• Kolom
  • NGABANDUNGAN: Tafsir Tunggal Pancasila

NGABANDUNGAN: Tafsir Tunggal Pancasila

Hypatia juga Mansur Al-Hallaj menjadi contoh martir yang melawan tafsir tunggal milik penguasa yang tertutup dan keras, yang harus membayarnya dengan nyawa.

Iman Herdiana

Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].

Seorang anak membawa lambang negara Garuda Pancasila dalam perayaan hari lahir Pancasila yang diselenggarakan Karang Taruna Liogenteng Bandung (1/6/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

4 Juni 2023


BandungBergerak.id – Ceramah publik yang disampaikan pendeta Cyril itu lebih mirip orasi yang membakar para pengikutnya untuk menghujat kaum pagan. Ia berdiri di depan kolam api yang berkobar, tak jauh dari patung-patung dewa dewi Yunani Kuno yang mengelilingi perpustakaan Aleksandria. Pada abad ke-4 masehi itu, Aleksandria di ambang konflik sektarian.

Aleksandria, sebuah kota di Mesir yang awalnya tempat berbagai agama—pagan, Yahudi, dan Kristen—hidup berdampingan, menemukan titik paling berdarahnya pada masa Hypatia yang sedang sibuk-sibuknya dengan berbagai pemikiran filsafat dan eksperimen astronomi. Ia terjepit di antara ambisi para pengikut tiga agama yang saling bersaing dan mengklaim paling berhak atas tafsir tunggal kebenaran.

Pendeta Cyril terus mengobarkan ceramah-ceramah provokatifnya. Ia menantang pendeta pagan berjalan di atas kolam api. Ia sendiri kemudian melangkah tenang di kolam api itu. Dan tidak terjadi apa-apa, sepatunya sedikit terbakar.

Seorang pendeta pagan tua kemudian dipaksa melakukan hal serupa. Dia didorong ke dalam bara. Berguling-guling ia dengan jubah yang terbakar. Histeria massa yang terbakar agama semakin menjadi-jadi menyambut pemandangan mengerikan seolah menyaksikan sirkus yang lucu.

Kisah pendeta pagan yang terbakar menjadi awal dimulainya konflik agama dalam film drama sejarah Agora (2009). Film yang disutradarai Alejandro Amenabar ini memotret perseteruaan tiga agama melalui perjalanan hidup filsuf perempuan yang juga ahli matematika dan astronomi Aleksandria, Hypatia (diperankan Rachel Weisz). Di sana juga konflik agama dan sains baru bersemi dan tak kalah berdarah yang kelak dalam beberapa abad kemudian konflik ini sulit didamaikan.

Hypatia diperkirakan lahir pada 355 dan meninggal 415 Masehi ketika Mesir masih di bawah kekuasaan kekaisaran Romawi Timur Thepdosius I (379-395) yang tidak lama lagi runtuh. Perpustakaan Aleksandria yang terkenal sebagai perpustakaan paling besar di dunia pada masanya, masih dikuasai kaum pagan, termasuk Theon, ayah Hypatia yang berpengaruh. Theon mendidik putrinya dengan ajaran Helenisme Yunani. Meski perempuan, Hypatia diberi kebebasan untuk menjadi diri sendiri dan mendalami minatnya pada filsafat.

Berkat pengaruh bapaknya dan kecerdasan alaminya, Hypatia menjadi perempuan paling berpengaruh di Aleksandria. Ia guru besar di perpustakaan yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan. Tokoh platonisme ini mengajarkan ilmunya di ruang kuliah dengan bangku-bangku panjang yang menyerupai stadion sepak bola mini.

Hypatia yang skeptis terhadap segala hal termasuk agama, bertanya pada murid-muridnya yang kebanyakan laki-laki tentang mengapa benda selalu jatuh ke bawah. Masa itu tentu belum ada hukum gravitasi Newton, susunan tata surya masih samar-samar, bintang di langit masih berupa bola-bola misterius yang menyala, bumi pun masih diyakini datar, tidak diketahui apakah bumi mengelilingi matahari atau matahari yang dikelilingi bumi. Sementara para imam-imam agama yakin dengan geosentrisme bahwa bumi adalah pusat tata surya.

Baca Juga: NGABANDUNGAN: Membahasakan Maneh
NGABANDUNGAN: Mitos Fesyen Lebaran #1
NGABANDUNGAN: Mitos Fesyen Lebaran #2

Hypatia Martir Filsuf

Tidak ada murid yang mampu menjawab pertanyaan Hypatia sebagaimana ia sendiri masih berusaha memecahkan pertanyaan misterius tersebut. Seorang murid, Orestes (Oscar Isaac), malah tidak peduli dengan pertanyaan-pertanyaan konyol itu. Bagi Orestes, cinta terhadap gurunyalah yang paling penting. Orestes memberikan sepasang seruling tradisional untuk menyatakan cintanya kepada Hypatia. Tetapi Hypatia memberinya celana dalam berdarah menstruasi sebagai tanda penolakan. Bagi Hypatia, cintanya hanya untuk filsafat dan sains.

Murid-murid Hypatia berasal dari beragam agama: pagan, Yahudi, Kristen. Mereka belajar bersama tanpa memandang perbedaan. Ketika sentimen agama mulai menjalar ke ruang-ruang kelas, Hypatia selalu mengingatkan bahwa mereka semua bersaudara dan bersama-sama mempelajari ilmu pengetahuan.

Di saat seorang pendeta pagan tua itu nyaris mati terbakar di kolam api, para pendeta pagan lainnya merasa tersulut untuk menghentikan ceramah-ceramah provokatif pendeta Cyril dan pengikut-pengikutnya. Mereka berkumpul di depan perpustakaan. Di sana ayah Hypatia yang terkenal bijak, ikut terpacing mengobarkan perang.

Hypatia berusaha menentang mobilisasi massa oleh kaum pagan itu. Orestes yang paling terbakar karena cintanya ditolak, sangat semangat mengusung senjata walau Hypatia yang antikekerasan melarang murid-muridnya turun ke gelanggang.

Hypatia tak didengar. Pada adegan ini bahasa-bahasa tubuh film memperlihatkan karakter para lelaki yang lebih mengedepankan ego dan kekuatan ketimbang akal sehat, apalagi mendengar nasihat filsuf perempuan. Mereka berlarian ke gudang persenjataan kemudian berbondong-bondong menyerang kelompok pendeta Cyril.

Rombongan pendeta Cyril sempat berhamburan, beberapa tubuh bergelimang darah. Tapi kaum pagan segera menerima serangan balik yang mematikan. Mereka baru sadar bahwa jumlah kaum monoteisme sudah berlipat ganda melebihi perkiraan mereka. Mereka kini yang dikejar lari ke perpustakaan untuk menghindari massa fanatik yang marah.

Theon menjadi korban kebrutalan amuk massa ini. Ia dipukul oleh budaknya sendiri yang diam-diam sudah pindah agama. Sang budak kemudian tewas di tangan Orestes. Theon diseret ke dalam perpustakaan dan mendapatkan perawatan dari Hypatia. Kepada putrinya itu ia menyesal tidak lagi bijak seperti dulu.

Kini kaum pagan terkurung di perpustakaannya sendiri. Di luar, massa beringas menanti. Alexsandria nyaris dalam kondisi anarkis karena kekuasaan kekaisaran Romawi Timur sama rapuhnya.

Perpustakaan akhirnya jatuh. Patung dan buku dihancurkan. Hypatia dan kaumnya tercerai berai. Namun ia masih punya pengaruh di elite lokal. Dua muridnya, Orestes, elite di Aleksandria, dan Synesius selaku pendeta. Di saat yang sama, pengikut monoteisme semakin kuat menyingkirkan kaum pagan.

Di tengah forum bernama Agora—ruang publik peninggalan Romawi Yunani yang dipakai untuk membahas perkembangan kota oleh elite dan warganya—Hypatia lantang menyuarakan pentingnya penegakan hukum terhadap kelompok agama yang melakukan kekerasan terhadap agama lain. Seorang pendeta cepat mendebat, buat apa menuruti saran seorang perempuan pagan yang tidak percaya Tuhan. Sang pendeta bertanya apa yang dipercayai Hypatia. “Aku percaya filsafat,” jawab Hypatia yang segera disahut tawa dan cemooh para pendeta.

Hypatia sadar pamornya kini menurun. Bekas-bekas muridnya, Orestes dan Synesius, tak bisa diandalkan. Ia sendirian. Di tempat lain, pendeta Cyril kini membidik sang filsuf dengan ayat-ayat yang memojokkan posisi perempuan, mengatur busana yang harus dikenakan wanita, melarang mereka berbicara di Agora. Bahwa tidak ada satu pun nabi perempuan, demikian kata kitab suci yang dikutip pendeta Cyril. 

Hypatia menyandang tuduhan penyihir, cap yang dilaknat agama. Bidikan terhadap Hypatia sekaligus menandakan pada masa bergolak itu agama dan ilmu pengetahuan ibarat minyak dan api. Keduanya penuh dengan prasangka dan saling mencurigai. Praktik-praktik eksperimental yang kerap dilakukan Hypatia untuk membuka tabir misterius tata surya dituduh sebagai sihir.

Hypatia hidup ketika kitab suci ditafsirkan untuk kepentingan diri si penafsir dan kelompoknya. Ia tetap teguh dengan pendiriannya meski segala lini menekan untuk meninggalkan agama nenek moyangnya. Di perjalanan pulang dari Agora, ia diculik kelompok-kelompok puritan, diseret ke perpustakaan, ditelanjangi, dimutilasi, lalu dibakar.

Hypatia menjadi martir bagi para filsuf sekaligus peletak dasar gerakan emansipasi. Ia sosok penting yang turut mengembangkan heliosentrisme bahwa matahari sebagai pusat tata surya sekaligus menyatakan bahwa bumi bukanlah pusat tata surya seperti keyakinan geosentrisme. Baginya tata surya bergerak dalam siklus elips, bukan lingkaran.

Mansur Al Hallaj Martir Pemikir Sufi

Hypatia bukan martir terakhir dalam relasi rumit agama dan sains. Sebagaimana bisa kita baca sendiri, 15 abad kemudian Nicolaus Copernicus (1473-1543) menerangkan lebih rinci teori heliosentrisme yang menjungkirbalikan geosentrisme. Beruntung, Copernicus hanya dinyatakan sesat oleh kalangan agama. Namun Galileo Galilei tak semujur Copernicus. Filsuf, astronom, dan pakar matematika dari Italia ini harus mendapatkan hukuman tahanan rumah hingga akhir hayatnya setelah didakwa bidah karena melanjutkan teori Copernicus.

Tafsir tunggal agama identik dengan kekuasaan politik yang menjadi pasangannya. Fenomena ini terjadi pada belahan bumi mana pun, tak hanya di akhir abad ke-4 di Mesir, atau pada abad pertengahan di Eropa, melainkan terjadi juga di masa kekhalifahan Islam. Salah satu hukuman mati dengan latar agama dan politik menimpa mistikus keturunan Persia, Mansur Al-Hallaj (244 - 922 M).

Ada kemiripan antara hukuman terhadap Hypatia dengan Al Hallaj yang namanya tidak asing di Indonesia (244 - 922 M). Al Hallaj hidup pada masa Dinasti Abbasiyah di Baghdad yang rakyatnya mengalami kemunduran secara sosial dan ekonomi. Situasi ini semakin bergejolak saat Al Hallaj menyebarkan ajaran sufinya. Pemikiran-pemikiran Al Hallaj mendorong rakyat Baghdad bergerak menuntut hak-haknya sekaligus meminta penguasa agar menghentikan praktik-praktik korup.

Istana dan ulama yang dekat dengan kekuasaan tak senang dengan metode dakwah yang disampaikan Al Hallaj. Mereka menemukan celah bahwa Al Hallaj telah menyebarkan ajaran sesat melalui pernyataan sufistik yang kemudian melegenda, “Ana al Haq (akulah kebenaran)”. Al Haq sendiri salah satu nama Allah, sehingga dengan mudah “Ana al Haq” dimaknai sebagai “akulah Tuhan”. 

Atas kesesatannya itu, Al Hallaj bertahun-tahun dipenjara, kemudian dieksekusi gantung. Tubuhnya dimutilasi lalu dibakar. Eksekusi ini menimbulkan ketakutan rakyat Baghdad. Beberapa pengikut Al Hallaj bahkan tak berani menyebarkan syair-syair yang ditulis gurunya. Di nusantara, ulama kontroversial yang nasibnya mirip Al Hallaj adalah Syeikh Siti Jenar atau Syeikh Lemah Abang yang harus menerima hukuman mati karena ajaran sufistiknya. 

Butuh seabad kemudian karya-karya Al Hallaj bisa dipublikasikan dan kemudian mendapatkan banyak ulasan. Banyak ulama besar yang membela proses pencarian Al Hallaj di jalan sufisme, antara lain Al Ghazali dalam karyanya Misykat al-Anwar (Misykat Cahaya-cahaya) yang menilai pencarian sufistik Al Hallaj hanya dipahami dan dialami oleh dirinya sendiri yang sedang mabuk cinta kepada Allah. Dalam konteks inilah pernyataan “ana al haq” mestinya ditempatkan.

As Suhrawardi, penyair dan filsuf iluminasi kelahiran utara Iran menyampaikan pembelaan serupa pada Al Hallaj. Ironisnya, penyair muda ini menemui ajal dengan tuduhan agama dan politik seperti Al Hallaj. Suhrawardi di kalangan muridnya dikenal Syeik al Isyraq. Ia juga populer dengan sebutan Suhrawardi al Maqtul (sang guru yang terbunuh) karena akhir hayatnya yang tragis.

Suhrawardi awalnya memiliki hubungan dekat dengan Sultan Malik az Zhahir, anak Salahuddin al Ayyubi. Kedekatan ini membuat ulama-ulama di lingkaran istana merasa terancam. Mereka melancarkan serangan bahwa pemikiran-pemikiran Suhrawardi berbahaya bagi umat Islam. Suhrawardi meninggal di penjara pada usia 38 tahun pada 1191 M.

Kini sudah banyak karya-karya Al Hallaj yang diterbitkan. Orientalis Prancis Louis Massignon menuliskan kumpulan karya Al Hallaj dalam Recueil des Textes Inedits d’ al-Hallaj. Filsuf yang juga penyair kontemporer Iran Muhammad Iqbal menulis kumpulan puisinya Javid Namah (Kitab Keabadian), di antaranya mengulas alasan pembunuhan Al Hallaj.

Ketika tafsir hanya dimiliki satu kelompok untuk menolak kelompok atau individu lainnya, maka yang terjadi adalah tafsir tunggal yang tertutup dan keras. Menolak tafsir tunggal ini sama dengan pembangkangan atau berujung kematian.

Di Indonesia, tafsir tunggal ini bukan hanya berasal dari agama. Negeri ini pernah lama di bawah kekuasaan Orde Baru yang memperalat Pancasila sebagai tafsir tunggal untuk mendoktrin dan melanggengkan kekuasaannya. Pascareformasi 25 tahun lalu, Pancasila direbut dan dikembalikan ke tangan yang semestinya, yaitu rakyat. Pancasila berasal dari rakyat, bukan milik penguasa atau sekelompok golongan saja.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//