Sawah di Bandung Hilang, Seni Reak Kian Langka
Hilangnya sawah di Kota Bandung akibat desakan pembangunan membuat seni reak kian langka. Orang semakin jauh dari alam yang menyediakan sumber-sumber makanan.
Penulis Tofan Aditya26 Februari 2023
BandungBergerak.id - Hilangnya sawah atau kawasan agraris dalam kehidupan masyarakat Kota Bandung berimbas pada kesenian-kesenian tradisional, salah satunya seni reak. Karena alam yang menyediakan sumber-sumber makanan semakin asing dan sulit dijangkau, seni reak kian langka.
“Ketika kota itu beralih, menjauh dari sumber-sumber makanan berasal, berarti kota itu dibangun tidak membumi, dibangun dengan tidak berpijak, dibangun dengan ngapung (terbang),” ucap Hikmat Gumelar dalam diskusi “Reak Sebagai Arsip Ekologi Masyarakat Sunda” di Sanggar Seni Reak Kuda Lumping Tibelat, Cibiru, Kota Bandung, Sabtu (25/2/2023).
Diskusi yang dimoderatori Topik Mulyana, dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan ini merupakan bagian dari parayaan Milangkala ke-17 Sanggar Seni Reak Tibelat. Bersama Hikmat, tampil seniman karawitan Dody Satya Ekagustdiman sebagai narasumber.
Dijelaskan Himat, seni pertunjukkan tidak hadir dari ruang hampa. Di baliknya ada nilai-nilai, pandangan dunia, dan kepercayaan dari senimannya. Seni seak mencoba menceritakan perjalanan makanan dari tanah sampai ke piring. Proses yang membuat manusia dapat terhubung dengan alam, diri sendiri, dan kehidupan.
Hikmat berpendapat, selain memiliki filosofi yang dalam, kesenian tradisional, khususnya seni reak dapat menjadi jalan keluar dari kemelut modernitas yang umum terjadi di masyarakat urban. Menggeluti seni tradisional ibarat perjalanan pulang atau mudik ke cara hidup yang memandang manusia sebagai bagian kecil saja dari alm.
“Dan konsekuensinya kita tahu diri, kita rendah hati, untuk saling terjalin dengan unsur-unsur alam lain,” kata budayawan yang juga Koordinator Program Institut Nalar Jatinangor ini.
Data menujukkan bagaimana kawasan sawah di Kota Bandung terus menyusut karena terdesak oleh pembangunan. Pada tahun 2003, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung mencatat ibu kota provinsi Jawa Barat ini memiliki 2.104 hektare lahan sawah. Namun, dalam Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1589/SK-HK.02.01/XII/2021 yang terbit pada tahun 2021, luas lahan sawah di Kota Bandung disebutkan hanya tersisa 1.009 hektare.
Baca Juga: Mengenalkan Seni Reak lewat Permainan Papan Anak
Belajar dari Semangat Anak-anak Sanggar Seni Reak Tibelat
Lebih Dihargai di Negeri Orang
Dody Satya Ekagustdiman menceritakan bagaimana kesenian tradisional Indonesia lebih diapresiasi di negeri orang dibanding di negeri sendiri. Ketika berkunjung ke Jerman, dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini mengaku ditawari beasiswa karena piawai dalam memainkan alat musik tradisional.
“Sihoreng, lain sakadar di sakolakeun, manehanana teh butuh seni Sunda (Ternyata bukan sekedar disekolahkan, tapi mereka butuh seni Sunda),” ucap akademisi cum seniman yang akrab disapa Ayah Dody ini sambil tertawa kecil.
Dody melihat bagaimana pemerintah Indonesia belum mampu memberikan dukungan terhadap kesenian tradisional. Dalam hal akses, misalnya, pemerintah Jerman membolehkan pabrik-pabrik kosong diubah menjadi sebuah ruang ekspresi seni atau sanggar. Berbanding terbalik dengan di Indonesia. Di masa Orde baru, saat rakyat mencoba mempertahankan alam sebagai akses terhadap tradisinya, justru mereka dianggap melakukan tindakan melanggar hukum.
“Dianggapna teh penghambat pembangunan, tah Kang Hikmat, ngahalangan tah ieu teh, tewak-tewak Hikmat (Dianggapnya penghambat pembangunan, nih Kang Hikmat, menghalangi ini tuh, tangkap Hikmat),” ujar Dedy.
Yang bisa dikerjakan adalah mempertahankan sawah dan label agraris dari suatu wilayah, bagaimanapun caranya. Hanya dengan itu kesenian tradisional dapat lestari dan produktif. Berbarengan dengan itu, seni tradisional juga harus mampu ngindung ka waktu mibapa ka zaman, mengikuti perkembangan zaman dengan tanpa mengubah nilai tradisinya.
“Bagaimana ke depan, reak itu lebih akademis,” pungkas Dody.
Ungkapan Syukur
Sanggar Seni Reak Tibelat merupakan kelompok seni yang konsisten bergerak di bidang konservasi dan pusat kajian seni reak di Bandung, Jawa Barat. Enjang Dimyanti atau akrab disapa Abah Enjum adalah seniman yang memprakarsai pendirian kelompok ini pada 2006. Dengan slogan “Kudu ngigelan jaman jeung kudu ngigelkeun jaman”, Sanggar Reak Tibelat terus berusaha membuat inovasi agar Seni Reak layak tampil, layak tonton, dan layak jual.
Tantangan-tantangan yang dihadapi kelompok seni reak tidaklah mudah. Salah satunya makin terkikisnya budaya agraris di tengah masyarakat urban Bandung.
“Kumargi, seni tradisi teh di urang teu leupas ti seni nu agraris. Kumargi ayeuna pasawahanna tos seep ku wawangunan, janten we seni industri (Karena seni tradisional di lingkungan kita tidak bisa lepas dari seni agraris. Karena sekarang sawah sudah habis oleh bangunan, oleh karenanya berubah menjadi seni industri),” ucap Abah Enjum dalam sambutannya.
Sejarah mencatat seni reak telah ada sejak abad ke-18 Masehi. Menurut Rohidi, dalam Pendidikan Seni: Isu dan Paradigma, kata “reak” diambil dari areakreakan yang berarti sukacita atau sorak-sorai. Sejak awal kemunculannya, seni ini tak terpisahkan dari sawah dan budaya masyarakat agraris.
“Tak heran jika saat itu reak sering dipakai untuk hajat lembur atau sebagai ritual ketika masyarakat panen padi sebagai bentuk ungkapan syukur dan sukacita,” tulis Willfridus Demetrius Siga, Kristining Seva, Topik Mulyana, dan Tri Joko Her Riadi dalam artikel jurnal “Literasi Pancasila dalam Seni Pertunjukan Reak di Kampung Jati, Kelurangan Pasir Biru, Kecamatan Cibiru”.
Dalam permainannya, seni reak memerlukan lima jenis alat waditra dogdog, yakni tilingtit, tong, brung, bangplak, dan bedug. Lalu, adapula topeng berokan atau bangbarongan yang terdiri dari empat warna, yakni merah, putih, kuning, dan hitam. Warna-warna tersebut melambangkan empat arah mata angin.
“Selain penjelasan di atas, dari beberapa unsur, juga terdapat saripati yaitu aci bumi, aci cai, aci angin, dan aci seneu, sebagai saripati daripada warna yang melekat pada topeng Berokan/Bangbarongan,” tulis Willfridus, dkk.