NGABANDUNGAN: Komedi Kemiskinan dalam Lakon Tengul
Pertunjukan teater Tengul mempertontonkan parade kemiskinan rakyat kecil. Dipentaskan sepekan sebelum bangunan Gedung Kesenian Dewi Asri Bandung terbakar.
Iman Herdiana
Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].
17 Juni 2023
BandungBergerak.id – Bencana kebakaran terjadi di Gedung Kesenian Dewi Asri Selasa (13/6/2023) pagi. Kabar ini bagi saya memberikan kejutan tersendiri, antara percaya dan tidak. Baru sepekan lalu, tepatnya Kamis (8/6/2023) malam, saya nonton teater Tengul di gedung yang kini tinggal rangka-rangka gosong.
Sebelumnya, terutama sebelum pagebluk, beberapa kali saya sempat menonton lakon-lakon menarik di Dewi Asri. Gedung pertunjukan ini berperan penting bagi proses kreatif benih-benih baru di dunia seni peran. Bagi orang-orang pertunjukan, keberadaan gedung dan panggung ibarat kanvas dan kuas bagi seorang pelukis, tak mungkin tergantikan.
Lakon Tengul sendiri merupakan garapan sutradara Zafira Syahidah bersama mahasiswa-mahasiswi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung dalam rangka tugas akhir kuliah mereka. Bisa dibilang, Dewi Asri tempat menggodok mahasiswa sebelum mereka masuk belantara pertunjukan di luar kampus.
Tengul bukan lakon teater biasa. Naskah teater ini dibikin seniman masyhur Arifin C. Noor. Dari arti judul lakonnya, karya ini dekat dengan nasib yang dialami rakyat kecil seperti pasangan suami istri Korep dan Turah, tokoh-tokoh utama di dalam lakon. Mereka setiap malam tidur bersama kekecewaan dan harapan semu pada mesin terkutuk lotre.
Kemiskinan yang menggerogoti kehidupan Korep dan Turah tinggal menyisakan baju yang melekat. Hanya mesin lotre dan mimpi kaya mendadak yang bikin semangat hidup mereka tetap menyala, meskipun hari itu, di atas panggung judi Dewi Asri, angka yang mereka pasang tak tembus dan tidak akan pernah tembus.
Kata tengul dalam judul lakon barangkali berasal dari bahasa Jawa, yaitu thengul. Laman kemdikbud.go.id mencatat, thengul berasal dari kata methentheng dan methungul (artinya kurang lebih: terlihat mencolok) yang mengacu pada wayang thengul, kesenian rakyat yang hidup di Jawa Tengah. Wayang thengul memiliki bentuk tiga dimensi seperti wayang golek.
Kemunculan kesenian wayang thengul erat kaitannya dengan kebutuhan ekonomi seniman penciptanya, Samijan, dari Desa Banjarjo Kecamatan Padangan. Samijan terinspirasi membuat wayang ini setelah menonton pertunjukan wayang golek menak Kudus pada tahun 1930. Jika wayang menak digunakan sebagai media penyebaran agama Islam, maka di tangan Ki Samijan wayang thengul menjadi media kreatif untuk untuk mencari nafkah. Pada tahun-tahun tersebut perekonomian rakyat lagi sulit-sulitnya.
Ki Samijan lantas berkeliling dari satu desa ke desa lain dengan wayang thengulnya. Wayang ini sering dimainkan di acara hajatan, pernikahan, sunatan, hingga ritual upacara tradisional seperti ruwat dan nazaran.
Pementasan wayang thengul terus mengalami perkembangan signifikan baik pada bentuk maupun pementasan. Para dalang banyak yang berkolaborasi dengan berbagai kesenian lainnya, seperti tarian, ketoprak, campursari, dan seterusnya. Hingga tahun 2014 Kemendikbud mencatat di Bojonegoro terdapat 17 dalang aktif wayang thengul.
Tahun 1991, di Bojonegoro muncul tari thengul yang terinspirasi wayang thengul. Tari thengul kemudian ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia oleh Kemendikbud. Terlepas dari “naik kelasnya” seni yang semula diciptakan Ki Samijan dari kalangan jelata, pertunjukan ini jelas mewakili kondisi zaman yang dirundung kemiskinan.
Selain wayang thengul, banyak sebenarnya kesenian yang lahir dari akar rumput dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Ludruk, ronggeng, obrog-obrog, sintren, ketoprak, berbagai jenis tarian, semuanya lahir dan dirawat di akar rumput. Dari sini saya kira kemiskinan tidak identik dengan kemalasan. Apalagi menuding kemiskinan sebagai lahan subur komunisme. Kemiskinan bisa melahirkan karya seni. Bisa dibayangkan jika kemiskinan ini serius ditangani, maka akan semakin banyak lagi karya seni yang lahir.
Arifin C Noor (1941-1995), seniman kelahiran Cirebon, semasa hidupnya tentu tidak asing dengan kesenian rakyat wayang thengul ini. Sutradara film G 30 S ini cukup lama menyerap budaya Jawa Tengah. Setelah tamat SMA Negeri di Cirebon, ia mengembara ke Surakarta untuk belajar jurnalistik dan kesenian. Di kota ini ia juga bertemu dengan Sapardi Djoko Damono dan W.S. Rendra. Arifin kuliah di Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Tjokroaminoto, Surakarta, hingga tingkat doctoral (Kemendikbud).
Baca Juga: NGABANDUNGAN: Bunga Rawa dan Burung Pelikan
NGABANDUNGAN: Mitos Fesyen Lebaran #1
NGABANDUNGAN: Tafsir Tunggal Pancasila
Wajah Kemiskinan di Atas Panggung
Di tangan sutradara Zafira Syahidah dan kawan-kawannya yang berkolaborasi dengan komunitas seni Celah Celah Langit, lakon Tengul tetap terasa relevansinya. Padahal umur naskah yang mereka garap lebih tua dari usia mereka.
Arifin C Noor menulis lakon ini tahun 1973 ketika negeri ini masih dikuasai rezim otoriter Orde Baru. Namun hingga kini toh kemiskinan dan hidup susah masih dirasakan sebagian besar rakyat di republik ini.
Tengul merupakan lakon kolosal yang melibatkan sedikitnya 15 pemain semuanya mabuk judi. Jika pada masa Orde Baru judi dilembagakan melalui berbagai program resmi sejenis SDSB, Porkas, dll., hari ini undian berhadiah tetap menjamur dalam situs-situs ilegal. Apa pun jenisnya, judi tetap saja ibarat candu yang melambungkan angan-angan dan harapan. Sialnya, rakyat kecil seperti Turah selalu menjadi korban paling menderita.
Suatu hari, Turah (diperankan Irma Maulani) sibuk merencanakan banyak hal jika nomor lotrenya tembus. Hari pertama, ia akan belanja emas dan memamerkan perhiasan itu kepada tetangga sambil mengisap ganja.
Dalam menghadapi naskah Tengul, Zafira melakukan beberapa improvisasi agar alur lakon terasa semakin kekinian. Pada dialog-dialog antartokoh diselipkan kritik-kritik pada isu-isu terkini:
"[Hari kedua] Saya akan pamerkan ke mahasiswa yang kosannya nunggak berbulan-bulan dan pada dosen honorer yang gajinya cuma 1,5 juta sebulan," seru Turah, kepada Korep (diperankan Samuel Leonardi Naibaho), di hadapan penonton yang kebanyakan mahasiswa ISBI Bandung.
Hari ini para pelajar maupun mahasiswa menghadapi mahalnya biaya pendidikan, sementara gaji dosen atau guru honorer memprihatinkan. Di saat yang sama, korupsi merajalela. Para pejabat tanpa perasaan berdosa sedikit pun memamerkan harta hasil korupsi melalui media sosial.
Meski demikian, naskah asli lakon Tengul tetap menjadi arus utama yang menuntun jalannya pertunjukan, seperti tampak pada dialog antara Korep yang penuh keraguan, dan Turah yang menggebu-gebu mengkhayalkan menang judi.
“Saya akan jalan-jalan memamerkan kekayaan saya sambil menyemprotkan wewangian di sekitar pekarangan. Tepat tengah hari saya akan mengerahkan beberapa orang yang sanggup mengumpulkan beberapa gumpal mega agar tetap berada di atas rumah kita,” ucap Turah.
Korep meragukan khayalan istrinya itu. Ia justru ketakutan dengan tingginya harapan dan impian kaya mendadak Turah dan masyarakat miskin lainnya yang memuja mesin lotre dan bandar judi.
“Kamu sudah mulai berbahaya,” ujar Korep.
“Karena impian-impian saya?” tanya Turah.
“Lebih baik kita hentikan semua ini.”
“Kenapa?”
“Saya takut.”
“Takut apa?”
“Takut kaya.”
“Betul-betul budak.” Turah berang.
“Saya kira kita sudah cukup bahagia dengan apa yang sudah ada di rumah.” Korep berusaha bertahan dengan prinsip hidupnya.
Komedi Kemiskinan
Tengul adalah teater yang mempertontonkan parade kemiskinan rakyat kecil seperti Korep dengan sarung baunya dan Turah dengan daster kusamnya. Di samping mereka, ada orang-orang terbelakang yang juga sama-sama kecanduan judi lotre. Mereka bercita-cita ingin menjadi juragan angkot jika lotrenya menang.
Ada juga asisten rumah tangga yang mengira dirinya menang undian. Ia datang ke bandar untuk mengambil hadiah, tapi tak mampu menunjukkan kupon undiannya.
“Saya bermimpi tadi saya menang,” ujar asisten rumah tangga pada bandar, yang segera diusir oleh moncong bedil angin pengawal sang bandar. Penonton yang memenuhi Gedung Kesenian Dewi Asri tak kuasa menahan tawa.
Seniman pantomim Wanggi Hoed yang juga menonton pentas ini, menilai lakon Tengul adalah tragedi komedi yang menjadi ciri khas CCL, komunitas seni yang didirikan Iman Soleh yang juga dosen di ISBI Bandung. Memang cukup banyak kelakuan-kelakuan konyol dan tak masuk akal para tokoh yang diperankan para aktor Tengul.
Ketika orang-orang bermimpi kaya mendadak dari mesin lotre, bandar judi justru menginginkan kematian husnulkhatimah dengan cara ditembak oleh pengawalnya sendiri. Si pengawal menjalankan tugasnya setengah hati sehingga terjadi salah tembak, peluru senapan angin itu hanya menyerempet kemaluan bandar. Bandar itu baru bisa mati setelah penembakan kedua yang dilakukan oleh peserta undian.
Bandar tewas, tetapi orang-orang sudah kehilangan seluruh miliknya. Turah telah menjual perabotan di rumahnya. Bahkan kehormatannya telah dijual ke tukang loak. Ia kemudian menggantungkan hidup sebagai pelacur.
Kemiskinan yang panjang telah melelahkan jiwa-jiwa seperti Turah dan Korep. Saking lelahnya hidup miskin, Korep sampai takut kaya—takut membayangkan bagaimana rasanya hidup kaya.
Korep satu-satunya tokoh dalam Tengul yang tidak percaya judi. Sebagai juru arsip di sebuah instansi pemerintah, ia terbiasa hidup jujur, sederhana, dan "selaras dengan alam". Ia tak bisa korupsi seperti yang biasa dilakukan atasan-atasannya. Selain itu, di tempat kerja pegawai rendahan seperti dirinya tak ada yang bisa dikorupsi.
Namun istrinya yang berubah menjadi pelacur telah menggoncang imannya. Setelah mencerai Turah, Korep akhirnya memilih jalan instan lain yang tak kalah celakanya dari judi, pesugihan.
Korep kemudian menempuh perjalanan menuju kegelapan. Ia berdiri di atas panggung berukuran sekitar 2x2 meter yang ditarik dan didorong secara ganjil oleh tiga pemain. Panggung itu berputar-putar liar di tengah penonton yang meluber ke lantai pertunjukan.
Tiba-tiba dari atap panggung muncul sosok perempuan, tubuhnya yang menggantung tenggelam dalam jubah hitam. Si mbah siap memberikan kekayaan asal Korep mau memberikan persembahan nyawa setiap perempuan yang kelak dinikahinya. Korep rela menukar prinsip hidupnya demi hidup “methentheng” dan “methungul” dengan harta, suatu pilihan yang kelak ia sesali seumur hidup.
Saya berharap pertunjukan teater Tengul bukan lakon terakhir yang dipentaskan di Gedung Kesenian Dewi Asri sepekan sebelum kebakaran. Musibah kebakaran tidak akan memadamkan proses kreatif calon-calon seniman.