• Cerita
  • BANDUNG HARI INI: Hoaks Pemukulan Ratna Sarumpaet, Mewaspadai Kabar Bohong di Tahun Politik

BANDUNG HARI INI: Hoaks Pemukulan Ratna Sarumpaet, Mewaspadai Kabar Bohong di Tahun Politik

Hoaks pemukulan Ratna Sarumpaet menjadi pelajaran penting bahwa tahun politik adalah musimnya hoaks politik. Kita tidak boleh menelan informasi bulat-bulat.

Pemilu 2024 mulai terasa dengan hadirnya poster kampanye terselubung dari tokoh partai politik. Sementara KPU Jawa Barat juga tengah menyiapkan tahapan Pemilu 2024, di Bandung, 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana21 September 2022


BandungBergerak.idHari ini, 21 September empat tahun lalu, warga Indonesia geger dengan kabar pengeroyokan terhadap seniman dan aktivis Ratna Sarumpaet. Disebutkan bahwa lokasi pengeroyokan terjadi di Bandung. Belakangan diketahui bahwa kabar tersebut terbukti hoaks alias kabar bohong yang sengaja dibikin Ratna Sarumpaet sendiri.

Hoaks pengeroyokan Ratna Sarumpaet awalnya dianggap kebenaran. Gemanya terasa kencang karena tahun 2018 tersebut adalah tahun politik. Posisi Ratna Sarumpaet sebagai anggota Badan Pemenangan Prabowo-Sandiaga Uno di pemilu 2019, lawan dari pasangan Jokowi-Maaruf Amin.

Warga Indonesia pada tahun politik itu terbelah di antara dua kubu. Pola ini mulai terbentuk pada pentas-pentas politik di tahun-tahun sebelumnya.

Catur Ratna Wulandari, pemeriksa fakta bersertifikat Google Indonesia, mengatakan dari peristiwa hoaks yang beredar di tahun-tahun politik, sebenarnya rakyatlah yang paling dirugikan. Rakyat harus mengambil pelajaran berharga bahwa pada tahun politik ada pihak-pihak yang sengaja memproduksi hoaks untuk menyerang lawan politik demi keuntungan kelompoknya.

“Pelajarannnya dimulai dari (pemilu) 2014, perpecahannya sampai sekarang masih terasa. Terbukti dengan adanya istilah cebong dan kampret yang masih digunakan sekarang,” kata Catur Ratna Wulandari, saat dihubungi BandungBergerak.id, Rabu (21/9/2022).

Sejak Pilpres 2014, rakyat Indonesia disibukkan dengan berbagai macam hoaks politik mulai dari tabloid Obor Rakyat sampai link-link yang tersebar di medsos. Rangkaian peristiwa hoaks ini akhirnya membentuk polarisari yang tidak membaik sampai hari ini.

Dalam hal ini, Catur mengingatkan masyarakatlah yang paling dirugikan. Selam kontestasi politik mereka akan sibuk sendiri membahas dan meluruskan hoaks yang beredar, menjadi korban hoaks, saling lempar hoaks, panik oleh informasi yang belum tentu kebenarannya. Padahal tahun politik mestinya dipakai untuk membaca dan membahas ide atau gagasan program kontestan pemilu.

“Tidak ada argumen atau progam yang dibicarakan. Hasilnya, kualitas pemilu yang dihasilan jadi terganggu kalau isinya cuma ngomongin hoaks doang. Pada pemilu kali ini kita harus belajar. Oke ada pembuat hoaks, tapi masyarakat lebih pintar, ga boleh asal percaya, mesti cek dulu. Pemilu 5 tahun sekali, jika tidak serius akhirnya kita harus menanggung hasilnya 5 tahun ke depan atau lebih,” papar Catur.

Tahun Politik, Musimnya Hoaks

Ada beberapa langkah praktis yang bisa ditempuh masyarakat agar tidak menjadi korban hoaks di tahun politik. Pertama-tama, masyarakat mesti memahami bahwa hoaks biasa menyebar pada waktu tertentu.

Catur Ratna Wulandari mengingatkan bahwa sekarang adalah tahun politik menjelang Pemilu 2024. Sebagaimana tahun politik sebelumnya, tahun politik kali ini pun rawan dengan peredaran hoaks politik.

Catur menjelaskan, hoaks sengaja diciptakan oleh orang-orang yang berharap mendapat dukungan dari calon pemilih sekaligus bisa menjatuhkan lawan politiknya.

“Masyarakat harus tahu bahwa kita tidak boleh menjadi alat mereka untuk bertarung di situ,” tandas Catur.

Langkah berikutnya, masyarakat harus skeptis dan kritis dalam menghadapi setiap informasi baru. Setiap infor, kabar, berita tidak boleh langsung dipercaya begitu saja, tidak boleh ditelan bulat-bulat tanpa melakukan pengecekan lebih lanjut.

Perlu dipahami pula bahwa setiap orang akan dipengaruhi kepercayaan atau ideology dalam menerima suatu informasi. Kepercayaan itu biasanya muncul dari sosok atau figur yang sudah terlanjur di kagumi atau ditokohkan. Kepercayaan dan ideologi inilah yang menjadikan suatu informasi menjadi bias.

Sayangnya kepercayaan dan ideologi membuat nalar seseorang menjadi tumpul alias tidak kritis. Akibatnya, begitu ada informasi yang meluruskan bahwa suatu kabar adalah hoaks, maka dia akan menolak informasi tersebut walaupun isinya kebenaran. Orang-orang seperti inilah yang mudah terbawa arus hoaks.

“Kita ga boleh benci atau cinta banget. Tetap harus kritis biar tidak mudah terbawa hoaks,” tandasnya.

Langkah lainnya, Catur mengingatkan bahwa hoaks banyak beredar dalam bentuk tangkapan layar (screenshot) atau link-link ke laman di internet. Informasi berupa tangkapan layar jelas tidak bisa dipercaya kebenarannya. Di era teknologi ini tangkapan layar amat mudah direkayasa atau dibikin.

Namun Catur menggarisbawahi ada kebiasaan di masyarakat yang secara tidak langsung turut menyebarluaskan hoaks. Masyarakat tahu bahwa informasi pada suatu tangkapan layar itu meragukan, tetapi dia kemudian membagikan tangkapan layar yang diterimanya ke grup-grup pesan yang diikutinya, seperti Whatsapp. Tadinya penerusan tangkapan layar dilakukan untuk menanyakan kebenaran isi pesannya. Tetapi cara ini justru ia telah turut menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya.

“Ada baiknya kita punya kemampuan memeriksa sendiri, tidak dengan mengirimkan atau bertanya ke grup sebelah. Cara paling gampang dengan menggoogling apakah tangkapan layar tersebut sudah diberitakan media lain, misalnya media mainstream. Kalau media mainstream kan mereka punya kapasitas, SDM-nya banyak, memungkinan melakukan verifikasi suatu informasi. Kalau informasi itu benar harusnya sudah ada pemberitaannya di media mainstream,” paparnya.

Cara lain untuk mengetahui tangkapan layar ataupun informasi hoaks adalah dengan mencari tautan (link) sumbernya. Apakah tautan tersebut berasal dari media yang dapat dipercaya atau tidak. Biasanya, suatu berita akan diberitakan luas oleh media massa. Tetapi jika tautannya hanya mengarah pada satu media saja, ini yang harus lebih diteliti lagi.

Menelisik tautan berita yang bersumber dari satu media bisa dilakukan dengan cara melihat susunan redaksi media yang bersangkutan. Pada susunan redaksi, kata Catur, kita bisa menilai kredibilitas media tersebut.

Catur menegaskan, melakukan penelusuran berita secara mandiri adalah langkah tepat untuk mengetahui kebenaran suatu informasi.

“Itu paling utama, ga buru-buru tanya ke grup WA. Sementara kita tahu kan di grup WA macam-macam, kadang anggotanya tidak bisa menjawab. Malah ada yang ngompor-ngomporin,” katanya.

Menurut Catur, masyarakat juga perlu menyadari bahwa hoaks banyak beredar di media sosial maupun media pengelola pesan berbasis aplikasi seperti Whatsapp. Berdasarkan survei Katadata dan Kominfo 2020, aplikasi yang paling sering digunakan untuk meneruskan berita, pertama adalah Whatsap, disusul Facebook, berikutnya Instagram, Youtube, dan seterusnya.

Whatsapp menjadi media yang paling mudah dalam menyebarkan informasi karena didukung berbagai fitur, mulai dari fitur berbagi foto, link berita, video, dan lain-lain. Selain itu, masyarakat mesti paham bahwa media sosial merupakan ranah di mana segala informasi membaur menjadi satu, baik informasi yang benar maupun hoaks.

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Oded dan Yana Dilantik, Realisasi Janji Kampanye Kurang dari 1 Tahun Lagi
Bandung Hari Ini: Awal Perjalanan Gereja Katolik Pandu
BANDUNG HARI INI: Tragedi Kebakaran Pasar Gebedage

Belajar dari Hoaks Pemukulan Ratna Sarumpaet di Bandung 

Hoaks Ratna Sarumpaet dikeroyok di Bandung cukup fenomenal di tengah tahun politik yang sedang panas-panasnya. Sebelum informasi ini dinyatakan hoaks, kabar pemukulan terhadap Ratna Sarumpaet sudah beredar luas bak bola liar. Para kontestan pemilu maupun masyarakat banyak yang merespons kasus ini dengan berbagai sudut pandang, tak sedikit yang emosional.

Kalangan akademik tak ketinggalan melakukan kajian fenomena menggemparkan hoaks Ratna Sarumpaet. Antara lain Debrina Natalia yang mengkajinya dari sudut pandang filsafat moral berjudul “Analisis Kasus Hoax Ratna Sarumpaet Ditinjau Dari Teori Tindakan Manusia Actus Humanus dengan dosen pengampu Agustinus W. Dewantara [Universitas Widya Mandala Madiun, 2018, diakses Rabu (21/9/2022)]. 

Sebelum melakukan kajian dari sisi etika, Debrina Natalia merunut kronologi kasus hoaks Ratna Sarumpaet sebagai berikut:

Informasi Ratna Sarumpaet dikeroyok awalnya beredar di Facebook. Lokasi kejadian disebut di Bandung, 21 September 2018. Informasi ini pertama kali diunggah oleh suatu akun Facebook berupa tangkapan layar WhatsApp pada 2 Oktober 2018, disertai foto wajah Ratna Sarumpaet yang terkesan babak belur. Unggahan di Facebook tersebut kini telah dihapus.

Kabar Ratna Sarumpaet kemudian menyebar lewat Twitter melalui akun sejumlah tokoh. Salah satunya adalah Rachel Maryam, politikus Partai Gerindra, Rachel Maryam melalui akun twitternya di @cumarachel. Dalam cuitannya, ia membenarkan kabar penganiayaan yang diterima oleh aktivis dan seniman teater itu.

"Berita tidak keluar karena permintaan bunda @Ratnaspaet pribadi, beliau ketakutan dan trauma. Mohon doa," tulis Rachel pada 2 Oktober 2018.

Juru Bicara Tim Prabowo-Sandiaga Dahnil Anzar Simanjuntak turut membenarkan pengeroyokan terhadap Ratna Sarumpaet di Bandung. Dahnil mengatakan Ratna dikeroyok oleh orang tak dikenal dan dimasukkan ke dalam mobil.

Pengacara Ratna, Samuel Lengkey juga mengatakan hal senada. Lengkey mengatakan bahwa kabar penganiayaan itu benar tapi ia menolak memberitahukan informasi lengkapnya. "Iya benar, itu confirmed dia," ucapnya.

Konfirmasi berikutnya juga datang dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon melalui cuitan di akunnya yakni @fadlizon, yang menegaskan Ratna Sarumpaet mengalami penganiayaan dan dikeroyok dua sampai tiga orang. "Jahat dan biadab sekali," cuitnya.

Fadli Zon juga mengaku telah bertemu dengan Ratna dua kali setelah mengalami penganiayaan. Beriktunya, Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus calon presiden 2019 Prabowo Subianto turut memberikan pernyataan mengenai kabar dikeroyoknya Ratna Sarumpaet. Pada Rabu malam, 3 Oktober 2018, Prabowo mengatakan bahwa tindakan terhadap Ratna adalah tindakan represif dan melanggar hak asasi manusia.

Namun hasil penyelidikan kepolisian berkata lain. Pada hari kejadian, 21 September, polisi menemukan bukti bahwa Ratna Sarumpaet tidak berada di Bandung. Ratna justru datang ke Rumah Sakit Bina Estetika di Menteng, Jakarta Pusat sekitar pukul 17.00. Polisi juga menemukan sejumlah bukti berupa transaksi dari rekening Ratna ke klinik tersebut.

Ratna Sarumpaet akhirnya mengaku bahwa kabar pemukulan dirinya di Bandung tak benar. Menurut Ratna, awal dari kabar pemukulan itu sebetulnya hanya untuk berbohong kepada anaknya. Ratna yang pada 21 September 2018 mendatangi rumah sakit bedah untuk menjalani operasi sedot lemak di pipi, pulang dalam kondisi wajah yang lebam.

Narasi pengeroyokan itu mulanya Ratna sampaikan hanya kepada anak-anaknya yang bertanya penyebab wajahnya lebam. Namun setelah lebamnya sembuh, Ratna kembali menceritakan pemukulan itu kepada Fadli Zon saat berkunjung beberapa hari lalu.

Pengakuan Ratna Sarumpaet bikin gempar semua pihak. Prabowo Subianto kembali menggelar jumpa pers untuk meminta maaf karena ikut menyebarkan berita bohong mengenai penganiayaan Ratna Sarumpaet. Prabowo juga meminta Ratna Sarumpaet mengundurkan diri dari Badan Pemenangan Prabowo - Sandiaga Uno di pemilu 2019.

Sehari kemudian, tepatnya Kamis, 4 Oktober 2018 sekitar pukul 20.00 WIB, kepolisian melakukan penangkapan kepada Ratna Sarumpaet di Bandara Internasional Soekarno Hatta saat akan bertolak ke Santiago, Cile. Ratna diketahui akan bertolak ke Cile untuk menghadiri acara Konferensi The 11th Women Playwrights International Conference 2018.

Kepolisian menjerat Ratna dengan pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Ratna juga bakal dikenai UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 28 juncto pasal 45 dengan ancaman hukumanya maksimal 10 tahun penjara.

Debrina Natalia menganalisa bahwa kesalahan terbesar Ratna Sarumpaet tidak hanya berbohong pada keluarganya saja, namun juga merugikan beberapa pihak yang sudah sempat percaya dan ikut menyebarkan kabar bohongnya.

Di sisi lain, Debrina menilai bahwa peristiwa hoaks Ratna kental dengan nuansa politik karena terjadi pada tahun politik. Ia menyayangkan Ratna memilih menyebarkan hoaks daripada menempuh jalan lain untuk mendapat simpati publik, misalnya dengan menggelar kegiatan sosial yang lebih manusiawi. Dengan kegiatan positif, Ratna akan mendapatkan citra yang lebih baik dan dipandang positif dalam kehidupannya, karena dia mampu menjadi aktivis yang aktif dalam masyarakat.

“Bagi saya sendiri dengan adanya kasus Ratna saya juga semakin banyak belajar untuk menerima dan menilai suatu kabar baru yang diterima maupun didengar, jadi tidak asal dalam mencerna suatu informasi agar tidak mudah juga memberi penilaian akan suatu hal,” tulis Debrina Natalia.

Kasus hoaks yang dilakukan Ratna Sarumpaet menjadikan pembelajaran tersendiri bagi masyarakat. Sebelum melakukan suatu tindakan yang niatnya mencari keuntungan, Debrina menyarankan perlunya memikirkan ulang dampak dari tindakan tersebut dari berbagai sisi, positif maupun negatif.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//