• Berita
  • Suar Anak Muda soal Cemar Cikapundung

Suar Anak Muda soal Cemar Cikapundung

Bandung for Justice membuka kelas pendokumentasian untuk mendorong kampanye kreatif menghadapi masalah pencemaran Sungai Cikapundung di Kampoeng Tjibarani.

Peserta kelas Pendokumentasian Isu: Cemar Cikapundung dan anggota Bandung for Justice di Kampoeng Tijibarani, Bandung, Minggu (26/2/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Virliya Putricantika27 Februari 2023


BandungBergerak.id – Pergeseran pemahaman akan alam tanpa disadari mengubah perlakuan alam terhadap manusia itu sendiri. Termasuk sungai yang membelah sembilan kecamatan di Kota Bandung, Sungai Cikapundung. Menyuarakan isu lingkungan membutuhkan kerja yang strategis, baik secara kreatif maupun secara kritis.

Sungai Cikapundung yang hari ini selalu berwarna cokelat itu, sering dipergunakan manusia sebagai “tempat membuang sampah”. Padahal di masa sebelumnya, warga memanfaatkan mata air yang ada untuk bertahan hidup.

"Air itu gratis buat semua. Karena gratis harus dirawat. Tapi air hari ini bisa dibeli. Jadi yang (bisa diakses) publik (sungai) itu hilang," ungkap Ardhito Harinugroho dari Sorge Magazine dalam diskusi kelas Pendokumentasian Isu: Cemar Cikapundung yang diselenggarakan Bandung for Justice di Kampoeng Tjibarani, Kota Bandung, Minggu (26/2/2023).

Permasalahan kompleks soal air bersih menjadi permasalahan berulang yang dirasakan, bukan setiap tahun, tapi bisa berulang dalam periode satu tahun. Pencemaran yang terus terjadi dengan pola teraturnya tentu dapat terbaca dengan jelas.

Partisipasi satu sama lain, mulai dari komunitas, pemberdayaan masyarakat sekitar bahkan pemerintah dapat bekerja kolaboratif untuk mengatasi persoalan yang semakin hari semakin meresahkan. Belum lagi di musim hujan, sumbatan dari sampah atau dahan pohon kerap menghambat aliran sungai yang dapat menyebabkan banjir.

Upaya pemerintah mulai dari pengerukan di Cikapundung Kolot hingga pembuatan sumur resapan sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Namun, Erland Fabian, pengisi kelas pertama di Kelas Bandung for Justice ini meyakini tidak perlu mengandalkan satu peran tertentu untuk menjaga alam, tapi semua yang hidup berdampingan dengan alam dapat ikut berpartisipasi.

“Bukan mengenai siapa yang lebih peduli, tapi kita perlu bersama-sama. Ga perlu takut gagal,” ungkap Erland, mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan yang menjadi pegiat spiritualitas dan nilai-nilai dasar Unpar (SINDU) ekolologi Cikapundung ini.

Tentunya kerja kolaboratif ini bukan menjadi kerja yang dapat selesai begitu saja. Pendekatan pada masyarakat sekitar yang hidup bergantung pada aliran sungai yang luasnya kurang lebih sekitar 434 kilometer persegi ini menjadi kunci paling penting.

Terlepas dari Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2011 pada pasal 3 ayat 1, pengelolaan sungai secara menyeluruh dengan tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan fungsi sungai yang berkelanjutan yang disinggung dalam ayat 2 di pasal yang sama menjadi aturan yang perlu dipahami bersama. Termasuk kesepuluh peserta yang dating dari berbagai kalangan pada kelas pada hari minggu ini.

“Mengajarkan hal yang simple (sederhana), lebih mudah dicontoh,” tambah Erland.

Suasana Kelas Pendokumentasian Isu: Cemar Cikapundung  bersama Bandung for Justice di Kampung Tijibarani, Bandung, Minggu (26/2/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Suasana Kelas Pendokumentasian Isu: Cemar Cikapundung bersama Bandung for Justice di Kampoeng Tijibarani, Bandung, Minggu (26/2/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Sawah di Bandung Hilang, Seni Reak Kian Langka
Upaya Penguatan Memori Kolektif dan Serba-serbi Peringatan 68 Tahun Konferensi Asia Afrika
Melihat Kinerja Badan Pengelola Cekungan Bandung setelah 4 Tahun Dibentuk

Mulai dari Anak Muda

Kelas Bandung for Justice yang bertajuk Pendokumentasian Isu: Cemar Cikapundung dikemas dalam tiga sesi kelas yang diadakan bersama Kampoeng Tjibarani dipinggiran Sungai Cikapundung. Sesi pertama diawali dengan diskusi mengenai ekologi Cikapundung, dilanjutkan dengan kampanye kreatif untuk menyuarakan persoalan baik melalui visual ataupun teks seperti sesi terakhir yang disajikan oleh keenam anak muda ini.

“Kompleksitas permasalahan di Cikapundung ini bukan hanya soal sampah, banyak hal yang mungkin lebih fundamental lagi,” cerita Laras, salah satu anggota Bandung for Justice sore itu.

Kelas yang diharapkannya tidak hanya diskusi yang dihadiri dan tergantikan dengan hal-hal lain, dengan beragam latar belakang audien dapat sama-sama belajar akan pentingnya Cikapundung. Tidak hanya di kalangan pencinta lingkungan, harapannya dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas lagi dengan mengampanyekan isu Cikapundung lewat tulisan esai kritis. Materi pelatihannya disampaikan pemimpin redaksi BandungBergeark.id, Tri Joko Her Riadi.

Kultur feodalisme yang masih melekat, menyadarkan generasi muda untuk bersikap kritis. Bersuara untuk mewujudkan keberimbangan antara manusia dan alam.

“(Kita mahasiswa) Yang punya privilege (hak istimewa) harusnya lebih mudah menyuarakan,” tutup Laras.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//