Belajar dari Semangat Anak-anak Sanggar Seni Reak Tibelat
Anak-anak dari Sanggar Seni Reak Tibelat Cibiru, Bandung, memberi teladan bagi kita semua tentang arti penting melestarikan seni tradisional Indonesia.
Jesse Roselyn Moe
Mahasiswa Jurusan Administrasi Bisnis Universitas Katolik Parahyangan
10 Juni 2021
BandungBergerak.id - Pada hari Minggu, 6 Juni 2021 lalu, saya ambil bagian dalam Pengabdian Masyarakat (abdimas) yang dilakukan oleh para dosen Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) di Sanggar Seni Reak Tibelat Cibiru, Bandung. Tugas saya mengajar anak-anak memainkan sebuah permainan papan (boardgame) yang dinamai Kaulinan Reak.
Sanggar Seni Reak Tibelat sudah bertahun-tahun menjadi tempat bagi anak-anak dan generasi muda di kawasan Manisi, Pasir Biru untuk lebih mengenal kebudayaan Sunda, khususnya seni reak. Di sanggar yang berada di tengah kampung padat itu anak-anak bukan hanya belajar memainkan reak, tapi bahasa Sunda dan etika atau sopan santun. Abah Enjum, pendiri Sanggar Seni Reak Tibelat, yang langsung menjadi gurunya, dibantu oleh kedua putrinya.
Rasa kekeluargaan terbangun demikian kuat di sanggar. Itulah yang segera saya rasakan ketika datang. Anak-anak memberikan sambutan hangat yang amat mengesan bagi saya. Mereka tampak demikian antusias untuk belajar permainana baru yang kami kenalkan.
Ada belasan anak yang datang siang itu. Setelah berkenalan, kami segera belajar bersama memainkan permaianan papan (boardgame) Kaulinan Reak. Wujud papan dan cara memainkannya mirip dengan ular tangga atau monopoli, dua permainan anak yang sangat populer.
Yang membedakan, Kaulinan Reak yang didesain oleh para dosen menggunakan karakter dan istilah yang semuanya diambil dari seni reak, terutama yang ada di Sanggar Seni Reak Cibiru. Demikianlah istilah-istilah khas terkait reak bermunculan di sini, mulai dari bangbarongan, kawih, sesajen, hingga kesurupan.
Permainan papan Kaulinan Reak, yang didahului dengan riset oleh para dosen, dibuat untuk mengenalkan kepada anak-anak nilai-nilai yang terkandung dalam seni reak. Harapannya, mereka nantinya bukan hanya dapat memainkan seni reak, melainkan juga dapat mengerti makna yang terkandung di dalamnya.
Baca Juga: Kesurupan, Proses Menuju Kemanusiaan
Pancasila dari Rakyat (1): Menggali Nilai Ketuhanan dan Gotong Royong dalam Seni Reak
Menyenangi Seni Tradisi
Mendapatkan permainan baru, anak-anak terlihat aktif belajar dari awal hingga akhir. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk segera memahami cara kerjanya. Itulah kekhasan anak-anak. Mereka belajar dengan cepat.
Marvel (12), salah satu anak yang ikut bermain, mengaku sudah menaruh minat pada seni reak sejak lama. Ia sangat tertarik mempelajari alat musik dogdog karena bunyinya dapat menjadi penyemangat. Dogdog merupakan salah satu alat musik khas Sunda yang dimainkan dengan cara dipukul. Tempat tinggalnya yang cukup jauh dari Sanggar Seni Reak Tibelat tidak menjadi penghalang bagi Marvel untuk belajar serius sejak tahun lalu.
Kegiatan di sanggar membua Marvel, yang bercita-cita menjadi seorang guru matematika, tidak melulu di rumah dan suntuk dengan gawai (gadget). Setiap kali ke sanggar, ia senang karena bisa bertemu dan bermain bersama dengan teman-temannya.
Selain Marvel, saya juga berbincang-bincang sedikit dengan Karena (11), anak ketiga Abah Enjum. Sejak kecil, dia sudah dikenalkan dengan kebudayaan Sunda, terutama seni Reak. Karena senang bernyanyi, menari, dan memainkan kecapi.
Karena tidak seperti umumnya anak perempuan saat ini lebih menyukai lagu-lagu asing dan tarian modern dan cenderung sudah tidak tertarik lagi dengan lagu dan tarian tradisional karena dianggap ketinggalan zaman. Bagi dia, lagu-lagu dan tarian Sunda amatlah menarik. Kemauan Karena mempelajari dan mempraktikkan bahasa Sunda juga besar.
Teladan
Rata-rata usia anak-anak di Sanggar Reak Tibelat antara 6-12 tahun. Di usia yang masih tergolong belia, mereka sudah memiliki rasa cinta yang besar terhadap kesenian tradisional Sunda. Mereka memilih untuk tidak sibuk dengan gawai dan permainan daring (game online).
Setiap akhir pekan anak-anak di Pasir Biru itu datang ke Sanggar Seni Reak Tibelat. Tidak jarang, mereka juga membahas bersama beberapa pelajaran sekolah, seperti matematika dan bahasa Sunda. Tambahan lagi, oleh Abah Enjum mereka dikenalkan dengan nilai sopan santun atau etika. Anak-anak itu berlatih di Sanggar Seni Reak Tibelat tanpa ada paksaan.
Begitulah anak-anak dari Sanggar Seni Reak Tibelat memberi teladan bagi saya dan kita semua tentang arti penting melestarikan seni tradisional Indonesia. Semangat mereka yang luar biasa patut diacungi jempol. Semangat yang mestinya dimiliki oleh setiap warga negara agar nilai-nilai penting dalam kebudayaan kita tidak hilang digerus perubahan zaman.