
Di sepanjang pemerintahan Suharto yang otoriter, berulang kali terjadi peristiwa berdarah dalam skala yang berbeda-beda. Peristiwa G30S kemudian diikuti dengan pembantaian massal yang sampai hari ini masih menyisakan trauma mendalam. Jumlahnya tidak pernah bisa dipastikan, namun ada beberapa pernyataan yang menyebut angkanya mencapai paling sedikit 500 ribu orang.
Mereka yang namanya dikaitkan dengan PKI, partai merah yang dituding mendalangi G30S, mengalami penyiksaan yang mengerikan. Setelah Suharto dengan Orde Baru-nya tumbang pada Mei 1998, barulah orang bisa membaca dan menyaksikan banyak kisah, riset, atau memoar tentang kejahatan kemanusiaan tersebut.
Salah satu fakta sejarah menarik terkait G30S dan peristiwa-peristiwa yang mengikutinya adalah sedikitnya—untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali—kasus pembantaian massal pengikut PKI di Jawa Barat. Gelombang ‘pembersihan’ itu menyapu Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Namun, tidak Jawa Barat. Nama Ibrahim Adjie disebut-sebut berperan besar dalam mencegah pembantaian.
Suparman mengisahkan Ibrahim Adjie sebagai loyalis Sukarno. Di saat kabar G30S menyeruak, sang jenderal mengeluarkan pengumuman agar siapa pun yang mengetahui keberadaan Sukarno segera melaporkannya ke Kodam Siliwangi.
Dalam buku “Mengapa G30S PKI Gagal: Sebuah Analisis” (2005) karangan Mayjend (Purn) Samsudin, dikisahkan bagaimana Ibrahim Adjie mengumpulkan pejabat sipil, militer, serta pimpinan partai politik dan organisasi massa di aula Kodam, di Bandung. Kesimpulannya bulat: rakyat Jawa Barat mendukung Bung Karno.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tri Joko Her Riadi, atau membaca artikel-artikel menarik lain tentang Partai Komunis Indonesia (PKI)