• Berita
  • Demam Istilah Smart City Dilihat dari Masalah Cekungan Bandung

Demam Istilah Smart City Dilihat dari Masalah Cekungan Bandung

Penataan ruang di kawasan Bandung Raya mendesak dilakukan. Konsep smart city mestinya menyentuh kawasan dalam lingkup luas, tidak bersifat perkotaan semata.

Cekungan Bandung (Bandung Raya) dilihat dari kampus UPI, Bandung, Jawa Barat, Rabu (23/3/2022). Bandung Raya diprediksi mengalami lonjakan jumlah penduduk seiring tingginya pembangunan di Kota Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana3 September 2022


BandungBergerak.idKota Bandung sedang berusaha membangun smart city, yaitu pembangunan berlandaskan teknologi digital menuju kota cerdas. Wacana yang muncul di balik istilah smart city ini terkesan hanya menyasar pada lingkup kecil wilayah perkotaan.

Padahal bicara Bandung tak lepas dari lingkup kawasan Cekungan Bandung atau Bandung Raya yang meliputi wilayah lintas kota yang saat ini dilanda krisis ekologi dan sosial yang mengkhawatirkan, mulai krisis lingkungan, transportasi, kepadatan penduduk, dan setumpuk soal lainnya yang kompleks.

Di tengah wacana smart city, Pusat Inovasi Kota dan Komunitas Cerdas (PIKKC) Institut Teknologi Bandung (ITB) menawarkan konsep living lab sebagai solusi pembenahan Kota Bandung.

Hal itu disampaikan Kepala PIKKC Institut Teknologi Bandung (ITB), Suhono Harso Supangat, saat bertemu Sekretaris Daerah Kota Bandung, Ema Sumarna di Balai Kota Bandung, dalam siaran pers Jumat 2 September 2022.

"Konsep living lab ini bisa menjadi salah satu langkah cepat menyelesaikan permasalahan di Kota Bandung dari lingkup terkecil," kata Suhono Harso Supangat.

Dipatiukur, Dago, dan Ganesha (DDG) akan menjadi lokus pertama yang akan digarap living lab. Fokus masalah yang disasar adalah pembenahan bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Suhono menjelaskan, living lab terkait dengan pembangunan kualitas hidup lebih baik, kerja sama yang lebih luas dengan berbagai stakeholder.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Daerah Kota Bandung, Ema Sumarna mengatakan, Pemkot Bandung menyambut baik konsep living lab.

"Kami harus menyambut baik konsep ini, sangat banyak beririsan dengan target kami. Pemerintah diberikan berbagai konsep penataan kota dari pada akademisi, Bandung punya banyak solusi," ujar Ema.

Menurut Ema, konsep living lab sejalan dengan berbagai program yang sedang digarap Pemkot Bandung. Terutama terkait persoalan parkir, sampah, Pedagang Kaki Lima (PKL) dan kemacetan.

"Saya melihat mau Dipatiukur, Dago dan Ganesha, Braga persoalan tidak lepas dari 4 hal, parkir, sampah, PKL dan kemacetan. Dengan konsep Living Lab ini semoga menjadi solusi," katanya.

Antara Smart City Living Lab dan Kondisi Cekungan Bandung

Penjelasan lebih lanjut mengenai living lab ini terdapat pada laman PIKKC ITB. Di situ dijelaskan bahwa Smart City Living Lab adalah sebuah ekosistem yang mampu mendukung terwujudnya kerja sama (co-creation) terjadi antara pemerintah, komunitas, industri, pendidikan, dan masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan pengetahuan dan melakukan perbaikan penerapan smart city untuk menyelesaikan permasalahan sebuah kota.

Di sisi lain, berbicara pembangunan di Kota Bandung erat kaitannya dengan lingkungan Cekungan Bandung sendiri. Cekungan Bandung atau Bandung Raya terdiri dari beberapa kabupaten dan kota, yaitu Kabupaten Bandung, Bandung Raya, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan sebagian wilayah Kabupaten Sumedang.

Posisi Kota Bandung merupakan pusat dari Bandung Raya. Mengapa disebut pusat? Karena Kota Bandung yang digadang-gadang sebagai smart city, sudah lama menjadi tujuan warga dari Bandung Raya, bahkan dari berbagai daerah di Jawa Barat maupun dari luar Jawa Barat, untuk mencari penghidupan. Kota Bandung bahkan menjadi kota metropolitan ketiga terbesar di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya.

Wahyu Surakusumah dari Universitas Pendidikan Indonesia dalam makalah ilmiahnya menyatakan metropolitan Bandung, sebagaimana tercantum dalam PP 47 Tahun 1997 tentang RTRWN 2015 dan Perda 2 Tahun 2003 tentang RTRWP Jawa Barat 2010, ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN).

Sebagai PKN, Metropolitan Bandung, selain akan berperan sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional (karena Bandung memiliki bandara), juga akan berfungsi sebagai pusat jasa, pusat pengolahan, dan simpul transportasi dengan skala pelayanan nasional atau beberapa provinsi.

“Pada skala regional, metropolitan Bandung juga merupakan kawasan andalan, yaitu kawasan yang berpotensi untuk mendorong perkembangan ekonomi ke kawasan sekitarnya,” papar Wahyu Surakusumah, pada makalah ilmiahnya yang diakses dari file.upi.edu, Sabtu (3/9/2022).

Peran pending Kota Bandung di lingkup Bandung Raya menimbulkan sejumlah konsekuensi, yaitu orientasi pergerakan menuju Kota Bandung yang tinggi; semakin meningkatnya pemanfaatan sumber daya alam yang ada, terutama sumber daya lahan dan sumber daya air.

“Konsekuensi ini bekerja secara timbal balik, yang secara kumulatif menghasilkan bentuk tekanan internal bagi Metropolitan Bandung,” kata Wahyu Surakusumah.

Ia memaparkan sedikitnya ada tiga tekanan yang dialami Kota Bandung dalam konteks posisinya sebagai pusat kota di Cekungan Bandung atau Metropolitan Bandung.

Pertama, kemacetan lalu lintas. Kemacetan lalu lintas ini dipicu oleh tidak sebandingnya ketersediaan dengan kebutuhan transportasi. Kemacetan lalu lintas ini direspos oleh mekanisme pasar (ekonomi) lahan dalam bentuk semakin dekat pusat kota semakin mahal harga lahan.

“Bagi penduduk yang memiliki keterbatasan ekonomi, tentunya tidak ada pilihan, mencari lahan baru di luar kota atau memilih lahan di dalam kota dengan kompensasi tertentu, seperti kualitas lingkungan yang berbeda, atau luasan lahan yang tidak sepadan. Oleh karena itu, kawasan permukiman kumuh semakin bertambah,” ungkapnya.

Wahyu mengatakan, hasil analisis data spasial untuk jumlah penduduk Bandung Raya pada 2025 diperkirakan akan mencapai 14,67 juta jiwa. Dari perkiraan jumlah penduduk tersebut, 70 persen atau sekitar 10 Juta merupakan penduduk perkotaan yang bermukim disekitar wilayah Kota Bandung seperti Kota Cimahi, Padalarang, dan Rancaekek yang merupakan wilayah pelimpahan arus urbanisasi ke kota Bandung. Sedangkan tingkap pertumbuhan tertinggi berada di wilayah Kota Bandung dan sekitarnya sekitar 3,7 persen.

Kedua, perkembangan guna lahan yang acak. Penyebaran ini berbentuk acak, menyebabkan mahalnya biaya pembangunan infrastruktur. Dengan adanya keterbatasan fiskal pemerintah daerah mengakibatkan adanya kesenjangan pelayanan infrastruktur sebagai kebutuhan dasar.

Ketiga, daya dukung lingkungan yang menurun. Menurunnya daya dukung ini disebabkan pemanfaatan sumber daya yang ekstensif tanpa didukung oleh strategi pengelolaan pertumbuhan wilayah yang terintegrasi antarsektor pembangunan.

Perubahan iklim mikro, pencemaran air permukaan dan polusi udara, serta penurunan muka air tanah dalam, merupakan indikasi kuat atas penurunan daya dukung lingkungan ini.

“Untuk mengatasi permasalah-permasalah di atas maka sangat penting dikembangkan perencanaan tata ruang metropolitan Bandung yang menerapkan prinsip-prinsip penataan ruang berkelanjutan,” katanya.

Baca Juga: Rangkaian Lelang Ratusan Juta Rupiah Pemkot Bandung demi Smart City
Hantu Smart City itu, Kereta LRT Bandung
Di Puncak Pandemi, Pemkot Bandung Gulirkan Lelang Smart Camera Senilai 3 Miliar Rupiah

Bandung Membutuhkan Penataan Ruang Berkelanjutan

Wahyu Surakusumah menekankan pentingnya penataan ruang Bandung Raya yang berkelanjutan, dengan empat prinsip dasarnya, manajemen kota, integrasi kebijakan, berpikir ekosistem, dan kemitraan.

Sebagai gambaran, prinsip ini akan terealisasi apabila terbangun suatu kemauan untuk saling berbagi tanggung jawab. Harus ada kerja sama ecara vertikal antara pemerintahan di daerah, pemerintahan provinsi, dan pusat untuk mencapai kesepahaman bersama.

Dalam pembangunan berkelanjutan, kelestarian lingkungan menjadi kunci. Harus diciptakan suatu kondisi yang menrmpatkan setiap nilai-nilai profit yang dikeluarkan dari setiap kegiatan ekonomi memiliki nilai tambah pada usaha yang ramah lingkungan.

“Pemda harus mampu menciptakan peluang-peluang kerja di sektor-sektor yang ramah lingkungan, atau setidaknya mampu menunjang pada usaha peningkatan performa lingkungan,” katanya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//