Sampah, Limbah, dan Pentingnya Kerja Kolaboratif di Sungai Cikapundung
Sampah dan limbah masih menjadi masalah yang dihadapi sungai-sungai di perkotaan, seperti Cikapundung. Penyelesaiannya memerlukan pelibatan masyarakat.
Penulis Alya Nurfakhira Zahra1 Desember 2022
BandungBergerak.id — Yadi Supriadi (50) terlihat lihai mencabuti akar rumput liar yang tumbuh di sekitar Sungai Cikapundung. Sejenak ia meregangkan tubuhnya yang kaku karena terus membungkuk, kemudian mendongak ke aliran sungai yang membelah Teras Cikapundung yang terletak agak menjorok ke bawah di pinggir Jalan Siliwangi, Kota Bandung. Terlihat beberapa sampah plastik yang bergerak mengikuti arus sungai.
Sudah tiga belas tahun Yadi bekerja sebagai Sekjen Komisaris Sungai Jawa Barat, termasuk Sungai Cikapundung, dan petugas OP (Operasi Pemeliharaan) sungai Sumber Daya Air Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum. Hari-harinya dihabiskan dengan menyusuri anak sungai untuk membersihkan sampah-sampah yang menggenang serta melakukan rehabilitasi terhadap sedimen sungai yang kian mengkhawatirkan. Bagaimana tidak mengkhawatirkan? Jika sampai saat ini, masih ada warga yang membuang sampah ke sungai. Tanpa peduli dampak yang akan mereka rasakan ke depannya.
Hal ini yang dikeluhkan Yadi. Bertahun-tahun pemerintah sudah berupaya menyelesaikan permasalahan pada sungai Cikapundung, tetapi hasilnya tidak selalu memuaskan. Ia merasa bagaikan berjalan di tempat yang serupa berulang kali.
“Kesulitan di sini adalah mengubah mindset masyarakat setempat. Oleh karena itu, pemerintah, komunitas lingkungan, dan masyarakat harus saling membantu serta memulai dari diri sendiri guna mewujudkan kesadaran akan kebersihan sungai,” tutur Yadi.
Bagi Yadi buat apa saling membantu jika diri sendiri masih belum tumbuh kepedulian terhadap permasalahan yang terus membayangi Sungai Cikapundung. Pemerintah daerah bersama BBWS Citarum dalam naungan Menteri PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) terus berupaya memberikan sosialisasi kepada masyarakat setempat khususnya bantaran Sungai Cikapundung.
“Tentu saja, kadang dalam memberikan sosialisasi pasti ada saja hambatannya. Setiap masyarakat memiliki kondisi psikologis yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda pula sehingga respons tidak selalu sama,” ujar Yadi
Pendekatan dari hati ke hati menjadi solusi yang tepat sebelum ada tindakan lebih lanjut. Namun, semua itu akan percuma jika masyarakat enggan bekerja sama karena kunci keluar dari permasalahan ini adalah kolaborasi dan berkelanjutan.
“Mulanya, diskusi biasa kayak pengenalan, terus setelah masyarakat mulai membuka diri. Baru kita mengajak untuk melakukan kegiatan bersih-bersih di sekitar sungai,” imbuh Yadi.
Baca Juga: Menyiapkan Guru ≠Menyajikan Mi Instan
Pers dan Partai Politik Kita
Kampus Bukan Panggung Politikus
Kolaborasi adalah Kunci
Sungai Citarum yang memiliki panjang sekitar 297 kilometer serta melintasi 13 wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat. Sungai Cikapundung merupakan satu dari banyak anak sungai Citarum yang merupakan terpanjang di Jawa Barat tersebut.
Seperti juga Sungai Citarum yang mendapat julukan sebagai sungai terkotor di dunia oleh World Bank pada 2018 karena paparan limbah rumah tangga dan industri yang dibuang sembarang ke dalam sungai, Cikapundung bernasib sama. Limbah yang mencemari sungai membuat warga tidak bisa memanfaatkan air sungai sebagai sumber air bersih.
“Dampaknya saya jadi kesulitan mendapatkan air bersih, belum lagi kalau musim hujan suka banjir dan banyak sampah yang masuk ke dalam rumah,” keluh Yati Supriyati selaku warga yang tinggal di sekitar Sungai Cikapundung Tamansari Bandung.
Pemerintah sesungguhnya sudah membuat aturan tegas pada pelaku pencemaran sungai. Pasal 104 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 misalnya melarang dumpling limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup dengan ancaman pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.
Sosialisi regulasi juga terus dilakukan pemerintah untuk menekan pelanggaran dan meningkatkan kesadaran akan kebersihan sungai. Komunitas lingkungan serta institusi di bawah pemerintah juga dilibatkan. Kolaborasi antar pemerintah daerah, komunitas lingkungan, dan warga setempat menjadi penting.
“Kami memfasilitasi masyarakat dalam bentuk kegiatan membersihkan sungai bersama-sama. Selain itu, sosialisasi dampak yang akan terjadi apabila pelanggaran terus dilakukan,” ujar Yadi.
Yadi memaparkan ada tiga unsur yang dicakup dalam pembangunan dan penataan sungai yang dilakukan pemerintah yakni estetika lingkungan, estetika sosial diantara masyarakat, serta mengupayakan meningkatkan nilai ekonomi sehingga masyarakat yang terlibat mendapatkan hasilnya. Masyarakat kerap tidak ambil pusing mengenai regulasi, seringnya yang menjadi pertimbangan adalah menguntungkan atau tidak sehingga perlu diselingi nilai ekonomi dan sosial.
“Harapannya melalui tiga unsur ini dapat menciptakan kolaborasi antar pemerintah, komunitas lingkungan, dan masyarakat berkelanjutan serta mewujudkan lingkungan sungai yang beradab dan bersih,” tutup Yadi.