• Kolom
  • NGABANDUNGAN: Ngabuburit di Selokan

NGABANDUNGAN: Ngabuburit di Selokan

Bisakah Kota Bandung seperti Jepang yang memiliki selokan-selokan berair jernih, penuh dengan ikan koi?

Iman Herdiana

Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].

Permukiman di atas Sungai Cikapundung, Kota Bandung, Minggu (6/11/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

2 April 2023


BandungBergerak.id - Dulu, kata orang tua, ngabuburit di Bandung biasa dilakukan di Sungai Cikapundung. Orang-orang menunggu waktu berbuka puasa dengan mandi, mancing, ngurek belut, atau menangkap ikan dengan cara marak: membendung sungai sampai air di hilir surut, saat itulah ikan-ikan mudah ditangkap. Bisa dibayangkan buka puasa dengan menu ikan goreng atau bakar yang baru ditangkap dari sungai.

Keindahan Sungai Cikapundung mengilhami seniman untuk mengabadikannya melalui syair lagu, di antaranya lagu pop Sunda Sorban Palid yang dinyanyikan Nining Meida dan, yang paling mengena, lagu “Cikapundung” yang dibawakan Titim Fatimah pada 1960-an, berikut ini penggalannya:

Cikapundung …

Walungan di Kota Bandung

Kota Kembang kota midang

Kota pangbrangbrang kabingun.

Tradisi menangkap ikan di Bandung tempo dulu bukan hanya hidup di Sungai Cikapundung saja, karena Bandung memiliki banyak sungai berair jernih. Sekarang zaman sudah berubah. Sungai-sungai di Bandung sudah lama tercemar parah.

Saya pernah tinggal di Cisaranten Kidul, daerah yang dulunya persawahan dan kini menjadi permukiman penduduk yang terus berkembang. Sawah-sawah masih ada, namun sebagian sudah mulai diuruk untuk dijadikan perumahan. Untuk menuju rumah, saya harus menyeberangi jembatan kecil yang di bawahnya mengalir sungai kecil yang kumuh. Setiap pagi atau sore, bau menyengat khas selokan pembuangan kerap menguar. Bau tersebut berasal dari sungai kecil itu.

Setiap melintas di atas jembatan kecil itu, saya kerap menghadapi pemandangan mengenaskan kalau diceritakan. Warna airnya kehitaman, sampah plastik bersatu dengan limbah rumah tangga dan ternak. Sungai alami ini sudah berubah menjadi got.

Bisa dipastikan pemandangan serupa juga terjadi di sungai-sungai lainnya yang melintas di Kota Bandung. Dengan kondisi tersebut, anak-anak sekarang mana mungkin mau ngabuburit di sungai. Tradisi mandi atau menangkap ikan di kali putus sudah, tinggal cerita dan lagu.

Ngabuburit zaman sekarang cukup dilakukan dengan membuka media sosial di gawai. Dengan kemajuan teknologi digital ini kita bisa melihat sungai dan selokan di Jepang yang berair jernih, mungkin sejernih air Sungai Cikapundung di awal abad ke-20. Bedanya, sungai dan selokan jernih di Jepang terjadi sekarang, hari ini. Sedangkan kejernihan Sungai Cikapundung tinggal cerita masa lalu. Saking jernihnya air di selokan-selokan di Jepang, pemerintah setempat menebar benih ikan koi.  

Jepang bisa menjaga kualitas sungai dan selokan-selokannya bukan hasil simsalabim, melainkan hasil dari proses panjang dan sabar. Awalnya negeri ini pernah dilanda persoalan lingkungan yang serius sejak terjadi transisi dari masyarakat pertanian ke industri yang dikenal restorasi Meiji (1868-1912). Restorasi ini berhasil membangun Jepang sebagai negara maju secara ekonomi. Namun efek samping dari kemajuan ini adalah kerusakan lingkungan.

Dampak dari industrialiasi Jepang terlihat dari melonjaknya sampah industri di samping sampah rumah tangga. Jepang sempat terancam lautan sampah, sama seperti Bandung yang kini terancam Bandung lautan sampah karena TPA Sarimukti sudah penuh sementara TPA baru di Legok Nangka belum jadi.

Sebelum tahun 1970-an, Jepang belum sebersih sekarang. Sama seperti di Bandung, sampah di Jepang bertebaran di mana-mana, di jalan, di sungai, di laut. Sebagai negeri samurai yang menghormati alam, tentu Jepang tidak tinggal diam. Mereka berusaha mengatasi masalah sampah dengan perencanaan ilmiah.

Pertama-tama, Jepang memberikan edukasi kepada warganya untuk menaati aturan soal sampah. Sebelumnya Jepang sudah membuat aturan yang ketat soal sampah ini. Dalam perjalanannya, aturan soal sampah di Jepang semakin berkembang dan spesifik meski prinsip pengelolaannya sama dengan yang dijalankan di Kota Bandung, yaitu Kang Pisman, akronim dari kurangi pisahkan manfaatkan.

Jika program Kang Pisman di Bandung kini terasa mengendur, berbeda dengan pronsip nol sampah di Jepang yang konsisten digalakkan dan semakin kompleks. Sampah-sampah yang dipilah semakin rinci, mulai dari sampah dapur maupun sampah industri. Sampah industri terdiri dari kertas, plastik, kain, bahan kimia, sampah besar seperti kasur, kulkas, AC, atau brangkas, dan seterusnya. Masing-masing sampah memiliki hari-hari khusus pembuangan.

Baca Juga: NGABANDUNGAN: Membahasakan Maneh
NGABANDUNGAN: Sajak Kritis Politik Pendidikan
NGABANDUNGAN: Bunga Rawa dan Burung Pelikan

Warga harus memberi nama pada tiap-tiap sampah yang dibuangnya. Pelanggaran terhadap aturan persampahan di Jepang bisa berbuah dihukum berupa denda, sampahnya dikembalikan ke si pemilik, sanksi sosial, bahkan penjara.

Aturan khusus juga diterapkan pada limbah cair rumah tangga. Jika di Indonesia orang dengan mudah membuang limbah cair ke selokan atau sungai, seperti yang biasa dilakukan industri-industri di sepanjang Sungai Citarum, tidak demikian dengan warga Jepang. Tiap rumah memiliki saluran-saluran khusus pembuangan limbah cair yang dialirkan ke instalasi pengolahan limbah per daerah, misalnya per kelurahan atau per kecamatan.

Pembuangan limbah rumah tangga dikenai tarif, sehingga warga dituntut untuk disiplin dalam menghasilkan limbah rumah tangganya. Konsekuensi dari tarif ini membuat orang akan berusaha menghemat dalam menghasilkan limbah, misalnya lebih teratur mencuci pakaian, menghemat air, dan lain-lain.

Lembah cair rumah tangga yang sudah diolah baru dibuang ke selokan yang kemudian akan mengalir ke sungai. Tak heran jika selokan-selokan di Jepang berair jernih dan memungkinkan bagi ikan berkembang biak dan gemuk-gemuk.

Bisakah Kota Bandung seperti Jepang? Mengembalikan sungai-sungai yang dulu bersih ke masa kini agar anak-anak bisa mandi dan menangkap ikan seperti kakek neneknya dahulu? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh pemegang kebijakan, yaitu Pemkot Bandung.

Mungkin orang akan berdalih bahwa itu Jepang, negara maju, beda dengan Indonesia. Saya kira dalih ini tidak relevan lagi mengingat Indonesia, khususnya Bandung, sudah terancam lautan sampah. Dalih tersebut juga tidak bisa menjadi pembenaran untuk membiarkan sampah dan limbah mencemari sungai-sungai anak cucuk kita.

Agar sungai dan selokan di Bandung bisa seperti di Jepang, bukan berarti para pejabat dan DPRD ramai-ramai studi banding ke Jepang. Cukup membuka gawai sambil ngabuburit, setelah itu mulai konsultasi dengan pakar-pakar lingkungan yang ada di dalam negeri. Banyak pakar lingkungan di Indonesia yang mumpuni di bidangnya. Mereka bisa diajak untuk membangun sistem pengelolaan sampah dan limbah yang tangguh dan berkelanjutan seperti di Jepang. Tinggal kemauan politik (political will) dari pembuat kebijakan, saya kira.

Jika kemauan itu ada, saya maulah ngabuburit di selokan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//