• Kolom
  • NGABANDUNGAN: Mitos Fesyen Lebaran #1

NGABANDUNGAN: Mitos Fesyen Lebaran #1

Arus besar fesyen dunia saat ini dikuasai industri-industri fast fashion yang didukung ritus-ritus pemujaan agar konsumen menyembah dan membelinya.

Iman Herdiana

Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].

Warga saat mengunjungi Trans Studio Mal, Bandung, di hari pertama kembali beroperasi setelah tutup selama PPKM level 4, Rabu (11/8/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

28 April 2023


BandungBergerak.idSebuah ritual akan tetap lestari manakala ada pengikut-pengikutnya. Ritual yang setiap tahunnya diikuti secara massal adalah pemujaan terhadap fesyen, entah itu fesyen lebaran, fesyen tahun baru, dress code arisan, dan banyak lagi. Khusus pada suasana lebaran ini, fesyen yang kerap kita jumpai adalah baju, celana, tas, sandal, dan sepatu.

Bicara sepatu, ada temuan menarik saat KPK menangkap Wali Kota Bandung Yana Mulyana. Dalam OTT ini, sepatu dan uang ratusan juta rupiah menjadi barang bukti. Merek sepatunya Louis Vuitton yang harganya belasan juta rupiah sepasang! Penangkapan ini terjadi pada pekan terakhir Ramadan atau menjelang lebaran.

Ritual fesyen lebaran bukan bagian dari agama, bukan rangkaian dari hari raya Idulfitri, tapi sebagai tradisi yang melekat dengan lebaran. Dalam tulisan ini, mari kita melihat ritual pemujaan terhadap fesyen ini sebagai ritual tersendiri tanpa embel-embel agama.

Arus besar fesyen dunia saat ini dikuasai industri-industri fast fashion, istilah yang akhir-akhir ini menjadi sorotan aktivis lingkungan karena dampaknya yang buruk pada alam, upah kerja rendah, eksploitasi pekerja anak, dan sampah fesyen. Definisi fast fashion tak jauh berbeda dengan fast food atawa makanan cepat saji. Jadi fast fashion pun bisa disebut pakaian cepat saji yang diproduksi secara cepat.

Dalam setahun, industri fast fashion bisa melahirkan lebih dari dua mode baru. Bahkan menurut perupa sekaligus dosen perguruan tinggi di Bandung Maradita Susantio, sekarang ini kita bisa melihat koleksi pakaian model baru tiap bulan bahkan tiap minggu (Mengkaji Trend Fashion 2020 Sebagai Mitos Kontemporer, kabarkampus.com, 29 Nov 2019).

Di sisi lain, fast fashion lebih dari sekadar industri yang menyediakan pakaian-pakaian cepat saji. Ada ideologi tertentu di balik beragam mode fesyen yang justru menggeser fungsi fesyen sebagaimana awalnya ia diciptakan, yaitu penutup sekaligus pelindung tubuh – atau penutup aurat, jika meminjam istilah religi.

Syahdan, pada awal abad ke-19 kiblat fesyen dunia ada di Paris, Prancis. Para penjahit-penjahit ini sampai kewalahan membuat pakaian untuk kalangan atas. Masa itu, fesyen dijahit dengan tangan manual, sangat detail – hal sama juga dilakukan orang tua di nusantara yang biasa membikin baju untuk anak-anaknya dengan cara menyulam. Tak heran jika harganya sangat mahal dan elitis.

Revolusi industri lantas melahirkan berbagai macam mesin, salah satunya teknologi mesin jahit dan mesin tenun. Temuan ini menjadi gerbang pertama bagi fast fashion.

Berbagai jenis pakaian dibuat dengan proses yang lebih cepat dari tangan-tangan para penjahit Paris. Kualitas bahan baku yang dipilih pun lebih rendah agar produk fesyen ini bisa dijual dengan harga murah dan dibeli oleh semua kalangan.

Pada abad yang sama dengan lahirnya revolusi industri, dalam catatan Maradita Susantio yang akrab disapa Dita, di Amerika muncul gerakan Reform Dress Movement yang salah satunya dimotori Amelia Bloomer. Gerakan ini disebut tanda awal munculnya feminisme.

Bloomer dan kawan-kawan menentang bentuk pakaian gaya Victoria yang menyiksa perempuan. Pakaian perempuan ala Viktoria dapat dilihat pada film-film dengan latar abad ke-19. Masa itu kaum perempuan biasa memakai korset yang menyesakkan dada dengan bawahan menggunakan crinoline (rok lebar). Reform Dress Movement menentang mode pakaian kuno ini yang dinilai sangat membatasi gerak perempuan, bahkan bisa merusak organ tubuh. Gerakan ini sekaligus ingin melawan stereotip dan definisi kecantikan yang dikonstruksikan pada saat itu.

Menurut Dita, Reform Dress Movement menghasilkan produk fesyen sport wear/active wear dan dress longgar, lurus. Memasuki tahun 1950, pakaian-pakaian jadi yang diciptakan mesin-mesin berhasil menjadi pesaing elitisme fesyen karya penjahit-penjahit couture Paris. Paris bukan lagi kiblat satu-satunya mode dunia.

Aktivis kaum hippies juga bergerak menyebarkan ideologinya melalui fesyen. Tahun 1960 gerakan yang disebut flower generation ini menggunakan pakaian berbahan natural dengan siluet antifashion bermotif khas bunga-bunga yang ramai, warna-warna cerah hasil teknik pencelupan.

Baca Juga: NGABANDUNGAN: Ngabuburit di Selokan
NGABANDUNGAN: Membahasakan Maneh
NGABANDUNGAN: Bunga Rawa dan Burung Pelikan

Ideologi subkultur tak ketinggalan menggunakan fesyen sebagai simbol perlawanan mereka. Tahun 1970 dan 1980, kaum punk di Inggris mengenakan pakaian dan aksesorisnya yang antimaterialistis untuk menentang kultur arus utama borjuis dan pemerintah.

Punk di Inggris lahir dari keresahan kelas pekerja dan pemuda akan ketidakadilan ekonomi. Mereka mengekspresikan sikap melalui musik punk dan fesyen. Pengaruh punk ini mewabah juga ke Indonesia pada tahun 1990an. Di Bandung mereka punya panggung. Jika akhir pekan melintas di GOR Saparua, akan banyak anak-anak muda berpakaian dan aksesoris yang mencerminkan antikemapanan: berambut mohawk atau botak, mengenakan jaket kulit yang penuh penitik, rantai, paku, dan mengenakan sepatu boot.

Penentangan terhadap fesyen kelas elite pun dilakukan para aktivis lingkungan. Mereka menentang penggunaan bulu binatang dalam industri fesyen.

Gerakan-gerakan ideologis yang menggunakan fesyen sebagai media kampanye terus berlanjut pada era globalisasi dan pasar bebas hingga sekarang. Pada era ini, produksi fesyen tidak lagi terpusat di negara-negara barat melainkan menyebar di negara-negara dunia ke-3 seperti Bangladesh, India, termasuk Indonesia. Sejumlah pabrik tekstil di sepanjang Sungai Citarum banyak mengerjakan produk-produk branded dari luar negeri.

Memproduksi fesyen di negara-negara dunia ketiga dianggap sebagai cara ampuh yang diklaim meningkatkan roda ekonomi global. Industri fesyen bisa meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya, menekan biaya produksi semurah-murahya, dan memproduksi dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Namun untuk menciptakan dan memasarkan produk fesyen tersebut, diperlukan imam yang mengorkestrasi ritual pemujaan fesyen mereka. Sang imam berfungsi sebagai dirigen yang mengukur selera konsumen sekaligus merangsang hasrat mereka untuk membeli.

Sebut saja WGSN, sebuah lembaga tren dan informasi produk yang berbasis di London, Inggris. Lembaga yang memiliki 16 kantor cabang di seluruh dunia ini rutin merilis tend dunia. Data dari WGSN kemudian menjadi menjadi acuan bagi industri fesyen dan desainer untuk merancang produknya.

“WGSN adalah peramal tren konsumen terkemuka di dunia. Prakiraan akurat kami memberikan wawasan tren global, data yang dipilih secara ahli, dan keahlian industri untuk membantu klien kami memahami perilaku dan gaya hidup konsumen, menciptakan produk dengan percaya diri, dan berdagang pada waktu yang tepat,” demikian menurut laman resmi WGSN.

Ramalan WGSN tidak datang dari ruang hampa, melainkan berasal dari konsumen sendiri. Mereka melakukan survei tentang selera pakaian pada konsumen, hasilnya dibuatlah pakaian sesuai selera itu. Artinya, tulis Dita, konsumen turut terlibat dalam merumuskan tren fesyen masa kini dan masa depan. Produk akhir tren ini lantas melantai dalam ritus-ritus catwalk di belahan dunia, misalnya Paris Fashion Week dan peragaan-peragaan busana level dunia lainnya.

Peragaan-peragaan busana memegang peranan penting dalam ritus fesyen untuk memperkenalkan tren. Di Indonesia dalam dua dekade kebelakang marak dengan hijab fashion week yang mengenalkan hijab-hijab kekinian, misalnya Indonesia Hijabfest, Jakarta Fashion Week, dan lain-lain. Industri hijab Indonesia telah melahirkan beragam model-model hijab stylist, seperti hijab pashmina, hijab syar’i, hijab segi empat, dan seterusnya. Beragam model hijab ini tidak akan ditemukan sebelum tahun 1990-an.

Dengan adanya tren-tren fesyen, pakaian jelas telah melampaui fungsi awalnya sebagai pelindung dan penutup tubuh yang tidak lebih penting dari tren. Tren fesyen sendiri merupakan konsep yang diciptakan, dikonstruksikan melalui pelbagai ritus-ritus fesyen tadi, melalui jargon mode terkini, fashion week, fesyen lebaran.

Hadirnya media sosial membuat ritus-ritus fesyen itu semakin menguat. Produk-produk fesyen tidak hanya disiarkan televisi atau menongkrong di etalse atau manekin di mal-mal melainkan membanjiri langsung gawai-gawai calon konsumen. Industri pakaian cepat saji menyebarkan produknya melalui sarana daring dan luring dengan tujuan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Mereka menggoda konsumen dengan aneka promo dan diskon, serta beragam kampanye seperti produk baru, fesyen tahun ini, fesyen abad ini, fesyen lebaran, dan lain-lain.

Roland Barthes telah mengingatkan bahwa pemaknaan hari ini adalah hasil konstruksi yang dijejalkan terus-menerus ke benak kita. Begitu juga dengan pemaknaan fesyen yang melahirkan kategori-kategori yang semakin rumit: fesyen kondangan, fesyen lebaran, dress code pengajian maupun arisan, baju pesta.

Konstruksi tersebut akhirnya melahirkan mitos-mitos fesyen yang terus disebarkan masyarakat maupun industri melalui imam-imam mereka. Apa yang harus dilakukan jika fesyen yang ada saat ini ternyata hanyalah mitos? 

Menurut Barthes, dalam menghadapi mitos-mitos fesyen diperlukan demistifikasi, yakni membongkar suatu pemaknaan sebagai kebohongan. Penelanjangan terhadap mitos-mitos ini akan melemahkan mitos tersebut. Dengan demikian, kita tidak terjebak pada jargon-jargon industri fast fashion yang serakah (kapitalis) dan selalu mendorong kita untuk selalu membeli. Apalagi sampai harus korupsi demi mendapatkan sepatu branded.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//