• Berita
  • Melihat Kinerja Badan Pengelola Cekungan Bandung setelah 4 Tahun Dibentuk

Melihat Kinerja Badan Pengelola Cekungan Bandung setelah 4 Tahun Dibentuk

Dilihat dari kronologi kelahirannya, kinerja Badan Pengelola Cekungan Bandung yang dibidani Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini terlihat lambat.

Cekungan Bandung dilihat dari Kampus UPI, Bandung, Rabu (23/3/2022). Kota Bandung yang padat penduduk dan posisinya di lembah cekungan Bandung, membuat suhu udara semakin panas. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana25 Februari 2023


BandungBergerak.idSeperti namanya, Badan Pengelola Cekungan Bandung (BP Cekban) bertugas mengelola cekungan Bandung (Bandung Raya). Badan ini hadir agar pengelolaan Bandung Raya bisa berjalan seirama dalam menghadapi isu bersama: lingkungan, tata ruang, transportasi, persampahan, dan air bersih. Selama ini pemerintah-pemerintah daerah di Bandung Raya berkerja sendiri-sendiri.

Bandung Raya merupakan cekungan dengan luas wilayah kurang lebih 349.750 hektare, terdiri dari lima kabupaten dan kota, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Sumedang.

Bandung Raya bahkan memiliki populasi penduduk terbanyak ketiga di Indonesia setelah Metropolitan Jakarta dan Metropolitan Surabaya, yakni 8,5 juta jiwa (Jurnal “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Urban Sprawl di Kawasan Cekungan Bandung” tahun 2015).

Dilihat dari kronologi kelahirannya, kinerja Badan Pengelola Cekungan Bandung yang dibidani Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini terlihat lambat. Menurut dasar hukum pembentukannya, BP Cekban resmi dibentuk sejak 2020, berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 86 Tahun 2020 tentang Badan Pengelola Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung.

Setahun berikutnya, BP Cekban mulai aktif bekerja sejak September 2021. Pogram pertama BP Cekban adalah membentuk kesepakatan dengan lima kabupaten kota di Bandung Raya

Setelah dibentuk selama 4 tahun, baru tahun ini, tepatnya dua pekan lalu, Gubernur Ridwan Kamil menetapkan kepala definitif Badan Pengelola Cekungan Bandung (BP Cekban), yakni Tatang Rustandar Wiraatmadja. 

Tatang adalah ahli perencana kota jebolan ITB. Menurut siaran pers Pemprov Jabar, Rabu (22/2/2023), Tatang bukan orang baru di Pemda Kabupaten Bandung. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Bappeda Kabupaten Bandung 1988- 1992, periode di mana Kabupaten Bandung masih mencakup Bandung Barat sebelum menjadi daerah otonom baru.  

Sebelum ada Kepala BP Cekban definitif, badan ini dipimpin Taufiq Budi Santoso selaku Pelaksana tugas BP Cekban sekaligus Asisten Daerah (Asda) Bidang Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Jabar.

Lambatnya kerja BP Cekban bukan tanpa alasan. Salah satunya, pemerintah-pemerintah daerah di Bandung Raya masih mengedepankan ego masing-masing terutama jika menyangkut isu-isu di perbatasan. Ini terlihat pada persoalan banjir di terowongan Cibaduyut yang merupakan perbatasan kota dan kabupaten Bandung. Penanganan banjir di bawah terowongan sempat terjadi saling lempar tanggung jawab antara Pemkot Bandung dan Pemkab Bandung. 

Baca Juga: Menunggu Gebrakan Badan Pengelola Cekungan Bandung
Dua Tahun Badan Pengelola Kawasan Perkotaan (BPKP) Cekungan Bandung Dibentuk, Kinerja Baru Sebatas Kertas
Demam Istilah Smart City Dilihat dari Masalah Cekungan Bandung

Isu lain yang memerlukan penanganan lintas kabupaten kota adalah lalu lintas atau kemacetan. Rencananya dalam waktu dekat, Badan Pengelola Cekungan Bandung akan bertemu duduk satu meja dengan bupati/wali kota guna membahas kemacetan.

"Pak Gubernur sudah mengamanatkan kepada Kepala BP Cekban dalam waktu dekat berkomunikasi dengan semua kepala daerah untuk membicarakan akselerasi infrastruktur di Cekungan Bandung," ujar Kepala Bappeda Jabar Sumasna.

Salah satu titik kemacetan di Bandung Raya adalah Bojongsoang, perbatasan Kabupaten Bandung dan Kota Bandung. Menurut Kepala Bappeda Jabar Sumasna, kemacaten di Bojongsoang telah mencapai titik jenuh. Wilayah ini menjadi pertemuan dua arus kendaraan dari Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. 

Namun belum ada solusi konkret mengenai cara mengatasi kemacetan di Bojongsoang. Adapun wacana yang dimunculkan adalah pembangunan jalan layang atau jalan bawah tanah (flyover atau underpass).

Padahal pembangunan infrastruktur flyover atau underpass sebenarnya masih bersifat jangka pendek, karena persoalan kemacetan ini terkait erat dengan tingginya volume kendaraan pribadi. Jadi kebijakan yang perlu ditempuh adalah membatasi kendaraan pribadi.

Dengan kata lain, Bandung Raya memerlukan moda transportasi publik yang murah dan nyaman. Dengan demikian, pengguna kendaraan pribadi diharapkan bisa beralih ke transportasi publik.

Menurut Sumasna, selain kemacetan di Bojongsoang, permasalahan lain yang perlu ditangani BP Cekban adalah sampah, sungai dan banjir, transportasi, dan penataan kawasan metropolitan yang lebih tertata dan terintegrasi.    

Editor: Redaksi

COMMENTS

//