• Kolom
  • NGABANDUNGAN: Mitos Fesyen Lebaran #2

NGABANDUNGAN: Mitos Fesyen Lebaran #2

Kaitan HAM dengan industri fast fashion ini dapat dilihat dari kisah Mira, seorang pekerja anak di industri tekstil yang berdiri di sekitar Sungai Citarum.

Iman Herdiana

Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].

Warga saat mengunjungi Trans Studio Mal, Bandung, di hari pertama kembali beroperasi setelah tutup selama PPKM level 4, Rabu (11/8/2021). Pengunjung harus memiliki sertifikat vaksin jika ingin ke mal. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

1 Mei 2023


BandungBergerak.idDi media sosial terutama TikTok, sempat ramai dengan video-video yang membahas outfit atawa fesyen. Video tersebut biasanya berbentuk template, yakni seorang pewawancara mengajukan pertanyaan tentang outfit yang dipakai seseorang. Pertanyaannya sama, cuma orang-orang yang ditanya berbeda-beda.

Kurang lebih begini pertanyaan-pertanyaan di video TikTok tersebut: “Apa saja dan berapa harga outfit yang lo pakai?” Orang yang ditanya kemudian menjelaskan produk fesyen yang ia pakai dari ujung kepala sampai kaki. Tak lupa nilainya dijumlahkan. Ada yang mengaku memakai outfit dengan nilai total belasan juta rupiah. Entah benar atau tidak. Mungkin juga benar karena dia konon anak sultan.

Perkembangan outfit atau produk fesyen di Indonesia saat ini memang tengah naik daun. Itu tak mengherankan. Negeri ini sudah lama menjadi sarangnya pabrik fesyen, khususnya fast fashion yang diproduksi secara cepat dengan harga murah (istilah murah ini problematik, yang akan kita bahas selanjutnya). Pada tulisan sebelumnya, fast fashion berarti fesyen atau pakaian cepat saji, merujuk pada makanan cepat saji alias fast food.  

Orang yang kerap mengalami kebingungan karena mencari outfit yang tepat sementara ia baru saja membeli pakaian baru, disebut fast fashionista. Orang yang sibuk memikirkan baju lebaran sementara baju lebaran tahun lalu masih menumpuk di lemari pakaian, juga disebut fast fashionista.

Ada dampak yang tidak murah (sangat serius) di balik tren fast fashion, mulai dari sampah pakaian atau isu lingkungan secara umum, hak asasi manusia (HAM) yang menjadi tumbal di industri ini, pekerja anak, upah murah pada buruh yang bekerja di industri fast fashion.

Kaitan HAM dengan industri fast fashion ini dapat dilihat dari kisah Mira, seorang pekerja anak di industri tekstil yang berdiri di sekitar Sungai Citarum. Kisah Mira ini dikisahkan kembali oleh Daphne Andrea dalam pidato bertajuk “Your Fashion, Your Power” pada acara Mahasiswa Berprestasi (Mapres) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) 2023.

Mira merupakan seorang anak berumur 13 tahun yang merupakan pekerja anak dalam industri fast fashion. Alih-alih pergi bersekolah, Mira memiliki pekerjaan rutin menjahit. Serupa dengan pekerja anak lainnya, Mira juga memiliki jam kerja yang panjang namun dibayar rendah.

Selain isu pekerja anak, fast fashion juga berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar. Setiap harinya, Mira dan ibunya menjadi saksi bagaimana industri tekstil tempat mereka bekerja mengeluarkan berbagai bahan kimia berbahaya ke Sungai Citarum yang secara perlahan mengubah warna airnya. Bahan kimia tersebut mengandung berbagai zat yang berbahaya bagi habitat air maupun manusia. Fakta bahwa Mira dan penduduk setempat menggunakan air Sungai Citarum untuk mencuci pakaian dan mandi mengantarkan dampak selanjutnya dari industri ini, yaitu kesehatan.

Kisah Mira yang diceritakan Daphne Andrea adalah satu kasus dari isu pelanggaran HAM di balik gemerlapnya industri fast fashion, yang mungkin salah satu produknya sedang kita kenakan atau tersimpan di lemari pakaian. Kasus HAM lain yang menggemparkan dunia terjadi pada 2013 di Rana Plaza, Bangladesh.

Rana Plaza merupakan komplek gedung yang terdiri dari 8 bangunan komersial yang masing-masing gedung berfunsi sebagai pabrik pakaian, bank, apartemen, dan pertokoan. Komplek gedung ini rubuh dan menewaskan 1.000 orang lebih dan melukai 2.500 orang lainnya, termasuk para buruh pabrik yang mengerjakan brand-brand retail besar fast fashion. Hasil investigasi mengatakan, penyebab rubuhnya komplek tersebut adalah kegagalan strutur bangunan.

Tragedi Rana Plaza, menurut perupa sekaligus dosen ilmu tekstil perguruan tinggi di Bandung Maradita Susantio, memancing reaksi dunia internasional terhadap sisi kelam industri fesyen, bahwa di balik brand-brand mentereng ada borok yang tersembunyi: perlakuan tidak layak terhadap manusia, sitem kerja tidak aman dan tidak sehat, sistem upah rendah, bahkan ada yang sampai tak dibayar selama tiga bulan, dan eksploitasi anak di bawah umur untuk dipekerjakan sebagai buruh pabrik.

Di bidang lingkungan, industri fashion dunia sama murungnya karena telah mencemari darat, laut, udara. Orsola de Castro, pendiri dari Fashion Revolution, mengatakan bahwa jumlah besar dari produksi busana yang dihasilkan bisnis fast fashion menjadikan bisnis tersebut sebagai penyumbang limbah terbesar (envihsa.fkm.ui.ac.id).

Laman envihsa.fkm.ui.ac.id melaporkan, industri fast fashion bertanggung jawab terhadap sekitar 10 persen dari total emisi karbon di dunia, bahkan diperkirakan akan mengalami peningkatan sampai 50 persen di tahun 2030.

Bahan pakaian yang umumnya digunakan dalam industri fast fashion adalah serat sintetis seperti poliester. Bahan-bahan ini menjadi sumber utama karena membutuhkan biaya yang murah untuk diproduksi. Jika dibandingkan, harga poliester hanya setengah dari harga kapas. Poliester diproduksi dari polietilena tereftalat (PET), yaitu sejenis plastik yang berasal dari bahan bakar fosil. Poliester tidak dapat terurai secara hayati (non-biodegradable) dan akan melepaskan mikroplastik yang dapat merusak ekosistem. 

Bahkan diperkirakan 35 persen mikroplastik di lautan berasal dari proses pencucian serat sintetis termasuk poliester, menurut laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2017. Mikroplastik ini dapat menyusup ke dalam rantai makanan sehingga dapat berbahaya bagi kesehatan. Mikroplastik sudah ditemukan pada ikan yang dikonsumsi manusia. 

Tak jauh berbeda dengan serat sintetis, kain katun turut berperan besar dalam kerusakan lingkungan. Masih menurut laman envihsa.fkm.ui.ac.id, kebanyakan budidaya kapas di seluruh dunia menggunakan pestisida nonorganik yang memiliki sifat berbahaya. Penggunaan pestisida bertujuan untuk mengendalikan hama sehingga petani dapat menghindari kerugian dan meningkatkan efisiensi produksi. Diperkirakan bahwa menanam kapas membutuhkan 200.000 ton pestisida dan 8 juta ton pupuk sintetis setiap tahunnya.  Penggunaan pestisida berbahaya ini dapat menyebabkan berbagai dampak berbahaya, mulai dari menurunkan kualitas tanah, menimbulkan risiko kesehatan pada petani, hingga mencemari perairan.

Industri fast fashion memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap air dalam jumlah besar saat proses mewarnai hingga mencuci pakaian. Katun menjadi serat “paling haus” air. Dibutuhkan sekitar 700 galon untuk memproduksi sebuah kemeja katun dan 2.000 galon air untuk memproduksi celana jins. Secara global, industri ini menghabiskan sekitar 79 miliar liter air setiap tahunnya. Selanjutnya limbah air hasil produksi yang tidak diolah kembali dapat mencemari perairan dengan racun dan logam berat yang berbahaya bagi kesehatan.

Cepatnya pergantian tren pakaian serta kualitas pakaian fast fashion yang kurang baik membuat konsumen menjadi sering berbelanja dan dengan mudahnya membuang pakaian yang sudah tidak dipakai. Sikap boros ini berkontribusi dalam penumpukan limbah tekstil, yang diperkirakan mencapai sekitar 92 juta ton setiap tahunnya. Limbah tekstil ini biasanya dibakar atau dibuang begitu saja ke tempat pembuangan akhir dan hanya kurang dari 1 persen yang didaur ulang. 

Baca Juga: NGABANDUNGAN: Mitos Fesyen Lebaran #1
NGABANDUNGAN: Membahasakan Maneh
NGABANDUNGAN: Bunga Rawa dan Burung Pelikan

Slow Fashion vs Fast Fashion

Di tengah kontroversi fast fashion, muncul industri tandingan yang mengusung ide slow fashion. Kebalikan dari fast fashion, industri slow fashion berusaha melahirkan produk-produk fesyen yang awet dan tahan lama. Jika industri fast fashion memilih bahan dengan kualitas rendah, sebaliknya slow fashion menciptakan produk kualitas tinggi. 

Menurut Maradita Susantio, slow fashion adalah “Sebuah bentuk perlawanan terhadap dampak industri fashion (fast fashion), nampaknya slow fashion menjadi oposisi dalam melawan keadaan yang jatuh terpuruk pada fokus persoalan lingkungan,” terang dosen yang akrab disapa Dita (Mengkaji Trend Fashion 2020 Sebagai Mitos Kontemporer, kabarkampus.com, 29 Nov 2019).

Berbeda dengan fast fashion yang mempercepat siklus “kematian” pakaian, slow fashion fokus memperpanjang umur pakaian. Slow fashion tidak terburu-buru dan memperhatikan sisi keberlanjutan dan persoalan etis bagi lingkungan dan manusia, menawarkan kualitas bukan kuantitas, memberikan nilai bagi sumber-sumber lokal, dan berkontribusi bagi ekonomi dengan sistem produksi yang transparan antara produsen dan konsumen, misalnya mencantumkan asal benang atau kain, asal penjahit, di produk fesyennya.

Industri slow fashion banyak dilakukan oleh industri-instustri lokal dalam skala yang tidak terlalu besar. Mereka berusaha menciptakan produk pakaian yang tahan lama dan tidak mudah dibuang oleh pemiliknya.

Dalam catatan Dita, pada tahun 2017 dihelatlah Copenhagen Fashion Summit. Konferensi ini mengajak brand-brand fesyen dunia untuk bertanggung jawab terhadap produk fesyen yang mereka jual. Menurut konferensi ini, perusahaan harus melakukan daur ulang terhadap produk-produk yang bekas dipakai konsumen, selanjutnya menjual kembali produk dari bahan daur ulang tersebut.

Copenhagen Fashion Summit diikuti 64 perusahaan fesyen yang mewakili 143 brand dari belahan dunia itu mencetuskan Global Fashion Agenda yang intinya mengajak brand-brand fesyen agar mau mengubah sistem produksi yang selama ini berlangsung linier menjadi sirkuler.

Sistem sirkuler ini mengajak produsen bertanggung jawab terhadap produk-produk yang mereka buat, termasuk ketika produk tersebut menjadi limbah atawa tidak terpakai lagi. Dari limbah pakaian tersebut, produsen dituntut mendaur ulang untuk menghasilkan produk baru. Dengan demikian, mereka menghasilkan produk dari produk, bukan dari hasil mengeruk kekayaan alam.

Pada sistem produksi linier fast fashion, barang yang diproduksi biasa dilempar ke pasar sebelum akhirnya sampai di tangan konsumen. Setelah itu produsen kembali melakukan produksi fesyen baru, tak peduli jika fesyen yang sudah di tangan di konsumen dipakai atau tidak, atau malah menumpuk di lemari pakaian dan dilupakan yang ujung-ujungnya produk ini akan dibuang dan menjadi limbah.

Tahun 2019, Global Fashion Agenda menerbitkan laporan perusahaan yang komitmen menjalankan sistem sirkuler hanya 45 dari 213 target atau 21 persen dari yang direncanakan. Padahal Global Fashion Agenda berusaha mempraktikkan poruduksi produk fesyen yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable fashion).

Global Fashion Agenda mengeluhkan bahwa performa sustainable fashion melambat, prinsip produksi berkelanjutan tidak diterapkan dengan cukup cepat. Produksi pakaian pun masih bersifat linear yang dimulai dari pengambilan material dari alam, diproduksi, lalu setelah menjadi potongan pakaian berpindah tangan ke konsumen, berakhir di lemarinya dan menumpuk, lalu dibuang, biasanya karena sudah bosan, bentuk pakaian berubah, atau sudah ketinggalan zaman karena muncul model baru.

Sementara volume limbah fesyen tak terbendung dan terus menggunung, baik yang masih bisa diselamatkan di pasar-pasar loak atau cimol, maupun yang terdampar di TPS-TPS, di selokan, bahkan di laut. Dan di era serba cepat ini, industri fesyen atau apparel terus memproduksi produknya dalam kecepatan tinggi. Industri fesyen yang mendapat bantuan dari teknologi tak mau ketinggalan melahirkan produk-produk teranyarnya seakan bersaing dengan industri makanan cepat saji.

Kecepatan industri fesyen ala fast fashion tentunya didukung sikap konsumen yang loyal. “Ada keinginan untuk menunjukkan status terkini dan fashionable membuat proses produksi pakaian meningkat secara drastis,” kata Dita.

Mitos Fast Fashion dan Slow Fashion

Pada tulisan sebelumnya, fesyen yang berkembang saat ini penuh dengan mitos yang sengaja dikonstruksi. Bentuk mitos ini bisa berupa outfit lebaran, fesyen lebaran, gaun malam, gaun pesta, dan sederet ketegori fesyen lainnya. Mitos ini telah jauh keluar dari fungsi pakaian itu sendiri, sebagai penutup dan pelindung tubuh.

Buat apa mitos tersebut diciptakan dan dikonstruksikan? Tidak lain agar produk-produk fesyen dibeli. Singkatnya, bisnis fashion bertujuan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari masyarakat yang konsumtif.

Dita mengatakan, mitos fesyen disebarkan antarmanusia, antar kelompok masyarakat, dan menciptakan mitos-mitos lainnya. Sehingga orang berusaha menjalankan ritual fesyen mode terkini, fesyen lebaran, fast fashion dan bahkan slow fashion, sustainable fashion, ekonomi sirkiuler. Singkatnya, fesyen menciptakan “ritual” untuk dijalankan dan “disembah” (dibeli). Semua ini diamini oleh hasrat konsumtif.

Mengenai slow fashion, sustainable fashion, ekonomi sirkiuler bagian dari mitos-mitos fesyen bisa dilihat dari motif penggunaan konsep-konsep ini yang bisa jadi bisnis-bisnis juga. Ada beberapa brand terkenal yang mengklaim telah menjalankan ekonomi sirkiuler, sebuah klaim yang bias mengignat ia sendiri pelaku bisnis di bidang fesyen.

Di sisi lain, membelejeti isu-isu HAM dan lingkungan pada industri fesyen menjadi dilematis. Ada jutaan buruh yang tergantung pada industri ini, jutaan keluarga tergantung padanya. Namun ketidakberpihakan pada industri fesyen yang melanggar HAM dan lingkungan bukan berarti ketidakberpihakan pada buruh.

Menghadapi realitas kekuatan pemodal di balik industri fesyen, barisan buruh harus diperkuat. Para buruh perlu membangun serikat pekerja yang tangguh agar daya tawar mereka di hadapan industri setara. Melalui barisan para buruh ini upah-upah rendah bisa ditolak. Dan masyarakat atau konsumen (yang mayoritas juga buruh) idealnya berada bersama para buruh untuk mendukung kesejahteraan mereka.

Bagi pelaku bisnis fesyen lokal atau slow fashion, Dita berharap mereka lebih militan lagi agar tidak kalah dengan brand-brand dari luar negeri. Mereka harus rajin bergrilya membangun kekhasan yang tidak dapat disaingi brand-brand luar negeri.

Bagi konsumen, Dita menyarankan agar mau membeli dan mencintai produk-produk  lokal. Dan yang terpenting, konsumen harus bisa menahan diri dan tidak terjebak pada retorika atau mitos-mitos fesyen. Lebih bagus lagi jika konsumen mau berkolaborasi, misalnya saling meminjam atau menyewakan pakaian, mewariskan pakaian yang tidak terpakai, dan lebih apik lagi dalam merawat pakaian miliknya agar awet dan tahan lama.

Di masa lalu, kata Dita, orang tua bisa membuat baju sendiri dengan cara menyulam atau menjahit. Mereka tidak tergantung pada industri. Namun Dita mengakui hal itu sulit dilakukan generasi kekinian yang lebih terampil menggunakan gawai. Tetapi generasi kekinian diharapkan punya kesadaran bahwa kita hidup di era kapitalis berikut mitologi-mitologi kontemporernya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//