• Opini
  • Kesurupan, Proses Menuju Kemanusiaan

Kesurupan, Proses Menuju Kemanusiaan

Kesurupan dalam seni reak, juga dalam seni-seni tradisi lain, merupakan simulasi dari proses perjalanan manusia dari yang biologis menuju yang kosmis.

Topik Mulyana

Dosen dan peneliti Lembaga Pengembangan Humaniora, Pusat Studi Nitiganda, Fakultas Filsafat Unpar, Ketua Padepokan Bumi Ageung Saketi

Enjang Dimyati (Abah Enjum) sedang melakukan puncak penyadaran (netralisasi) terhadap penari Kidung Buhun dalam salah satu pertunjukan seni Reak yang digelar sebelum pandemi tahun lalu. (Dok: Sanggar Seni Reak Tibelat)

9 Juni 2021


BandungBergerak.id - Kesurupan (Sunda: kasurupan) merupakan suatu situasi ketika seseorang berada dalam keadaan tidak sadar karena dirinya dimasuki makhluk halus. Ia berkata-kata atau bertindak tidak atas kesadaran diri, tetapi karena dikendalikan makhluk halus tersebut. Itulah arti kesurupan yang secara umum diketahui. Ada juga yang memandang bahwa kesurupan adalah penyakit takwajar. Sebagian orang Islam percaya bahwa kesurupan adalah kemasukan jin. Dalam dunia tasawuf, konon para sufi seperti Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, dan Syekh Siti Jenar kesurupan akibat kemasukan ruh ilahiah dan mengalami musyahadah (penyaksian). Dalam kacamata medik, kesurupan adalah peralihan kesadaran akibat stimulus-stimulus tertentu, baik internal maupun eksternal.

Dalam wacana akademik, terutama dalam bidang antroplogi, etnologi, dan folklore, kesurupan (secara umum disebut trans, dari bahasa Inggris: trance) telah menjadi bahasan menarik yang dipelajari para antropolog, etnolog, psikolog, dan ahli seni. Di antaranya, I. M. Lewis membahas kesurupan dalam konteks antropologi dan etnologi dalam artikelnya “Trance, Possesion, Shamanism and Sex”, Hoyt Edge membahasnya dalam konteks seni: “Possesion in Two Balinese Trance Ceremonies”, dan Erika Buorguignon dalam bidang medik dan psikologi: “Suffering and Healing, Subordination and power: Women and Possesion Trance”. Ilmuwan yang secara komprehensif membahas kesurupan adalah Dennis Wier, dalam bukunya The Way of Trance (2007).

Dalam konteks seni tradisi, kesurupan merupakan situasi ketika para pemain atau seniman berada dalam keadaan setengah sadar atau bahkan tidak sadarkan diri, sehingga kesadarannya surup, terbenam. Gerak-gerik tubuhnya dikendalikan oleh sesuatu yang berada di luar kuasa dirinya sehingga mampu membuat gerakan-gerakan menakjubkan yang mungkin tidak akan sanggup ia lakukan dalam keadaan sadar. Dalam konteks tari Bali, disebut “taksu”. Dalam permainan pedang di Irlandia, dikenal dengan “duendee”. Dalam Seni Seni Reak Sunda, dikenal dengan istilah “jadi”. Mereka menari-nari atau melakukan aksi-aksi berbahaya, seperti menginjak-nginjak pecahan beling dan memakan pecahan bohlam, tanpa terluka.

Situasi kesurupannya para pemain merupakan tindakan yang disengaja (by design). Hal itu dilakukan oleh pawang yang biasanya jadi pemimpin pertunjukan. Dalam seni reak, dikenal sebagai malim. Sang malim inilah yang membuat pemain “jadi”, sekaligus “mulangkeun” (memulangkan) atau netralisasi, membuatnya sadar kembali.

Enjang Dimyati (45) atau akrab yang dipanggil Abah Enjum menjelaskan arti dan jenis-jenis kesurupan yang ternyata ada tiga jenis. Pemimpin Sanggar Seni Reak Tibelat Cibiru, Bandung, yang kerap bertindak sebagai malim dalam setiap penampilan grupnya itu menjelaskan bahwa ada tiga jenis kesurupan, yaitu susurupan, kasurupan, dan nyurup. Hal ini ini dapati setelah mempelajari dan mendalami seni reak yang selama ini identik dengan mabuk-mabukan.

Susurupan, Kasurupan, Nyurup

Susurupan adalah pura-pura kesurupan. Para pemain berlaku seperti “jadi” dengan cara meminum-minuman keras sebelum bermain. Alhasil, yang terjadi adalah keributan demi keributan. Hal inilah yang membuat seni reak pada masa-masa lalu mendapatkan stigma dalam masyarakat sebagai seni yang arogan, ajang keributan, bahkan mengandung kemusyrikan. Karena itulah seni reak nyaris dihapuskan oleh pemerintah setempat. Atas upaya revitaliasi seni reak yang dilakukan Abah Enjum dengan Sanggar Tibelat-nya, seni reak tetap lestari.

Memang, dalam banyak tradisi, minuman keras menjadi sarana untuk menuju situasi kesurupan, sebagaimana dijelaskan Wier dalam The Way of Trance. Namun, meminum-minuman keras tidak menjamin terjadinya kesurupan. Dalam konteks seni pertunjukan reak, minuman keras pada akhirnya menjadi kebiasaan yang melunturkan hakikat kesurupan itu sendiri, karena yang terjadi hanya susurupan, pura-pura kesurupan (pseudo-trance). 

Kasurupan adalah situasi ketika pemain “jadi”. Ketika pertunjukan memasuki bagian inti, yakni gelaran berbagai atraksi (tarian Kidung Buhun, bangbarongan, kuda lumping, dan pencak silat), si malim membuat para pemain “jadi”. Maka, beraksilah mereka. Pertunjukan pun kian meriah dan menarik. Para pemain menari-nari, mendandak-nandak, berguling-guling, atau meloncat-loncat. Ketika pertunjukan hendak usai, si malim kembali menetralisasi (mulangkeun) pemain sehingga kembali ke kesadaran semula. Karena kesurupan merupakan peralihan kesadaran akibat stimulus eksternal, Wier menyebutnya Invasive Trance.

Di luar konteks pertunjukan, ada beberapa kisah menarik yang dituturkan Abah Enjum terkait kasurupan ini. Konon, ada seorang seniman asal Filipina yang tinggal di Singapura. Ia ingin sekali menjalani hidup sesuai dengan jati dirinya, termasuk cara berpakaian dan melakukan ritual-ritual tertentu. Namun, ia tidak percaya diri. Ia melakukan perjalanan ke berbagai negara di dunia demi mencari jati dan kepercayaan dirinya itu. Singkat kisah, seniman itu mendatangi Padepokan Bumi Ageuung Saketi di Cibiru, Bandung (rumah Abah Enjum). Maka, dibuatlah ia kesurupan. Usai dinetralisasi, ia merasa takjub dan mengaku sudah menemukan jati dirinya itu.

Kisah lainnya adalah seorang seniman Jepang yang menemui Abah Enjum, ditemani seorang penerjemah. Ia minta dibuat kesurupan. Saat sedang “jadi”, ia berbicara Bahasa Jepang kuno yang tidak dimengerti oleh sang penerjemah. Abah enjum jadi tak paham, apa yang dimaui sang arwah leluhur Jepang itu agar keluar dari tubuh sang seniman. Akhirnya, Abah mengeluarkan “jurus pamungkas”: ngahijikeun rasa (menyatukan rasa).

Jika kesurupan merupakan situasi ketika sesosok arwah memasuki diri dan diri itu dikendalikan oleh sang arwah, lain halnya dengan nyurup. Nyurup adalah situasi ketika sang arwah masuk, namun sang diri tetap sadar dan mampu mengendalikan segala ucapan dan tindakannya. Ia seperti orang biasa, namun memiliki kemampuan lebih. Hanya orang-orang tertentu yang mampu berada dalam situasi seperti ini, di antaranya sang pawang atau malim. Orang-orang yang nyurup mampu membuat orang lain kesurupan ataupun menyembuhkannya. Karena itulah, Wier menyebutnya sebagai Advanced Trance.

Baca Juga: Pancasila dari Rakyat (1): Menggali Nilai Ketuhanan dan Gotong Royong dalam Seni Reak
Mahasiswa Asing Belajar Seni Reak Demi Bisa Kesurupan

Memaknai Ketiga Jenis Surup

Menarik sekali jika kita kaitkan ketiga jenis situasi trans tersebut dengan perilaku masyarakat dalam kehidupan sosial kita. Saya beranalogi pada mereka yang belajar filsafat dan seni. 

Para mahasiswa yang baru belajar filsafat akan mengalami susurupan dan kesurupan. Mereka mulai mengenal nama-nama seperti Karl Marx dan Nietzsche. Mungkin saja yang mereka baca adalah ulasan-ulasan tentang pemikiran ketiga filsuf tersbut, bukan karyanya langsung. Maka, mulailah mereka mengoceh tentang materialisme hostoris atau runtuhnya rezim kebenaran. Padahal mereka belum paham betul pemikiran keduanya, hanya beradasarkan ulasan dan “katanya”. Mereka susurupan filsafat.

Saat mereka sudah semakin banyak membaca, barangkali sedikit demi sedikit mereka paham. Maka, mereka pun mengiyakan apa yang dikatakan Marx, Nietzsche, dan Plato. Ada yang meninggalkan ibadah-ibadah wajib karena menganggap agama itu candu. Ada juga yang melakukan free sex dan pelanggaran norma-norma lainnya karena menganggap moralitas itu nonsens. Mereka kesurupan Marx dan Nietzsche. Istilah umumnya: latah.

Khusus untuk analogi nyurup, saya ingin memberikan contoh konkret dalam sejarah. Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan para pendiri bangsa yang lain adalah para pembaca yang mumpuni. Paham-paham pemikiran Barat menjadi santapan mereka kala menjadi mahasiswa. Mereka paham betul pemikiran Karl Marx. Sukarno, misalnya, saat ngekos di rumah Inggit Garnasih, mengkhatamkan Das Kapital dalam tiga bahasa: Belanda, Jerman, Inggris. Demikian juga Hatta yang selalu membawa buku-bukunya, bahkan ke pengasingan. Ada banyak kisah menakjubkan tentang bagaimana kehidupan para pendiri bangsa ini sangat akrab dengan buku. Apa yang mereka hasilkan? NKRI, UUD 45, dan Pancasila. Mereka adalah orang-orang yang nyurup filsafat.

Analogi yang sama dapat kita terapkan pada bidang-bidang lain. Maka, tampaklah pada kita fenomena susurupan dan kasurupan ini demikian menggejala. Anak-anak kita yang susurupan dan kasurupan games Among us dan Free Fire. Para remaja kita yang susurupan dan kasurupan K-Pop dan Tik Tok. Kaum menengah muslim perkotaan yang susurupan dan kasurupan ideologi dan kebudayaan a la Timur Tengah. Tak kalah para makelar politik yang kasurupan hantu korupsi.

Dari Kasurupan Menuju Kemanusiaan

Sebagaimana kasurupan dalam seni reak yang ada kesudahannya, yakni dengan proses mulangkeun sang pemain yang kesurupan oleh sang malim, kita berharap pelbagai “kesurupan” di tengah masyarakat kita pun segera berakhir. Semua kembali kepada jatidiri kita selaku orang Indonesia, kembali kepada kesadaran kita semula sebagai orang Sunda, Jawa, Minang, Batak, Bugis, Peranakan Tionghoa, dan lain-lain. Cukuplah berbagai kerusakan yang telah kita perbuat akibat susurupan dan kesurupan kita yang berkepanjangan.

Dengan demikian, kesurupan dalam seni reak, juga dalam seni-seni tradisi lain, merupakan simulasi dari proses perjalanan manusia dari yang biologis menuju yang kosmis, dari jalma menuju manusa, dari Homo sapiens menuju Homo religiosum, dari an-naas menuju al-insaan al-kamiil, dari manusia yang zalim dan biadab menuju manusia yang adil dan beradab. Lebih jauh, diharapkan tidak hanya kembali kepada kesadaran, tetapi juga menjadi manusia-manusia yang nyurup, yang mampu menerima berbagai pengaruh dari luar untuk kemudian kita olah-cipta menjadi karya besar yang memiliki kekhasan tersendiri. Seperti moyang kita dulu menerima dan mengolah-cipta kisah Ramayana dan Mahabarata atau para pendiri bangsa yang menyerap dan mereka-cipta demokrasi dan nasionalisme.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//